Sejarah Sosial Pendidikan Islam Di Mesir
Sejarah Sosial Pendidikan Islam Di Mesir
Sejarah Sosial Pendidikan Islam Di Mesir
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Sejarah modernisasi pendidikan di Mesir sangat lekat dengan gerakan pembaharuan
Islam. Hal ini karenakan, sebagaimana ungkap Esposito, hampir seluruh pelaku-pelakunya
adalah tokoh-tokoh pembaharu agama. Diantara tokoh-tokoh tersebut adalah Hasan alBanna, Rasyid Ridha, Jamaluddin al-Afghani, Muhammad Abduh, Muhammad Ali Pasha,
dan yang lainnya1.
Secara historis, kesadaran pembaharuan dan modernisasi pendidikan di Mesir
berawal dari datangnya Napoleon Bonaparte di Alexandria, Mesir pada tanggal 2 Juli 1798
M. Tujuan utamanya adalah menguasai daerah Timur, terutama India. Napolen Bonaparte
menjadikan Mesir, hanya sebagai batu loncatan saja untuk menguasai India, yang pada
waktu itu dibawah pengaruh kekuasaan kolonial Inggris. Kedatangan Napolen ke Mesir
tidak hanya dengan pasukan perang, tetapi juga dengan membawa seratus enam puluh
orang diantaranaya pakar ilmu pengetahuan, dua set percetakan dengan huruf latin, Arab,
Yunani, peralatan eksperimen (seperti: teleskop, mikroskop, kamera, dan lain sebagainya),
serta seribu orang sipil. Tidak hanya itu, ia pun mendirikan lembaga riset bernama Institut
dEgypte, yang terdiri dari empat departemen, yaitu: ilmu alam, ilmu pasti, ekonomi dan
polititik, serta ilmu sastera dan kesenian. Lembaga ini bertugas memberikan masukan bagi
Napoleon dalam memerintah Mesir. Lembaga ini terbuka untuk umum terutama ilmuwan
(ulama) Islam. Ini adalah moment kali pertama ilmuwan Islam kontak langsung dengan
peradaban Eropa, termasuk Abd al-Rahman al-Jabarti. Baginya perpustakaan yang
dibangun oleh Napoleon sangat menakjubkan karena Islam diungkapkan dalam berbagai
bahasa dunia2.
Menurut Joseph S. Szy Liowics, untuk memenuhi kebutuhan ekspedisinya,
Napoleon berusaha keras mengenalkan teknologi dan pemikiran modern kepada Mesir
serta menggali Sumber Daya Manusia (SDM) Mesir dengan cara mengalihkan budaya
tinggi Perancis kepada masyarakat setempat. Sehingga dalam waktu yang tidak lama,
1
2
John L. Esposito, Identitas Islam: Pada Perubahan Sosial Politik, (Jakarta: Bulan Bintang, 1986), hlm. 87.
Harun Nasution, Islam di Tinjau dari Berbagai Aspeknya, Jilid II, (Jakarta: Bulan Bintang, 1974), hlm. 65.
pemerintahan
tidak
sadar
bahwa
kemerdekaannya
digadaikan
pada
pemerintahan asing, sedang pemerintah Mesir dirusak guna mendapatkan keuntungan bagi
mereka4.
Dalam makalah ini kita akan melihat keadaan sosial Mesir diambang kedatangan
Napoleon dan perubahan sosial yang terjadi setelah kedatangannya yang dimulai dengan
pemerintahan Muhammad Ali. Perubahan sosial yang terjadi memberikan dampak pada
perubahan dalam bidang pendidikan, tak terkecuali pendidikan Islam.
B. Rumusan Masalah
1. Bagaimana keadaan Mesir diambang kedatangan Perancis ?
2. Mengapa Perancis menginvasi Mesir ?
3. Bagaimana pembaharuan yang dilakukan oleh Muhammad Ali di Mesir?
4. Bagaimana pembaharuan pendidikan Islam yang dilakukan Muhammad Abduh?
Joseph S. Szy Liowics, Education and Modernization in Middle East, Terj. Murwinanti W., (Surabaya: alIkhlas, 2001), hlm. 127.
4
Lothrop Stoddard, Dunia Baru Islam, Terj. (Jakarta: Panitia Penerbit Negara, 1966), hlm. 152.
BAB II
PEMBAHASAN
Wan Kamal Mujani, The Impact Of French Occupation on Egypt (1798-1801): A Reassesment, Akademika,
23 Mei 2010, hlm. 89.
6
Ira M. Lapidus, Sejarah Sosial Ummat Islam, Vol. III, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1999), hlm. 102.
Utsmaniyyah lebih sibuk melakukan ekspansi dan memperthanan wilayah di wilayahwilayah eropa yang telah dikuasainya.
Ketimbang menunjukkan seorang Pasya Utsmani untuk bertindak sebagai wakil
penguasa atas wilayah Mesir, dan meninggalkan satu pasukan keamanan yang terdiri
atas 5.000 personil Janissari, Sultan Salim membuat perubahan radikal dalam sistem
administrasi Mesir. Ia memilih Khair Bey adalah seorang Gubernur Turki di Aleppo
yang menghianati atasannya, penguasa Mamluk. Setiap Bey Mamluk mengambil
beberapa orang budak untuk menjadi prajuritnya. Mereka selalu berada disekitarnya,
siap melakukan setiap perintahnya, dan mempertahankan kekuasaannya. Sebagaimana
pada rezim sebelumnya, rezim Mamluk juga mengumpulkan pajak dan merekrut bala
tentara. Hanya saja, mereka mengakui kekuasaan Kerajaan Ustmani dengan selalu
mengirimkan upeti setiap tahunnya.7
Hal ini terjadi tidak lama sebelum Pasya Utsmani yang dikirim dari Konstatinopel
gagal memimpin Mesir dan membereskan persoalan-persoalan lokal. Kebodohannya
dalam memimpin dan membaca situasi setempat menjadi pokok munculnya berbagai
permasalahan di sana. Masa jabatannya yang terbaik berlangsung hanya beberapa
kejap. Selama 28 tahun kekuasaan Turki di Mesir, tidak kurang dari seratus Pasya
berkuasa silih berganti. Perubahan personel yang terlampau sering membuat kekuasaan
atas tentara semakin lemah, sehingga mereka cenderung menjadi pasukan yang tidak
patuh dan tidak disiplin. Sejak paruh pertama abad ke 17, pemberontak menjadi
fenomena yang biasa terjadi. Konflik antara para Pasya dan Bey menjadi bagian tak
terpisahkan dari sejarah perkembangan politik negeri ini. Para Pasya mendapatkan
kesempatannya ketika persaingan dan kecemburuan yang menyebar di antara para Bey
untuk mendapatkan puncak kekuasaan mencapai taraf yang gawat. Ketika pusat
kekuasaan di Konstantinopel mengalami kemunduran, provinsi-provinsi di seluruh
Mesir juga mengalami perubahan8.
Para pasha yang dikirim kebanyakan tidak bisa mengendalikan keadaan di Mesir,
para Bey terus-terus melancarkan pemberontakan. Bey-bey Mamluk adalah kumpulan
yang paling berpengaruh di Mesir menjelang abad ke-18 M dan mempunyai wilayah
kekuasaan masing-masing. Para bey tersebut saling bermusuhan satu sama lain dan
mementingkan diri sendiri yang akhirnya menyebabkan rakyat menderita karena
7
Phillip K. Hitti, History of The Arabs,Terj. Cecep Lukman dan Dedi Slamet, (Jakarta: Serambi Ilmu Semesta,
2006), hlm. 920.
8
Phillip K. Hitti, hlm. 921.
penindasan dan kesewenangan yang mereka lakukan. Pada rentang tahun 1760 sampai
1798 sejarah mencatat ada empat orang Bey yang berkuasa di Mesir, yaitu Ali Bey alKabir, Muhammad Abu Dhahab, dan
pemerintahan para bey tersebut Mesir mempunyai hubungan yang renggang dengan
pihak kesultanan Ustmaniyyah, mereka enggan membayar upeti dan mengusir
perwakilan yang dikirim oleh pihak Utsmaniyah.
Menurut Shaw sebagaimana yang dikutip oleh Wan Kamal, hingga ketika sultan
Abdul al-Hamid mengirim pasukan yang dipimpin oleh Hasan Pasha untuk menangani
masalah tersebut pada tahun 1785. Kedatangan tersebut disambut dengan baik oleh
rakyat Mesir dan akibatnya Murad bey dan Ibrahim Bey harus melarikan diri ke Mesir
selatan, namun Hasan Pasha tidak lama berada di Mesir, ia dan pasukannya ditarik
kembali untuk berperang dengan Rusia. Dengan kepergian pasukan ini Murad bey dan
Ibrahim Bey kembali mengontrol Mesir dengan penuh sampai dengan kedatangan
Napoleon Bonaparte pada tahun 17989.
2. Keadaan Sosial-Ekonomi
Pada abad ke-17, Mesir mengalami ketidakstabilan politik yang seterusnya
mengundang kemerosotan ekonomi. Di bawah kontrol kekuasaan yang tidak stabil,
bangsa pribumi semakin tenggelam ke dasar jurang kemiskinan dan kesengsaraan. Para
Pasya dan Mamluk secara sewenang-wenang mengeksploitasi para pengolah tanah
tanpa rasa belas kasihan, sehingga merekatak lagi memiliki harapan, suatu
kesengsaraan yang tak ada bandingannya, kecuali mungkin pada masa-masa
sebelumnya. Korupsi dan suap telah menjadi budaya yang berakar kuat dalam
kehidupan penguasa. Keadaan itu semakin parah dengan merebaknya kegelisahan,
kelaparan dan wabah penyakit yang membayangi kemiskinan10.
Mesir sejak dahulu dikenal dengan wilayah suburnya terutama daerah didekat
sungai nil. Pertanian kapas, kopi, tebu, dsb. menjadi komoditi andalan. Namun dengan
ketidakstabilan politik yang terjadi, sektor-sektor ekonomi banyak terimbas negatif dan
yang paling merasakan adalah para petani maupun pedagang kecil.
Keadaan menjadi lebih rumit ketika musim paceklik besar melanda karena
bencana banjir besar yang melanda lembah Nil pada 1784 dan wabah penyakit taun
yang melanda pada 1785 dan 1791 yang telah banyak menewaskan korban jiwa. Hal ini
ditambah lagi dengan perilaku para penguasa Mamluk yang menentukan cukai terlalu
9
Wan Kamal Mujani, The Impact Of French Occupation on Egypt (1798-1801): A Reassesment, hlm. 94.
Phillip K. Hitti, hlm. 921.
10
tinggi. Akibatnya barang yang diekspor keluar menjadi tidak kompetitif untuk bersaing
dipasar antarbangsa, apalagi posisi perdagangan Mesir yang tergantung banyak pada
perdagangan Eropa.
Perdagangan
satu-satunya
11
11
L. A. Aronian & R.P Mitchell, Timur Tengah dan Asia Utara Modern, Terj. M. Redzuan Othman, (Kuala
Lumpur: Dewan Bahasa dan Pustaka, 1991), hlm. 69.
12
Ahmad Amin, Islam Sepanjang Zaman, (Kuala Lumpur: Dewan Bahasa dan Pustaka, 1980), hlm. 131-132.
setidaknya sama dengan pekerja tangan ahli atau pedagang. Pemimpin keagamaan
bertindak sebagai pelindung, yang mengintervensi antara penduduk awam Mesir dan
penguasa Utsmaniyah13. Pola seperti ini juga berlanjut ketika kekuasaan Mesir
berpindah ke tangan para bey Mamluk.
13
John L. Esposito, Ensiklopedi Oxford; Dunia Islam Modern, jilid. IV (Bandung: Mizan, 2001), hlm. 103.
14
Goldschmidt dalam Wan Kamal Mujani, The Impact Of French Occupation on Egypt (1798-1801): A
Reassesment, hlm. 94
15
Lihat Goldschimdt, Modern Egypt The Formation of Nation State, (Cairo: The American University Press,
1990), hlm. 123.
16
Dkystra dalam Wan Kamal Mujani, The Impact Of French Occupation on Egypt (1798-1801): A
Reassesment, hlm. 97
dengan penguasa Mamluk yang memerintah Mesir pada 1798 untuk mengamankan
perdagangannya di Laut Merah.17
Kedudukan Mesir yang strategis, yaitu di antara Laut Mediterania di sebelah
Utara dan Laut Merah di barat telah menjadikannya negara yang paling dekat untuk
menghubungkan Eropa dengan negara-negara Timur. Penguasaan kedua dua luat
tersebut sangat penting untuk menguasai perdagangan antara Timur dan Barat. Oleh itu,
apabila Perancis dapat menguasai Mesir, maka mereka akan dapat menguasai seluruh
perdagangan yang menggunakan kedua jalur laut tersebut. Dengan penguasaan Lautan
Mediterania, Perancis dapat mengatasi kekuatan armada Inggris dan mengganggu
perdagangannya di Levant, Persia dan India. Kedudukan India yang tidak jauh dari
Mesir juga menyebabkan Perancis dapat menghancurkan perdagangan Inggris di India
karena Mesir akan dijadikan pangkalan untuk memutuska hubungan komunikasi antara
Inggris dengan pusat-pusat perdagangannya di India dan Timur.
3. Faktor Sosial
Rancangan penaklukan Mesir telah muncul dalam sejarah Perancis sejak
pertengahan abad ke-13, yaitu dalam Sejarah Perang Salib ke-7 ketika Perancis
diperintah oleh Raja Louis IX. Percobaan untuk menguasai Mesir gagal karena mereka
dikalahkan oleh pemerintahan Mamluk. Kekalahan pada perang salib tersebut masih
dirasakan oleh Perancis dan ini juga merupakan salah satu faktor mengapa mereka
ingin menguasai Mesir. Selain itu persaingan Perancis dan Inggris, untuk merebut
wilayah-wilayah Utsmaniyah yang berada di Afrika utara dan Levant telah
memperbesar hasrat Perancis untuk menguasai Mesir dan menyelesaikan dendam
Perancis terhadap kekalahan yang di alami dalam perang salib yang lalu18.
Selain dikaitkan dengan persaingan terhadap Inggris, motif penaklukan Mesir
lainnya ialah untuk merebut kembali tanah suci yaitu Baitul Maqdis dari kekuasaan
Islam. Dengan menguasai Mesir dinilai dapat memudahkan jalan untuk menaklukan
Palestina demi merebut kembali Baitul Maqdis.
4. Penentangan dan Pemberontakan Rakyat Terhadap Perancis
Kesan negatif yang paling jelas terhadap masuknya Perancis di Mesir ialah
kebangkitan rakyat dalam satu pemberontakan yang dikenal sebagai Pemberontakan
Kairo yang meletus pada 21 Oktober 1798 M. Peristiwa tersebut berlaku disebabkan
17
Silvera dalam Wan Kamal Mujani, The Impact Of French Occupation on Egypt (1798-1801): A
Reassesment, hlm. 89.
18
Wan Kamal Mujani, The Impact Of French Occupation on Egypt (1798-1801): A Reassesment, hlm. 90.
beberapa faktor, antaranya ialah ketidakpuasan rakyat terhadap kadar cukai yang
dikenakan dan beberapa peraturan yang membebankan. Ditambah lagi dengan seruan
Perang Jihad melawan Perancis oleh Sultan Salim III yang disampaikan melalui
Ahmad Pasha al-Jazzar, Gubernur Syria pada waktu itu. Para pemberontak telah
menjadikan al-Azhar sebagai markas gerakan dan diketahui oleh Syeikh Muhammad
al-Sadat, yaitu salah seorang ulama yang berpengaruh ketika itu. Napoleon telah
mengarahkan pengeboman ke wilayah Al-Azhar setelah perintahnya agar menyerah
tidak dihiraukan oleh pemberontak. Akibatnya banyak bangunan yang musnah dan
keadaan menjadi huru-hara sehingga menyebabkan sebagian penduduk Kairo
terbunuh19.
Tiga faktor diataslah yang menjadikan Perancis menaklukan Mesir, meskipun tidak
lama berkuasa di Mesir yaitu hanya tiga tahun. Namun, menurut para sejarawan hal itu
telah membuka mata para penduduk Mesir, terutama para pemimpin dan para ulama
bahwa peradaban mereka telah jauh tertinggal dengan peradaban Barat yang dulu di
belakang mereka. Pada aspek ilmu pengetahuan, teknologi mereka sangat jauh tertinggal,
hal ini yang menjadikan pemimpin Mesir selanjutnya yaitu Muhammad Ali untuk
memodernisasi segala aspek kehidupan di Mesir. Hal ini lah yang banyak dinilai oleh para
ahli sejarah sebagai Revolusi Mesir, revolusi dalam arti yang sesungguhnya. Usaha
Muhammad Ali tersebut akan banyak dijelaskan oleh penulis di sub bab berikutnya yang
menjelaskan perubahan yang dilakukan Muhammad Ali di Mesir setelah perginya
Perancis.
19
Abd al-Rahman Al-Jabarti, Tarikh al-Muddat al-Faransis bi Misr, (Netherlands: EJ. Brill, 1975), hlm. 75.
10
sebagai pemimpin Mesir seperti sebelumnya, maka dilantiklah Khusraw Pasha menjadi
gubernur.
Tempo 1802 hingga 1803 merupakan jangka waktu yang buruk dalam perkembangan
politik Mesir. Pemerintahan Khusraw Pasha, amat lemah dan tidak disenangi rakyat dan
akhirnya beliau digulingkan lalu diganti dengan Tahir Pasha. Pemerintahan Tahir juga
tidak lama karena selepas tiga minggu pelantikannya beliau terbunuh. Jabatan gubernur
kemudian diisi oleh Khursid Pasha dan beliau juga lemah secara politik dan tidak
disenangi oleh rakyat. Rasa tidak puas para ulama, pedagang, tentara dan rakyat yang
dipimpin ulama sehingga membawa kepada penggulingan Khursid Pasha. Selanjutnya
pada bulan Mei 1805, pihak Utsmaniyah di Istanbul mengeluarkan keputusan untuk
pelantikan Muhammad Ali sebagai Gubernur Mesir yang baru. Beliau sebelumnya
merupakan tentara Albania yang terlibat dalam gerakan tentara Utsmaniyah yang
mengusir Perancis.
Kepimpinan Muhammad Ali mendapat dukungan dari para golongan ulama,
pedagang dan rakyat. Malahan kedudukannya sebagai orang yang paling berkuasa di
Mesir bertambah kuat karena kematian pemimpin Mamluk yaitu Usman Bey al-Bardisi.
Muhammad Ali telah muncul sebagai pemimpin tunggal yang paling berkuasa dan
pelantikannya menandakan permulaan reformasi Mesir sebagai negara Modern.20
Wan Kamal Mujani, The Impact Of French Occupation on Egypt (1798-1801): A Reassesment, hlm. 93.
M. Sholehan Manan dan Hasanudin Ami, Pengantar perkembangan Pemikiran Muslim, Sinar Wijaya,
Surabaya, 1988, hal. 97.
21
11
22
Harun Nasution, Pembaharuan Dalam Islam: Sejarah Pemikiran dan Gerakan, (Jakarta: Bulan Bintang,
1996), hlm. 34-35.
12
menjadikan para petani luar daerah untuk mengikuti wajib militer. Upaya itu ternyata
cukup berhasil untuk menjadikan kekuatan militer Mesir semakin berkembang23.
Rezim militer yang agresif ini didukung oleh reorganisasi pemerintah dan
masyarakat Mesir yang berskala luas. Dalam hal ini Muhammad Ali berusaha
menciptakan sebuah kekuasaan diktator yang memusat yang di bangun di atas pasukan
militer Turki, Kurdi, Circassia, dan beberapa pasukan militer lainnya yang telah
menjadi anggota keluarga pribadinya. Dengan bantuan para penasihat militer dari Itali
dan Perancis, ia membentuk sebuah pasukan baru, yang semula direkrut dari tentara
petani. Ia menyusun sistem perpajakan baru, dengan mempekerjakan petugas penarikan
pajak yang diberi gaji tetap, menggantikan pajak pertanian yang lama. Penulis-penulis
koptik diangkat menduduki jabatan-jabatan administratif menengah. Seluruh kekuatan
politik lainnya dihancurkan, keluarga Mamluk dimusnahkan. Kekuasaan ulama, yang
pada akhir abad 18 turut terlibat dalam urusan keuangan dan politik, juga mengalami
kemerosotan disebabkan kebijakan Muhammad Ali merampas hak pajak pertanian dan
wakaf mereka24.
Dalam memperkuat Negara, dan khusunya militernya, Muhammad Ali
meluncurkan upaya industrialisasi Mesir yang pertama, yang meminjam model dan
teknisi Barat. Dengan mengeksploitasi kekuatan baru ini, Muhammad Ali
memproyeksikan kekuatan Mesir di luar negeri, yang melibatkan Mesir dalam lima
peperangan 1811 sampai 1828. Di dalam negeri, dia berupaya mendisiplinkan
penduduk melalui bentuk baru pendidikan dan organisasi social yang akan
menyalurkan segenap energy untuk tujuan dinastinya. Dia memperlemah atau
mengeliminasi
lembaga
penengah
basis
petani
dan
birokrasi
Negara
tersentralisasikan25.
2. Sosio Ekonomi
Dalam bidang pertanian, perdagangan dan perindustrian, Muhammad Ali telah
mengambil beberapa langkah efektif yang akhirnya dapat memajukan sektor
perekonomian. Beliau telah menyusun ulang sistem pengurusan pertanian dengan cara
yang lebih sistematik dan efisien serta mewujudkan satu badan khusus untuk mengurus
pajak. Termasuk juga menggantikan sistem Iltizam dengan sistem cukai yang baru
23
Yuli Emma Handayani, Muhammad Ali Pasha dan Al-Azhar; Kajian Tentang: Pengaruh Pembaharuan di
Mesir terhadap Modernisasi Pendidikan Al-Azhar, Skripsi, Jakarta: UIN Syarif Hidayatullah, 2011, hlm. 75
24
Ira M. Lapidus, Sejarah Sosial Ummat Islam, Vol. III, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1999), hlm. 101
25
John L, Esposito. Dunia Islam Modern, terj, Eva Y.N., (Bandung: Mizan, 2001), hlm. 229.
13
pembangunan Terusan Suez bagi jalur perhubungan antara Timur dan Barat. Dengan
pembangunan yang teliti dan sistematik, Muhammad Ali dikatakan sebagai
pemerintahan Mesir pertama yang membawa kemajuan dan kemodernan di Mesir26.
3. Sosio Pendidikan
Seluruh kekuatan sosial yang ada di tengah masyarakat Mesir dilemahkan dan
beberapa keluarga Mesir-Turki menguasai bidang militer dan pemerintahan. Kaum
ulama dan sufi kehilanngan keistimewaan keuangan. Posisi elit agama juga mengalami
perubahan drastis. Pada abad 18, ulama Mesir sebagaimana ulama Istanbul, merupakan
unsur utama dalam elit pemerintah dan melambangkan interes terhadap rezim, berperan
sebagai penengah antara pihak pemerintah dengan masyarakat umum. Segera sesudah
invasi Perancis terhadap Mesir, dan perebutan kekuasaan antara Muhammad Ali dan
pihak Mamluk lokal, ulama mencapai posisinya yang tertinggi. Sebagai balasan atas
dukungan para Ulama, Muhammad Ali berkenan meminta pandangan mereka dalam
berbagai urusan politik, dan membiarkan mereka mengembangkan kekayaan dengan
menjalankan pajak pertanian dan mengalihkan dana sumbangan untuk keperluan
pribadi mereka. Namun setelah Muhammad Ali memperkokoh kekuasaannya, ia
mengharuskan kepatuhan ulama terhadap rezim, mengasingkan tokoh-tokoh vokal
mereka, menghapus pajak pertanian dan hak wakaf mereka, dan menjadikan
penghasilan mereka bergantung kepada penguasa. Pada rentangan abad 19, ulama
kehilangan pengaruhnya dalam beberapa kebijakan yang bersifat publik. Posisi mereka
digantikan oleh elit baru, dan mereka mengundurkan diri dari berbagai urusan publik
26
L. A. Aronian & R.P Mitchell, Timur Tengah dan Asia Utara Modern, hlm. 84-85.
14
untuk bertahan dalam wilayah yang lebih sempit, yakni dalam urusan pendidikan dan
peradilan27.
Kemudian, dalam tatanan sosial Muhammad Ali Pasha mengubah pengaturan
administrasi bagi penduduk desa dan kota dengan sistem yang lebih modern.
Pembangunan prasarana masyarakat umum mulai digalakkan, seperti pembangunan
Rumah Sakit, sekaligus mendatangkan beberapa dokter spesialis untuk menangani
problematika penduduk setempat.
Dan berlanjut dalam bidang pendidikan, untuk memperkuat kedudukannya dan
sekaligus melaksanakan pembaruan pendidikan di Mesir, Muhammad Ali Pasya,
mengadakan pembaruan dengan mendirikan berbagai macam sekolah yang meniru
sistem pendidikan dan pengajaran di Barat28.
Selama memerintah (1805-1848), ia merasakan ketidakmampuan pendidikan
tradisional dalam menghasilkan tenaga terampil yang dibutuhkan oleh negara. Di sisi
yang lain, situasi don kondisinya tidak memungkinkan untuk mengadakan terhadap
perombakan sistem pendidikan yang berlaku. Akhirnya ia mengambil jalan tengah
dengan membangun sekolah baru yang diilhami oleh ide-ide yang berkembang di
Eropa. Tujuan utama pendirian sekolah ini adalah untuk mengisi kekosongan tenaga
administrasi pemerintah dan tenaga ahli dalam bidang tertentu. Sekolah pertama yang
dibangun adalah sekolah tinggi dan sekolah spesialisasi. Untuk mengisi sekolah ini,
maka dibukalah sekolah menengah dan persiapan (madaris tajhiziyah) dan selanjutnya
sekolah dasar. Pada tahun 1833, untuk pertama kali sekolah dasar di bangun di Kairo,
Alexandria, dan diberbagai tempat lain, sebagai persipan untuk sekolah menengah29.
Di dalam pemerintahannya, beliau mendirikan kementerian pendidikan dan
lembaga-lembaga pendidikan. Membuka Sekolah Teknik (tahun 1839), Sekolah
Kedokteran (tahun 1827), Sekolah Apoteker (tahun 1829), Sekolah Pertambangan
(tahun 1834), Sekolah Pertanian (tahun 1836), dan Sekolah Penerjemahan (tahun
1836)30.
Masih dalam konteks melakukan upaya pembaruan dalam bidang pendidikan,
Muhammad Ali Pasya juga mengirim siswa-siswa untuk belajar ke Italia, Perancis,
Inggris, dan Austria antara tahun 1823-1844, ada sebanyak 311 pelajar yang dikirim
27
15
oleh Muhammad ali pasya ke Eropa. Hal ini dilakukan agar mereka yang diutus mampu
menguasai ilmu pengetahun Barat, untuk selanjutnya nanti mampu dikembangkan dan
direalisasikan di Mesir. Oleh karena itu, mahasiswa yang dikirim ke Eropa dalam
pengawasan yang ketat. Mereka tidak boleh belajar tentang ilmu politik yang dapat
membahayakan kekuasaannya. Dalam pandangannya, Mesir dapat menjadi negara maju
manakala mengadopsi dan memasukkan sistem dan kurikulum pendidikan Barat ke
dalam kurikulum pendidikan Mesir. Dengan demkian dia bersama-sama dengan
penguasa Utsmaniyah menjadi tokoh perintis modernisasi pendidikan di Timur-Tengah.
Buah dari kerja keras ini akhirnya banyak sekali buku-buku militer dan lainnya, selain
buku-buku politik, yang diterjemahkan ke dalam bahasa Arab. Melalui buku-buku
terjemahan inilah masyarakat Mesir mulai mengenal bangsa dan keilmuan bangsa
Perancis dan bangsa Barat lainnya, sebagaimana ungkap Bosworth31.
Senada dengan Bosworth, Bernard Lewis menegaskan bahwa mega proyek
penterjemahan ini terjadi ketika suasana kedua belah pihak, Barat dan Islam, sangat
bertolak belakang. Dunia Islam mengalami masa kemunduran dalam berbagai bidang,
sedangkan dunia Barat mencapai puncak kejayaan dalam bidang ilmu pengetahuan dan
tehnologi. Konon percetakan yang ada dalam dunia Arab Islam yang kali pertama
didirikan oleh Muhammad Ali Pasa pada tahun 1822 adalah warisan Napoleon
Bonaparte. Dari percetakan ini telah dihasilkan 243 buku untuk sekolah-sekolah yang
didirikannya dan untuk fakultas pendidikan32.
Serta dalam rangka mengalihkan ilmu pengetahuan dan teknologi yang telah
berkembang di Barat tersebut, Muhammad Ali Pasya menggalakkan penerjemahan
buku-buku yang berbahasa asing ke dalam Bahasa Arab. Sehingga beliau mendirikan
Sekolah Penerjemahan pada tahun 1836. 33
Gerakan pembaharuan yang dibawanya telah memperkenalkan ilmu pengetahuan
dan teknologi Barat kepada umat Islam, dan sampai pada suatu waktu dapat
menyingkap awan hitam yang menyelimuti pola pikir dan sikap keagamaan, yang
sekaligus menjadi awal kelahiran para tokoh Muslim seperti Muhammad Abduh,
Muhammad Rasyid Ridho, Rifaah Badawi, Rafi al-Tahtawi, dan Hasan al Banna.
31
C.E. Bosworth, The Islamic Dynasties, Terj. Ilyas Hasan, (Bandung :Mizan, 1993), hlm. 93-94.
Bernard Lewis, The Arabs in History, Terj. Said Jamhuri, (Jakarta: Pedoman Ilmu Jaya, 1988) , hlm. 185.
33
Suwito, Sejarah Sosial Pendidikan Islam, hlm. 165.
32
16
Harun Nasution. Pembaharuan Dalam Islam: Sejarah Pemikiran dan Gerakan, (Jakarta: Bulan Bintang,
1996), hlm. 30.
17
harus menguasai sumbernya yaitu ilmu pengetahuan dan teknologi dan jalan untuk
memperoleh itu semua adalah melalui proses pendidikan dengan meniru pola pendidikan
yang dikembangkan di dunia Barat, yaitu dengan mendirikan sekolah-sekolah cara Barat
baik sistem maupun isi pendidikannya. Di samping melakukan pengiriman pelajar ke
dunia Barat terutama ke prancis untuk menguasai sains dan teknologi modern. Uasaha
yang dilakukan Muhammad Ali Pasya (1805) di Mesir dan Sultan Mahmud II di Turki,
bahkan beliau juga mendatangkan guru-guru dari Barat (terutama Mesir) untuk mengajar
di sekolah-sekolah militer dan teknik di Mesir. Pada masa yang sama diusahakan pula
penerjemahan buku-buku Barat ke Bahasa Arab35.
Pembaharuan secara radikal dalam bidang pendidikan yang banyak dikatakan
sebagai modernisasi pada awalnya dilakukan oleh Muhammad Ali. Dalam pandangan
Muhammad Ali Pasa, ketinggian dan kemajuan Eropa terletak pada kekuatan militer dan
ekonominya. Inilah yang mengilhaminya mendirikan sekolah militer, pabrik, rumah sakit,
dan mengambil kebijakan ekonominya didasarkan atas`kemajuan revolusi industri. Tidak
tanggung-tanggung, dialah yang kali pertama memperkenalkan pengolahan kapas di
Mesir. Disamping seni kemiliteran, ia juga mengirimkan sebuah misi khusus ke Inggris
untuk mempelajari mekanika. Gagasan Renaisance militer Muhammad Ali inilah yang
menurut Hasan Ibrahim Hasan dianggap sebagai pembuka jalan bagi pergerakan
revivalisme ilmu pengetahuan dan sastra36.
Setidaknya terdapat beberapa hal yang perlu dicatat berkenaan dengan upaya
modernisasi pendidikan yang dilakukan oleh Muhammad Ali Pasa. Pertama,
diberlakukannya sistem sentralistik sebagai akibat dari pengaruh pendudukan Perancis.
Disamping ia sendiri adalah seorang otokrat yang memusatkan kekuasaannya ditangannya
sendiri. Ia harus mengetahui detail permasalahan pemerintahan, termasuk pendidikan.
Semua berada dalam pengawasannya. Hal ini demi tercapainya kualitas lulusan yang
mampu memenuhi kebutuhan pemerintahannya. Jadi langsung maupun tidak langsung
penguasa mempunyai kepentingan dalam setiap aspek sistem pendidikan. Kedua, karena
tujuan utamanya bersifat pragmatis (memperkuat kebijakan), maka modernisasi
pendidikan yang dilakukan lebih terfokus pada lembaga tingkat tinggi yang khusus
melatih profesionalitas pegawai. Oleh karenanya bersifat elitis, kurang memperhatikan
pendidikan ditingkat bawah. Ketiga, Muhammad Ali Pasa secara sadar membuat
35
36
18
keputusan untuk mengabaikan sekolah yang sudah ada dan bukan untuk mencoba
menciptakan sistem modern bagi semuanya37.
Usaha pembaharuan pendidikan Islam selanjutnya dilakukan oleh Muhammad
Abduh tokoh pembaharu abad ke 19. isu paling penting yang menjadi perhatian sepanjang
hayat dan kariernya adalah pembaruan pendidikan. Muhammad Abduh melihat adanya
dua tipe pendidikan yang timpang, yakni tipe pertama adalah sekolah-sekolah agama
dengan al-Azhar sebagai lembaga pendidikan tinggi. Sedangkan tipe kedua adalah
sekolah-sekolah modern, baik yang dibangun oleh pemerintah Mesir maupun yang
didirikan oleh bangsa Asing. Kedua tipe tersebut tidak ada hubungan antara satu dengan
yang lain, masing-masing berdiri sendiri dalam memenuhi kebutuhan dan mencapai tujuan
pendidikannya. Sekolah-sekolah agama berjalan di atas garis tradisional, baik dalam
kurikulum maupun metode pengajaran yang diterapkan. Ilmu-ilmu Barat tidak diberikan di
sekolah-sekolah agama, dengan demikian pendidikan agama waktu itu tidak mementingkan perkembangan intelektual, padahal Islam mengajarkan untuk mengembangkan aspek jiwa tersebut sejajar dengan perkembangan aspek jiwa yang lain38.
Sistem pendidikan yang terjadi pada sekolah-sekolah pemerintah di pihak lain
tampil dengan kurikulum yang memberikan ilmu pengetahuan Barat sepenuhnya, tanpa
memasukkan pendidikan agama ke dalam kurikulum tersebut. Selain terjadinya kasuskasus yang demikian, dualisme pendidikan yang demikian melahirkan dua kelas sosial
dengan spirit yang berbeda. Tipe sekolah yang pertama memproduksi para ulama serta
tokoh
masyarakat
yang
enggan
menerima
perubahan
dan
cenderung
untuk
mempertahankan tradisi. Tipe sekolah yang kedua melahirkan kelas elite generasi muda,
hasil pendidikan yang dimulai pada abad ke-19. Dengan ilmu-ilmu Barat yang mereka
peroleh dapat menerima ide-ide yang datang dari Barat. Abduh melihat segi-segi negatif
dari kedua bentuk pemikiran tersebut. Ia memandang bahwa pemikiran yang pertama tidak
dapat dipertahankan lagi, jika dipertahankan juga akan menyebabkan umat Islam
tertinggal jauh, terdesak oleh arus kehidupan dan pemikiran modern. Sedangkan
pemikiran yang kedua justru adanya bahaya yang mengancam sendi-sendi agama dan
moral yang akan tergoyahkan oleh pemikiran modern yang mereka serap39.
37
Joseph S. Szyliowics, Education end Modernization in Middle East, Terj. Murwinanti W., Al-Ikhlas,
Surabaya, 2001, hal. 136-137.
38
Samsul Nizar, Sejarah Pendidikan Islam, Menelusuri Jejak Sejarah Pendidikan Era Rasulullah sampai
Indonesia ( Jakarta: Kencana, 2008), hlm. 248.
39
Samsul Nizar, hlm. 249.
19
41
20
ilmu kealaman. Dengan demikian, upaya pembaharuan yang ditujukan untuk al-Azhar
meliputi: (1) membentuk dewan pimpinan al-Azhar yang terdiri dari ulama besar dari
empat madzhab, (2) menertibkan administrasi al-Azhar dengan menentukan honor yang
layak bagi pengajar, membangun ruang khsusus untuk rektor dan mengangkat para
pembantu rektor, dan (3) masa belajar diperpanjang dan masa libur diperpendek42.
Dalam bidang metode pembelajaran ia pun membawa cara baru dalam dunia
pendidikan saat itu. Ia mengkritik dengan tajam penerapan metode hafalan tanpa
pengertian yang umumnya dipraktikkan di sekolah-sekolah saat itu, terutama sekolah
agama. Ia tidak menjelaskan dalam tulisannya metode apa yang sebaiknya diterapkan,
tetapi dari apa yang dipraktikkannya ketika ia mengajar di al-Azhar tampaknya bahwa ia
menerapkan metode diskusi untuk memberikan pengertian yang mendalam pada
muridnya. Ia menekankan pentingnya pemberian pengertian dalam setiap pelajaran yang
diberikan. Ia memperingatkan para pendidik untuk tidak mengajar murid dengan metode
menghafal, karena metode demikian hanya akan merusak daya nalar, seperti yang dialami
di sekolah farmasi di Masjid Ahmadi di Thanta43.
Pemikiran Abduh yang lain dalam suatu sistem pendidikan adalah pendidikan
yang fungsional, yang meliputi pendidikan universal bagi semua anak, baik laki-laki
maupun perempuan. Semuanya harus punya dasar membaca, menulis, berhitung dan harus
mendapatkan pendidikan agama.44
Demikianlah pembaharuan pendidikan Islam di Mesir, tetapi setiap perubahan
selalu mengalami kendala. Pembaharuan pendidikan Islam mengalami resistensi oleh para
golongan konservatif. Resistansi lembaga-lembaga pendidikan tinggi Islam, semacam AlAzhar, terhadap gagasan pembaruan pendidikan sangat tinggi. Para ulama konservatif
yang mendominasi al-Azhar menolak sejumlah gagasan pembaruan pendidikan yang
diajarkan dan ingin diterapkan tokoh semacam Rifaah al Tahtawi. Bahkan Muhammad
Abduh dalam posisi sebagai anggota majelis tinggi al-Azhar hanya mampu secara parsial
melakukan pembaruan terhadap Al-Azhar dengan memasukkan mata kuliah matematika,
al-jabar, ilmu ukur dan ilmu bumi ke dalam kurikulum. Tetapi pembaruan ini dibatalkan
Salim Al-Basyairi, rektor ke-25 Al-Azhar. Dengan demikian, Al-Azhar secara sempurna
menampilkan diri sebagai benteng konservatisme. Dari masa ke masa Al-Azhar mampu
menangkis berbagai upaya pembaruan yang ingin dilakuakan terhadapnya berkat otonomi
42
Fauzan, Menimbang Sisi Positif Perlunya Pembaruan Pendidikan Islam dalam Sejarah Sosial Pendidikan
Islam, ed. Suwito dan Fauzan (Jakarta: Kencana, 2005), hlm. 175
43
Samsul Nizar, Sejarah Pendidikan Islam, hlm. 251
44
Ali Rahmena (ed.), Para Perintis Zaman Baru Islam (Bandung: Mizan,1996), hlm. 59.
21
dan besarnya kekuasaan keagamaan Syaikh Al-Azhar itu sendiri. Barulah rezim militer
Gamal Abd Al-Nasser pada 1961 menghapuskan otonomi Al-Azhar dan menempatkan
universitas ini langsung ke bawah kekuasaannya. Setelah itu pembaruan besar-besaran
dapat dilancarkan dengan menambah sejumlah fakultas baru: kedokteran, teknik,
pertanian, ekonomi dan sastra.
Rahmat Jalaluddin, Rekayasa Sosial Reformasi, Revolusi atau Manusia Besar, (Bandung: PT Remaja Rosda
22
3. Sadar akan adanya kekurangan dalam kebudayaan sendiri sehingga berusaha untuk
menutupinya dengan mengadakan perbaikan.
4. Adanya usaha masyarakat untuk menyesuaikan diri dengan keperluan, keadaan, dan
kondisi baru yang timbul sejalan dengan pertumbuhan masyarakat.
5. Banyaknya kesulitan yang dihadapi memungkinkan manusia berusaha untuk dapat
mengatasinya.
6. Tingkat kebutuhan masyarakat yang semakin kompleks dan adanya keinginan untuk
meningkatkan taraf hidup.
7. Sikap terbukanya masyarakat terhadap hal-hal baru, baik yang datang dari dalam
maupun dari luar masyarakat tersebut
8. Sistem pendidikan yang dapat memberikan nilai-nilai tertentu bagi manusia untuk
meraih masa depan yang lebih baik 46
Bila dianalisis lebih lanjut, bangsa Mesir telah mengalami beberapa faktor-faktor di
atas, di mulai dengan ketidakpuasaan atas pemerintahan kaum Mamluk yang sewenangwenang dan juga berlanjut pada masa invasi Perancis. Lalu sampai pada akhirnya ada
kekuatan perubahan dimana ada gerakan pemberontakan yang di komandoi oleh Syeikh
Muhammad al-Sadat, dan para unsur yang terdiri dari ulama, pengusaha dan rakyat yang
menggulingkan gubernur yang ditunjuk oleh kesultanan Utsmaniyah.
Lalu munculah seorang pemimpin yang berbeda jauh dengan sebelumnya, dimana
ada kesadaran bahwa kondisi bangsa Mesir sangat tertinggal. Ketika Muhammad Ali
memimpin beliau tidak menutup bangsanya terhadap budaya lain. Beliau meminta
bantuan para ahli dan teknisi Barat untuk membangun negerinya dan mengirim ratusan
mahasiswa untuk menyerap ilmu pengetahuan Barat. Reformasi total yang dilakukan
dalam bidang pendidikan dengan mendirikan atau memasukkan kurikulum ilmu
pengetahuan umum ke dalam institusi pendidikan pada waktu itu. Sehingga lahirlah tipe
pendidikan barat dan Islam di Mesir.
Sedangkan dalam hal modernisasi Mesir ini terjadi karena Muhammad Ali begitu
bersemangat
dalam
menyerap
teknologi
barat.
Beliau
membangun
jaringan
telekomunikasi, membangun jalur kereta api, dan membangun industri senjata, tekstil
yang maju secara teknologi dari pada sebelumnya.
Ini sejalan dengan mekanisme pendorong ke arah modernisasi yang mana dalam
teori konvergensi dalam hal modernisasi. Mengemukakan bahwa modernisasi terkait erat
46
Soerjono Soekanto, Sosiologi Suatu Pengantar, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1999), hlm. 347 dan 355-365
23
47
Piotr Sztompka, Sosiologi Perubahan Sosial, Terj. Alimandan, (Jakarta: Prenada, 2014), hlm. 155.
Piotr Sztompka, hlm. 310.
49
Piotr Sztompka, hlm. 357.
48
24
kekerasan. Ukuran kecepatan suatu perubahan sebenarnya relatif karena evolusi pun
dapat memakan waktu lama50.
Sepanjang sejarah yang diketahui, revolusi menempuh jalan yang sangat berbedabeda. Tetapi para analis sosiologi membuat suatu pola keseragaman tentang jalannya
revolusi. Semua revolusi didahului oleh kondisi khas yang disebut Revolutionary
Prodrome. Meliputi peningkatan ketidakpuasaan, keluhan, kekacauan, dan konflik yang
disebabkan krisis ekonomi. Hal ini juga telah lama dialami oleh rakyat Mesir, di mulai
dengan para penguasa Mamluk yang semena-mena dalam menentukan pajak, dan
membuat peraturan yang lebih menguntungkan pedagang asing daripada pribumi. Lalu,
konflik yang terus berlanjut antara para Pasha atau gubernur yang diutus oleh kesultanan
Utsmaniyah dengan para Bey-bey Mamluk, atau antara para Bey-bey Mamluk sendiri.
Penindasan inilah yang menurut Sorokin yang dikutip dari Piotr Stzompka yang
menjadi penyebab utama ledakan revolusi. Sorokin mengatakan, penyebab terdekat
revolusi selalu penindasan terhadap naluri utama mayoritas anggota masyarakat dan
tak mungkin terpenuhinya kebutuhan dasar secara minimun sekalipun. Penindasan yang
terlalu kuat atau sebagian besar naluri yang sangat penting itulah yang menyebabkan
ledakan revolusi51.
Demikianlah gambaran perubahan sosial yang terjadi Mesir dan ditinjau dalam teoriteori sosial. Dengan mengemukakan beberapa fakta yang dianalisis dengan teori yang
ada sebagaimana yang telah dipaparkan diatas, pantas kiranya memang apa yang terjadi
Mesir pada abad 19 adalah revolusi dan modernisasi suatu bangsa.
50
51
Lihat Revolusi dalam Wikipedia, di akses 30 Oktober 2015 pukul 14.30 WIB.
Piotr Sztompka, Sosiologi Perubahan Sosial, hlm. 367.
25
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Revolusi dan modernisasi di Mesir dimulai dari kedatangan Napoleon Bonaparte,
dengan tujuan awal untuk menguasai Mesir dan menguasai jalur perdagangan dari Timur
ke Barat. Walaupun gagal dan hanya bertahan dalam kurun tiga tahun di Mesir, tetapi
Perancis seakan membuka jalan bagi terjadinya perubahan di Mesir. Di bawah
kepemimpinan Pasha yang baru yaitu Muhammad Ali, Mesir begitu cepat melakukan
perubahan dalam berbagai aspek kehidupan, industri, jalur tranportasi, dan militer
dibangun. Dalam bidang pendidikan banyak putra Mesir dikirim ke Eropa untuk
mempelajari ilmu pengetahuan di sana. Muhammad Ali juga tak segan mengundang pakar
dari Eropa untuk menjadi penasihatnya.
Tak hanya itu pendidikan juga direformasi dengan membangun sekolah-sekolah yang
menggunakan kurikulum Barat. Serta mencoba mengintegrasikan ilmu keIslaman dengan
ilmu pengetahuan Sains, dari hasil perubahannnya di pendidikan ini lahirlah beberapa
cendikiawan yang kelak memajukan bangsa Mesir. Salah satunya Muhammad Abduh
yang melakukan perubahan dalam kurikulum pendidikan Islam di berbagai tingkatan
pendidikan. Mulai dari sekolah dasar sampai dengan perguruan tinggi Islam yaitu AlAzhar. Sebagai rektor beliau melakukan perubahan agar mahasiswa Al-Azhar bisa
bersaing dengan para sarjana Barat. Sehingga lahirlah beberapa fakultas ilmu pengetahuan
umum seperti, teknik, kedokteran dan sebagainya.
Perubahan yang terjadi di Mesir bila ditinjau dari beberapa teori perubahan sosial,
bisa dikatak sebagai revolusi dan modernisasi. Perubahan ini juga berdampak pada
pembaharuan pendidikan khususnya pendidikan Islam di Mesir.
26
DAFTAR PUSTAKA
Al-Jabarti, Abd al-Rahman. Tarikh al-Muddat al-Faransis bi Misr. Netherlands: EJ. Brill,
1975.
Amin, Ahmad. Islam Sepanjang Zaman. Kuala Lumpur: Dewan Bahasa dan Pustaka. 1980..
Aronian, L. A. & Mitchell, R.P .Timur Tengah dan Asia Utara Modern, Terj. M. Redzuan
Othman. Kuala Lumpur: Dewan Bahasa dan Pustaka. 1991.
Bosworth, C.E.. The Islamic Dynasties. Terj. Ilyas Hasan. Bandung :Mizan. 1993.
Esposito, John L. Identitas Islam: Pada Perubahan Sosial Politik. Jakarta: Bulan Bintang.
1986.
______________. Ensiklopedi Oxford; Dunia Islam Modern. jilid. IV. Bandung: Mizan.
2001.
______________. Dunia Islam Modern. Terj, Eva Y.N. Bandung: Mizan. 2001.
Fauzan, Suwitom (ed). Sejarah Sosial Pendidikan Islam. Jakarta: Prenada Media. 2005.
Goldschimdt. Modern Egypt The Formation of Nation State. Cairo: The American University
Press, 1990.
Handayani, Yuli Emma. Muhammad Ali Pasha dan Al-Azhar; Kajian Tentang: Pengaruh
Pembaharuan di Mesir terhadap Modernisasi Pendidikan Al-Azhar, Skripsi, Jakarta:
UIN Syarif Hidayatullah, 2011.
Hasan, Ibrahim. Islamic History an Culture, From 632-1968, Terj. Jahdan Humam.
Yogyakarta: Kota Kembang. 1989.
Hitti, Phillip K. History of The Arabs. Terj. Cecep Lukman dan Dedi Slamet. Jakarta:
Serambi Ilmu Semesta. 2006.
Jalaluddin, Rahmat. Rekayasa Sosial Reformasi, Revolusi atau Manusia Besar. Bandung:
PT Remaja Rosda Karya. 2000.
Joseph S. Szyliowics, Education end Modernization in Middle East, Terj. Murwinanti W.
Surabaya: Al-Ikhlas 2001.
Kedutaan Besar RI Bidang Pendidikan dan Kebudayaan, Pendidikan Islam di Mesir Pada
sekolah Dasar dan Perguruan Tinggi. Buku III. Kairo:KBRI. 1984.
Lapidus , Ira M.. Sejarah Sosial Ummat Islam, Vol. III. Jakarta: Raja Grafindo Persada. 1999.
Lewis, Bernard. The Arabs in History. Terj. Said Jamhuri. Jakarta: Pedoman Ilmu Jaya. 1988.
Manan, M. Sholehan dan Ami, Hasanudin. Pengantar perkembangan Pemikiran Muslim.
Surabaya: Sinar Wijaya. 1988
Mujani,Wan Kamal. The Impact Of French Occupation on Egypt (1798-1801): A
Reassesment, Akademika, 23 Mei 2010, hlm. 89.
Nasution, Harun. Islam di Tinjau dari Berbagai Aspeknya. Jakarta: Bulan Bintang. 1974.
27
28