Hakikat Pendidikan, Pembelajaran Dan Sistem
Hakikat Pendidikan, Pembelajaran Dan Sistem
Hakikat Pendidikan, Pembelajaran Dan Sistem
PEMBAHASAN
A. PENDIDIKAN DALAM UUD 1945 Pembukaan UUD Negara Republic Indonesia Tahun 1945 menyatakan bahwa tujuan nasional adalah untuk melindungi segenap bangsa dan seluruh tumpah darah Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia berdasarkan kemerdekaan , perdamaian abadi, dan keadilan social. Untuk mewujudkan tujuan nasional tersebut, pendidikan merupakan factor yang sangat menentukan. Selanjutnya, pasal 31 UU RI Tahun 1945 mengamanatkan bahwa 1. Setiap warga Negara berhak mendapat pendidikan 2. Setiap warga Negara wajib mengikuti pendidikan dasar dan pemerintah wajib membiayainya 3. Pemerintah mengusahakan dan menyelenggarakan satu system pendidikan nasional, yang meningkatkan keimanan dan ketakwaan serta akhlak mulia dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, yang diatur dengan UU. 4. Negara memprioritaskan anggaran pendidikan sekurang-kurangnya 20% dari anggaran pendapatan dan belanja Negara serta dari anggaran pendapatan dan belanja daerah untuk memenuhi kebutuhan penyelenggaraan pendidikan nasional 5. Pemerintah memajukan Ilmu Pengetahuan dan Teknologi dengan menjunjung tinggi nilainilai agama dan persatuan bangsa untuk kemajuan peradaban serta kesejahteraan umat manusia. Salah satu amanat UUD RI Tahun 1945 tersebut kemudian diatur lebih lanjut dalam UU No 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, yang memiliki Visi terwujudnya system pendidikan sebagai pranata social yang kuat dan berwibawa untuk memberdayakan semua warga Negara Indonesia berkembang menjadi manusia yang berkualitas sehingga mampu dan proaktif menjawab tantangan saman yang selalu berubah.
B. PENDIDIKAN DALAM GBHN Dalam rangka peningkatan kulitas mutu pendidikan di Indonesia, berbagai upaya telah dilakukan pemerintah baik dalam bentuk kebijakan maupun inovasi yang dicetuskan. Kebijakankebijakan yang dilakukan pemerintah antara lain: 1. Mengupayakan perluasan dan pemerataan kesempatan memperoleh pendidikan yang bermutu tinggi bagi seluruh rakyat Indonesia menuju terciptanya manusia Indonesia berkualitas tinggi dengan peningkatan anggaran pendidikan secara berarti. 2. Meningkatkan kemampuan akademik dan profesional serta meningkatkan jaminan kesejahteraan tenaga kependidikan sehingga tenaga pendidik mampu berfungsi secara optimal terutama dalam peningkatan pendidikan watak dan budi pekerti agar dapat mengembalikan wibawa lembaga dan tenaga kependidikan. 3. Melakukan pembaruan sistem pendidikan termasuk pembaruan kurikulum, berupa diversifikasi kurikulum untuk melayani keragaman peserta didik, penyusunan kurikulum yang berlaku nasional dan local sesuai dengan kepentingan setempat, serta diversifikasi jenis pendidikan secara profesional 4. Memberdayakan lembaga pendidikan baik sekolah maupun luar sekolah sebagai pusat pembudayaan nilai, sikap, dan kemampuan, serta meningkatkan partisipasi keluarga dan masyarakat yang didukung oleh sarana dan prasarana yang memadai. 5. Melakukan pembaruan dan pemantapan system pendidikan nasional berdasarkan prinsip desentralisasi, otonomi keilmuan, dan manajemen. 6. Meningkatkan kualitas lembaga pendidikan yang diselenggarakan baik oleh masyarakat maupun pemerintah untuk memantapkan system pendidikan yang efektif dan efisien dalam menghadapi perkembangan ilmu pengetahuan, teknologi dan seni. 7. Mengembangkan kualitas sumber daya manusia sedini mungkin secara terarah, terpadu, dan menyeluruh melalui berbagai upaya proaktif dan reaktif oleh seluruh komponen bangsa agar generasi muda dapat berkembang secara optimal disertai dengan hak dukungan dan lindungan sesuai dengan potensinya.
C. PENDIDIKAN DALAM STANDAR NASIONAL PENDIDKAN (SNP) Bab I KETENTUAN UMUM Pasal 1 Dalam undang-undang SNP yang dimaksud dengan: 1. Pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri kepribadian kecerdasan, akhlak mulia, serta keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa dan negara. 2. Pendidikan nasional adalah pendidikan yang berdasarkan pancasila dan UUD 1945 yang berakar pada nilai nilai agama, kebudayaan nasional Indonesia dan tanggap terhadap tuntutan perubahan saman. 3. Sistem pendidikan nasional adalah keseluruhan komponen pendidikan yang saling terkait secara terpadu untuk mencapai tujuan pendidikan nasional. 4. Peserta didik adalah anggota masyarakat yang berusaha mengembangkan potensi diri melalui proses pembelajaran yang tersedia pada jalur, jenjang, dan jenis pendidikan tertentu. 5. Tenaga kependidikan adalah anggota masyarakat yang mengabdikan diri dan diangkat untuk menunjang penyelenggaraan pendidikan. 6. Pendidik adalah tenaga kependidikan yang berkualifikasi sebagai guru, dosen, konselor, pamong belajar, widyaiswara, tutor, instruktur, fasilitator dan sebutan lain yang sesuai dengan kekhususannya, serta berpartisipasi dalam menyelenggarakan pendidikan. 7. Jalur pendidikan adalah wahana yang dilalui peserta didik untuk mengembangkan potensi diri dalam suatu proses pendidikan yang sesuai dengan tujuan pendidikan. 8. Jenjang pendidikan adalah tahapan pendidikan yang ditetapkan berdasarkan tingkat perkembangan peserta didik, tujuan yang akan dicapai, dan kemampuan yang dikembangkan. 9. Jenis pendidikan adalah kelompok yang didasarkan pada kekhususan tujuan pendidikan suatu satuan pendidikan.
10. Satuan pendidikan adalah kelompok layanan pendidikan yang menyelenggarakan pendidikan pada jalur formal, nonformal, dan informal pada setiap jenjang dan jenis pendidikan. 11. Pendidikan formal adalah jalur pendidikan yang terstruktur dan berjenjang yang terdiri atas pendidikan dasar, pendidikan menengah, dan pendidikan tinggi. 12. Pendidikan nonformal adalah jalur pendidikan diluar pendidikan formal yang dapat dilaksanakan secara terstruktur dan berjenjang 13. Pendidikan informal adalah jalur pendidikan keluarga dan lingkungan. 14. Pendidikan anak usia dini adalah suatu upaya pembinaan yang ditujukan kepada anak sejak lahir sampai dengan usia 6 tahun yng dilakukan melalui pemberian rangsangan pendidikan untuk membantu pertumbuhan dan perkembangan jasmani dan rohani agar anak memiliki kesiapan dalam memasuki pendidikan lebih lanjut. 15. Pendidikan jarak jauh adalah pendidikan yang peserta didiknya terpisah dari pendidik dan pembelajarannya mengunakan berbagai sumber belajar melalui teknologi komunikasi, informasi, dan media lain 16. Pendidikan berbasis manyarakat adalah penyelenggaraan pendidikan berdasarkan kekhasan agama, social, budaya, aspirasi, dan potensi masyarakat sebagai perwujudan pendidikan dari, oleh, dan untuk masyarakat. 17. Standar nasional pendidikan adalah kriteria minimal tentang system pendidikan diseluruh wilayah hukum Negara Kesatuan RI. 18. Wajib belajar adalah program pendidikan minimal yang harus diikuti oleh warga Negara Indonesia atas tanggung jawab pemerintah dan pemerintah daerah. 19. Kurikulum adalah seperangkat rencana dan pengaturan mengenai tujuan, isi, dan bahan pelajaran serta cara yang digunakan sebagai pedoman penyelengaraan kegiatan pembelajaran untuk mencapai tujuan pendidikan tertentu. 20. Pembelajaran adalah proses interaksi peserta didik dengan pendidik dan sumber belajar pada suatu lingkungan belajar 21. Evaluasi pendidikan adalah kegiatan pengendalian, penjaminan, dan penetapan mutu pendidikan terhadap berbagai komponen pendidikan pada setiap jalur, jenjang, dan jenis pendidikan sebagai bentuk pertanggung jawaban penyelengaraan pendidikan. 22. Akreditasi adalah kegiatan penilaian kelayakan program dalam satuan pendidikan berdasarkan kriteria yang telah ditetapkan. 23. Sumber daya pendidikan adalah segala sesuatu yng dipergunakan dalam penyelenggaraan pendidikan yang meliputi tenaga kependidikan, masyarakat, dana, sarana dan prasarana.
24. Dewan pendidikan adalah lembaga mandiri yang beranggotakan berbagai unsur masyarakat yang peduli pendidikan. 25. Komite sekolah/ madrasah adalah lembaga mandiri yang beranggotakan orang tua/ wali peserta didik, komunitas sekolah, serta tokoh masyarakat yang peduli pendidikan. 26. Warga Negara adalah warga Negara Indonesia baik yang tinggal di wilayah Negara kesatuan republic Indonesia maupun di luar wilaya Negara kesatuan republik Indonesia. 27. Masyarakat adalah kelompok warga Negara Indonesia Non-pemerintah yang mempunyai perhatian dan peranan dalam bidang pendidikan. 28. Pemerintah adalah pemerintah pusat. 29. Pemerintah daerah adalah pemerintah provinsi, pemerintah kabupaten atau pemerintah kota 30. Menteri adalah menteri yang bertanggung jawab dalam bidang pendidikan nasional.
Bab II DASAR, FUNGSI DAN TUJUAN Pasal 2 Pendidikan nasional berdasarkan pancasila dan UUD Negara Republik Indonesi Tahun 1945. Pasal 3 Pendidikan nasional berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabad dalam rangka mencerdaskan kehdupan bangsa bertujuan untuk berkembangnya potensi peseta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga Negara yang demokratis serta bertanggung jawab.
Bab III PRINSIP PENYELENGARAAN PENDIDIKAN Pasal 4 1. Pendidikan diselenggarakan secara demokratis dan berkeadilan serta tidak diskriminatif dengan menjunjung tinggi hak asasi manusia, nilai keagamaan, nilai cultural, dan kemajemukan bangsa.
2. Pendidikan diselenggarakan sebagai satu kesatuan yang sistematik dengan system terbuka dan multi makna. 3. Pendidikan diselengarakan sebagai suatu proses pembudayaan dan pemberdayaan peserta didik yang berlangsung sepanjang hayat. 4. Pendidikan diselenggarakan dengan memberi keteladanan, membangun kemauan, dan mengembangkan kretifitas peserta didik dalam proses pembelajaran 5. Pendidikan diselenggarakan dengan mengembangkan budaya membaca, menulis, dan berhitung bagi segenap warga masyarakat. 6. Pendidikan diselengarakan dengan memberdayakan semua komponen masyarakat melalui peran serta dalam penyelenggaraan dan pengendalian mutu layanan pendidikan.
Bab IV HAK DAN KEWAJIBAN WARGA NEGARA, ORANG TUA, MASYARAKAT, DAN PEMERINTAH Bagian Kesatu Hak dan Kewajiban Warga Negara Pasal 5 1. Setiap warga Negara mempunyai hak yang sama untuk memperoleh pendidikan yang bermutu. 2. Warga Negara yang memiliki kelainan fisik, emosional, mental, intelektual, dan / atau social berhak memperoleh pendidikan khusus. 3. Warga Negara di daerah terpencil atau terbelakang serta masyarakat adat yang terpencil berhak memperoleh pendidikan layanan khusus. 4. Warga Negara yang memiliki potensi kecerdasan dan bakat istimewa berhak memperoleh pendidikan khusus. 5. Tiap warga Negara berhak mendapat kesempatan meningkatkan pendidikan sepanjang hayat. Pasal 6 1. Setiap warga Negara yang berusia 7-15 tahun wajib mengikuti pendidikan dasar.
Bagian Kedua Hak dan Kewajiban Orang Tua Pasal 7 1. Orang tua berhak berperan serta dalam memilih satuan pendidikan dan memperoleh informasi tentang perkembangan pendidikan anaknya. 2. Orang tua dari anak usia wajib belajar, berkewajiban memberikan pendidikan dasar kepada anaknya. Bagian ketiga Hak dan Kewajiban Masyarakat Pasal 8 Masyarakat berhak berperan serta dalam perencanaan, pelaksanaan, pengawasan, dan evaluasi program pendidikan. Pasal 9 Masyarakat berkewajiban memberikan dukungan sumber daya dalam penyelenggaraan pendidikan. Bagian Keempat Hak dan Kewajiban Pemerintah dan Pemerintah Daerah Pasal 10 Pemerintah dan pemerintah daerah berhak mengarahkan, membimbing, membantu, dan mengawasi penyelenggaraan pendidikan sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Pasal 11 1. Pemerintah dan pemerintah daerah wajib memberikan layanan dan kemudahan, serta menjamin terselenggaranya pendidikan yang bermutu bagi setiap warga Negara tanpa diskriminasi. 2. Pemerintah dan pemerintah daerah wajib menjamin tersedianya dana guna terselenggaranya pendidikan bagi setiap warga Negara yang berusia 7 sampai 15 tahun.
Bab V PESERTA DIDIK Pasal 12 1. Setiap peserta didik pada setiap satuan pendidikan berhak: a. mendapatkan pendidikan agama sesuai dengan agama yang dianutnya dan diajarkan oleh pendidik yang seagama b. mendapatkan pelayanan pendidikan sesuai dengan bakat, minat, dan kemampuan c. mendapatkan beasiswa bagi yang berprestasi yang orang tuanya tidak mampu membiayai pendidikan d. mendapatkan biaya pendidikan bagi mereka yang orang tuanya tidak mampu membiayai pendidikan e. pindah ke program pendidikan pada jalur dan satuan pendidikan lain yang setara f. menyelesaikan program pendidikan sesuai dengan kecepatan belajar masing-masing dan tidak menyimpang dari ketentuan batas waktu yang ditetapkan 2. Setiap peserta didik berkewajiban: a. menjaga norma-norma pendidikan untuk menjamin keberlangsungan proses dan keberhasilan pendidikan b. ikut menanggung biaya penyelenggaraan pendidikan kecuali bagi peserta didik yang dibebaskan dari kewajiban tersebut sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku 3. Warga Negara asing dapat menjadi peserta didik pada satuan pendidikan yang diselenggarakan dalam wilayah Negara kesatuan republic Indonesia 4. Ketentuan mengenai hak dan kewajiban peserta didik sebagaimana dimaksud pada ayat 1, ayat 2, dan ayat diatur lebih lanjut dengan peraturan pemerintah.
D. PENDIDIKAN DALAM UNDANG-UNDANG STANDAR PENDIDIKAN NASIONAL Bab I KETENTUAN UMUM Pasal 1 Dalam peraturan pemerintah ini yang dimaksud dengan:
1. 2. 3. 4. 5.
standar nasional pendidikan adalah kriteria minimal tentang system pendidikan diseluruh wilayah hukum Negara kesatuan republic Indonesia pendidikan formal adalah jalur pendidikan yang terstruktur dan berjenjang yang terdiri atas pendidikan dasar, pendidikan menengah, dan pendidikan tinggi pendidikan nonformal adalah jalur pendidikan diluar pendidikan formal yang dapat dilaksanakan secara terstruktur dan berjenjang standar kompetensi lulusan adalah kualifikasi kemampuan lulusan yang mencangkup sikap, pengetahuan, dan keterampilan standar isi adalah ruang lingkup materi dan tingkat kompetensi yang dituangkan dalam kriteria tentang kompetensi tamatan, kompetensi bahan kajian, kompetensi mata pelajaran dan silabus pembelajaran yang harus dipenuhi oleh peserta didik pada jenjang dan jenis pendidikan tertentu.
6. 7. 8.
standar proses adalah standar nasional pendidikan yang berkaitan dengan pelaksanaan penbelajaran pada satu satuan pendidikan untuk mencapai standar kompetensi lulusan. standar pendidik dan tenaga kependidikan adalah kriteria pendidikan prajabatan dan kelayakan fisik maupun mental, serta pendidikan dalam jabatan. standar sarana dan prasarana adalah standar nasional pendidikan yang berkaitan dengan kriteria minimal tentang ruang belajar, tempat berolah raga, tempat beribadah, perpustakaan, laboratorium, bengkel kerja, tempat bermain, tempat berkreasi dan berekreasi, serta sumber belajar lain, yang diperlukan iuntuk menunjang proses pembelajaran, termasuk pengunaan teknologi informasi dan komunikasi.
9.
standar pengelolahan adalah standar nasional pendidikan yang berkaitan dengan perencanaan, pelaksanaan dan pengawasan kegiakan pendidikan pada tingkat satuan pendidikan, kabupaten/kota, provinsi, atau nasional agar tercipta efisiensi dan efektivitas penyelenggaraan pendidikan
10. Standar pembiayaan adalah standar yang mengatur komponen dan besarnya biaya oprasi satuan pendidikan yang berlaku selama satu tahun. 11. standar penilaian pendidikan adalah standar nasional pendidikan yang berkaitan dengan mekanisme, prosedur, dan instrument penilaian hasil belajar peserta didik 12. biaya operasi satuan pendidikan adalah bagian dari dana pendidikan yang diperlukan untuk membiayai kegiatan operasi satuan pendidikan agar dapat berlangsungnya kegiatan pendidikan yang sesuai standar nasional pendidikan secara teratur dan berkelanjutan
13. kurikulum adalah seperangkat rencana dan pengaturan mengenai tujuan, isi, dan bahan pelajaran serta cara yang digunakan sebagai pedoman penyelenggaraan kegiatan pembelajaran untuk mencapai tujuan pendidikan tertentu 14. kerangka dasar kurikulum adalah rambu-rambu yang ditetapkan dalam peraturan pemerintah ini untuk dijadikan pedoman dalam penyusunan kurikulum tingkat satuan pendidikan dan silabusnya pada setiap satuan pendidikan. 15. Kurikulum tingkat satuan pendidikan adalah kurikulum operasional yang disusun oleh dan dilaksanakan di masing-masing satuan pendidikan. 16. peserta didik adalah anggota masyarakat yang berusaha mengembangkan potensi diri melalui proses pembelajaran yang tersedia pada jalur, jenjang, dan jenis pendidikan tertentu 17. penilaian adalah proses pengumpulan dan pengolahan informasi untuk mengukur pencapaian hasil belajar peserta didik 18. evaluasi pendidikan adalah kegiatan pengendalian, penjaminan, dan penetapan mutu pendidikan terhadap berbagai komponen pendidikan pada setiap jalur, jenjang, dan jenis pendidikan sebagai bentuk pertanggungjawaban penyelenggaraan pendidikan 19. ulangan adalah proses yang dilakukan untuk mengukur pencapaian kompetensi peserta didik sebagai pengakuan prestasi belajar dan/atau penyelesaian dari suatu satuan pendidikan 20. ujian adalah kegiatan yang dilakukan untuk mengukur pencapaian kompetensi peserta didik sebagai pengakuan prestasi belajar dan/atau penyelesaian dari suatu satuan pendidikan 21. akreditasi adalah kegiatan penilaian kelayakan program dan/atau satuan pendidikan berdasarkan kriteria yang telah ditetapakan 22. Badan Standar Nasional Pendidikan yang selanjutnya disebut BSNP adalah badan mandiri dan independent yang bertugas mengembangkan, memantau pelaksanaan, dan mengevaluasi standar nasional pendidikan 23. departeman adalah departeman yang bertanggung jawab di bidang pendidikan 24. lembaga penjaminan mutu pendidikan yang selanjutnya disebut LPMP adalah unit pelaksana teknis departemen yang berkedudukan di provinsi dan bertugas untuk membantu pemerintah daerah dalam bentuk supervisi, bimbingan, arahan, saran, dan bantuan teknis kepada satuan pendidikan dasar dan menengah serta pendidikan nonformal, dalam berbagai upaya penjaminan mutu satuan pendidikan untuk mencapai standar nasional pendidikan. 25. badan akreditasi nasional sekolah/ madrasah yang selanjutnya disebut BAN-S/M adalah badan evaluasi mandiri yang menetapkan kelayakan program dan / atau satuan pendidikan
jenjang pendidikan dasar dan menengah jalur formal dengan mengacu pada standar nasional pendidikan. 26. badan akreditasi nasional pendidikan nonformal yang selanjutnya disebut BAN-PNF adalah badan evaluasi mandiri yang menetapkan kelayakan program dan / atau satuan pendidikan jalur pendidikan nonformal dengan mengacu pada standar nasional pendidikan 27. badan akreditasi nasional perguruan tinggi yang selanjutnya disebut BAN-PT adalah badan evaluasi mandiri yang menetapkan kelayakan program dan / atau satuan pendidikan pada jenjang pendidikan tinggi dengan mengacu pada standar nasional pendidikan. 28. menteri adalah Menteri yang menangani urusan pemerintahan di bidang pendidikan
E. PENDIDIKAN DALAM UNDANG-UNDANG GURU DAN DOSEN Dalam meningkatkan kualitas sumber daya manusia menjelang era industri dan teknologi, program-program pendidikan harus dicipta berdasarkan system pendidikan yang fleksibel dan relevan dengan kebutuhan berbagai sektor pembangunan. Untuk itu pemerintah mulai melaksanakan program sertifikasi pendidik paling lama 12 bulan terhitung sejak berlakunya undang-undang guru dan dosen. Guru yang belum memiliki kualifikasi akademik dan sertifikat pendidik wajib memenuhi kualifikasi akademik dan sertifikat pendidikan paling lama 10 tahun sejak berlakunya undang-undang guru dan dosen
F. UNDANG-UNDANG GURU DAN DOSEN Dalam proses pendidikan terdapat 2 komponen utama yaitu pendidik dan anak didik. Pendidik dalam proses pendidikan formal disebut guru. Tanpa guru pendidikan akan berjalan timpang, karena guru merupakan orang kunci dalam proses pelaksanaan pendidikan. Guru sangat berperan penting dalam proses pelaksanaan pendidikan, karena guru mempunyai kedudukan sebagai tenaga profesional pada jenjang pendidikan dasar, menengah, dan pendidikan anak usia dini pada jalur pendidikan formal yang diangkat sesuai dengan peraturan perundang-undangan. Pengakuan kedudukan guru sebagai tenaga profesional dibuktikan dengan sertifikat pendidik. Kedudukan guru sebagai tenaga profesional berfungsi untuk meningkatkan martabat dan peran guru sebagai agen pembelajaran berfungsi untuk meningkatkan mutu pendidikan nasional. Kedudukan guru dan dosen sebagai tenaga profesional bertujuan untuk melaksanakan sistem
pendidikan nasional dan mewujudkan tujuan pendidikan nasional, yaitu berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, serta menjadi warga negara yang demokratis dan bertanggung jawab. Selain mempunyai kedudukan fungsi serta tujuan yang sangat penting dalam proses pelaksanaan pendidikan, guru juga memiliki prinsip-prinsip profesionalitas, antara lain: 1. Profesi guru dan profesi dosen merupakan bidang pekerjaan khusus yang dilaksanakan berdasarkan prinsip sbb: a. memiliki bakat, minat, panggilan jiwa dan idealisme b. memilki komitmen untuk meningkatkan mutu pendidikan, keimanan, ketakwaan, dan akhlak mulia c. memiliki kualifikasi akademik dan latar belakang pendidikan sesuai dengan bidang tugas d. memiliki kompetensi yang diperlukan sesuai dengan bidang tugas e. memiliki tanggung jawab atas pelaksanaan tugas keprofesionalan f. memperoleh penghasilan yang ditentukan sesuai dengan prestasi kerja g. memiliki kesempatan untuk mengembangkan keprofesionalan secara berkelanjutan dengan belajar sepanjang hayat h. memiliki jaminan perlindungan hukum dalam melaksanakan tugas keprofesionalan i. memiliki organisasi profesi yang mempunyai kewenangan mengatur hal-hal yang berkaitan dengan tugas keprofesionalan guru. 2. pemberdayaan profesi guru atau pemberdayaan profesi dosen diselenggarakan melalui pengembangan diri yang dilakukan secara demokratis, berkeadilan, tidak diskriminatif, dan berkelanjutan dengan menjunjung tinggi hak asasi manusia, nilai keagamaan, nilai kultural, kemajemukan bangsa, dan kode etik profesi. Sebagai guru yang profesional, guru wajib memiliki kualifikasi akademik, kompetensi, sertifikat pendidik, sehat jasmani dan rohani serta memiliki kemampuan untuk mewujudkan tujuan pendidikan nasional. Kualifikasi akademik diperoleh melalui pendidikan tinggi program sarjana atau program diploma 4. Kompetensi guru meliputi kompetensi pedagogik , kompetensi kepribadian, kompetensi sosial, dan kompetensi profesional yang diperoleh melalui pendidikan profesi. Sertifikat pendidik diberikan kepada guru yang telah memenuhi persyaratan. Sertifikasi pendidik diselenggarakan oleh perguruan tinggi yang memiliki program pengadaan tenaga kependidikan yang terakreditasi dan ditetapkan oleh pemerintah. Sertifikasi pendidik dilaksanakan secara objetif,
transparan ,dan akuntabel. Setiap orang yang telah memperoleh sertifikat pendidik memiliki kesempatan yang sama untuk di angkat menjadi guru pada satuan pendidikan tertentu BAB I DASAR PENDIDIKAN DALAM KONSEP DAN MAKNA BELAJAR A. Konsep Dasar Pendidikan Pendidikan bagi sebagian besar orang, berarti berusaha membimbing anak untuk menyerupai orang dewasa, sebaliknya bagi Jean Piaget (1896) pendidikan berarti menghasilkan, mencipta, sekalipun tidak banyak, sekalipun suatu penciptaan dibatasi oleh pembandingan dengan penciptaan yang lain. Menurut Jean Piaget pendidikan sebagai penghubung dua sisi, disatu sisi individu yang sedang tumbuh dan disisi lain nilai sosial, intelektual, dan moral yang menjadi tanggung jawab pendidik untuk mendorong individu tersebut. Individu berkembang sejak lahir dan terus berkembang, perkembangan ini bersifat kausal. Namun terdapat komponen normatif, juga karena pendidik menuntut nilai. Nilai ini adalah norma yang berfungsi sebagai penunjuk dalam mengidentifikasi apa yang diwajibkan, diperbolehkan, dan dilarang. Jadi, pendidikan adalah hubungan normatif antara individu dan nilai. Pandangan tersebut memberi makna bahwa pendidikan adalah segala situasi hidup yang mempengaruhi pertumbuhan individu sebagai pengalaman belajar yang berlangsung dalam segala lingkungan dan sepanjang hidup. Dalam arti sempit pendidikan adalah pengajaran yang diselenggarakan umumnya di sekolah sebagai lembaga pendidikan formal. Sedangkan para ahli psikologi memandang pendidikan adalah pengaruh orang dewasa terhadap anak yang belum dewasa agar mempunyai kemampuan yang sempurna dan kesadaran penuh terhadap hubungan-hubungan dan tugas-tugas sosialnya dalam bermasyarakat. Ilmu pendidikan disebut juga pedagogik, yang merupakan terjemahan dan bahasa Inggris yaitu pedagogics. Pedagogics sendiri berasal dan bahasa Yunani yaitu pals yang artinya anak, dan again yang artinya membimbing. Poerbakwatja dan Harahap (1982:254) mengemukakan pedagogik mempunyai dua arti yaitu: (1) peraktek, cara seseorang mengajar; dan (2) ilmu pengetahuan mengenai prinsip-prinsip dan metode mengajar, membimbing, dan mengawasi pelajaran yang disebut juga pendidikan. Dan pengertian itu dapat dipahami bahwa pendidikan mengandung pengertian bimbingan yang diberikan kepada anak yaitu bimbingan tentang suatu mata pelajaran yang diberikan oleh guru pada peserta didik secara formal. Orang yang memberikan bimbingan kepada anak disebut pembimbing atau pedagog, dalam perkembangannya, istilah pendidikan (pedagogy) berarti bimbingan atau pertolongan yang diberikan
kepada anak oleh orang dewasa secara sadar dan bertanggung jawab. Bimbingan dan pertolongan ini, baik mengenai aspek jasmaniahnya maupun aspek rohaniahnya menuju ke tingkat kedewasaan anak. Jika anak telah mencapai dewasa dalam anti jasmaniah dan rohaniah, maka berarti pendidikan itu telah selesai. Dalam dunia pendidikan kemudian tumbuh konsep pendidikan seumur hidup (4feiong education), yang berarti pendidikan berlangsung sampai mati, yaitu pendidikan berlangsung seumur hidup dalam setiap saat selama ada pengaruh lingkungan. Maka, pengertian pendidikan menjadi semakin luas, yang berarti setelah anak dewasa tetap masih dalam proses pendidikan. Akan tetapi sifat pendidikannya berbeda dengan sebelum mencapai kedewasaan. Batasan pendidikan yang dibuat para ahli tampak begitu beraneka ragam, dan kandungannya juga berbeda antara yang satu dengan yang lain. Perbedaan tersebut amat dipengaruhi oleh orientasi dan konsep dasar yang dipergunakan oleh para ahli tersebut sebagai aspek yang menjadi tekanan dan falsafah yang melandasinya. Untuk memberi pemahaman akan batasan pendidikan berikut ini di kemukakan sejumlah batasan pendidikan yang di kemukakan para ahli yaitu: 1. Pendidikan ialah proses pengubahan sikap dan tata laku seseorang atau kelompok orang dalam usaha mendewasakan manusia melalui upaya pengajaran dan pelatihan (Kainus Besan Bahasa Indonesia, 1991). 2. Dalam pengertian yang sempit pendidikan berarti perbuatan atau proses perbuatan untuk memperoleh pengetahuan (McLeod, 1989). 3. Pendidikan ialah segala pengalaman belajar yang berlangsung dalam segala lingkungan dan sepanjang hidup serta pendidikan dapat diartikan sebagai pengajaran yang diselenggarakan di sekolah sebagai lembaga pendidikan formal (Mudyahardjo, 2001:6). 4. Dalam pengertian yang agak luas pendidikan diartikan sebagai sebuah proses dengan metodemetode tertentu sehingga orang memperoleh pengetahuan, pemahaman, dan cam bertingkah laku yang sesuai dengan kebutuhan (Muhibinsyah, 2003:10). 5. Pendidikan berarti tahapan kegiatan yang bersifat kelembagaan (seperti sekolah dan madrasah) yang dipergunakan untuk menyempurnakan perkembangan individu dalam menguasai pengetahuan, kebiasaan.. sikap, dan sebagainya (Dictionary of Psychology, 1972). 6. Dalam anti luas pendidikan meliputi semua perbuatan dan usaha daii generasi tua untuk mengalihkan pengetahuannya, pengalamannya, kecakapannya, dan keterampilannya kepada generasi muda sebagai usaha menyiapkannya agan dapat memenuhi fungsi hidupnya baik jasmaniah maupun rohaniah. Antinya pendidikan adalah usaha secara sengaja dan orang dewasa untuk dengan pengaruhnya meningkatkan si anak ke kedewasaan yang selalu diartikan mampu
menimbulkan tanggung jawab moril dan segala perbuatannya (Poerbakawatja dan Harahap, 1981). 7. Menurut John Dewey pendidikan merupakan proses pembentukan kemampuan dasar yang fundamental, baik menyangkut daya pikir atau daya intelektual, maupun daya emosional atau perasaan yang diarahkan kepada tabiat manusia dan kepada sesamanya. 8. Pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa dan negara (UUSPN No. 20 tahun 2003). Jadi pendidikan dapat dimaknai sebagai proses mengubah tingkah laku anak didik agar menjadi manusia dewasa yang mampu hidup mandiri dan sebagai anggota masyarakat dalam lingkungan alam sekitar dimana individu itu berada. Pendidikan tidak hanya mencakup pengembangan intelektualitas saja, akan tetapi lebih ditekankan pada proses pembinaan kepribadian anak didik secara menyeluruh sehingga anak menjadi lebih dewasa. Dan uraian dan pengertian pendidikan di atas disimpulkan bahwa pada dasarnya pendidikan adalah usaha manusia (pendidik) untuk dengan penuh tanggung jawab membimbing anak-anak didik menjadi kedewasaan. Dilihat dari sudut proses bahwa pendidikan adalah proses dalam rangka mempengaruhi peserta didik supaya mampu menyesuaikan diri sebaik mungkin dengan lingkungannya dan yang akan menimbulkan perubahan pada dirinya yang memungkinkan sehingga berfungsi sesuai kompetensinya dalam kehidupan masyarakat. Dilihat dan sudut pengertian atau definisi, dengan demikian pendidikan itu ialah usaha sadar yang dilakukan oleh keluarga, masyarakat dan pemerintah melalui kegiatan bimbingan, pengajaran, dan atau latihan yang berlangsung di sekolah dan luar sekolah. Usaha sadar tersebut dilakukan dalam bentuk pembelajaran dimana ada pendidik yang melayani para siswanya melakukan kegiatan belajar, dan pendidik menilai atau mengukur tingkat keberhasilan belajar siswa tersebut dengan prosedur yang ditentukan. 1. Hakikat dan Teori Pendidikan Sebuah teori adalah sebuah sistem konsep-konsep yang terpadu, menerangkan, dan memprediksi. Mudyahardjo (2001:91) menegaskan bahwa sebuah teori berisi konsep-konsep, ada yang berfungsi sebagai: (1) asumsi atau konsep-konsep yang menjadi dasar/titik tolak pemikiran sebuah teori; dan (2) definisi konotatif atau denotatif atau konsep-konsep yang menyatakan makna dan istilah-istilah yang dipergunakan dalam menyusun teori. Sebuah teori pendidikan adalah sebuah sistem konsep-konsep yang terpadu, menerangkan dan prediktif tentang peristiwa-peristiwa
pendidikan. Teori pendidikan ada yang berperan sebagai asumsi atau titik tolak pemikiran pendidikan dan ada yang berperan sebagai definisi menerangkan makna. Asumsi pokok pendidikan adalah: (1) pendidikan adalah aktual, artinya pendidikan bermula dari kondisi-kondisi aktual dan individu yang belajar dan lingkungan belajarnya; (2) pendidikan adalah normatif, artinya pendidikan tertuju pada mencapai hal-hal yang baik atau norma-norma yang baik; dan (3) pendidikan adalah suatu proses pencapaian tujuan, artinya pendidikan berupa serangkaian kegiatan bermula dan kondisi-kondisi aktual dan individu yang belajar, tertuju pada pencapaian individu yang diharapkan. Gambaran pendidikan dilihat dari teori pendidikan secara faktual adalah aktivitas sekelompok orang dan guru yang melaksanakan kegiatan pendidikan untuk orang-orang muda dan secara perspektif memberi petunjuk bahwa pendidikan adalah muatan, arahan, pilihan yang telah ditetapkan sebagai wahana pengembangan masa depan anak didik yang tidak terlepas dan keharusan kontrol manusia. Pemahaman mengenai pendidikan mengacu pada konsep tersebut menggambarkan bahwa pendidikan seperti sifat sasarannya yaitu manusia, mengandung banyak aspek dan sifatnya sangat kompleks. Karena si1tnya yang demikian kompleks itu, maka tidak suatu batasan pun yang cukup memadai untuk menjelaskan anti pendidikan secara lengkap. Pendidikan menurut Charles E. Silberman tidak sama dengan pengajaran, karena pengajaran hanya menitikberatkan pada usaha mengembangkan intelektualitas manusia. Sedangkan pendidikan berusaha mengembangkan seluruh aspek kepribadian dan kemampuan manusia, baik dilihat dan aspek kognitif, apektif, dan psikomotor. Pendidikan mempunyai makna yang lebih luas dan pengajaran, tetapi pengajaran merupakan sarana yang ampuh dalam menyelenggarakan pendidikan. Jadi pengajaran merupakan bagian dan pendidikan, mengacu pada konsep yang lebih luas dan lintas kultural masyarakat Indonesia yang demikian majemuknya, maka usaha sadar memberi makna bahwa pendidikan diselenggarakan berdasarkan rencana yang matang, mantap, jelas, dan lengkap, menyeluruh, rasional, dan obyektif menjadikan peserta didik menjadi warga negara yang baik. Pernyataan secara filosofis apa itu pendidikan harus diangkat pada level konsep yang tinggi, sehingga terlepas dan pengertian yang hanya melihat pendidikan sebagai kegiatan belajar mengajar saja dan suatu usaha membantu orang lain menjadi manusia terdidik, dan ini muncul sebagai fenomena sosial. Secara prinsip pernyataan filosofis harus memberi identitas pada pendidikan yang berbeda dengan yang lain bersifat cross culture. Artinya bahwa kita melihat pendidikan itu dengan konsep yang lebih luas dan lintas kukural yang memandang manusia sebagai bagian dan masyarakat sosial yang secara akumulatif mempengaruhi proses pendidikan. Ada berbagai rumusan yang di kemukakan untuk memahami apa itu pendidikan, di antaranya ada yang melihat dan berbagai sudut pandang keilmuan tertentu seperti pandangan:
1. Sosiologik memandang pendidikan dan aspek sosial, yaitu mengartikan pendidikan sebagai usaha pewarisan dan generasi ke generasi. Pandangan tradisi sosial selama mi melihat bahwa pendidikan itu bertujuan agar orang lain menjadi terdidik, dan untuk menjadi terdidik mereka harus belajar. Ini terkait dengan persoalan pengajaran dan pendidikan yang memang berbeda sebab pengajaran juga bisa dilakukan pada binatang. Sebagai sistem sosial, pendidikan merupakan sistem terbuka, yang oleh Katz dan Kakn, dibataskan sebagai sistem yang memperoleh masukan dan lingkungan. 2. Antrophologik memandang pendidikan adalah enkulturasi yaitu proses pemindahan budaya dan generasi ke generasi. Jadi antrophologik memandang pendidikan dan aspek budaya, yaitu mengartikan pendidikan sebagai usaha pemindahan pengetahuan dan nilai-nilai kepada generasi berikutnya. 3. Psikologik memandang pendidikan dan aspek tingkah laku individu, yaitu mengartikan pendidikan sebagai perkembangan kapasitas individu secara optimal. Pendidikan sebagai suatu sistem adalah suatu keseluruhan karya insani yang terbentuk dan bagian-bagian yang mempunyai hubungan fungsional dalam membantu terjadinya proses transformasi atau perubahan tingkah laku seseorang sehingga mencapai kualitas hidup yang diharapkan. Psikologi menurut Woodward dan Marquis (1955:3) adalah studi tentang kegiatan-kegiatan atau tingkah laku individu dalam keseluruhan ruang hidupnya. Konsep-konsep psikologi tentang individu menjadi dasar pelaksanaan proses kegiatan belajar mengajar. 4. Ekonomi, yaitu memandang pendidikan sebagai usaha penanaman modal insani (human capital) yang dapat meningkatkan pertumbuhan ekonomi suatu bangsa. Winardi (1989:177) menegaskan bahwa ekonomika adalah studi tentang upaya manusia memperoleh kemakmuran materiil. manusia. Konsep ekonomi menjadi dasar atau landasan pendidikan, karena itu kondisi ekonomi mempengaruhi kemampuan dan kegiatan pendidikan 5. Politik yang melihat pendidikan adalah proses menjadi warga negara yang diharapkan (civilisasi) sebagai usaha pembinaan kader bangsa yang tangguh. Konsep politik menjadi dasar penyelenggaraan sistem pendidikan makro nasional. Oleh karena itu pendidikan bagi warga negara mempunyai kedudukan dan peranan yang penting bagi suatu bangsa dalam membangun bangsa. Sebagaimana telah diketahui bahwa politik melibatkan aktivitas dan hubungan kelompokkelompok yang berpengaruh terhadap keputusan pemerintahan. Karena itu politik dimaknai sebagai pembentukan dan aksi-aksi koalisi (kelompok-kelompok) yang bertujuan untuk mempengaruhi nilai (tujuan) yang mana yang akan diimplementasikan pemerintah.
Pendidikan selalu dapat dibedakan menjadi teori dan praktek, teori pendidikan adalah pengetahuan tentang makna dan bagaimana seyogianya pendidikan itu dilaksanakan, sedangkan praktek adalah tentang pelaksanaan pendidikan secara konkretnya. Teori dan praktek itu seyogianya tidak dipisahkan, siapa yang berkecimpung di bidang pendidikan sebaiknya menguasai kedua hal itu. Pengajaran dalam kenyataannya akan dapat mencapai sasaran bila dilandasi teori tertentu. Pengajaran itu pada hakekatnya proses komunikasi, maka perlu dikuasai teori komunikasi yang relevan. Komunikasi berarti menyampaikan sesuatu kepada orang lain, hingga sesuatu tersebut terjadi miliknya. Seorang guru setiap kali mengajar berusaha mengomunikasikan atau menyampaikan dengan metode yang sesuai agar pokok bahasan yang dipilihnya dapat dikuasai menjadi milik siswa. OConnor berpendapat bahwa suatu teori pendidikan perlu memiliki syarat-syarat, seperti logis yaitu memenuhi syarat-syarat untuk berpikir lurus dan benar, deskriptif atau penggambaran berarti dipaparkan secara jelas, dan menjelaskan berarti memberikan penerangan (Bamadib. 1996:9). Teori pendidikan menurut Patte tidak dapat disusun seperti teori dalam ilmu pengetahuan alam. Teori pendidikan disusun sebagai latar belakang yang hakiki dan sebagai rasional dan praktek pendidikan serta pada dasarnya bersifat direktif. Disusun sedemikian rupa dengan maksud untuk menemukan sejumlah penemuan dalam praktek. Istilah direktif memberi makna bahwa pendidikan itu mengarah pada tujuan yang pada hakekatnya untuk mencapai kesejahteraan bagi subjek didik. Oleh karena pendidikan mempunyai objek materi manusia, maka nilai-nilai yang berkenaan dengan kemanusiaan menjadi muatan dalam teori pendidikan. Dalam teori pendidikan tentu menjadi pertimbangan penting pengertian dasar tentang manusia seperti materialis-spiritual yaitu terbentuknya aku, historisitas adalah pertumbuhan dan perkembangan individu secara kontinu dengan memperhatikan latar belakang keadaan sekarang dan masa yang akan datang, sosialitas, etis yaitu terbentuknya keterkaitan struktur kejiwaan individu dan tata pergaulan dengan nilai-nilai kesusilaan agar dapat dicapai ketentraman dan ketenangan, dan religius yaitu manusia berhadapan dan berhubungan dengan penciptanya yaitu Tuhan seru sekalian alam. Nilai adalah norma yang berfungsi sebagai penunjuk dalam mengidentifikasi apa yang diwajibkan, diperbolehkan, dan dilarang. Dengan adanya keterlibatan norma dan nilai, teori pendidikan mempunyai muatan tanggung jawab moral dan pihak pendidik. Disamping itu, dalam hal tindakan pendidikan, teori pendidikan perlu menggunakan referensi hubungan pribadi dengan pribadi. Anak sebagai sasaran pendidikan adalah subjek pendidikan, anak adalah makhluk yang mempunyai pribadi, bebas. yang dalam berbagai hal mampu menentukan pilihannya sendiri. Oleh karena itu rumusan teori pendidikan harus memperhitungan adanya kebebasan pada makhluk, yaitu manusia itu sendiri. Namun demikian teori
pendidikan menurut Barnadib (1996: 10) harus tetap memiliki kualitas direktif sebagai karya manusia yang normatif. Semula teori pendidikan itu sebagaimana dikatakan D. J. OConnor hanyalah sebagai penghargaan rasa hormat saja. Lebih lanjut OConnor mengatakan bahwa teori pendidikan tidak memiliki keterkaitan logis sebagai suatu rangkaian hipotesis dan gagal membentuk suatu paradigma sebagai suatu teori ilmiah. Keterkaitan logis antara hipotesis akan mampu dicapai dengan pengenalan-pengenalan abstrak dan konsep-konsep teori. Hipotesis individu dibentuk dan teori dan kemudian direduksi dengan prinsip abstrak tinggi sehingga konsep ini berguna. Tetapi ini disangkal oleh Langford yang berpendapat bahwa teori pendidikan tidaklah gagal menjadi suatu teori di dalam bahasa ilmiah, kemudian persoalannya bukanlah gagal atau berhasil menjadi statu teori. Hirst mengatakan bahwa sifat pelaksanaan dan teori pendidikan disuatu sisi itu adalah teori dan barangkali bukan bagian dan pelaksanaan pendidikan. Sebab pendidikan mampu mengarahkan pelaksanaan sekaligus memiliki nilai penghargaan dan itu merupakan kebenaran yang universal. Jadi teori pendidikan yang dihasilkan adalah universal dan mampu menggiring pelaksanaan pendidikan kemana-mana, mi tidak terkait pada pendidikan dalam konteks tradisional tetapi didesain untuk pengajaran konteks tradisional. Kemudian ditegaskan kembali bahwa pendidikan dapat dimaknai sebagai proses mengubah tingkah laku anak didik agar menjadi manusia dewasa yang mampu hidup mandiri dan sebagai anggota masyarakat dalam lingkungan alam sekitar dimana individu itu berada. Artinya pendidikan adalah usaha sadar untuk menyiapkan peserta didik melalui kegiatan bimbingan, pengajaran, dan latihan baik yang dilaksanakan secara formal di sekolah maupun non-formal di luar sekolah. 2. Hubungan Pendidikan dengan Pengajaran Pertanyaan pokok dalam philosofi pendidikan ada dua; pertama, apa itu profesi dan yangkedua apa kekhususan pengajaran sebagai suatu profesi. Pernyataan berikutnya adalah Apa itu pendidikan? Sebagaimana sering didengungkan bahwa hal mi merupakan suatu pertanyaan yang lebih mengisolasikan antara pertimbangan individu sebagai partisan terhadap pertanyaan pertimbangan kegiatan pengajaran sebagai suatu kelompok sosial. Kosekuensi dan pertanyaan Apa itu pendidikan dan Apa itu pengajaran adalah apakah pertanyaan itu berusaha memisahkan atau penggabungan pendidikan dan pengajaran menjadi suatu kesatuan. Boleh saja pertanyaan itu diajukan sebagaimana ditemukan kenyataan bahwa ada keterkaitan antara pendidikan dan pengajaran, tetapi tidaklah begitu penting merujuk pendidikan sebagai bagian dan definisi pengajaran. Pada dasarnya mengajar adalah membantu (mencoba membantu) seseorang untuk mempelajari sesuatu dan apa yang dibutuhkan dalam belajar itu tidak ada
kontribusinya terhadap pendidikan orang yang belajar. Misalnya: orang mengajari anjingnya untuk berjalan dengan tumitnya, mengajari temannya bermain gasing atau mengajari anaknya merangkai bunga membentuk rantai tanpa memikirkan kontribusinya pada pendidikan mereka. Artinya mengajar pada hakekatnya suatu proses, yakni proses mengatur, mengorganisasi lingkungan yang ada disekitar siswa sehingga menumbuhkan dan mendorong siswa belajar. Jawaban terhadap pertanyaan apa itu pendidikan, hanya muncul dalam kesepakatan terhadap kegiatan profesional pengajar itu dan tidak diperoleh dan sifat kegiatan yang bersifat abstrak. Produk yang ingin dihasilkan melalui proses pendidikan adalah output yang memiliki kemampuan melaksanakan perannya dimasa yang akan datang. - Hal mi akan dapat terwujud jika dilakukan melalui proses pengajaran dengan strategi pelaksanaan melalui: (1) bimbingan yaitu pemberian bantuan, arahan. motivasi, nasihat dan penyuluhan agar siswa mampu mengatasi, memecahkan dan menanggulangi masalahnya sendiri; (2) pengajaran yaitu bentuk kegiatan dimana terjamin hubungan interaksi dalam proses belajar dan mengajar antara tenaga kependidikan dan peserta didik; dan (3) pelatihan yaitu sama dengan pengajaran khususnya untuk mengembangkan keterampilan tertentu. Merekat boleh melakukan atau tidak, tetapi walaupun mereka melakukan itu menurut Langford (1978) sangat tergantung dengan sejauh mana pertimbangan untuk mengatakan bahwa mereka sedang mengajar untuk suatu pendidikan. Jika kesimpulan itu diterima seterusnya tidak perlu mengatakan bahwa ada keterkaitan antara pendidikan dan pengajaran. Merujuk pada definisi di atas bahwa guru tidak perlu memikirkan bahwa belajar itu sangat erat kaitannya dengan pendidikan anak didik. Tidak disangkal bahwa pendidikan memiliki sedikit hubungan dengan pengajaran. Menurut Langford (1978) yang penting hubungan yang relevan bukanlah antara pengajaran dengan pendidikan tetapi antara pengajaran sebagai suatu profesi dengan pendidikan. Oleh sebab itu, bahwa belajar dimana guru sebagai kelompok profesi pengajaran dicoba mengarahkan dan mendiskusikan peran pentingnya dalam pendidikan. Gambaran umum tentang jenis kurikulum yang disiapkan untuk pendidikan guru menurut Donald R. Cruickshank terdiri atas dua jenis utama, yaitu: (1) pendidikan umum (general education) berisikan pengetahuan, nilai serta norma, yang diasumsikan berguna bagi tiap orang, baik untuk pembentukan kepribadian maupun untuk pemberian bekal wawasan yang luas. Pengetahuan yang dikembangkan sebagai dasar, pada awalnya ialah yang dikenal sejak dahulu sebagi tujuh kesenian bebas (seven liberal arts) terdiri atas logika, gramatika, retorika, aritmetika, geometri, astronomi, dan musik. Komponen-komponen itu pada umumnya tidak lagi asli seperti digambarkan diatas, ada tambahan dan perubahan di sana sini, namun tetap menggunakan pengelompokan yang sama. Tambahannya
adalah tentang bidang studi seperti psikologi, sosiologi, ilmu alamiah dasar, dan bahasa-bahasa asing modern; dan (2) pendidikan profesional (professional education) pendidikan profesional mengandung arti pendidikan untuk profesi. Istilah yang menunjuk hal yang sama yang lazim digunakan untuk pendidikan guru diantaranya pedagogik (pedagogy) dan ilmu mengajar (the science of teaching). Guru dipandang sebagai seorang profesional karena memiliki pengetahuan yang memang hanya dapat dikuasai dengan pendidikan tertentu, mampu secara mandiri mengambil keputusan, dan mempunyai prestise tertentu dalam masyarakat (Bernadib, 1996:60). Berkaitan dengan komponenkomponen pendidikan itu, guru menyampaikan sebagian nilai lebih banyak daripada nilai lainnya, dan mengajukan sebagian pertanyaan yang lebih sulit daripada pertanyaan lainnya. 3. Fungsi Pendidikan Ajaran bahwa proses mental harus dianggap sebagai sebagian fungsi atau aktivitas dan organisme dalam penyesuaiannya dengan lingkungan. Prosesnya adalah proses biologis dan merupakan dasar psikologis untuk pragmatisme dan instrumentalisme dalam filsafat. Suatu pengertian yang menyatakan bahwa fungsi dan suatu organisme menentukan strukturnya dan bukan sebaliknya. Dalam bidang pendidikan fungsionalisme ini menurut Poerbakawatja dan Harahap (1982:115) adalah suatu usaha untuk menentukan struktur dan pendidikan atas dasar fungsi-fungsi hidup di dalam masa sekarang dan masa depan. Fungsi-fungsi itu dikenal sebagai kebutuhan-kebutuhan dan tugas-tugas perkembangan dan disimpulkan dalam dua sumber yaitu: (1) pengalaman dan si anak plus suatu konsepsi tentang perannya di dalam hidupnya; dan (2) kebudayaan. Fungsi pendidikan adalah menghilangkan segala sumber penderitaan rakyat dan kebodohan dan ketertinggalan. Diasumsikan bahwa orang yang berpendidikan akan terhindar dan kebodohan dan juga kemiskinan. karena dengan modal ilmu pengetahuan dan keterampilan yang diperolehnya melalui proses pendidikan ia mampu mengatasi berbagai problema kehidupan yang dihadapinya. Kemampuan dan keterampilan yang dimiliki seseorang tentu sesuai tingkat pendidikan yang diikutinya, semakin tinggi pendidikan seseorang, maka diasumsikan semakin tinggi pula pengetahuan, keterampilan, dan kemampuannya. Hal ini menggambarkan bahwa fungsi pendidikan dapat meningkatkan kesejahteraan, karena orang yang berpendidikan dapat terhindar dan kebodohan maupun kemiskinan. Dengan demikian dapat ditegaskan bahwa fungsi pendidikan adalah membimbing anak ke arah suatu tujuan yang kita nilai tinggi. Pendidikan yang baik adalah usaha yang berhasil membawa semua anak didik kepada tujuan itu. Apa yang diajarkan hendaknya dipahami sepenuhnya oleh semua anak. UUSPN No. 20 tahun 2003 menyatakan bahwa pendidikan nasional berfungsi mengembangkan kemampuan dan
membentuk watak serta peradaban bangsa ,yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa. Pendidikan ada akhirnya harus diajukan pada upaya mewujudkan sebuah masyarakat yang ditandai adanya keluhuran budi dalam diri individu, keadilan dalam negara, dan sebuah kehidupan yang lebih bahagia dan saleh dan setiap individunya. B. Konsep dan Makna Belajar 1. Konsep Belajar Belajar merupakan komponen ilmu pendidikan yang berkenaan dengan tujuan dan bahan acuan interaksi, baik yang bersifat eksplisit maupun implisit (tersembunyi). Teori-teori yang dikembangkan dalam komponen mi meliputi antara lain teori tentang tujuan pendidikan, organisasi kurikulum, isi kurikulum, dan modul-modul pengembangan kurikulum. Kegiatan atau tingkah laku belajar terdiri dan kegiatan psikhis dan fisis yang saling bekerja sama secara terpadu dan komprehensif integral. Sejalan dengan itu, belajar dapat sebagai berusaha atau berlatih supaya mendapat suatu implementasinya, belajar adalah kegiatan individu memperoleh pengetahuan, perilaku dan keterampilan dengan cara mengolah bahan ajar. Para ahli psikologi dan guru-guru pada umumnya memandang belajar kelakuan yang berubah, pandangan ini memisahkan pengertian Yang tegas antara pengertian proses belajar dengan kegiatan yang semata-mata sifat hafalan. Mempelajari dalam arti memahami fakta-fakta sama sekali berlainan dengan menghafalkan fakta-fakta. Suatu program pengajar seharusnya memungkinkan terciptanya suatu lingkungan yang memberi peluang untuk berlangsungnya proses belajar yang efektif. Oleh karena itu menurut Staton (1978:9) seharusnya keberhasilan suatu program pengajaran diukur berdasarkan tingkatan perbedaan cam berfikir, merasa dan berbuat sebelum dan sesudah memperoleh pengalaman-pengalaman belajar dalam menghadapi situasi yang serupa. Dengan kata lain, bila suatu kegiatan belaj telah berhasil, maka seharusnya berubah pulalah cara-cara pendekatan pelajar yang bersangkutan dalam menghadapi tugas-tugas selanjutnya. Untuk menangkap isi dan pesan belajar, maka dalam belajar tersebut individu menggunakan kemampuan pada ranah-ranah: (1) kognitif yaitu kemampuan yang berkenaan dengan pengetahuan, pena1ara atau pikiran terdiri dan kategori pengetahuan, pemahaman, penerapan, ana1y sintesis dan evaluasi; (2) afektif yaitu kemampuan yang mengutamakan Prasaan, emosi, dan reaksi-reaksi yang berbeda dengan penalaran yang terjadi penerimaan, partisipasi, penilaian/penentuan sikap, 01ganisasi, dan pembentukan pola hidup; dan (3) psikomotorik yaitu kemauan yang mengutamakan keterampilan jasmani terdiri dan persepsi, gerakan terbimbing, gerakan terbiasa, gerakan kompleks,
penyesuaian pada gerakan, dan kreatifitas. Orang dapat mengamati tingkah laku orang telah belajar setelah membandingkan sebelum belajar. Akibat belajar dan ketiga ranah mi akan makin bertambah baik. Arthur T. Jersild menyatakan bahwa belajar adalah modificatio of behavior through experience and training yaitu perubahan atau membawa akbat perubahan tingkah laku dalam pendidikan karena pengalaman dan latih atau karena mengalami latihan. Dalam mengalami itu anak belajar terus menerus antara anak didik dengan lingkungannya secara sadar dan sengaja. Belajar sebagai proses akan terarah kepada tercapainya tujuan (goal oriented), dalam aspek ini dapat dilibat dan pihak siswa untuk mencapai sesuatu yang berarti baginya maupun guru sesuai dengan tujuan. Belajar merupakan komponen paling vital dalam setiap usaha penyelenggaraan jenis dan jenjang pendidikan, sehingga tanpa proses belajar sesungguhnya tidak pernah ada pendidikan. Belajar menurut Morgan (1978) adalah setiap perubahan yang relatif menetap dalam tingkah laku yang terjadi sebagai suatu hasil dan latihan atau pengalaman. Belajar merupakan tindakan dan perilaku siswa yang kompleks, sebagai tindakan belajar hanya dialami oleh siswa sendiri. Dimyati dan Mudjiono (1996:7) mengemukakan siswa adalah penentu terjadinya atau tidak terjadinya proses belajar. Berhasil atau gagalnya pencapaian tujuan pendidikan amat tergantung pada proses belajar dan mengajar yang siswa dan pendidik baik ketika pada siswa itu di sekolah maupun di lingkungan keluarganya sendiri. Tiap ahli psikologi memberi batasan yang berbeda tentang belajar, atau terdapat keragaman dalam cara menjelaskan dan mendefinisikan makna belajar (learning). Diantaranya dapat dikemukakan yaitu Hilgard dan Marquis berpendapat bahwa belajar merupakan proses mencari ilmu yang terjadi dalam diri seseorang melalui latihan, pembelajaran, dan sebagainya sehingga terjadi perubahan dalam diri. James L. Mursell mengemukakan belajar adalah upaya yang dilakukan dengan mengalami sendiri, menjelajahi, menelusuri, dan memperoleh sendiri. Menurut Gage (1984) belajar adalah sebagai suatu proses dimana suatu organisma berubah perilakunya sebagai akibat dan pengalaman. Sedangkan Henry E. Garret berpendapat bahwa belajar merupakan proses yang berlangsung dalam jangka waktu lama melalui latihan maupun pengalaman yang membawa kepada perubahan diri dan perubahan cara mereaksi terhadap Suatu perangsang tertentu. Kemudian Lester D. Crow mengemukakan belajar ialah upaya untuk memperoleh kebiasaan-kebiasaan, pengetahuan, dan sikap-sikap. Belajar dikatakan berhasil manakala seseorang mampu mengulangi kembali materi yang telah dipelajarinya, maka belajar Seperti ini disebut rote learning. Kemudian jika yang telah dipelajari itu mampu disampaikan dan diekspresikan dalam bahasa sendini, maka disebut overlearning.
Gagasan yang menyatakan bahwa belajar menyangkut perubahan dalam suatu organisma, berarti belajar juga membutuhkan waktu dan tempat. Belajar disimpulkan terjadi, bila tampak tandatanda bahwa perilaku manusia berubah sebagai akibat terjadinya proses pembelajaran. Perhatian utama dalam belajar adalah perilaku verbal dan manusia, yaitu kemampuan manusia untuk menangkap informasi mengenai ilmu pengetahuan yang diterimanya dalam belajar, untuk lebih memahami pengertian belajar berikut mi dikemukakan secara ringkas pengertian dan makna belajar menurut pandangan para ahli pendidikan dan psikologi. a. Belajar Menurut Pandangan Skinner Belajar menurut pandangan B. F. Skinner (1958) adalah suatu proses adaptasi atau penyesuaian tingkah laku yang berlangsung secara progressif. Belajar juga dipahami sebagai suatu .perilaku, pada saat orang belajar, maka responsnya menjadi lebih baik. Sebaliknya bila ia tidak belajar, maka responsnya menurun. Jadi belajar ialah suatu perubahan dalam kemungkinan atau peluang terjadinya respons. Seorang anak belajar sungguh-sungguh dengan demikian pada waktu ulangan siswa tersebut dapat menjawab semua soal dengan benar. Atas hasil belajarnya yang baik itu dia mendapatkan nilai yang baik, karena mendapatkan nilai yang baik mi, maka anak akan belajar lebih giat lagi. Nilai tersebut dapat merupakan operant conditioning atau penguatan (reinforcement). Mungkin juga terjadi selain diberi nilai baik, anak itu juga oleh guru diberi ganjaran atau pujian. Keduanya yaitu pujian dan ganjaran dapat merupakan operant conditioning yang memiliki banyak bentuk seperti tanda penghargaan, ijazah, medali, piala, beasiswa, dan lain yang semacamnya. Secara tidak sadar, dalam belajar, berusaha, dan bekerja tujuan bukan lagi mengejar prestasi, tetapi mengejar operant conditioning seperti hadiah, medali, dan sebagainya. Tokoh utama operant conditioning ini adalah Skiner yang mengembangkan suatu program pengajaran yang dikenal dengan nama pengajaran berprogram (programmed instruction). Menurut Skiner dalam belajar ditemukan hal-hal berikut: (1) kesempatan terjadinya peristiwa yang menimbulkan respons belajar; (2) respons si pelajar; dan (3) konsekwensi yang bersifat menggunakan respons tersebut, baik konsekwensinya sebagai hadiah maupun teguran atau hukuman. Dalam menerapkan teori Skinner, guru perlu memperhatikan dua hal yang penting yaitu (1) pemilihan stimulus yang diskriminatif dan () penggunaan penguatan. Teori menekankan apakah guru akan meminta respons ranah kognitif atau afektif. Skinner juga memikirkan tingkah laku sebagai hubungan antara perangsang dan respons. Langkah-langkah pembelajaran berdasarkan teori kondisionmg operan menurut Skinner adalah: (1) mempelajari keadaan kelas berkaitan dengan perilaku siswa; (2) membuat daftar penguat positif, (3) memilih dan menentukan urutan tingkah laku
yang dipelajari serta jenis penguatnya; dan (4) membuat program pembelajaran berisi urutan perilaku yang dikehendaki, penguatan, waktu mempelajari perilaku, dan evaluasi. Skinner berpendapat bahwa tujuan psikologi dalam pendidikan adalah normal dan mengontrol tingkah laku dan menganggap reward atau einforcement sebagai faktor terpenting dalam proses belajar. Skinner membagi dua jenis respon dalam proses belajar yakni: (1) respondents response yaitu respon yang terjadi karena stimuli khusus, perangsang-perangsang yang demikian ini mendahului respons yang ditimbulkannya; dan (2) operants conditioning dalam clasical conditioning rnenggambarkan suatu situasi belajar dimana suatu respons dibuat lebih kuat akibat reinforcement langsung yaitu respon yang terjadi karena situasi random. Dalam pengajaran operant onditioning menjamin respon-respon terhadap stimuli. Seorang anak yang belajar telah melakukan perbuatan, dan perbuatannya itu lalu mendapat hadiah, maka ia akan menjadi lebih giat belajar, yaitu respons-nya menjadi lebih intensif dan kuat. Dalam kenyataan, respons jenis pertama sangat terbatas adanya pada manusia. Sebaliknya operant response merupakan bagaimana terbesar dari tingkah laku manusia dan kemungkinan untuk memodifikasinya hampir tidak terbatas. Oleh karena itu Skiner lebih memfokuskan kepada respons atau jenis tingkah laku yang kedua ini. Secara faktual menunjukkan bahwa respons jenis pertama (respondent) sangat terbatas adanya pada manusia. Sebaliknya operant conditioning merupakan bagian terbesar dari tingkah laku manusia dan kemungkinan untuk memodifikasinya hampir tidak terbatas. Oleh karena itu Skinner lebih memfokuskan pada respons yang kedua. Prosedur pembentukan tingkah laku dalam operant conditioning adalah: (1) mengidentifikasi hal-hal yang merupakan reinforcer bagi tingkah laku yang akan dibentuk; (2) menganalisis dan selanjutnya mengidentifikasi komponen-komponen kecil yang membentuk tingkah laku yang dimaksud; (3) berdasarkan urutan komponen-komponen itu Sebagai tujuan sementara, mengidentifikasi reinforcer untuk masing-masing komponen itu; dan (4) melakukan pembentukan tingkah laku, dengan menggunakan urutan komponen-komponen yang telah disusun. Apabila murid tidak menunjukkan reaksi-reaksi terhadap stimuli, guru tak mungkin dapat membimbing tingkah lakunya kearah tujuan behavior. Guru berperanan penting dalam kelas untuk mengontrol dan mengarahkan kegiatan belajar ke arah tercapainya tujuan yang telah dirumuskan. Jenis-jenis stimuli a1ialah: (1) positive reinforcement yaitu penyajian stimuli yang meningkatkan probabilitas suatu respons; (2) negative reinforcement pembatasan stimuli yang tidak menyenangkan, yang jika dihentikan akan mengakibatkan probabilitas respon; (3) hukurnan, yaitu pemberian stimulus yang tidak menyenangkan; (4) primary reinforcement yaltu stimuli pemenuhan kebutuhankebutuhan fisiologis; (5) secondary or learned reinforcement; dan (6) modifikasi tingkah laku guru, yaitu perlakuan guru terhadap murid-murid berdasarkan minat dan kesenangan mereka.
Dengan demikian belajar diartikan sebagai suatu perubahan dalam kemungkinan atau peluang terjadinya respons. Peluang atau kemungkinan respons itu sukar mengukurnya, karena itu Skinner menyarankan agar belajar diukur menurut angka atau frekwensi respons. Meskipun tidak persis sama dengan peluang terjadinya unjuk perbuatan diwaktu yang akan datang, hal itu merupakan langkah awal dalam menganalisis perubahan tingkah laku. Studi Skinner terpusat pada hubungan antara perilaku dan konsekuensi-konsekwensinya. Menurut Skinner mengajar itu pada hakekatnya adalah rangkaian dari penguatan yang terdiri dari (1) suatu peristiwa dimana perilaku terjadi; (2) perilaku itu sendiri; dan (3) akibat perilaku. Penekanan rangkaian penguatan mi bahwa perilaku siswa dan akibatnya atau penguatan perilaku merupakan unsur-unsur pokok dalam belajar. Perilaku siswa merupakan lawan dan stimulus, bagaimana perilaku itu bisa ditimbulkan dan diperkuat. menjadi asas dari teknologi instruksional. Kaitannya dengan teknologi instruksional dikenal istilah teaching machine merupakan aplikasi langsung dan pandangan bahwa peralatan dan bahan pengajaran harus dapat berbuat lebih banyak daripada sekedar memberi informasi, alat-alat dan bahan pelajaran itu harus dikaitkan kepada perilaku siswa. Beberapa prinsip yang dipergunakan Skinner dalam teaching machine adalah: (1) respons siswa diperkuat secara teratur dan secepatnya; (2) mengusahakan agar siswa dapat mengontrol irama kemajuan belajamya sendiri; (3) tetap memelihara agar siswa mematuhi urutan-urutan yang lengkap; dan (4) adanya keharusan partisipasi melalui penyediaan respons (Sudjana dan Rivai, 2003, 66). Teori Skinner sangat besar pengaruhnya terhadap pendidikan, khususnya dalam lapangan metodologi dan teknologi pembelajaran. Programprogram inovatif dalam bidang pengajaran sebagian besar disusun berdasarkan teori Skinner. b. Belajar Menurut Pandangan Robert M. Gagne Belajar adalah suatu proses yang kompleks, sejalan dengan itu menurut Robert M. Gagne (1970) belajar merupakan kegiatan yang kompleks, dan hasil belajar berupa kapabilitas, timbulnya kapabilitas disebabkan: (1) stimulasi yang berasal dan lingkungan; dan (2) proses kognitif yang dilakukan oleh pelajar. Setelah belajar orang memiliki keterampilan, pengetahuan, sikap, dan nilai. Dengan demikian dapat ditegaskan, belajar adalah seperangkat proses kognitif yang mengubah sifat stimulasi Iingkungan, melewati pengolahan informasi, dan menjadi kapabilitas baru. Belajar terjadi bila ada hasilnya yang dapat 4per1ihatkan, anak-anak demikian juga orang dewasa dapat mengingat kembali I kata-kata yang telah pernah didengar atau dipelajarinya. Seseorang dapat mengingat gambar yang telah pernah dilihatnya, mengingat kata-kata yang baru dipelajarinya, atau mengingat bagaimana cara memecahkan hitungan. Menyatakan kembali apa yang dipelajari lebih sukar daripada sekedar mengenal sesuatu kembali.
Gagne (1970) mengemukakan bahwa belajar adalah perubahan yang terjadi dalam kemampuan manusia yang terjadi setelah belajar secara terus menerus, bukan hanya disebabkan oleh proses pertumbuhan saja. Belajar terjadi apabila suatu situasi stimulus bersama dengan isi ingatan mempengaruhi siswa sedemikian rupa sehingga perbuatannya (performance-nya) berubah dari waktu sebelum ia mengalami situasi itu ke waktu setelah ia mengalami situasi tadi. Gagne berkeyakinan, bahwa belajar dipengaruhi oleh faktor dalam diri dan faktor luar diri dimana keduanya saling berinteraksi. Komponen-komponen dalam proses belajar menurut Gagne (1970) dapat digambarkan sebagai Stimulus (S) Respon). S yaitu situasi yang memberi stimulus, sedangkan R adalah respons atau stimulus itu, dan garis di antaranya adalah hubungan antara stimulus dan respon yang terjadi dalam diri seseorang yang tidak dapat kita amati, yang bertalian dengan sistem alat syaraf dimana terjadi transformasi perangsang yang diterima melalui alat. Stimulus itu merupakan input yang berada diluar individu, sedangkan respons adalah outputnya, yang juga berada diluar individu sebagai hasil belajar yang dapat diamati (Nasution, 2000:136). Menurut Gagne belajar terdiri dari tiga komponen penting yakni kondisi eksternal yaitu stimulus dan lingkungan dalam acara belajar, kondisi internal yang menggambarkan keadaan internal dan proses kognitif siswa, dan hasil belajar yang menggambarkan informasi verbal, keterampilan intelek, keterampilan motorik, sikap, dan siasat kognitif. Kondisi internal belajar berinteraksi dengan kondisi eksternal belajar. dan interaksi tersebut tampaklah hasil belajar. Untuk lebih memperjelas interaksi tersebut dalam hal mi Dimyati dan Mujiono (1999:11) melukiskan komponen-komponen esensial belajar dan pembelajaran tersebut dalam bentuk skema atau bagan berikut ini.
Bagan tersebut melukiskan atau menjelaskan bahwa: (1) belajar merupakan interaksi antara keadaan internal dan proses kognitif siswa dengan stimulus dani lingkungan; (2) proses kognitif tersebut menghasilkan suatu hasil belajar yang terdiri dan informasi verbal yaitu kapabilitas untuk mengungkapkan pengetahuan dalam bentuk bahasa baik lisan maupun tertulis, keterampilan intelek yaitu kecakapan yang berfungsi untuk berhubungan dengan lingkungan hidup serta mempresentasikan konsep dan lambang, strategi kognitif yaitu kemampuan menyalurkan dan mengarahkan aktivitas kognitifnya sendiri, keterampilan motonik yaitu kemampuan melakukan serangkaian gerak jasmani dalam urusan dan koordinasi, dan sikap yaitu kemampuan menerima atau menolak obyek berdasarkan penilaian terhadap obyek tersebut. Menurut Gagne ada tiga tahap dalam belajar yaitu (1) persiapan untuk belajar dengan melakukan tindakan mengarahkan perhatian, pengharapan, dan mendapatkan kembali informasi; (2) pemerolehan dan untuk perbuatan (performansi) digunakan untuk persepsi selektif, sandi semantik,
pembangkitan kembali, respon, dan penguatan; dan (3) alih belajar yaitu pengisyaratan untuk membangkitkan dan memberlakukan secara umum (Dimyati dan Mudjiono, 1999:12).
Tahap dan fase belajar seperti dilukiskan pada tabel I mempermudah guru untuk melakukan pembelajaran. Perian aspek belajar adalah hal-hal yang erat kaitannya dengan belajar mempunyai hubungan yang erat dengan fase belajar dalam implementasinya dilakukan dalam acara pembelajaran. Pola pembelajaran tersebut dapat digunakan untuk pedoman pelaksanaan kegiatan belajar di kelas. Sudah barang tentu guru masih harus menyesuaikan dengan bidang studi dan kondisi kelas yang sebenarnya. Hal yang perlu diperhatikan dan hubungan fase belajar dan acara pembelajaran mi adalah guru masih harus menyesuaikan diri dengan bidang studi dan kondisi kelas yang sebenarnya, guru dapat memodifikasi seperlunya. Robert M. Gagne mengemukakan delapan tipe belajar yang membentuk suatu hierarkhi dan paling sederhana sampai paling kompleks yakni: 1. Belajar tanda-tanda atau isyarat (Signal Learning) merupakan isyarat atau signal yang menimbulkan perasaan tertentu, merupakan isyarat untuk mengambil sikap tertentu, merupakan syarat yang menimbulkan perasaan sedih atau senang dan sebagainya. Belajar berlangsung dalam bentuk pemberian respons terhadap tanda-tanda, sehingga dengan cara yang terus menerus terjadilah asosiasi antara tanda-tanda atau isyarat itu dengan respons yang letup. Signal learning
ini mirip dengan Conditioning menurut Pavlov dan timbul setelah sejumlah pengalaman tertentu. Respons yang timbul bersifat umum, kabur, dan emosional. Selain timbulnya tak sengaja dan tak dapat dikuasai. 2. Belajar hubungan stimulusrespons (Stimulus Response-Learning) dimana respons bersifat spesifik, tidak umum dan kabur. Respons itu diperkuat atau di reinforces dengan adanya imbalan atau reward. Tipe belajar ini lebih tinggi daripada tipe belajar isyarat, karena aspek pengertian (konseptual) mulai berfungsi, segi persamaannya adalah bahwa keduanya bersifat asosiatif. Sering gerakan motoris merupakan komponen penting dalam respons itu. Dengan belajar stimulus respons mi seorang belajar mengucapkan kata-kata dan dalam bahasa asing. Demikian juga seorang bayi belajar mengatakan Mama atau Papa. 3. Belajar menguasai rantai atau rangkaian hal (Chaining learning) tipe ini masih mengandung asosiasi yang kebanyakan berkaitan dengan keterampilan motorik. Chaining learning ini terjadi bila terbentuk hubungan antara beberapa S-R, oleh sebab yang satu terjadi segera setelah yang satu lagi, jadi berdasarkan Contiguity. Contoh dalam bahasa seperti Ibu-Bapak, KampungHalaman, Selamat Tinggal, dan sebagainya. Juga dalam perbuatan sehari-hari juga banyak Chaining seperti pulang dan kantor, ganti baju, makan, dan sebagainya. 4. Belajar hubungan verbal atau asosiasi verbal (Verbal Association), tipe belajar mi bersifat asosiatif tingkat tinggi, karena biarpun asosiasi memegang peranan, tetapi fungsi yang menentukan. Bentuk Verbal Association yang paling sederhana ialah bila diperhatikan suatu bentuk geometnis, dan anak itu dapat mengatakan bujur sangkar, atau mengatakan itu bola saya bila dilihatnya bolanya. Sebelumnya ia harus dapat membedakan bentuk geometris agar dapat mengenal bujur sangkar sebagai salah satu bentuk geometris, atau mengenal bola, saya, dan itu. Hubungan itu terbentuk, bila unsur-unsur itu terdapat dalam urutan tertentu, yang satu segera mengikuti yang satu lagi contiguity. 5. Belajar membedakan atau diskriminasi (Discrimination Learning) suatu tipe belajar yang menghasilkan kemampuan membeda-bedakan berbagai gejala. Siswa dapat membedakan manusia yang satu dengan yang lain, juga tanaman, binatang, dan lain-lain. Guru mengenal murid serta nama-nama masing-masing karena mampu mengadakan diskriminasi diantara murid-murid itu. Diskriminasi didasarkan atas Chain, anak misalnya harus mengenal mobil tertentu beserta namanya. Untuk mengenal model lain harus pula diadakannya Chain baru, dengan kemungkinan yang satu akan mengganggu yang satu lagi. Makin banyak yang harus dirangkaikan, makin besar kesulitan yang dihadapi, karena kemungkinan gangguan atau interference itu, dan kemungkinan satu Chain dilupakan.
6. Belajar konsep-konsep (Concept Learning) yaitu corak belajar yang dilakukan dengan menentukan ciri-ciri yang khas yang ada dan memberikan sifat tertentu pula pada berbagai objek. Belajar konsep mungkin karena kesanggupan manusia untuk mengadakan representasi internal tentang dunia sekitarnya dengan menggunakan bahasa. Mungkin juga binatang dapat melakukan demikian akan tetapi sangat terbatas. Manusia dapat melakukannya tanpa batas berkat bahasa dan kemampuan mengabstraksi. Dengan menguasai konsep, ia dapat menggolongkan dunia sekitarnya menurut konsep itu, misalnya menurut warna, bentuk, besar, jumlah, dan sebagainya. Ia dapat menggolongkan manusia menurut hubungan keluarga seperti bapak, ibu, paman, saudara, dan sebagainya. Menurut bangsa, pekerjaan, dan sebagainya, suatu konsep disimpulkan dan berbagai situasi, peristiwa, ucapan, dan pemberiannya. Konsep mi berkembang, sejalan dengan pengalaman-pengalaman selanjutnya dalam situasi, peristiwa, ucapan, perlakuan maupun kegiatan yang lain baik diperoleh dan bacaan maupun pengalaman langsung. Dalam hal mi kelakuan manusia tidak dikuasai oleh stimulus dalam bentuk fisik, melainkan dalam bentuk yang abstrak. Proses belajar konsep memakan waktu dan berlangsung secara berangsur-angsur. 7. Belajar aturan atau hukum-hukum (Rule Learning), tipe belajar ini terjadi dengan cara mengumpulkan sejumlah sifat kejadian yang kemudian tersusun dalam macam-macam aturan. Aturan-aturan mi jadinya tersusun dan kejadian-kejadian yang khusus dan dapat disebut sebagai hukum, dalil, kaidah, rumus, dan sebagainya. Tipe belajar ini banyak terdapat dalam pelajaran di sekolah. Banyak aturan yang perlu diketahui oleh setiap orang yang terdidik. Aturan mi terdapat dalam tiap mata pelajaran. Misalnya, benda yang dipanaskan memuai, angin berembus dari daerah maksimum ke daerah minimum, (a + b) (a-b)= a2-b2, untuk menjamin keselamatan negara harus diadakan pertahanan yang ampuh, tiap warga negara harus setia kepada negaranya, dan sebagainya. Ada yang mengatakan, bahwa anak-anak harus menemukan sendiri aturan-aturan itu. Ada pula yang berpendirian, aturan-aturan dapat juga dipelajari dengan memberitahukannya kepada murid dengan memberikan contoh-contoh, dan cara ini lebih singkat dan tidak kurang efektifnya. Mengenal aturan tanpa memahaminya akan merupakan verbal Chain saja dan mi hanya menunjukkan cara belajar mengajar yang salah. Implementasinya dalam pembelajaran belajar aturan atau hukum-hukum, dimulai dengan aturan sederhana yang dialami siswa di rumah dan di sekolah. Kemudian anak belajar aturan yang lebih formal dan kompleks yang berkenaan dengan kehidupan manusia, seperti aturan hukum berlalu lintas, pemeliharaan lingkungan, dan kewajiban-kewajiban sebagai warga masyarakat. Dalam mata pelajaran tertentu siswa juga belajar aturan atau hukum dan suatu teori tertentu, seperti hukum dalam pelajaran IPA, matematika, ekonomi, dan. sebagainya.
8. Belajar memecahkan masalah (Problem Solving), tipe belajar mi menurut Gagne merupakan tipe belajar yang paling kompleks, karena di dalamnya terkait tipe-tipe belajar yang lain, terutama penggunaan aturan-aturan yang ada disertai proses analysis dan penyimpulan. Dalam tipe belajar ini diperlukan proses penalaran yang kadang-kadang memerlukan waktu yang lama, tetapi dengan tipe belajar problem solving ini kemampuan penalaran anak dapat berkembang. Problem solving atau memecahkan masalah sesuatu yang biasa dalam hidup setiap manusia dan tiap hari sepuluh atau dua puluh kali ia memecahkan masalah. Ia berfikir bagaimana mengelakkan kemacetan lalu lintas, bagaimana mengatur waktunya, bagaimana mengatasi kenakalan anaknya, membeli pakaian untuk hari ulang tahun anak, dan berbagai permasalahan lainnya. Hidup kita penuh dengan berbagal masalah ada yang sedikit dan ada yang banyak ada pula yang baru bagi kita. Di sekolah murid-murid terus menerus dihadapkan pada berbagai masalah dalam tiap mata pelajaran. Memecahkan masalah memerlukan pemikiran dengan menggunakan dan menghubungkan berbagai aturan-aturan yang telah kita kenal menurut kombinasi yang berlainan. Dalam memecahkan masalah sering harus dilalui berbagai langkah seperti mengenal setiap unsur masalah itu, mencari aturan-aturan yang berkenaan dengan masalah itu dan dalam segala langkah perlu ia berpikir. Untuk memecahkan masalah diperlukan waktu adakalanya sebentar dan adakalanya lama, bergantung kompleksitas masalahnya. Memecahkan masalah melalui problem solving mantap dan sukar dilupakan, apalagi mengenai pemikiran pada taraf tinggi. Kemampuan memecahkan masalah, memperbesar kemampuan memecahkan masalah-masalah lain. Pendirian bahwa segala macam belajar itu pada prinsipnya sama, tidak dapat diterima. Jenisjenis atau tipe-tipe belajar mi dapat dipandang sebagai bertingkat atau hierarkis, setiap tipe belajar yang dibawah atau rendah merupakan syarat bagi bentuk belajar yang lebih tinggi. Maka setiap hal yang 4ihadapi mula-mula mungkin hanya memerlukan tipe yang rendah dan apabila ,ternyata memerlukan cara yang lebih tinggi, maka barulah meningkat ke tipe belajar yang lebih tinggi pula. Jadi untuk belajar tipe 8 harus menguasai tipe 7, untuk menguasai tipe 7 harus menguasai tipe 6, dan demikianlah seterusnya (Nasution, 2000:140). Inti dan pembelajaran tersebut adalah interaksi dan proses untuk mengungkapkan ilmu pengetahuan oleh pendidik dan peserta didik yang menghasilkan suatu hasil belajar. Didasarkan atas analisis kejadian-kejadian belajar Gagne menyarankan agar guru memperhatikan delapan 4ejadian instruksi waktu menyajikan suatu pelajaran pada sekelompok siswa. Penampilan-penampilan yang dapat diamati sebagai hasil belajar enurut Gagne disebut keterampilan-keterampilan. Hasil-hasil belajar dapat keterampilan-keterampilan intelektual yang memungkinkan seseorang interaksi dengan lingkungan melalui penggunaan simbol-simbol atau
gagasan-gagasan, strategi-strategi kognitif yang merupakan proses-proses kontrol dan dikelompokkan sesuai fungsinya. Hal ini meliputi strategi-strategi fneughafal, strategi-strategi elaborasi; strategistrategi pengaturan, strategi-strategi metakognitif, dan strategi-strategi aktif. Hasil-hasil belajar yang lain adalah informasi verbal, sikap-sikap, dan keterampilan-keterampilan motorik. Kejadian-kejadian instruksional dalam kelas seperti mengaktifkan motivasi, memberi tahu tujuan-tujuan instruksional, serta mengarahkan perhatian, dapat dilakukan guru secara klasikal, tetapi kejadian-kejadian instruksional yang lain meminta guru agar memperhatikan perbedaan individu para siswa. Kegiatan belajar memecahkan masalah ini biasanya meliputi lima Jangkah yaitu (1) mengidentifikasi masalah; (2) merumuskan dan membatasi iasa1ah; (3) menyusun pertanyaanpertanyaan; (4) mengumpulkan data; dan (5) analisis dan sejumlah permasalahan belajar tersebut sehingga dapat merumuskan jawaban atas pertanyaan-pertanyaan penting mengenai belajar serta penarikan kesimpulan. Jika langkah-langkah memecahkan masalah belajar tersebut dapat dipenuhi oleh guru dalam proses pembelajaran, maka tingkat akurasi pemecahan masalahnya akan sesuai atau mendekati yang diharapkan. Kemampuan dan ketekunan guru dalam memecahkan masalah belajar siswanya dengan menggunakan langkah-langkah tersebut, amat penting sebagai upaya yang dapat membantu memecahkan masalah belajar peserta didiknya. Pemecahan masalah belajar berimplikasi pada keberhasilan belajar yang terukur dan juga mutu belajar ditandai dengan mutu lulusan yang kompetitif. Uraian di atas memberi penegasan bahwa belajar menurut Gagne adalah seperangkat proses kognitif yang mengubah sifat stimulasi lingkungan melewati pengelolaan informasi, dan menjadi kapabilitas baru. Interaksi belajarnya melalui stimulus melalui kondisi eksternal dan pendidik yang dapat direspons kondisi internal dan proses kognitif siswa c. Belajar Menurut Pandangan Piaget Jean Piaget seorang psikolog Swiss (1896-1980) mempelajari berpikir pada anak-anak, sebab ia yakin dengan cara ini ia akan dapat menjawab pertanyaan-pertanyaan epistemologi, seperti bagaimanakah kita memperoleh pengetahuan dan bagaimana kita tahu apa yang kita ketahui. Jean Piaget berpendapat ada dua proses yang terjadi dalam perkembangan dan pertumbuhan kognitif anak yaitu: (1) proses assimilation, dalam proses ini menyesuaikan atau mencocokkan informasi yang baru itu dengan apa yang telah ia ketahui dengan mengubahnya bila perlu; dan (2) process accomodation yaitu anak menyusun dan membangun kembali atau mengubah apa yang telah diketahui sebelumnya sehingga informasi yang baru itu dapat disesuaikan dengan lebih baik. Piaget melihat perkembangan kognitif tersebut sebagai hasil perkembangan saling melengkapi antara
asimilasi dan akomodasi dalam proses menyusun kembali dan mengubah apa yang telah diketahui. Asimilasi tetap dan menambah terhadap yang ada dan menghubungkannya dengan yang telah lalu. Bentuk pikiran yang paling maju dari Piaget adalah operasi formal, proses pikiran logis mi dicirikan oleh kemampuan untuk merumuskan perangkat hipotesa, selanjutnya hipotesa yang dirumuskan cocok dengan situasi. Piaget telah mengenali tiga cara berpikir yang berbeda secara kualitatif yang merupakan prasyarat perkembangan berpikir operasi formal. Setiap cara interaksi dengan lingkungan merupakan prakondisi yang esensial bagi tingkat perkembangan selanjutnya. Teori kognitif yang dikembangkan oleh Piaget tersebut dalam konteks teori keseimbangan yang disebut accomodation, memberi penjelasan bahwa struktur fungsi kognitif itu dapat berubah kalau individu berhadapan dengan hal-hal baru yang tidak dapat diorganisasikan kedalam struktur yang telah ada (association). Akomodasi menurut Jean Piaget adalah hasil dan yang ditambahkan dan diciptakan oleh lingkungan, pengamatan yang tidak sesuai dengan apa yang diketahui dan dipikirkan. Asimilasi maupun akomodasi kedua-duanya sama-sama dibutuhkan, dalam prakteknya antara keduanya tidak seimbang. Melalui kedua proses mi manusia menjadi tidak tergantung kepada pengamatan dan lebih bergantung pada berpikir. Teoni Jean Piaget menitikberatkan pada aspek perkembangan pikiran secara alami dan lahir hingga dewasa. Ada tiga aspek perkembangan intelektual yang diteliti oleh Jean Piaget yaitu: 1. Struktur, yaitu ada hubungan fungsional antara tindakan fisik, tindakan mental, dan perkembangan berpikir logis anak. Tindakan-tindakan (actions) menuju pada perkembangan operasi-operasi, dan selanjutnya operasi-operasi menuju pada perkembangan struktur-struktur. Operasi-operasi mempunyai empat ciri yaitu: (1) merupakan tindakan terinternalisasi, baik tindakan mental maupun tindakan fisik tanpa ada garis pemisah diantara keduanya, tindakan itu dibimbing oleh hubungan sama dan berbeda yang diciptakan dalam pikirannya; (2) bersifat revesibel, misalnya menambah dan mengurangi merupakan operasi yang sarna yang dilakukan dengan arah yang berlawanan 2 dapat ditambahkan pada 1 untuk memperoleh 3, atau 1 dapat dikurangi dan 3 untuk memperoleh 2 demikian seterusnya; (3) selalu tetap, walaupun selalu terjadi transformasi atau perubahan; dan (4) tidak ada operasi yang berdiri sendiri, suatu operasi selalu berhubungan dengan struktur atau sekumpulan operasi. Misalnya operasi penambahanpengurangan berhubungan dengan operasi kiasifikasi, pengurutan, dan konservasi bilangan, dimana operasi-operasi itu saling membutuhkan. Jadi, operasi adalah tindakan mental yang terinternalisasi, revesibel, tetap dan teriutegrasi dengan struktur dan operasi lainnya. Struktur yang juga disebut skemata merupakan organisasi mental tingkat tinggi, satu tingkat lebih tinggi
dan operasi-operasi. Struktur intelektual terbentuk pada individu waktu ia berinteraksi dengan lingkungannya. Struktur yang terbentuk lebih memudahkan individu untuk menghadapi tuntutan yang makin meningkat dan lingkungannya yang berarti telah terjadi suatu perubahan dalam perkembangan intelektual anak. 2. Isi, yaitu pola perilaku anak yang khas yang tercermin pada respons yang diberikannya terhadap berbagai masalah atau situasi yang dihadapinya. Antara tahun 1920 dan 1930 perhatian Piaget dalam penelitiannya tertuju pada isi pikiran anak, misalnya perubahan dalam kemampuan penalaran semenjak kecil hingga besar, konsepsi anak tentang beberapa peristiwa alam, seprti bergeraknya awan dan sungai. Sesudah tahun l930-perhatian penelitian Piaget lebih dalam, dan deskripsi pikiran anak ia beralih pada analisis proses-proses dasar yang melandasi dan menentukan isi itu. 3. Fungsi, yaitu cara yang digunakan organisme untuk membuat kemajuan intelektual. Menurut Piaget perkembangan intelektual didasarkan pada dua fungsi, yaitu organisasi dan adaptasi. Organisasi memberikan pada organisme kemampuan untuk mensistematikkan atau mengorganisasikan proses-proses fisik atau proses-proses psikologis menjadi sistem-sistem yang teratur dan berhubungan atau struktur-struktur. Dalam lingkungan fisik misalnya, ikan memiliki sejumlah struktur yang membuat ikan berfungsi secara efektif dalam air, yaitu insang, sistem sirkulasi, mekanisme suhu. Semua struktur itu bekerja sama secara efesien untuk mempertahankan ikan itu di lingkungannya. Koordinasi secara fisik merupakan hasil kecenderungan organisasi. Adaptasi sebagai fungsi kedua melandasi perkembangan intelektual. Semua organisme lahir dengan kecenderungan menyesuaikan diri atau beradaptasi pada lingkungan mereka. Cara adaptasi mi berbeda antara organisme yang satu dengan organisme yang lain. Adaptasi terhadap lingkungan dilakukan melalui dua proses, yaitu asimilasi dan akomodasi. Dalam proses asimilasi seseorang menggunakan struktur atau kemampuan yang ada untuk menanggapi masalah yang dihadapi dalam lingkungannya. Dalam proses akomodasi seseorang memerlukan modifikasi struktur mental yang ada dalam mengadakan respons terhadap tantangan lingkungannya. Bagi Piaget adaptasi merupakan suatu kesetimbangan antara asimilasi dan akomodasi. Andaikata dengan proses asimilasi seseorang tidak dapat mengadakan adaptasi pada lingkungannya, terjadilah ketidaksetimbangan (disequilibirium). Akibat ketidaksetimbangan ini, maka terjadilah akomodasi, dan struktur yang ada mengalami perubahan atau struktur baru timbul. Pertumbuhan intelektual merupakan proses terus menerus tentang keadaan ketidaksetimbangan dan keadaan setimbang (disequilibiriumequilibirium). Tetapi, bila teijadi
kembali4kesetimbangan, maka individu itu berada pada tingkat intelektual yang lebih tinggi daripada sebelumnya (Wilis Dahar, 1989:151). Asas-asas perkembangannya menitikberatkan pada aspek perkembangan pikiran secara alami dan lahir sampai dewasa, untuk bisa memahami teori mi bergantung pada pemahaman asumsi-asumsi biologi yang menurunkan teori itu maupun implikasi asumsi-asumsi tersebut dalam mengartikan pengetahuan. Piaget mengemukakan bahwa pengetahuan dibentuk oleh individu, sebab individu melakukan interaksi terus menerus dengan lingkungan. Konsep Piaget mengenai perkembangan kognitif berasal dan interaksi dengan lingkungan akan semakin mengembangkan fungsi intelek dilihat dan perkembangan usia melalui tahap-tahap (1) sensori motor (0.0-2.0 tahun) yaitu anak mengenal lingkungan dengan kemampuan sensorik dengan penglihatan, penciuman, pendengaran, perabaan, dan menggerak-gerakkannya. Tingkat sensori motor menempati dua tahun pertama dalam kepuasannya atas perkembangan biologi dan organisme tertentu. Struktur kognitif seperti halnya struktur biologi, bukan ketentuan yang sudah ada sebelumnya, tidak ada dalam pikiran orang maupun di dunia luar sebagaimana kita melihat dan mengorganisasikannya. Asumsi dasar yang melandasi deskripsi demikian adalah pengertian Piaget mengenai perkembangan intelek dan konsepsinya tentang hakekat kecerdasan. Dengan demikian inteligensi individu tumbuh dan berkembang melalui interaksi dengan lingkungannya. Kehidupan, selama periode ini anak mengatur alamnya dengan indera-inderanya (senson) dan tindakan-tindakannya (motor) Selama periode ini bayi tidak mempunyai konsepsi object permanence. Bila suatu benda disembunyikan ia gagal untuk menemukannya, sambil pengalamannya bertambah sampat mendekati akhir periode mi, bayi itu menyadari bahwa benda yang disembunyikan itu masih ada, dan ia mulai mencarinya sesudah dilihatnya benda itu disembunyikan Konsep-konsep yang tidak ada pada waktu lahir, seperti konsepkonsep yang, waktu, kausalitas, berkembang, dan tennkorporasa , ke dalam pola-pola perilaku anak; (2) praoperasional (2.0-7.0 tahun) yaitu anak : mengandalkan diri pada persepsi tentang realitas, ini telah mampu menggunakan simbol, bahasa, konsep sederhana, berpartisipasi, membuat gambar, dan menggolong-golongkan. Periode mi disebut praoperasional, karena pada umur .ini anak belum mampu melaksanakan operasi-operasi mental, seperti yang telah dikemukakan terdahulu, yaitu menambah, mengurangi, dan lain-lain; (3) operasional konkret (7.0-11.0 tahun) yaitu dapat mengembangkan pikiran logis, dapat mengikuti penalaran logis walau kadang-kadang memecahkan masalah secara trial and error Tingkat merupakan permulaan berpikir rasional, ini berarti, anak memiliki operasi-operasi logis yang dapat diterapkannya pada masalah-masalah konkret. Bila menghadapi suatu pertentangan antara pikiran dan pensepsi, anak dalam periode operasional konkret memilih pengambilan keputusan logis, dan bukan keputusan perseptual seperti anak praoperasional.
Operasi-operasi dalam periode mi terkait pada pengalaman perorangan. Operasi-operasi itu konkret, bukan operasi-operaSi formal Anak belum dapat berurusan dengan materi abstrak, seperti hipotesis dan proposisi-proposisi verbal; dan (4) operasional formal (11.0 tahun-ke alas) yaitu anak dapat berpikir abstrak seperti pada orang dewasa. Pada periode ini anak dapat menggunakan operasioperasi konkretnya, untuk membentuk operasi-operasi yang lebih kompleks. Kemajuan utama pada anak selama periode mi, ialah bahwa ia tidak perlu berpikir dengan pertolongan benda-benda atau peristiwa-peristiwa konkret, ia mempunyai kemampuan untuk berpikir abstrak. Kecerdasan juga membentuk struktur kognitif yang diperlukan dengan melakukan penyesuaian dengan lingkungan. Untuk mengetahui interaksi dengan lingkungan tersebut, ada dua macam studi yang dilakukan Piaget mengenai perkembangan anak dan remaja yaitu: (1) melakukan observasi terhadap sejumlah anak yang bermain kelereng dan menanyai mereka tentang aturan yang mereka ikuti; dan (2) melakukan tes dengan menggunakan beberapa kisah yang menceritakan perbuatan salah dan benar yang dilakukan anak-anak, lalu meminta responden (yang terdiri alas anak dan remaja) untuk menilai kisah-kisah tersebut berdasarkan pertimbangan moral mereka sendiri. Hasil penilaian mereka itu dapat disimpulkan bahwa mereka dalam bermain temyata mempunyai aturan yang harus dipenuhi, jadi mereka belajar memenuhi aturan. Berdasarkan data hasil studinya tersebut, Piaget menemukan dua tahap perkembangan moral anak dan remaja, tahap pertama yaitu bersamaan rentang waktunya dengan tahap perkembangan kognitif praoperasional, hal ini merupakan realisme moral, artinya anak-anak yang menganggap moral sebagai suatu kenyataan yang ada dalam kehidupan sosial. Tahap perkembangan yang kedua, menggambarkan bahwa perkembangan moral yang bertepatan dengan tahap perkembangan kognitif formal operasional yang menunjukkan bahwa manusia pada awal masa remaja dan masa setelah remaja sebagai hasil belajar sudah memiliki persepsi yang jauh lebih maju daripada sebelumnya. Perkembangan tahap pertama dengan yang kedua diselingi masa transisi. Tahap-tahap perkembangan moral anak ini dikaitkan dengan tahap perkembangan kognitif atau intelektual anak. Menurut Piaget, ada tiga bentuk pengetahuan yaitu: (1) pengetahuan fisik merupakan pengetahuan tentang benda-benda yang ada di luar dan dapat diamati dalam kenyataan eksternal. Sumber pengetahuan fisik terutama terdapat dalam benda itu sendiri, yaitu dalam cara benda itu memberikan pada subjek kesempatan-kesempatan untuk pengamatan; (2) pengetahuan logikomatematik terdiri atas hubungan-hubungan yang diciptakan subjek dan diintroduksikan pada objekobjek; dan (3) pengetahuan sosial seperti fakta bahwa hari Minggu anak-anak tidak bersekolah, didasarkan pada perjanjian sosial, suatu perjanjian atau kebiasaan yang dibuat oleh manusia. Pengetahuan sosial dapat dipindahkan dan pikiran guru ke pikiran siswa, sedangkan pengetahuan
fisik dan logikomatematik harus dibangun sendiri oleh anak. Pengetahuan fisik dan pengetahuan sosial merupakan pengetahuan empiris, sedangkan pengetahuan logika-matematika mewakili pengetahuan menurut tradisi rasional. Salah satu cara untuk membangun pengetahuan ialah, dengan ekuilibrasi. Piaget dan para konstruktivis pada umumnya berpendapat bahwa dalam mengajar, seharusnya diperhatikan pengetahuan yang telah diperoleh siswa sebelumnya. Dengan demikian mengajar dianggap bukan sebagai proses dimana gagasan-gagasan guru dipindahkan pada siswa, melainkan sebagai proses untuk mengubah gagasan si anak yang sudah ada yang mungkin salah Dan uraian diatas dapat ditegaskan bahwa belajar dalam hal ini dapat mengandung makna sebagai ;embahan struktural yang saling melengkapi antara asimilasi dan akomodasi dalam proses menyusun kembali dan mengubah apa yang telah diketahui melalui belajar. d. Belajar Menurut Pandangan Carl R. Rogers Menurut pendapat Carl R. Rogers (ahli psikoterapi) praktek pendidikan menitikberatkan pada segi pengajaran, bukan pada siswa yang belajar Praktek sebut ditandai oleh peran guru yang dominan dan siswa hanya menghafalkan pelajaran. Alasan pentingnya guru memperhatikan prinsip pendidikan dan pembelajaran adalah: (1) menjadi manusia berarti memiliki kekuatan wajar untuk belajar, siswa tidak harus belajar tentang hal-hal yang tidak ada artinya: (2) siswa akan mempelajari hal-hal yang bermakna bagi dirinya; (3) pengorganisasian bahan pengajaran berarti mengorganisasikan bahan dan ide baru, sebagai bagian yang bermakna bagi siswa; (4) belajar yang bermakna bagi masyarakat modern berarti belajar tentang proses-proses belajar, keterbukaan belajar mengalami sesuatu, bekerjasama dengan melakukan pengubahan diri terus-menerus; (5) belajar yang optimal akan terjadi, bila siswa berpartisipasi secara bertanggung jawab dalam proses belajar; (6) belajar mengalami (experiential learning) dapat terjadi, bila siswa mengevaluasi dirinya sendiri; dan (7) belajar mengalami menuntut keterlibatan siswa secara penuh dan sungguh-sungguh. Prinsip pendidikan dan pembelajaran menunjukkan kehati hatian terhadap pilihan, sehingga hasilnya memberi arti penting bagi pengembangan ilmu pengetahuan bagi para siswanya. Langkah-langkah dan sasaran pembelajaran yang perlu dilakukan oleh guru menurut Rogers adalah meliputi: (1) guru memberi kepercayaan kepada kelas agar kelas memilih belajar secara terstruktur; (2) guru dan siswa membuat kontrak belajar; (3) guru menggunakan metode inquiri atau belajar menemukan (discovery learning); (4) guru menggunakan metode simulasi; (5) guru mengadakan latihan kepekaan agar siswa menghayati perasaan dan berpartisipasi dengan kelompok lain; (6) guru bertindak sebagai fasilitator belajar; dan (7) sebaiknya guru menggunakan pengajaran berprogram agar tercipta peluang bagi siswa untuk timbulnya kreatifitas dalam belajar (Dimyati dan
Mudjiono, 1999:17). Langkah-langkah tersebut memberi gambaran bahwa belajar dan pembelajaran itu berlangsung secara sistematis baik dalam merumuskan bahan ajaran maupun menggunakan pendekatan belajar. Rogers berpendapat murid-murid tidak hanya secara bebas, artinya tanpa dipaksa menyelesaikan tugas-tugas dalam waktu tertentu, akan tetapi juga belajar membebaskan dirinya untuk menjadi manusia yang berani memilih sendiri apa yang dilakukannya dengan penuh tanggung jawab. Dalam psiko terapmya Carl R. Rogers memberi kebebasan pada kliennya untuk mengeluarkan segala isi hatinya sepuas-puasnya, yang baik maupun yang buruk dengan metode non directive counseling. Rogers mencoba memahami dan merasakan jiwa kliennya kemudian menjauhi diri dan penilaian normatif tentang ucapan, pikiran, perasaan, atau perbuatan klien itu. Dengan demikian klien itu akan lebih mengenal, menerima dirinya sebagaimana adanya, dan akhirnya merasa bebas memilih dan berbuat menurut individualitasnya dengan penuh tanggung jawab. Non directive counseling tidak mudah bagi seorang pendidik, karena pendidikan itu selalu normatif dan setiap pendidik cenderung untuk menilai tiap kelakuan anak didiknya menurut nilai-nilai yang dianut oleh pendidik. Tiap pendidik ingin menanamkan nilai-nilai tertentu pada anak didik dan mengharapkan, mendorong dan bila perlu mengharuskan anak didik untuk berbuat sesuai dengan norma-norma yang ditentukan. Namun kebebasan sendiri merupakan norma. yang perlu mendapat penghargaan yang setinggi-tingginya. Teori Rogers ini dapat diterapkan dalam pendidikan untuk mengembangkan individu yang merdeka yang dapat memilih dengan bebas atas tanggung jawab penuh, manusia yang kreatif yang dapat senantiasa menyesuaikan diri dengan perubahan dunia. Rogers selanjutnya mengatakan pengajaran yang berpusat pada murid memberi kebebasan agar murid dapat memilih kegiatan yang dirasanya perlu atas tanggung jawab sendiri. Belajar bebas berbeda sama sekali dengan belajar yang terikat oleh peraturan dan pengawasan yang ketat. Belajar terikat jauh lebih mudah dilaksanakan dan dapat dilakukan oleh setiap guru, karena banyak sedikit dapat dijalankan secara maksimal (Nasution, 2000:84). Sebaliknya belajar bebas hanya dapat dilaksanakan bila syarat-syarat tertentu dapat dipenuhi seperti adanya masalah, kepercayaan akan kesanggupan manusia, keterbukaan guru, dan kemampuan guru menghadapi murid menurut pribadi masing-masing dan dapat menghargai sifat-sifat mereka. Pendidikan akhirnya bertujuan untuk membimbing anak ke arah kebebasan dan kemerdekaan, mengetahui apa yang baik dan yang buruk, dapat melakukan pilihan tentang apa yang dilakukannya dengan penuh tanggung jawab sebagai hasil belajar. Kebebasan itu hanya dapat dipelajari dengan memberi anak didik kebebasan mulanya sejauh ia dapat memikulnya sendiri, hal mi dilakukan dalam konteks belajar.
Carl R. Rogers tidak dapat menerima manusia itu sebagai hasil conditioning semata-mata. Sekalipun seseorang dipenjarakan atau hidup dalam negara yang diktator, namun manusia atau seseorang itu masih mempunyai suatu kebebasan yaitu kebebasan bathin. Ia masih dapat memilih dan menentukan hidupnya dengan penuh keberanian atas pilihan dan keputusan sendiri dan bertanggung jawab penuh atas segala akibat pilihannya itu. Begitu juga di tengah-tengah pengaruh segala macam conditioning manusia tidak sepenuhnya dikuasai oleh kuasa-kuasa lain. Hingga batas tertentu, ia turut menentukan pribadi dan hidupnya serta mengembangkan bakat-bakat yang ada padanya. Kesadaran akan adanya kebebasan batin mi banyak membantu klienklien dan kesulitannya dan membuka kesempatan baginya untuk menjadi manusia yang mempunyai pribadi sendiri dalam hubungannya dengan manusia lainnya. Untuk mengembangkan kebebasan ini kepada anak didik menurut Carl R. Rogers perlu diperhatikan hal berikut. 1. Pendidik harus berkelakuan wajar dan benar menurut apa yang terkandung dalam dirinya. Jangan berbuat pura-pura seakan-akan berkedok, berbuat lebih baik daripada hakekat pribadinya yang sesungguhnya. Untuk mengembangkan kebebasan pada individu, pendidik tidak boleh bersandiwara, harus jujur dengan ucapannya, jangan berbuat seakan-akan ia orang yang seumpuma tanpa kesulitan. Berbuat jujur sesuai atau kongruen dengan pribadi yang sebenarnya tidaklah mudah, karena kita sering menyembunyikan kelemahan dan kekurangan kita untuk menimbulkan kesan yang baik tentang diri kita sendiri. 2. Pendidik harus menerima anak didik dengan segala aspek-aspek pribadinya. Anak didik boleh berperilaku marah, jengkel, benci, senang, lembut, ramah, malu, berani, takut dan sebagainya. Pendidik selalu menerima anak itu dengan penuh pengertian dan penghargaan tanpa menyatakan penilaiannya tentang perilaku anak itu. Jadi pendidik harus selalu menghargai anak didik tanpa syarat, meskipun kelakuan anak itu tidak menyenangkan hatinya. 3. Pendidik memiliki rasa empaday yaitu mampu melihat dan merasakan sesuatu seperti dilihat atau dirasakan oleh anak didik. Memandang atau merasakan dunia sekitar seperti dipandang atau dialami orang lain, bukan sesuatu yang mudah karena kita terikat oleh pandangan kita sendiri yang terbentuk selama hidup kita. Namun pendidik yang ingin membebaskan anak didiknya harus berusaha dan belajar memupuk empati ini. Anak didik memerlukan perhatian dan orang lain yang dapat memandang sesuatu seperti ia memandangnya, bukan penilaian apalagi kecaman. Jika ada orang lain bersedia mendengarkan dan memahaminya, maka anak didik mulai mendengarkan dan mengamati apa yang terjadi dalam dirinya. Sambil belajar mengenal dirinya, mengetahui apa yang bergejolak dalam dirinya, anak didik itu mulai menerima keadaan dirinya seperti pendidik juga menerimanya tanpa syarat. Anak didik berangsur-angsur dapat menerima dirinya dengan
segala kebaikan dan kekurangannya. Anak didik lebih terbuka untuk mengungkapkan perasaanperasaan yang semula disembunyikannya dan menjadi lebih. jujur dalam ucapan, perasaan, maupun perilakunya. Sikap untuk mengecam dan menilai diri sendiri berkurang. Lambat laun anak didik tersebut mulai mengenal dirinya dan menerima kenyataan dirinya. Sikap defensif yang menyatakan dininya benar sendiri, sikap membela diri untuk mengamankan diri yang menurutnya benar mulai berkurang dan ia mulai berkembang dengan wajar ke arah yang dipilihnya secara bebas ke arah yang lebih konstruktif. Ketiga hal yang perlu menjadi perhatian pendidik tersebut memberi makna bahwa, pendidik harus memiliki sikap sabar yang tinggi, mengenal perilaku anak dan sudut psikologis, dan menjaga etika sebagai pendidik dengan mengembangkan sikap jujur dan perilaku wajar. Perilaku wajar dan bersahaja mi, menjadikan guru sebagai profil yang sederhana sarat dengan ilmu pengetahuan dan pengalaman. Muncul suatu gerakan teori belajar yang menitikberatkan pada upaya membantu siswa agar ia sanggup mencapai perwujudan dirinya (self realization) sesuai dengan kemampuan dasar dan keunikan (uniqueness) yang dimilikinya. Gerakan ini pada dasarnya bertolak dan prinsip-prinsip dasar teori kepnibadian oleh Carl Rogers (Syamsudin Makmun, A., 2003:236). Cam pendekatannya, sebenarnya masih bersifat enquiry discovery based approaches. Karakteristik utama metode ini, antara lain guru tidak membuat jarak yang tidak terlalu tajam dengan siswa, tetapi menempatkan diri berdampingan dengan siswa dengan posisi siap memberi bantuan belajar. Karakteristik ini sejalan dengan konsep tutwuri handayani yang dikembangkan Ki Hajar Dewantoro yaitu membimbing anak belajar dengan menuntunnya sampai anak itu berhasil dalam belajarnya. Jadi dapat ditegaskan belajar menurut Carl adalah kebebasan dan kemerdekaan mengetahui apa yang baik dan yang anak dapat melakukan pilihan tentang apa yang dilaksanakannya dengan tanggung jawab. Nilai yang dikembangkan di sini adalah kebebasan dan yang merupakan sikap dasar manusia, jika anak itu terkungkung terintimidasi, maka akan sulit bagi anak untuk dapat mengetahui apa yang kebebasan dan kemerdekaan menurut Rogers mengandung nilai jawab yang penuh. Belajar bebas berbeda sama sekali dengan belajar yang terikat oleh peraturan dan pengawasan yang ketat. Belajar yang terikat jauh lebih mudah dilaksanakan dan dapat dilakukan oleh setiap guru karena sedikit banyak dapat dijalankan secara maksimal. e. Belajar Menurut Pandangan Benjamin Bloom Keseluruhan tujuan pendidikan dibagi atas hierarki atau taksonomi? menurut Benjamin Bloom (1956) menjadi tiga kawasan (domain) yaitu: (1) omain kognitif mencakup kemampuan intelektual mengenal lingkungan yang terdiri atas enam macam kemampuan yang disusun secara hienarkis dani yang paling sederhana sampai yang paling kompleks yaitu pengetahuan (kemampuan
mengingat kembali hal-hal yang telah dipelajari), pemahaman (kemampuan menangkap makna atau anti sesuatu hal), penerapan (kemampuan mempergunakan hal-hal yang telah dipelajari untuk menghadapi situasi-situasi baru dan nyata), analisis (kemampuan menjabarkan sesuatu menjadi bagian-bagian sehingga struktur organisasinya dapat dipahami), sintesis (kemampuan memadukan bagian-bagian menjadi sate keseluruhan yang berarti), dan penilain (kemampuan memberikan harga sesuatu hal berdasarkan kriteria intern, kelompok, ekstern atau yang telah ditetapkan terlebih dahulu), (2) domain afektif mencakup kemampuan-kemampuan emosional dalam mengalami dan menghayati sesuatu hal yang meliputi lima macam kemampuan emosional disusun secara hierarkis yaitu: kesadaran (kemampuan untuk ingin memperbatikan sesuatu hal), partisipasi (kemampuan untuk turut serta atau terlibat dalam sesuatu hal), penghayatan nilai (kemampuan untuk menerima nilai dan terikat kepadanya), pengorganisasian nilai (kemampuan untuk memiliki sistem nilai dalam dirinya), dan karakterisasi diri (kemampuan untuk memiliki pola hidup dimana sistem nilai yang terbentuk dalam dirinya mampu mengawasi tingkah lakunya); dan (3) domain psikomotor yaitu kemampuankemampuan motorik menggiatkan dan mengkoordinasikan gerakan terdiri dan: gerakan reneks (kemampuan melakukan tindakan-tindakan yang terjadi secara tak sengaja dalam menjawab sesuatu perangsang), gerakan dasar (kemampuan melakukan pola-pola gerakan yang bersifat pembawaan dan terbentuk dan kombinasi gerakan-gerakan dan reneks), kemampuan dasar perseptual merupakan (kemampuan inti untuk menterjemahkan perangsang yang diterima melalui alat indera menjadi gerakan-gerakan yang tepat), kemampuan jasmani (kemampuan gerakan-gerakan memperkembangkan gerakan-gerakan yang terlatih), gerakan-gerakan terlatih (kemampuan melakukan gerakan-gerakan canggih dan rumit dengan tingkat efisiensi tertentu), dan komunikasi nondiskursif (kemampuan melakukan komunikasi dengan isyarat gerakan badan). Taksonomi tujuan-tujuan dan Bloom mi disebut dengan Taksonomi Bloom dapat menjelaskan tentang kualitas basil pendidikan. Tujuan langsung pendidikan adalah perubahan kualitas kemampuan kognitif, afektif, dan psikomotorik. Peningkatan mi tidak sekadar meningkatkan belaka, tetapi peningkatan yang hasilnya dapat dipergunakan meningkatkan taraf hidupnya sebagai pribadi, pekerja, profesional, warga masyarakat, warga negara, dan sebagai makhluk Tuhan Yang Maha Esa. Hasil pendidikan diberikan kepada lingkungan dan diterima oleh lingkungan, sebagai masukan yang digunakan sesuai kepentingannya. Dapat ditegaskan bahwa belajar adalah perubahan kualitas kemampuan kognitif, afektif, dan psikomotorik untuk meningkatkan taraf hidupnya sebagai pribadi, sebagai masyarakat, maupun sebagai makhluk Tuhan Yang Maha Esa.
f. Belajar Menurut Pandangan Jerome S. Bruner Jerome S. Bruner (1960) seorang ahli psikologi perkembangan dan ahli psikologi belajar kognitif. Bruner tidak mengembangkan suatu teori belajar yang sistematis, yang penting baginya ialah cara-cara bagaimana orang memilih, mempertahankan, dan mentransfonnasi informasi secara efektif, inilah menurut Bruner inti dan belajar. Menurut Bruner (1960) dalam proses belajar dapat dibedakan pada tiga fase yaitu: (1) informasi, dalam tiap pelajaran kita peroleh sejumlah informasi, ada yang menambah pengetahuan yang telah kita miliki, ada yang memperhalus dan memperdalamnya, ada pula informasi yang bertentangan dengan apa yang telah kita ketahui sebelumnya, misainya bahwa tidak ada energi yang lenyap; (2) transformasi, informasi itu harus dianalisis, diubah atau ditransformasi kedalam bentuk yang lebih abstrak, atau konseptual agar dapat digunakan untuk hal-hal yang lebih luas dalam hal mi bantuan guru sangat diperlukan; dan (3) evaluasi, kemudian kita nilai hingga manakah pengetahuan yang kita peroleh dan transformasi itu dapat dimanfaatkan untuk memahami gejala-gejala lain. Dalam proses belajar ketiga episode mi selalu ada, yang menjadi masalah ialah berapa banyak informasi diperlukan agar dapat ditransfontlasi. Lama tiap episode tidak selalu sama, hal ini antara lain juga bergantung pada hasil yang diharapkan, motivasi murid belajar, minat, keinginan untuk mengetahui, dan dorongan untuk menemukan sendiri. Selanjutnya Bruner (1960) mengemukakan empat tema pendidikan, tema pertama, mengemukakan pentingnya arti struktur pengetahuan. Kurikulum hendaknya mementingkan struktur pengetahuan. Hal ini perlu, sebab dengan struktur pengetahuan, kita menolong para siswa untuk melihat, bagaimana fakta-fakta yang kelihatannya tidak ada hubungan, dapat dihubungkan satu dengan yang lain, dan pada informasi yang telah mereka miliki. Tema kedua, ialah tentang kesiapan (readines) untuk belajar, menurut Bruner (1960:29) kesiapan terdiri atas, penguasaan keterampilan-keterampilan yang lebih sederhana yang dapat mengizinkan seseorang untuk mencapai keterampilan-keterampilan yang lebih tinggi. Kesiapan untuk geometri euclidian misalnya, dapat diperoleh dengan memberikan kesempatan pada para siswa untuk membangun konstruksi-konstruksi yang makin kompleks dengan menggunakan poligon-poligon. Tema yang ketiga menekankan nilai intuisi dalam proses pendidikan, dengan intuisi, dimaksudkan oleh Bruner (1960:13) teknik-teknik intelektual untuk sampai pada formulasi-formulaSi tentatif tanpa melalui langkah-langkah analitis untuk mengetahui apakah formulasi-formulasi itu merupakan kesimpulan-keSimPulan yang sahih atau tidak. Pendapat yang dikemukakan oleh Bruner ini adalah semacam educated guess yang kerap kali digunakan oleh para saintis, artis, dan orang-orang kreatif lainnya.
Tema keempat dan terakhir, ialah tentang motivasi atau keinginan untuk belajar, dan cara-cara yang tersedia pada para guru untuk merangsang motivasi itu. Pengalaman-pengalaman pendidikan yang merangsang motivasi ialah, pengalaman-pengalaman dimana para siswa berpartisipasi secara aktif dalam menghadapi alamnya. Pengalaman belajar semacam ini dapat dicontohkan oleh pengalaman belajar penemuan yang intuitif. Pendekatan Bruner terhadap belajar dapat diuraikan sebagai suatu pendekatan kategorisasi. Bruner beranggapan bahwa semua interaksi-interaksi kita dengan alam melibatkan kategori-kategori yang dibutuhkan bagi memfungsikan manusia. Tanpa kategori-kategori kita harus mempunyai satu laci dalam lemari map kita untuk setiap objek, benda, dan gagasan dalam pengalaman kita. Kategorisasi menyederhanakan kekompleksan dalam lingkungan kita. Karena sistem kategori kita dapat mengenal objek-objek baru. Oleh karena itu objek-objek baru memiliki kemiripan dengan objek-objek yang telah ada dalam sistem kode kita, kita dapat mengklasifikasikan dan memberikan ciri-ciri tertentu pada benda-benda atau gagasan-gagasan baru. Dalam kenyataannya, jika kita dihadapkan pada suatu benda baru, dan kita tidak dapat mengkategorisasikannya dengan cara-cara tertentu, kita tidak dapat menentukannya, kita tidak dapat menempatkannya dalam sistem penyimpanan kita, selanjutnya yang penting menurut Bruner ialah, bahwa kategorisasi dapat membawa kita ketingkat yang lebih tinggi daripada informasi yang diberikan. Kita menentukan objek-objek yang mengasosiasikan objek-objek itu dengan suatu kelas. Bila kita mengklasifikasikan suatu objek, kita pengaruhi objek itu dengan sekumpulan sifat-sifat, atribut-atribut kritis, dan hubungan-hubungan. Kita melakukan hal ini melalui inverensi, menemukan lebih banyak daripada yang kita peroleh langsung dan objek itu. Ringkasannya, Bruner beranggapan, bahwa belajar merupakan pengembangan kategorikategori dan pengembangan suatu sistem pengkodean (coding). Berbagai kategori-kategori saling berkaitan sedemikian rupa, hingga setiap individu mempunyai model yang unik tentang alam. Dalam model ini belajar baru dapat terjadi dengan mengubah model itu. Hal ini terjadi melalui pengubahan kategori-kategori menghubungkan kategori-kategori dengan suatu cuma baru, atau dengan menambahkan kategori-kategori baru. Anak sebagai sosok yang mampu memecahkan masalah sendiri secara aktif (active problem solver), yang memiliki cara sendiri untuk memahami dunia. Jika anak didik memahami langkah-langkah penting dalam suatu mata pelajaran, ia dapat terus berpikir secara produktif tentang masalah-masalah baru, mengetahui bagaimana sesuatu terjadi sama pentingnya dengan ribuan fakta tentang sesuatu tersebut. Bruner menegakkan hipotesis bahwa mata pelajaran apapun dapat diajarkan secara efektif dengan kejujuran intelektual kepada anak dalam tahap perkembangan manapun. Ia meyakini bahwa
anak kecilpun dapat mengatasi masalah yang sulit, maka kurikulum harus berisi tema-tema hidup dikonseptualisasi menjawab tiga pertanyaan yaitu: (1) apa yang menjadi ciri khas manusia (2) bagaimana manusia mendapatkan ciri khas itu; dan (3) bagaimana ciri khas manusia itu dibentuk. Bruner menyimpulkan bahwa pendidikan bukan sekedar persoalan teknik pengelolaan informasi, bahkan bukan penerapan teori belajar di kelas atau menggunakan hasil yang berpusat pada mata pelajaran (subject centered achievmenr testing). Pendidikan merupakan usaha yang kompleks untuk menyesuaikan kebudayaan dengan kebutuhan anggotanya, dan menyesuaikan anggotanya cara mereka mengetahui kebutuhan kebudayaan. 2. Teori Belajar Bertitik tolak dan berbagai pandangan sejumlah ahli tersebut mengenai belajar, meskipun di antara mereka para ahli tersebut ada perbedaan mengenai pengertian belajar, namun baik secara eksplisit maupun implisit diantara mereka Irdapat kesainaan maknanya, yaitu definisi manapun konsep belajar itu selalu unjukkan kepada suatu proses perubahan perilaku atau pribadi seorang berdasarkan peraktek atau pengalaman tertentu. Hal-hal pokok alam pengertian belajar adalah belajar itu membawa perubahan tingkah laku karena pengalaman dan latihan, perubahan itu pada pokoknya didapatkannya kecakapan baru, dan perubahan itu terjadi karena usaha yang disengaja Aliran forkologi kognitif menganggap bahwa belajar pada dasarnya merupakan peristiwa mental, bukan peristiwa behavioral yang bersifat jasmaniah. Perubahan tingkah laku bukan dilihat dan perubahan sifat-sifat fisik %isa1nya tinggi dan berat badan, kekuatan fisik misalnya untuk mengangkat, yang terjadi sebagai suatu perubahan fisiologis dalam besar otot atau efisiensi dan proses-proses sirkulasi dan respirasi, perubahan ini tidak termasuk belajar Perilaku berbicara, menulis, bergerak, dan lainnya memberi kesempatan kepada manusia untuk mempelajari perilaku-perilaku seperti berpikir, merasa, mengingat, memecahkan masalah, berbuat kreatif, dan lain-lainnya, pembalan ini termasuk hasil belajar. Sedangkan istilah pengalaman membatasi macam- macam perubahan perilaku yang dapat dianggap mewakili belajar. Batasan ini penting dan sulit untuk didefinisikan, biasanya batasan ini dilakukan dengan memperhatikan penyebab-penyebab pembahan dalam perilaku yang tidak dapat dianggap sebagai hasil pengalaman. Jadi, perubahan perilaku yang disebabkan oleh kelelahan, adaptasi indera, obatobatan, dan kekuatan mekanis tidak dianggap sebagai perubahan yang disebabkan oleh pengalaman, dan karena itu tidak dapat dianggap, bahwa belajar telah terjadi. Wilis Dahar (1989: 12) memberi ilustrasi, bila seseorang masuk ke dalam kamar yang gelap, lambat laun ia akan melihat lebih jelas, perubahan yang dialami orang ini diakibatkan oleh pembukaan pupil dan perubahan-perubahan fotokimia dalam retina, hal mi merupakan suatu yang fisiologis, dan tidak mewakili belajar.
Perubahan-perubahan dalam perilaku yang disebabkan oleh alkohol atau obat-obatan lainnya tidak dapat dianggap sebagai belajar, sebab perubahan-perubahan mi juga bersifat fisiologis. Proses lain yang menghasilkan perubahan perilaku, yang tidak termasuk belajar adalah kematangan, yaitu perubahan perilaku disebabkan oleh pertumbuhan dan perkembangan dan organisma-organisma secara fisiologis. Pemikiran tentang belajar mengacu pada proses: (1) belajar tidak hanya sekedar menghafal, siswa harus mengkonstruksikan pengetahuan dibenak mereka sendiri; (2) anak belajar dan mengalami, anak mencatat sendiri pola-pola bermakna dan pengetahuan baru, dan bukan diberi begitu saja oleh guru; (3) para ahli sepakat bahwa pengetahuan yang dimiliki seseorang itu terorganisasi dan mencerminkan pemahaman yang mendalam tentang suatu persoalan (subject matter); (4) pengetahuan tidak bisa dipisah-pisahkan menjadi fakta-fakta atau proposisi yang terpisah, tetapi mencerminkan keterampilan yang dapat diterapkan; (5) manusia mempunyai tingkatan yang berbeda dalam menyikap situasi baru; (6) siswa perlu dibiasakan memecahkan masalah menemukan sesuatu yang berguna bagi dirinya, dan bergelut dengan ide-ide; (7) proses belajar dapat mengubah struktur otak, perubahan struktur otak itu berjalan terus seiring dengan perkembangan organisasi pengetahuan dan keterampilan seseorang. Untuk itu perlu dipahami, strategi belajar yang salah dan terus menerus ditajamkan, akan mempengaruhi struktur otak, yang pada akhirnya mempengaruhi cara seseorang berperilaku. Suatu tingkat kematangan tertentu merupakan prasyarat belajar berbicara, walaupun pengalaman dengan orang dewasa yang berbicara dibutuhkan untuk membantu kesiapan yang dibawa oleh kematangan. Jadi, belajar dihasilkan dan pengalaman dengan lingkungan, dimana terjadi hubungan-hubungan antara stimulus-stimulus dan respons-respons. Hal ini memberi makna bahwa belajar adalah proses aktif individu dalam membangun pengetahuan dan pencapaian tujuan. Artinya, diperlukan sebuah pendekatan belajar yang lebih memberdayakan siswa. Proses belajar tidak hanya tergantung kepada orang lain, akan tetapi sangat tergantung pada individu yang belajar (student centered), anak belajar tidak hanya verbalisme tetapi juga dani mengalami sendiri dalam lingkungan yang alasniah, mengkonstruksi pengetahuan, dan memberi makna pada pengetahuan itu. Anak harus tahu makna belajar dan menggunakan pengetahuan serta keterampilan yang telah diperoleh untuk memecahkan masalah dalam kehidupannya. Karena itu, belajar merupakan proses terbentuknya tingkah laku baru orang disebabkan individu merespon lingkungannya, melalui pengalaman pribadi yang tidak termasuk kematangan, pertumbuhan atau instink. Belajar sebagai proses akan terarah kepada tercapainya tujuan (goal oriented) dan pihak siswa maupun dan pihak guru Tujuan itu dapat identifikasi dan bahkan dapat diarahkan sesuai dengan maksud pendidikan Banyak sekali teori belajar menurut literatur psikologi,
teori itu bersumber dan teori atau aharan-aharan psiko1ogi. Secara garis besar dikenal ada tiga rumpun besar teori belajar menurut pandangan psikologi yaitu teori disiplin mental, teori behavionsme idan teon cognitive gestalt-filed. a. Teori Disiplin Mental Sebelum abad ke-20 telah berkembang beberapa teori belajar yaitu teori mental, teori pengembangan alamiah (natural unfoldment) atau self actualization dan teori apersepsi. Hingga sekarang teori-teori ini masih pengaruhnya di sekolah-sekolah. Teori belajar ini dikembangkan dilandasi eksperimen, ini berarti dasar orientasinya adalah filosofis atau spekulatif. Teori disiplin mental (Plato, Anistoteles) menganggap bahwa dalam belajar mental siswa didisiplinkan atau dilatih. Dalam mengajar siswa membaca misalnya, guru pengikut teori mi melatih, otot-otot mental siswa. Guru-guru ini mula-mula akan memberikan daftar kata-kata yang diinginkannya dengan menggunakan kartu-kartu dimana tertulis setiap kata itu. Selanjutnya mereka melatih siswa-siswa mereka, dan setiap hari diberi tes, dan siswa-siswa yang belum pandai harus kembali sesudah jam sekolah untuk dilatih lagi. Menurut rumpun psikologi teori disiplin mental ini individu memiliki kekuatan, kemampuan, atau potensi-potensi tertentu. Belajar adalah mengembangkan diri dan kekuatan, kemampuan, dan potensi-potensi individu, proses pengembangan kekuatan-kekuatan tersebut tiap aliran atau teori mengemukakan pandangan yang berbeda. Menurut psikologi daya atau faculty psychology individu memiliki sejumlah daya-daya yaitu daya mengindera, mengenal, mengingat, menanggap, menghayal, berpikir, merasakan, berbuat, dan sebagainya. Daya-daya itu dapat dikembangkan melalui latihan dalam bentuk ulangan-ulangan, seperti latihan mengamati benda, gambar, latihan mendengarkan bunyi dan suara, latihan mengingat kata, arti kata, dan letak suatu kota dalam peta. Kalau anak dilatih banyak mengulang-ulang menghafal sesuatu, maka ia akan terus ingat akan hal itu (Syaodih Sukmadinata, 2003: 167) hal mi sesuai dengan pepatah melayu Lancar kaji karena diulang. Latihan mi bukan hanya berkenaan dengan daya-daya fisik dan motorik, tetapi juga daya mental. Herbart (1776-1841) melanjutkan gagasan Pestalozzi tentang mempsikologikan pendidikan, dengan jalan menyusun pedagogik yang memadukan filsafat dan psikologi dalam menerangkan peristiwa pendidikan. Harbart menyebut teorinya sebagai teon Vorstellungen yang dapat diterjemahkan sebagai tanggapan-tanggapan yang tersimpan dalam kesadaran. Tanggapan ini meliputi tiga bentuk yaitu: (1) impresi indera; (2) tanggapan atau bayangan dan impresi indera yang lalu; dan (3) perasaan senang atau tidak senang. Tanggapan-tanggapan tersebut tidak semuanya berada dalam kesadaran, adakalanya juga berada dalam ketidaksadaran. Tanggapan tersebut berbeda kekuatannya, tanggapan-tanggapan yang kuat, besar pengaruhnya terhadap kehidupan individu.
Jadi belajar adalah mengusahakan adanya tanggapan sebanyak-banyaknya dan sejelasjelasnya pada kesadaran individu. Hal yang berkaitan dengan tanggapan itu diperoleh melalui pemberian bahan yang sederhana tetapi penting dan juga menarik, kemudian memberikannya seseorang mungkin. Jadi dalam teori Herbart juga tetap menekankan pentingnya ulangan-ulangan. Jean Jacques Rousseau mengemukakan anak memiliki potensi-potensi yang masih terpendam, melalui belajar anak harus diberi kesempatan mengembangkan atau mengaktualkan potensi-potensi tersebut. Sesungguhnya anak mempunyai kekuatan sendiri untuk mencari, mencoba, menemukan, dan mengembangkan dirinya sendiri. Artinya pendidik tidak perlu melakukan intervensi yang berlebihan atau terlalu banyak turut campur mengatur anak, biarkan dia belajar sendiri, yang penting bagi guru adalah perlu diciptakan situasi belajar yang permissif (rileks), menarik dan bersifat alamiah. Teori yang berlawanan sekali dengan teori disiplin mental ialah teori perkembangan alamiah (natural unfoldment). Menurut teori ini, anak akan berkembang secara alamiah. Pengembangpengembang teori ini adalah Jean J. Rousseau (1712-1778), ahli pendidik Swis Hainrich Pestalozzi (1746- 1827), dan ahli filsafat, penemu pendidikan Kindergarten Friedrich Frobel 1782-1 852). Para guru yang mengikuti teori ini, mula-mula akan menunggu hingga siswa-siswa menyatakan keinginannya untuk belajar membaca misalnya, sebelum mereka mencoba mengajar siswa-siswa ini membaca. Guru-guru lebih mementingkan perkembangan kematangan (maturational development) daripada menanamkan keterampilan-keterampilan tertentu. Lagi pula mereka inginkan agar belajar itu merupakan pengalaman yang menyenangkan anak. Teori yang berlawanan dengan teori disiplin mental dan alamiah adalah teori apersepsi, yang merupakan suatu nama mental yang dinamis, didasarkan pada premis fundamental, bahwa ada gagasan bawaan sejak lahir, apapun yang diketahui seseorang datang luar dirinya. Menurut teori apersepsi, belajar merupakan suatu proses gagasan-gagasan baru dengan gagasan-gagasan lama yang sudah pikiran (mind). Para pengikut teori ini akan mengajar siswa-siswa misalnya, mulai dengan abjad, dan berusaha agar para siswa dapat dan mengucapkan setiap huruf. Kemudian mereka akan mengatakan huruf-huruf itu digabungdigabungkan untuk membentuk kata-kata, huruf-huruf membuat bunyi, bagaimana bunyi menjadi bersatu, dan utuma huruf-huruf hidup dan huruf-huruf mati berperan. Dengan kata lain, guru akan memberikan aturan-aturan pada siswa, membicarakan benda-benda atau makhluk-makhluk hidup yang telah dikenal para siswa, misalnya kucing, anjing, kuda, kambing, sapi, dan lain-lain. Kemudian guru menulis di papan tulis K u d a dan menerangkan bahwa kata ini menggambarkan kuda. Guru mi berkeinginan terutama untuk membuat pelajaran membaca itu menarik, dan berusaha agar para siswa memperoleh gagasan-gagasan yang benar dan membaca. Nama yang paling banyak
dihubungkan dengan teori ini adalah Johann Friedrich Herbat (1776.4841), yang pertama kali mengembangkan psikologi belajar secara sistematis dan teori tabularasa mengenai pikiran. b. Teori Behaviorisme Rumpun teori ini disebut behaviorisme karena sangat menekankan perilaku atau tingkah laku yang dapat diamati atau diukur. Teori-teori dalam rumpun ini bersifat molekular, karena memandang kehidupan individu terdiri atas unsur-unsur seperti halnya melokul-molekul. Ada beberapa ciri dan rumpun teori ini yaitu: (1) mengutamakan unsur-unsur atau bagian-bagian kecil; (2) bersifat mekanistis; (3) menekankan peranan lingkungan; (4) mementingkan pembentukan reaksi atau respon; dan (5) menekankan pentingnya latihan (Syaodth Sukmadinata, 2003: 168). Koneksionisme merupakan teori yang paling awal dan rumpun behaviorisme. Menurut teori ini tingkah laku manusia tidak lain dan suatu hubungan antara perangsang-jawaban atau stimulus respons sebanyakbanyaknya. Siapa yang menguasai hubungan stimulus respons sebanyak-banyaknya ialah orang pandai atau berhasil dalam belajar. Pembentukan hubungan stimulus-respons dilakukan melalui ulangan-ulangan. Dengan demikian teori mi memiliki kesamaan dalam cara mengajarnya dengan teori psikologi daya atau herbartisme. Tokoh yang sangat terkenal mengembangkan teori ini adalah Thomdike (1874-1949), dengan eksperimennya belajar pada binatang yang juga berlaku bagi manusia yang disebut Thorndike dengan trial and error. Thorndike menghasilkan teori belajar connectionism karena belajar merupakan proses pembentukan koneksi-koneksi antara stimulus dan respons. Thorndike mengemukakan tiga prinsip atau hukum dalam belajar yaitu: (1) law of readines, belajar akan berhasil apabila individu memiliki kesiapan untuk melakukan perbuatan tersebut; (2) law of exercise yaitu belajar akan berhasil apabila banyak latihan dan ulangan; dan (3) law of effect yaitu belajar akan bersemangat apabila mengetahui dan mendapatkan hasil yang baik. Teori pengkondisian (conditioning), merupakan perkembangan lebih lanjut dan koneksionisme. Teori mi dilatarbelakangi oleh percobaan Ivan Pavlov (1849- 1936) dengan keluarnya air liur. Air liur akan keluar apabila anjing melihat atau mencium bau makanan. Dalam percobaannya Pavlov membunyikan bel sebelum memperlihatkan makanan pada anjing. Setelah diulang berkali-kali ternyata air liur tetap keluar bila bel berbunyi meskipun makanannya tidak ada. Penelitian ini menyimpulkan bahwa perilaku individu dapat dikondisikan. Artinya belajar merupakan suatu upaya untuk mengkondisikan pembentukan suatu perilaku atau respons terhadap sesuatu. Ivan Pavlov (1849-1936) menghasilkan teon belajar yang disebut classical conditioning atau stimulus substitution. Teori penguatan atau reinforcement merupakan pengembangan lebih lanjut dan teori oneksionisme. Kalau pada pengkondisian (conditioning) yang
diberi kondisi adalah perangsangannya (stimulus), maka pada teori penguatan yang dikondisi atau diperkuat adalah responsnya. Seorang anak yang belajar dengan giat dan dia dapat menjawab semua pertanyaan dalam ulangan atau ujian, maka guru memberikan penghargaan pihak itu dengan nilai yang tinggi, pujian, atau hadiah. Berkat pemberian penghargaan, maka anak tersebut akan belajar lebih rajin dan lebih bersemangat lagi. Prinsip-prinsip belajar menurut teori behaviorisme yang kemukakan oleh Harley dan davis (1978) yang banyak dipakai adalah: (1) proses belajar dapat terjadi dengan baik apabila siswa ikut terlibat secara aktif a1aninya; (2) materi pelajaran diberikan dalam bentuk unit-unit kecil dan pitur sedemikian rupa sehingga hanya perlu memberikan suatu respons tertentu (3) tiap-tiap respons perlu diberi umpan balik secara langsung sehingga dapat dengan segera mengetahui apakah respons yang diberikan betul tidak; dan (4) perlu diberikan penguatan setiap kali siswa memberikan apakah bersifat positif atau negatif. Penguatan yang bersifat positif lebih baik karena memberikan pengalaman yang menyenangkan bagi sehingga ia ingin mengulang kembali respons yang telah diberikan. Jadi suatu respon diperkuat oleh penghargaan berupa nilai yang tinggi r kemampuannya menyelesaikan soal-soal ujian. Pemberian nilai adalah jlcrapan teori penguatan yang disebut juga operant conditioning tokoh utamanya adalah Skinner yang mengembangkan program pengajaran dengan berpegang pada teori penguatan tersebut. Program pembelajaran yang terkenal dari Skinner adalah programmed instruction dengan menggunakan media buku atau mesin pengajaran. Dalam pengajaran berprogram, bahan ajaran susun dalam potongan bahan kecil-kecil, dan disajikan dalam bentuk informasi dan tanya jawab. Anak belajar dengan cara membaca informasi dan soal, lalu memberikan atau memilih jawaban yang tersedia. Jawaban anak segera dicocokkan dengan kunci jawaban, dan segera diketahui hasilnya yang dinyatakan dengan kualifikasi nilai tertentu. Nilai yang baik akan mendapatkan pengelola belajar terutama menyangkut teori behaviorisme, kritik-kritik ini adalah: pujian, sedangkan nilai yang kurang baik akan mendapatkan peringatan. Pengajaran berprogram disajikan dalam berbagai bentuk media pengajaran yaitu dalam bentuk buku program, mesin pengajaran, kaset audio, kaset video, atau komputer. Melalui penggunaan pelajaran berprogram dimungkinkan anak belajar secara individual, guru dalam hal ini sebagai pengarah, pendorong dan pengelola belajar. Skinner adalah seorang pakar teoni belajar berdasarkan proses conditioning yang pada prinsipnya memperkuat dugaan bahwa timbulnya tingkah laku itu lantaran adanya hubungan antara stimulus dengan respons. Psikologi penguatan atau operant conditioning merupakan perkembangan
lebih lanjut dan teori koneksionisme atau conditioning. Pada pertengahan 1950 dan 1960-an menurut Harley dan davis (1978) timbul kritik-kritik tajam terhadap prinsip-prinsip belajar yang diterapkan untuk sistem instruksional terutama menyangkut teori behaviorisme, kritik-kritik ini adalah : 1. Apakah hasil penelitian tentang proses belajar, terutama yang menyangkut hubungan S-R yang diperoleh dengan memakai binatang sebagai subjek, karakteristik ini sama atau dapat diterapkan pada manusia Binatang yang berlainan species akan memberi respons yang berlainan apabila diberi bermacam-macam stimulus penguatan. 2. Apakah hasil penelitian yang dilakukan di laboratorium akan relevan dengan situasi belajar sesungguhnya? Dalam laboratorium, peneliti dapat mengatur dan mengukur pengaruh variabelvariabel yang ingin diteliti hubungannya dengan hasil belajar, karena variabel lainnya dapat dikontrol. Esksperimen-eksperimen dalam laboratorium terlalu sederhana sifatnya, dan kompleksitas karakteristik belajar pada manusia seakan-akan diabaikan di sini. 3. Apakah faktor-faktor sosial juga diperhatikan dalam penelitian-penelitian eksperimental di laboratorium? Seperti diketahui proses belajar manusia tidak merupakan suatu yang berdiri sendiri tanpa dipengaruhi oleh masyarakat sekitarnya. Lingkungan dapat merubah tingkah laku hewan dan manusia. 4. Kecuali faktor-faktor sosial, nampaknya penelitian di laboratorium juga mengesampingkan faktor perkembangan lainnya seperti pengalaman-pengalaman sebelumnya. Bagaimana seseorang belajar sesuatu yang belum diketahui sebelumnya, merupakan pertanyaan penting, baik secara teoritik maupun dalam praktek. Perkembangan adalah pembentukan keterampilan baru dan keterampilan-keterampilan yang lebih sederhana dan yang telah diperoleh sebelumnya. Dengan demikian pada prinsipnya pengalaman-pengalaman sebelumnya merupakan sesuatu yang perlu diperhatikan pada proses belajar. 5. Kritik utama mengenai prinsip-prinsip tersebut ialah bahwa prinsip-prinsip lebih mengutamakan pernyataan yang bersifat deskriptif dan tidak preskriptif. Semua pengajar mengetahui bahwa aktivitas diperlukan dalam proses belajar, tetapi mereka belum mengetahui dengan jelas aktivitas seperti apa, sejauh mana aktivitas tersebut diperlukan dan kapan aktivitas ini justru dapat merupakan penghambat proses belajar? Untuk menanggulangi kritik-kritik mi dalam pengembangan sistem truksiona1 diterapkan prinsip-prinsip teori psikologi seperti teori kepribadian , psikologi sosial, hal ini dikarenakan: (1) belajar merupakan proses ilmiah prosedur yang ilmiah pula; (2) sikap orang mempunyai kebutuhan dan yang merupakan keinginan untuk belajar tanpa dapat dibendung oleh lain; (3) belajar akan lebih
lancar apabila materi yang dipelajarinya dengan pribadi orang yang belajar, dan ia diberi kesempatan untuk jawab atas proses belajarnya sendiri; (4) proses belajar jarang merupakan proses yang terjadi dalam keadaan menyendiri; dan (5) proses dengan pengikutsertaan emosi dan perasaan siswa akan memberikan yang lebih baik. Artinya belajar benar-benar diperuntukkan untuk kemampuan pribadi siswa dengan mengembangkan potensinya melalui berbagai aktivitas belajar. c. Teori Cognitive Gestalt-Filed Teori kognitif, dikembangkan oleh para ahli psikologi kognitif teori ini beda dengan behaviorisme, bahwa yang utama pada kehidupan manusia mengetahui (knowing) dan bukan respons. Psikologi Gestalt dipandang agal anak dan aliran strukturalisme, pada tahun 1912 sebagai reaksi terhadap strukturatisme dalam psikologi (structural psychology) yaitu sistem psikologi yang dikaitkan dengan William Max Wundt (1832-1920) Bapak psikologi eksperimen dan Edward Bradferd Titchner. Aliran struictural ini memandang pengalaman manusia dan sudut pengalaman pribadi. Sedangkan psikologi Gestalt memandang kejiwaan manusia terikat kepada pengamatan sang berwujud kepada bentuk menyeluruh. Teori belajar Gestalt (Gestalt Theory) ini lahir di Jennan tahun 1912 dipe1opori dan dikembangkan oleh Max Wertheimer (1880-1943) yang meneliti tentang pengamatan dan problem solving, dan pengamatannya ia menyesalkan pengalaman sebelumnya merupakan sesuatu yang perlu diperhatikan pada proses belajar penggunaan metode menghafal di sekolah, dan menghendaki agar murid belajar dengan pengertian bukan hafalan akademis. Sumbangannya mi diikuti tokoh-tokoh lainnya adalah Wolfgang Kohier (1887-1959) yang meneliti tentang insight pada simpanse yaitu mengenai mentalitas Simpanse (ape) di pulau Canary yang memperkembang psikologi Gestalt. Pandangannya ini bertentangan dengan pandangan Thorndike mengenai belajar, yang menganggap sebagai proses trial and error. Kohler menyatakan bahwa belajar serta mencapai hasil adalah proses yang didasarkan insight. Kecuali itu, pengamatan menurut psikologi elemen berlangsung dan bagian-bagian menuju keseluruhan. Sedangkan psikologi Gestalt berpendapat bahwa, pengamatan adalah bersifat totalitas, kesan pertama pengamatan adalah totalitas atau keseluruhan, bagian-bagian barulah muncul kemudian secara analitis. Kurt Koffica (1886-194 1) yang menguraikan secara terperinci tentang hukum-hukum pengamatan, dan Kurt Lewin (1892-1947) yang mengembangkan suatu teori belajar (cognitive field) dengan menaruh perhatian kepada kepribadian dan psikologi sosial. Lewin berpendapat bahwa tingkah laku merupakan hasil interaksi antar kekuatan-kekuatan, baik yang dan dalam diri individu seperti tujuan, kebutuhan, tekanan kejiwaan, maupun dan luar diri individu seperti tantangan dan permasalahan.
Medan kekuatan psikologis dimana individu bereaksi disebut life space yang mencakup perwujudan lingkungan dimana individu bereaksi, misalnya orang-orang yang ia jumpai, objek materiil yang ia hadapi, dan fungsi-fungsi kejiwaan yang ia miliki. Menurut Lewin belajar berlangsung sebagai akibat dan perubahan dalam struktur kognitif. Perubahan struktur kognitif itu adalah hasil dan dua macam kekuatan, satu dan struktur medan kognisi itu sendiri, yang lainnya dan kebutuhan dan motivasi internal individu. Apabila seseorang belajar, maka ia akan tambah pengetahuannya, Lewin memberikan peranan yang lebih penting pada motivasi dan reward (Soemanto, 1998:129). Penelitian-penelitian mereka menumbuhkan psikologi Gestalt yang menekankan bahasan pada masalah konfigurasi, struktur, dan pemetaan dalam pengalaman. Kalau rumpun psikologi behaviorisme bersifat molekular atau menekankan unsur-unsur, maka rumpun kognitif Gestalt bersifat molar yaitu menekankan keseluruhan yang terpadu, alam kehidupan manusia dan perilaku manusia selalu merupakan suatu keseluruhan, suatu keterpaduan. Kaum Gestaltis berpendapat, bahwa pengalaman itu berstruktur yang terbentuk dalam suatu keseluruhan. Orang yang belajar, mengamati stimuli dalam keseluruhan yang terorganisasi, bukan dalam bagian-bagian yang terpisah. Teori Gestalt ini merupakan salah satu dan teori rationalist dalam psikologi. Para ahli psikologi Gestalt memulai teorinya dan ide abstrak mengenai sifat pengamatan, berpikir, dan struktur pengalaman kejiwaan manusia. Gestalt dalam bahasa Jerman berarti whole configuration atau bentuk utuh, pola, kesatuan, dan keseluruhan artinya Gestalt adalah keseluruhan lebih berarti dan bagian-bagian. Dalam belajar, siswa harus mampu menangkap makna dan hubungan antara bagian yang satu dengan bagian ya. Penangkapan makna hubungan jumlah yang disebut memahami, mengerti atau insight. Menurut pandangan Gestalt, semua kegiatan belajar menggunakan insight atau pemahaman terhadap hubungan-hubungan, terutama hubungan-hubungan antara bagian dan keseluruhan. Menurut psikologi Gestalt tingkat kejelasan atau keberantian dan apa yang diamati dalam pas belajar, adalah lebih meningkatkan belajar seseorang daripada hukuman, ganjaran. Suatu konsep yang penting dalam psikologi Gestalt adalah tentang yaitu pengamatan dan pemahaman mendadak terhadap hubungan antara bagian-bagian dalam suatu situasi permasalahan. Dalam pembelajaran dengan teori Gestalt, guru tidak memberikan atau bagian-bagian bahan ajaran, tetapi selalu satu kesatuan utuh. Guru memberikan suatu kesatuan situasi atau bahan yang persoalanpersoalan, dimana anak harus berusaha menemukan antan bagian, memperoleh insight agar ia dapat memahami situasi atau bahan ajaran tersebut. Insight itt sening dihubungkan pernyataan spontan seperti aha atau oh, see-now. Menurut teori mi pengamatan manusia pada awalnya bersifat global
terhadap objek yang dilihat, karena itu belajar harus dimulai dan keseluruhan baru berproses kepada bagian-bagian. Pengamatan antinya proses menafsirkan, dan memberi anti rangsangan yang masuk melalui indera-indera seperti mata dan telinga. Belajar Gestalt menekankan pemahaman atau insight dan pengamatan sebagai suatu alternatif. Berkat pengalaman seorang siswa akan mampu mencapai pengamatan yang benar objektif sebelum mencapai pengertian. Suatu keseluruhan terdiri atas bagian-bagian yang mempunyai hubungan yang bermakna satu sama lain. Dalam belajar siswa harus memahami makna hubungan antar satu bagian dengan bagian yang lainnya. Ketika para pakar psikologi mulai meluaskan pandangannya dan sekedar soal pengamatan ke soal belajar, maka dasar pandangan tentang pengamatan itu dibawanya ke dalam studi tentang belajar. Dikatakannya bahwa hukum-hukum tentang pengamatan berlaku bagi proses belajar. Hal ini di kemukakan berdasar kenyataan, belajar itu pada hakekatnya merupakan penyesuaian-penyesuaian terhadap lingkungan, yaitu untuk mendapatkan respons yang tepat. Penemuan respons yang tepat ini tergantung pada strukturalisasi daripada bahan yang tersedia di depan siswa, maka mudah atau sulitnya masalah tergantung pada pengamatan. Insight sebagaimana hasil penelitian ternyata memegang peranan penting, maka insight pun mendapat tempat yang penting dalam teori belajar. Belajar dipandang sebagai fenomena dan apa yang dipelajari sebagai produk, dan ditentukan oleh keadaan jiwa dan oleh hukum susunan pengamatan. Hukum pengamatan menurut teori Gestalt meliputi: (I) hukum keterdekatan, artinya yang terdekat merupakan Gestalt; (2) hukum ketertutupan, artinya yang tertutup merupakan Gestalt; dan (3) hukum kesamaan, artinya yang sama merupakan Gestalt. Hubungannya dengan Gestalt ruang pada indera penglihatan akan berhubungan dengan Gestalt waktu dalam indera pendengaran membentuk suatu kesatuan yang mengatasi sifat keterbatasan daripada waktu. Penglihatan terhadap objek yang sudah jelas strukturnya dalam proses belajar, maka kesan yang diperoleh adalah tergantung kepada objek yang diamati. Akan tetapi kesan penglihatan terhadap objek yang kurang jelas strukturnya oleh Soemanto (1998:20) akan lebih bergantung kepada subjek yang dalam hal mi adalah peranan sikap batin si subjek itu sendiri. Kejiwaan manusia terikat kepada pengamatan yang dimilikinya, pengamatan ini adalah perwujudan keadaan kejiwaan manusia. Manusia adalah mahkluk secara psikologis mempunyai kesadaran atas pengertian atau insight yang ada dalam jiwanya. Manusia yang dihadapkan pada problema atau problem solving untuk mencoba memahaminya dengan melakukan upaya menghubungkan unsur-unsur dalam problema tersebut dengan menemukan makna yang terkandung di dalamnya. Dengan demikian unsur berpikir atau inteligen ikut berperan, sehingga timbul dalam jiwa yang bersangkutan pengertian atau insight.
Setelah ia menemukan insight, maka ia akan menyatakan insight itu dengan suatu ekspresi yaitu aku mengerti sekarang, aku dapat menyelesaikannya, dan sebagainya yang menimbulkan rasa puas, karena mampu menyelesaikan problema yang dihadapinya. Jadi dalam belajar pemahaman atau memegang peranan amat penting bagi tuntasnya kegiatan belajar. Belajar bukanlah aktivitas reaktif mekanistis belaka, tetapi juga adanya pemahaman terhadap perangsang yang datang yang tengah dihadapi diwaktu orang melakukan aktivitas belajar. Menurut teori Gestalt perbuatan belajar tidak berlangsung seketika, tetapi berlangsung berproses kepada halhal esensial, sehingga aktivitas belajar itu akan menimbulkan makna yang (meaningfidl). Sebab itu dalam proses belajar, makin lama akan timbul ini pemahaman yang mendalam terhadap materi pelajaran yang dipelajar, perhatian makin ditujukan kepada obyek yang dipelajari itu telah mengerti dan dapat apa yang dicari. Sebab itu menurut Rasyad (2003 :77) hendaknya timbul rasa kebutuhan belajar dalam diri, bahwa belajar itu perlu dan harus dilakukan untuk memperoleh sesuatu dengan memahami bagian dan hubungan antar bagian hingga terjadi proses penguraian (analysis) dan pemaduan (sintesis). Situasi uar merupakan keseluruhan konfigurasi Gestalt dan proses pengamatan yang dalam diri manusia melalui sensorinya kemudian perangsang (R) bergabung dengan respon dan menyatu membentuk aktivitas, karena kesatuan dengan respons dan diproses oleh kecerdasan sehingga pemahaman atau pengertian terhadap masalah yang tengah Dalam jiwa akan terdapat Aha Erlebnis sebagaimana dikemukakan dengan percobaannya, Aha Erlebnis oleh orang Jerman diartikan tingkah laku hasil belajar. Melalui teori Gestalt mi pengamatan kita awalnya betul-betul global, kita melihat secara awal adalah Vas bunga, h kita amati dengan seksama barulah kita menemukan bagian-bagiannya ki-ta ada melihat sejumlah lekukan, ornamen, dan isinya yang menjadi bagian yang terpisahkan dan Vas bunga tersebut dari sebagainya (Rasyad, :74). Suatu hukum yang terkenal dan teori Gestalt yaitu hukum Pragnanz, kurang lebth berarti teratur, seimbang, simetri, dan harmonis. Hukum pragnanz ini menunjukkan tentang berarahnya segala kejadian, Pragnanz dapat sebagai daya muat yaitu keadaan seimbang, suatu Gestalt yang baik. Belajar adalah mencari dan mendapatkan Pragnanz, menemukan keteraturan, kesederhanaan, kestabilan, simetri, keharmonisan dan sebagainya dan sesuatu, sebaliknya dan itu keadaan yang problematis menurut Suryabrata :277) adalah keadaan yang tidak pragnaz. Pemecahan problem itu ialah mengadakan perubahan dalam ZF medan atau hal itu dengan memasukkan hal-hal yang dapat membawa hal yang problematis kearah yang bersifat pragnaz. Untuk menemukan Pragnanz diperhikan adanya pemahaman atau insight, menurut Ernest Hilgard ada enam ciri dan belajar pemahaman mi yaitu: (1) pemahaman dipengaruhi oleh kemampuan dasar, individu yang satu dengan yang lain mempunyai kemampuan dasar yang berbeda; (2) pemahaman dipengaruhi
oleh pengalaman belajar yang lalu yang relevan, namun pengalaman masa lalu tersebut belum menjamin dapat menyelesaikan problem, sebab pemecahan-pemecahan problem berarti penerapan operation-operation yang telah dipelajari terlebih dahulu; (3) pemahaman tergantung kepada pengaturan situasi, sebab insight itu hanya mungkin terjadi apabila situasi belajar itu diatur sedemikian rupa sehingga segala aspek yang perlu dapat diamati; (4) pemahaman didahului oleh usaha coba-coba, sebab insight bukanlah hal yang dapat jatuh dan langit dengan sendirinya, melainkan adalah hal yang harus dicari; (5) belajar dengan pemahaman dapat diulangi, jika sesuatu problem yang telah dipecahkan dengan insight lain kali diberikan lagi kepada pelajar yang bersangkutan, maka dia akan dengan langsung dapat memecahkan problem itu lagi; dan (6) suatu pemahaman dapat diaplikasikan atau dipergunakan bagi pemahaman situasi lain (Suryabrata, 2001:279 dan Syaodih Sukmadinata, 2003:171). Menurut teori ini dapat ditegaskan bahwa belajar adalah berusaha mengatasi hambatan-hambatan untuk mencapai tujuan. d. Makna dan Ciri Belajar Meskipun terdapat titik pertemuan antara berbagai pendapat para ahli mengenai apa itu hakekat atau esensi dan perbuatan belajar ialah perubahan perilaku dan pribadi, namun mengenai apa sesungguhnya yang dipelajari dan bagaimana manifestasinya masih tetap merupakan permasalahan yang mengundang interpretasi paling fundamental mengenai hal mi. Dengan demikian inti dan belajar yang di kemukakan oleh para ahli tersebut dilihat dan psikologi adalah adanya perubahan kematangan bagi anak didik sebagai akibat belajar sedangkan dilihat dan proses adalah adanya interaksi antara peserta didik dengan pendidik sebagai proses pembelajaran. Perubahan kematangan mi akibat dan adanya proses pembelajaran, dan perubahan ini tampak pada perubahan tingkah laku yang dipengaruhi oleh ilmu pengetahuan yang diperolehnya dan proses belajar. Secara singkat dan berbagai pandangan itu oleh Syamsudin Makmur (2003:159) dapat dirangkumkan bahwa yang dimaksud dengan perubahan dalam konteks belajar itu dapat bersifat fungsional atau struktural, material, dan behavioral, serta keseluruhan pribadi (Gestalt atau sekurangkurangnya multidimensional). Pendapat mi sejalan dengan pendapat Hilgand dan Bower (l98 1) yang mengemukakan bahwa belajar dapat diartikan sebagal perubahan tingkah laku yang relatif permanen dan yang merupakan hasil proses pembelajaran bukan disebabkan oleh adanya proses kedewasaan. Edward Thorndike (1933) berpendapat belajar adalah proses orang memperoleh berbagai kecakapan, keterampilan, dan sikap. Belajar merupakan tindakan dan perilaku siswa yang kompleks, sebagai tindakan, maka belajar hanya dialami oleh siswa sendiri. Karakteristik perilaku belajar ini dilihat dan sudut psikologi pendidikan disebut juga prinsipprinsip belajar. Tindakan belajar tersebut tampak sebagai perilaku belajar yang tampak dari luar.
Berkaitan dengan konsep perubahan dalam konteks belajar itu dapat bersifat fungsional atau struktural, material, dan bavioral, serta keseluruhan pribadi, secara singkat dijelaskan bahwa: (1) belajar merupakan perubahan fungsional (pendapat ini dikemukakan oleh menganut paham teori daya atau faculty psychology termasuk dalam paham nativisme) yaitu jiwa manusia itu terdiri atas sejumlah fungsi-fungsi yang memiliki daya atau kemampuan tertentu misalnya daya mengingat, daya, dan sebagainya; (2) belajar merupakan pelayanan materi pengetahuan, dan atau perkayaan pola-pola sambutan (respons) perilaku baru behavior), pandangan ini di kemukakan penganut paham ilmu jiwa asosiasi atau paham empirismenya John Locke; dan (3) belajar merupakan perubahan perilaku dan pribadi secara keseluruhan, pendapat ini di kemukakan oleh menganut ilmu jiwa Gestalt bersumber pada paham organismic psychology. Pemahaman terhadap berbagai teori belajar diperlukan dan penting bagi para pendidik untuk melaksanakan tugas profesionalnya. Chaplin (1989:272) ienegaskan bahwa belajar (learning) adalah: (1) perolehan dan sebarang perubahan yang relatif permanen dalam tingkah laku, sebagai hasil dari praktek atau hasil pengalaman; dan (2) proses mendapatkan reaksi-reaksi, bagai hasil dan praktek dan latihan khusus. Dalam mempelai hal belajar lewat pengkondisian atau persyaratan, ada tersedia dua model yaitu pengkondisian klasikal dan pengkondisian operan. Dalam penglcondisian klasikal proses asasi yang tercakup di adalah pengulangan berpasangan yaitu yang dipasangkan dan suatu perangsang yang dikondisioning (yang harus dipelajari), dan satu perangsang yang tidak dikondisionir atau dipersyaratkan (berkenaan dengan penguatan). Untuk memahami konsep belajar lebih mendalam berikut ini di kemukakan pendapat beberapa ahli yang di introdusir oleh Dimyati dan Mujiono (1999:9-16) berikut :
Dari ketiga pandangan diatas dapat dipahami bahwa perbuatan dan hasil belajar itu mungkin dapat dimanifestasikan dalam wujud: (1) pertambahan materi pengetahuan yang berupa fakta, informasi, prinsip hukum atau kaidah, prosedur atau pola kerja atau teori sistem nilai-nilai dan sebagainya; (2) penguasaan pola-pola perilaku kognitif (pengamatan) proses berpikir, .mengingat atau mengenal kembali, perilaku afektif (sikap-sikap apresiasi, penghayatan, dan sebagainya) perilaku psikomotorik termasuk yang bersifat espresi dan (3) perubahan dalam sifat-sifat kepribadian baik yang tangible maupun yang intangible. Setiap perilaku belajar tersebut selalu ditandai oleh ciriciri perubahan yang spesifik antara lain seperti dikemukakan berikut ini. a. Belajar menyebabkan perubahan pada aspek-aspek kepribadian yang berfungsi terus menerus, yang berpengaruh pada proses belajar selanjutnya. b. Belajar hanya terjadi melalui pengalaman yang bersifat individual c. Belajar merupakan kegiatan yang bertujuan, yaitu arah yang ingin dicapai melalui proses belajar.
d. Belajar menghasilkan perubahan yang menyeluruh, melibatkan keseluruhan tingkah laku secara integral e. Belajar adalah proses interaksi f. Belajar berlangsung dan yang paling sederhana sampai pada kompleks Dari pembahasan tersebut ditegaskan bahwa ciri khas belajar adalah perubahan, yaitu belajar menghasilkan perubahan perilaku dalam diri peserta dik. Belajar menghasilkan perubahan perilaku yang secara relatif tetap dalam berpikir, merasa, dan melakukan pada diri peserta didik. Perubahan tersebut terjadi sebagai hasil latihan, pengalaman, dan pengembangan yang hasilnya dapat diamati secara langsung. e. Prinsip-prinsip Belajar Belajar menurut teori psikologi asosiasi (koneksionisme) adalah proses bentukan asosiasi atau hubungan antara stimulus (perangsang) yang mengenai individu melalui penginderaan dan response (reaksi) yang diberikan terhadap rangsangan tadi, dan proses memperkuat hubungan tersebut. eksperimen dilakukan para ahli-ahli psikologi tentang proses belajar berhasil mengungkapkan serta menemukan sejumlah prinsip atau yang merupakan dasar-dasar dalam melakukan proses dan mengajar atau Sehubungan dengan itu, ada berbagai prinsip belajar yang oleh para ahli dibidang psikologi pendidikan, antara Lain prinsip belajar sebagaimana berikut ini : a. Law of Effect yaitu bila hubungan antara stimulus dengan respon terjadi dan diikuti dengan keadaan memuaskan, maka hubungan itu diperkuat. Sebaliknya jika hubungan itu diikuti dengan perasaan tidak menyenangkan, maka hubungan itu akan melemah. Jadi, hasil belajar akan diperkuat apabila menumbuhkan rasa senang atau puas (Thorndike) b. Spread of Effect yaitu reaksi emosional yang mengiringi kepuasan itu tidak terbatas kepada sumber utama pemberi kepuasan, tetapi kepuasan mendapat pengetahuan baru c. Law of Exercice yaitu hubungan antara perangsang dan reaksi diperkuat dengan latthan dan penguasaan, sebaliknya hubungan itu melemahkan jika dipergunakan. Jadi, hasil belajar dapat lebih sempurna apabila sering diulang dan sering dilatih d. Law of Readiness yaitu bila satuan-satuan dalam sistem syaraf telah siap berkonduksi, dan hubungan itu berlangsung, maka terjadinya hubungan itu akan memusakan. Dalam hubungan ini tingkah laku baru akan terjadi apabila yang belajar telah siap belajar e. Law of Primacy yaitu hasil belajar yang diperoleh melalui kesan pertama, akan sulit digoyahkan f. Law of Intensity yaitu belajar memberi makna yang dalam apabila diupayakan melalui kegiatan yang dinamis g. Law of Recency yaitu bahan yang baru dipelajari, akan lebih mudah diingat
15. Dalam proses belajar mengajar dapat meliputi belajar informasi (pengetahuan), belajar konsep. belajar prinsip belajar sikap dan belajar keterampilan. 16. Insight timbul jika individu berhasil menemukan hubungan antara bagian-bagian atau unsur-unsur dan suatu keseluruhan konfigurasi, insight dapat timbul secara tiba-tiba ataupun secara berangsurangsur 17. Proses belajar mengajar bersifat individual, artinya tiap individu memperlihatkan perbedaan dalam kecepatan belajar, tingkat dan batas-batas dalam berbagai bidang. Proses belajar mengajar dapat terjadi tanpa diikuti oleh gejala-gejala ahiriah dan perubahan tingkah laku individu. Sumbangan pandangan E. L. Thomdike terhadap belajar diantaranya: (I) kematangan, kesiapan belajar dan motivasi berperanan penting dalam keberhasilan belajar; (2) perubahan tingkah 1aku data basil belajar dapat diperkuat melalui penggunaan hadiah (reward), ,sebaliknya dapat diperlemah dengan penggunaan hukuman; dan (3) dalam beberapa aspek belajar bidang kognitif, dan bidang psikomotor terutama dalam keterampilan, peranan trial and error cukup besar pengaruhnya. f. Syarat Agar Peserta Didik Berhasil Belajar Agar peserta didik dapat berhasil belajar diperlukan persyaratan tertentu lain seperti di kemukakan berikut ini: (1) kemampuan berfikir yang tinggi para siswa, hal mi ditandai dengan berpikir kritis, logis, sistematis, dan (Scholastic Aptitude Test); (2) menimbulkan minat yang tinggi mata pelajaran (Interest Inventory); (3) bakat dan minat yang khusus siswa dapat dikembangkan sesuai potensinya (Differential Aptitude Test); menguasai bahan-bahan dasar yang dip erlukan untuk
meneruskan pelajaran sekolah yang menjadi lanjutannya (Achievement Test); (5) menguasai salah bahasa asing, terutama Bahasa Inggris (English Comprehension Test) bagi yang telah memenuhi syarat untuk itu; (6) stabilitas Psikis (tidak i masalah penyesuaian diti dan seksual); (7) kesehatan jasmani; (8) lingkungan yang tenang; (9) kehidupan ekonomi yang memadai; (1) menguasai teknik belajar di Sekolah dan di luar sekolah. Belajar dalam satu bidang tidaklah menjamin dalam bidang yang lain, misalnya guru pada suatu kursus memperkembangkan suatu keterampilan pada tingkat yang tinggi dengan membagi-bagi personil dalam kelas-kelas laboratons atau ruang-ruang kelas, tapi dia mungkin tidak berminat untuk mengusahakan agar ketarampilan ini dilengkapi dengan bagian-bagian belajar itu tidak dapat diperoleh. Belajar tidak terjadi dalam artian yang lebih luas; padahal belajar adalah tentang perubahan kelakukan seorang individu, bilamana sedang mengerjakan sesuatu dalam situasi tertentu. g. Cara Belajar yang Balk Proses pembelajaran tidak selalu efektif dan efisien dan hasil proses belajar mengajar tidak selalu optimal, karena ada sejumlah hambatan. Karena itu, guru dalam memberikan materi pelajaran hanya yang berguna dan bermanfaat bagi para siswanya. Materi tersebut disesuaikan dengan kebutuhan mereka akan pelajaran tersebut. Belajar seperti mi akan lebih mengutamakan penguasaan ilmu, dan diyakini akan memberi peluang untuk siswa lebih kreatif dan guru lebih profesional. Dengan demikian pembelajaran akan lebih bermakna dimana guru mampu menciptakan kondisi belajar yang dapat membangun kreatifitas siswa untuk menguasai ilmu pengetahuan. Cara belajar yang baik secara umum menggambarkan bahwa: (1) belajar secara efisien (mampu) yang ditampakkan pada komitmen yang tinggi untuk memenuhi waktu yang telah diatur, mampu mengatur keuangan, rajin melaksanakan tugas-tugas belajar, sungguh-sungguh menghadiri pelajaran, datang ke sekolah selalu tepat waktu, cahaya ruang belajar yang cukup dan lingkungan yang tenang, menyusun catatan pelajaran yang lengkap dan rapi, dan tersedia buku pelajaran yang baik dan cukup di sekolah (perpustakaan); (2) mampu membuat berbagai catatan yaitu selalu mencatat pelajaran dan tertib dalam membuat catatan; (3) mampu membaca yaitu mampu memahami isi bacaan dan mata pelajaran, mampu membaca cepat (bagi siswa tertentu 1 halaman 1 menit), mata pelajaran yang dibaca lama tersimpan dalam ingatan, tahu mana yang perlu dihafal mana yang tidak, lama dan banyaknya membaca, dan membaca utuh bukan bagian-bagian; (4) siap belajar yaitu belajar sebelumlsesudah mengikuti mata pelajaran, menguasailmemahami isi bacaan dari materi pelajaran, belajar berangsur atau bertahap agar tidak jenuh, dan mengulang bacaan untuk menokohkan ingatan; (5) keterampilan belajar yaitu membaca cepat dan faham apa yang dibaca, mencatat materi pelajaran secara sistematis. memiliki kemampuan bahasa untuk memahami pelajaran, mampu mengerjakan
hitungan sesuai tingkat sekolahnya, dan mengerti dan mampu menyatakan pikirannya baik tertulis maupun lisan; (6) memahami perbedaan belajar pada tingkatan sekolah seperti SD, SLTP dan SMU yaitu apa yang dipelajari jauh lebih banyak, rangking di kelasnya atau di sekolah, berusaha belajar secara mandiri, ada keseimbangan belajar tatap muka di kelas dengan h. Fenomena kejenuhan adalah suatu penyebab yang menjadi perhatian signifikan dalam pembelajaran. Kejenuhan adalah suatu sumber frustrasi fundamental bagi peserta didik dan juga pendidik di lain pihak intervensi pemerintah sebagai penanggung jawab pendidikan selalu tidak memecahkan masalah yang esensial. Kejenuhan belajar (plateauing) adalah rentang waktu tertentu yang dipakai untuk belajar, tetapi tidak mendatangkan hasil, karena antara lain keletihan mental dan indera-indera. Plateau Belajar yaitu periode kegiatan yang tidak menyebabkan perubahan pada individu karena berbagai faktor: (1) kesulitan bahan yang dipelajari meningkat, sehingga yang belajar tidak mampu menyelesaikan. Sekalipun yang belajar terus berusaha; (2) metode belajar yang dipergunakan individu tidak memadai, sehingga upaya yang dilakukannya akan sia-sia belaka; dan (3) kejenuhan belajar yang disebabkan oleh keletihan atau kelelahan badan i. Belongingness yaitu keterikatan bahan yang dipelajari pada situasi belajar, akan mempermudah berubahnya tingkah laku. Hasil belajar yang memberikan kepuasan dalam proses belajar dan latihan yang diterima erat kaitannya dengan kehidupan belajar. Proses belajar yang demikian ini akan meningkatkan prestasi hasil belajar peserta didik. Untuk memberi pemahaman yang lebih mengenai prinsip-prinsip belajar yang telah dikemukakan sebelumnya, beberapa prinsip atau kaidah dalam proses pembelajaran sebagai hasil eksperimen para ahli psikologi yang berlaku secara umum sebagaimana dikemukakan Rusyan (1993 : 20) di bawah ini : 1. Motivasi, kematangan dan kesiapan diperlukan dalam proses belajar mengajar, tanpa motivasi dalam proses belajar mengajar, terutama motivasi intristik proses belajar mengajar tidak akan efektif dan tanpa kematangan organ-organ biologis dan fisiologis, upaya belajar sukar berlangsung, demikian misalnya anak kecil tidak akan mampu belajar mengucapkan kata-kata atau berbicara jika fungsi dan organ-organ bicara belum mencapai taraf kematangan untuk itu. Demikian pula halnya dalam belajar di sekolah. 2. Pembentukan persepsi yang tepat terhadap rangsangan sensoris merupakan dasar dari proses belajar mengajar yang tepat. Bila interprestasi dan persepsi individu terhadap objek, benda, situasi, rangsangan disekitarnya keliru atau salah, terutama pada tahap-tahap awal belajar, maka belajar selanjutnya merupakan akumulasi kesalahan di atas kesalahan. Sebagai contoh, peserta
didik yang baru tahap awal belajar matematika tehambat dalam interpretasi dan persepsi yang tepat untuk selanjutnya peserta didik tersebut akan mengalami kesulitan mempelajari matematika. 3. Kemajuan dan keberhasilan proses belajar mengajar ditentukan oleh antara lain bakat khusus, taraf kecerdasan, minat serta tingkat kematangan dan jenis, sifat dan intensitas dan bahan yang dipelajari. 4. Proses belajar mengajar dapat dangkal. luas dan mendalam. tergantung pada materi yang menjadi pembahasan dalam pembelajaran tersebut. 5. Feedback atau pengetahuan akan hasil-hasil proses belajar mengajar yang lampau dapat merangsang atau sebaliknya menghambat kemajuan proses belajar mengajar berikutnya. Sukses dimasa lampau atau pada salah satu mata pelajaran cenderung untuk diikuti dengan sukses sekarang dan masa yang akan datang serta pada mata pelajaran lainnya. 6. Proses belajar mengajar dalam suatu situasi dapat ditransferkan untuk kegiatan belajar situasi atau bidang lainnya, dikenal dengan transfer of learning dan transfer of training dalam pembelajaran. 7. Response yang kacau, kaku dan acak-acakan serta proses belajar mengajar secara trial and error tidak terencana menandai proses belajar mengajar yang amburadul dan pembelajaran itu cenderung gagal. 8. Untuk mengukur kemajuan belajar, maka ulangan, latihan akan memperkuat hasil belajar, sebaliknya tanpa latihan, ulangan dan penggunaan maka hasil belajar akan hilang atau melemah. 9. Trial and error, response tak beraturan dan jamak, umumnya menandai tahap-tahap awal beberapa mata pelajaran untuk mencari bentuk pembelajaran yang cocok. 10. Proses belajar mengajar dapat bersifat internasional artinya pembelajaran tersebut direncanakan, teroraganisir, bahan pelayanan tersusun secara sistematis dan dibimbing guru atau petugas yang terlatih untuk itu. Belajar mi akan menjadi sangat efektif dan didukung oleh minat, yang kuat dan peserta didik. 11. Transfer dalam belajar dapat positif atau negatif dan transfer positif terjadi bila belajar kemudian dipermudah atau dibantu oleh belajar yang mendahului, sedangkan transfer negatif terjadi apabila yang telah dipelajari sebelumnya menghambat belajar yang kemudian. 12. Proses belajar-mengajar berlangsung dari yang sederhana meningkat kepada yang kompleks, dari yang konkret kepada yang abstrak, dan yang khusus ke umum dan yang mudah ke sulit, dari induksi ke deduksi 13. Proses belajar-mengajar dapat berlangsung dengan kurang bisa dan secara insidentil. Sejumlah sikap minat, reaksi-reaksi emosional individu yang di perlambangkan secara tidak atau kurang disadari, pengetahuan anak tentang bahasa (bahasa daerah dan bahasa pergaulan sehari-hari)
umumnya dipelajari/dimiliki dengan tidak di sengaja, mengingat dan mengenal kembali suatu pengetahuan objek situasi yang pernah dilihat dibaca didengar banyak terjadi karena belajar yang tidak sengaja. 14. Proses belajar mengajar yang disertai oleh pemahaman yang jelas tentang tujuan yang mudah dicapai akan menjadi lebih baik efektif dan pada belajar tanpa tujuan- tujuan dari arah yang jelas belajar sendiri, dan pengendalian belajar tidak ketat agar tidak jenuh dan kaku; (7) dukungan orang tua yang paham akan perbedaan belajar di masing-masing tingkatan sekolah dimana anaknya belajar; dan (8) status harga diri lebih/kurang. Cara belajar yang baik, tentu harus mampu mengatasi kesulitan belajar. Untuk membantu peserta didik mengatasi kesulitan belajar, dibutuhkan suatu prosedur yang sistematis dan terencana. Artinya membantu mengatasi kesulitan belajar siswa dikerjakan secara sungguh-sungguh, bukan setengah hati. Rusyan (1993:31) menawarkan petunjuk umum cam dan teknik mengatasi kesulitan belajar yakni: (1) menetapkan target dan tujuan belajar yang jelas; (2) menghindari saran dan kritik yang negatif (3) menciptakan situasi belajar yang sehat dan kompetitif, (4) menyelenggarakan remedial program; dan (5) memberi kesempatan agar peserta didik memperoleh pengalaman yang sukses. h. Strategi Mempelajari Buku Teks (Melalui SQ3R) Salah satu hal yang penting dalam belajar adalah membaca buku teks yang berisi tulisan materi pelajaran untuk dibaca baik berupa buku paket maupun buku-buku lainnya yang berkaitan dengan mata pelajaran. Kiat yang secara spesifik dirancang untuk memahami teks disebut metode SQ3R (Survey, Question, Read, Recite, dan Review) yang dikembangkan oleh Francis P. Rbinson dan Ohio University. Metode membaca buku teks tersebut bersifat praktis dan dapat diaplikasikan dalam berbagai pendekatan belajar untuk semua liata pelajaran (Muhibbinsyah, 2003:130). Dimulai dengan melakukan survey yaitu menjelajahi seluruh buku yang tersedia di perpustakaan dan tempat lain yang berkaitan dengan mata pelajaran dengan menelusuri daftar isi (Bab demi b, gambar, tabel, kesimpulan). Hasil survey tersebut menentukan buku-buku mana saja yang sesuai dengan mata pelajaran, buku ini dijadikan sebagai buku wajib maupun buku pendukung dalam mendukung mata pelajaran. Dilanjutkan dengan Question yaitu bertanya dalam mengarahkan membaca kritis. Kemudian membaca (Read) rnenurut Poerwadanminta (1983:71) ialah melihat tulisan dan mengerti atau dapat melisankan apa yang tertulis itu, dalam menggunakan pendekatan SQ3R membaca yaitu: (1) membaca bertujuan; (2) menangkap gagasan isi buku pelajaran; (3) membaca dengan mata dan pikiran yang terang (tidak hanya komat-kamit); (4) latihan mempercepat waktu belajar; (5) membaca
menurut urutan pikiran dalam pelajaran; dan (6) mengumpulkan istilah & pengertian yang berkaitan dengan mata pelajaran yang dipelajari. Kemudian dilakukan recite, yaitu mengulang isi buku pelajaran yang telah dipelajari (berkaitan dengan Ide, pengertian, dan analisis) sehingga mendapatkan ide-ide pokok dan buku tersebut. Sedangkan review: yaitu meninjau kembali seluruh bahan pelajaran yang telah dipelajari secara menyeluruh. Alokasi waktu yang diperlukan untuk memahami sebuah teks dengan menggunakan pendekatan SQ3R, bisa saja tidak begitu berbeda dengan mempelajari teks dengan cara biasa atau cam lainnya. Akan tetapi, hasil pembelajaran siswa dengan menggunakan SQ3R dapat diharapkan lebih memuaskan dan dapat lebih memberikan pemahaman yang luas tentang materi pelajaran yang terdapat dalam buku teks tersebut. Karena dengan metode atau pendekatan ini siswa menjadi pembaca yang aktif dan terarah langsung pada intisari atau kandungan-kandungan pokok materi yang tersirat dan tersurat dalam teks. Membaca menggunakan pendekatan SQ3R untuk mata pelajaran apa saja, pendekatan ini saling melengkapi dengan menggunakan pendekatan kontekstual sebagaimana dibahas sebelumnya. Membaca memerlukan penguasaan bahasa, kecepatan menangkap jalan dan buah pikiran orang lain yang didukung oleh perbendaharaan kata yang luas. Seorang pelajar harus dapat membaca dengan cepat dan memahami apa yang dibacanya, makin cepat ia membaca, makin banyak yang dapat ia pelajari dalam waktu tertentu. Untuk mempelajari membaca yang demikian mi perlu ketekunan, dan juga perlu berkonsultasi dengan guru bagaimana cara yang mungkin dapat dilakukan, karena masingmasing orang mungkin saja mempunyai kemampuan membaca dan memahami yang berbeda-beda. Karena itu yang berkaitan dengan kendala dan hambatan sebaiknya dikonsultasikan pada gum atau yang lebih ahli seperti psikolog, dokter, konselor, dan sebagainya. BAB II KONSEP DAN MAKNA PEMBELAJARAN A. Arti dan Makna Pembelajaran Pembelajaran ialah membelajarkan siswa menggunakan asas maupun teori belajar merupakan penentu utama keberhasilan Pembelajaran merupakan proses komunikasi dua arah, mengajar oleh pihak guru sebagai pendidik, sedangkan belajar dilakukan oleh anak didik atau murid. Konsep pembelajaran menurut Corey (1986:195) suatu proses di mana lingkungan seseorang secara disengaja dikelola memungkinkan ia turut serta dalam tingkah laku tertentu dalam kondisi khusus atau menghasilkan respons terhadap situasi tertentu, pembelajaran merupakan subset khusus dan
pendidikan. Mengajar menurut Jiam H. Burton adalah upaya memberikan stimulus, bimbingan pengarahan, dorongan kepada siswa agar terjadi proses belajar konsep Pembelajaran 1. Konsep Pembelajaran Seiring dikatakan mengajar adalah mengorganisasikan aktivitas siswa arti yang luas. Peranan guru bukan semata-mata memberikan informasi, 1ainkan juga mengarahkan dan memberi fasilitas belajar (directing and ilitating the learning) agar proses belajar lebih memadai. Pembelajaran mengandung arti setiap kegiatan yang dirancang untuk membantu seseorang mempelajari suatu kemampuan dan atau nilai yang baru. Proses pembelajaran pada awalnya meminta guru untuk mengetahui kemampuan dasar yang dimiliki oleh siswa meliputi kemampuan dasarnya, motivasinya, latar belakang akademisnya, latar belakang sosial ekonominya, dan dalam sebagainya. Kesiapan guru untuk mengenal karakteristik siswa dalam pembelajaran merupakan modal utama penyampaian bahan belajar dan menjadi indikator suksesnya pelaksanaan pembelajaran. Bahan pelajaran dalam proses pembelajaran hanya merupakan perangsang tindakan pendidik atau guru, juga hanya merupakan tindakan memberikan dorongan dalam belajar yang tertuju pada pencapaian tujuan belajar. Antara belajar dan mengajar dengan pendidikan bukanlah sesuatu yang terpisah atau bertentangan. Justru proses pembelajaran adalah merupakan aspek yang terintegrasi dan proses pendidikan. Hanya saja sudah menjadi kelaziman bahwa proses pembelajaran dipandang sebagai aspek pendidikan jika berlangsung di sekolah saja. Hal ini menunjukkan bahwa proses pembelajaran merupakan proses yang mendasar dalam aktivitas pendidikan di sekolah. Dan proses pembelajaran tersebut siswa memperoleh basil belajar yang merupakan hasil dan suatu interaksi tindak b1ajar yaitu mengalami proses untuk meningkatkan kemampuan mentalnya dan tindak mengajar yaitu membelajarkan siswa. Guru sebagai pendidik melakukan kayasa pembelajaran berdasarkan kurikulum yang berlaku, dalam tindakan tersebut guru menggunakan asas pendidikan maupun teori pendidikan. Guru membuat desain instruksional, mengacu pada desain ini para siswa menyusun program pembelajaran di rumah dan bertanggung jawab sendiri atas jadwal belajar yang dibuatnya. Sementara itu siswa sebagai pembelajar di sekolah menii1iki kepribadian, pengalaman, dan tujuan. Siswa tersebut mengalami perkembangan jiwa sesuai asas emansipasi dirinya menuju keutuhan dan kemandirian. Untuk memahami lebih mendalam apa itu pembelajaran, mari kita telusuri konsep dan pengertiannya. Pembelajaran menurut Dimyati dan Mudjiono (1999:297) adalah kegiatan guru secara terprogram dalam desain instruksional, untuk membuat siswa belajar secara aktif, yang menekankan pada penyediaan sumber belajar. UUSPN No. 20 tahun 2003 menyatakan pembelajaran adalah proses
interaksi peserta didik dengan pendidik dan sumber belajar pada suatu lingkungan belajar. Pembelajaran sebagai proses belajar yang dibangun oleh guru untuk mengembangkan kreativitas berpikir yang dapat meningkatkan kemampuan berpikir siswa, serta dapat meningkatkan kemampuan mengkonstruksi pengetahuan baru sebagai upaya meningkatkan penguasaan yang baik terhadap materi pelajaran. Dalam pembelajaran guru harus memahami hakekat materi pelajaran yang diajarkannya sebagai suatu pelajaran yang dapat mengembangkan kemampuan berpikir siswa dan memahami berbagai model pembelajaran yang dapat merangsang kemampuan siswa untuk belajar dengan perencanaan pengajaran yang matang oleh guru. Pendapat mi sejalan dengan Jerome Bruner (1960) mengatakan bahwa perlu adanya teori pembelajaran yang akan menjelaskan asas-asas untuk merancang pembelajaran yang efektif di kelas. Menurut pandangan Bruner teori belajar itu bersifat deskriptif, sedangkan teori pembelajaran itu preskriptif. Hal ini menggambarkan bahwa orang yang berpengetahuan adalah orang yang terampil memecahkan masalah, mampu berinteraksi dengan lingkungannya dalam menguji hipotesis dan menarik generalisasi dengan benar. jadi belajar dan pembelajaran diarahkan untuk membangun kemampuan berpikir dan kemampuan menguasai materi pelajaran, dimana pengetahuan itu sumbernya dan luar diri, tetapi dikonstruksi dalam diri individu siswa. Pengetahuan tidak diperoleh dengan cara diberikan atau ditransfer dan orang Jam, tetapi dibentuk dan dikonstruksi oleh individu itu sendiri, sehingga siswa itu mampu mengembangkan intelektualnya. Pembelajaran mempunyai dua karakteristik yaitu Pertama, dalam proses pembelajaran melibatkan proses mental siswa secara maksimal, bukan hanya menuntut siswa sekedar :pendengar, mencatat, akan tetapi menghendaki aktivitas siswa dalam proses berpikir Kedua, dalam pembelajaran membangun suasana dialogis dan proses tanya jawab terus menerus yang diarahkan untuk memperbaiki dan meningkatkan kemampuan berfikir siswa, yang pada gilirannya kemampuan berpikir itu dapat membantu siswa untuk memperoleh pengetahuan yang mereka konstruksi sendiri. Proses pembelajaran atau pengajaran kelas (Classroom Teaching) menurut Dunkin dan Biddle (1974 38) berada pada empat variabel interaksi yaitu (1) variabel pertanda (presage variables) berupa pendidik, (2) variabeles konteks (context variables) berupa peserta didik, sekolah, dan masyarakat; (3) variabeles proses (process variables) berupa interaksi peserta didik dengan pendidik; dan (4) variabel produk (product variables) berupa perkembangan ini peserta didik dalam jangka pendek maupun jangka panjang. Dunkin dan Biddle selanjutnya mengatakan proses pembelajaran akan berlangsung dengan baik jika pendidik mempunyai dua kompetensi utama yaitu: (1) kompetensi
substansi materi pembelajaran atau penguasaan materi pelajaran; dan (2) kompetensi metodologi pembelajaran. Artinya jika guru menguasai materi pelajaran, diharuskan juga menguasai metode pengajaran sesuai kebutuhan materi ajar yang mengacu pada prinsip pedagogik, yaitu memahami karakteristik peserta didik. Jika metode dalam pembelajaran tidak dikuasai, maka penyampaian materi ajar menjadi tidak maksimal. Metode yang digunakan sebagai strategi yang dapat memudahkan peserta didik untuk menguasai ilmu pengetahuan yang diberikan oleh guru. Hal ini menggambarkan bahwa pembelajaran terus mengalami perkembangan sejalan dengan kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi. Karena itu dalam merespon perkembangan tersebut, tentu tidaklah memadai kalau sumber belajar berasal dan guru dan media buku teks belaka. Dirasakan perlu ada cara baru dalam mengomunikasikan ilmu pengetahuan atau materi ajar dalam pembelajaran baik dalam sistem yang mandiri maupun dalam sistem yang terstruktur. Untuk itu perlu dipersiapkan sumber belajar oleh pihak guru maupun para ahli pendidikan yang dapat dimanfaatkan dalam proses pembelajaran. Proses pembelajaran aktivitasnya dalam bentuk interaksi belajar mengajar dalam suasana interaksi edukatif, yaitu interaksi yang sadar akan tuju)n, artinya interaksi yang telah dicanangkan untuk suatu tujuan tertentu setidaknya adalah pencapaian tujuan instruksional atau tujuan pembelajaran yang telah dirumuskan pada satuan pelajaran. Kegiatan pembelajaran yang diprogramkan guru merupakan kegiatan integralistik antara pendidik dengan peserta didik. Kegiatan pembelajaran secara metodologis berakar dan pihak pendidik yaitu guru, dan kegiatan belajar secara pedagogis terjadi pada diri peserta didik. Menurut Knirk dan Gustafson (1986:15) pembelajaran merupakan suatu proses yang sistematis melalui tahap rancangan, pelaksanaan, dan evaluasi. Pembelajaran tidak terjadi seketika, melainkan sudah melalui tahapan perancangan pembelajaran. Selanjutnya Knirk dan Gustafson (1986:18) mengemukakan teknologi pembelajaran melibatkan tiga komponen utama yang saling berinteraksi yaitu guru (pendidik), siswa (peserta didik), dan kurikulum. Komponen tersebut melengkapi struktur dan lingkungan belajar formal. Hal ini menggambarkan bahwa interaksi pendidik dengan peserta didik merupakan inti proses pembelajaran (Instructional). Dengan demikian pembelajaran adalah setiap kegiatan yang dirancang oleh guru untuk membantu seseorang mempelajari suatu kemampuan dan atau nilai yang baru dalam suatu proses yang sistematis melalui tahap rancangan, pelaksanaan, dan evaluasi dalam konteks kegiatan belajar mengajar. Dalam proses pembelajaran itu dikembangkan melalui pola pembelajaran yang menggambarkan kedudukan serta peran pendidik dan peserta didik dalam proses pembelajaran. Guru sebagai sumber belajar, penentu metode belajar, dan juga penilai kemajuan belajar meminta
para pendidik untuk menjadikan pembelajaran lebih efektif dan efisien untuk mencapai tujuan pembelajaran itu sendiri. 2. Resource Based Learning Belajar berdasarkan sumber (resource based learning) ialah segala bentuk belajar yang langsung menghadapkan murid dengan suatu atau sejumlah sumber belajar secara individual atau kelompok dengan segala kegiatan belajar ,yang bertalian dengan itu, jadi bukan dengan cara yang konvensional dimana guru menyampaikan bahan pelajaran pada murid, tetapi setiap komponen yang dapat memberikan informasi seperti perpustakaan, laboratorium, kebun, dan semacamnya juga merupakan sumber belajar. Dalam resource based learning guru bukan merupakan sumber belajar satu-satunya. Murid dapat belajar dalam kelas, dalam laboratorium, dalam ruang perpustakaan, dalam ruang sumber c1ajar yang khusus bahkan di luar sekolah, bila ia mempelajari lingkungan berhubung dengan tugas atau masalah tertentu. Dalam segala hal, murid itu sendiri aktif, apakah ia belajar menurut langkah-langkah tertentu, seperti dalam belajar berprograma, atau menurut pemikirannya sendiri untuk memecahkan masalah tertentu. Jadi resource based earning dipakai dalam berbagai anti, apakah dalam pelajaran berprogram atau modul yang mengikuti langkah4angkah yang telah ditentukan, atau dalam melakukan tugas yang bebas berdasarkan teknik pemecahan masalah, penemuan, dan penelitian, bergantung kepada putusan guru serta kemungkinan tang ada dalam rangka kurikulum yang berlaku di sekolah. Resource based canning biasanya bukan satu-satunya metode yang digunakan di suatu sekolah. Di samping itu masih dapat digunakan metode pembelajaran lainnya, metode belajar ini hanya merupakan salah satu diantara metode-metode lainnya, adi metode yang lain bukan tidak perlu ditiadakan sama sekali. Perubahan yang besar yang diakibatkan oleh metode belajar ini antara lain pentingnya peranan diri perpustakaan dan mereka yang memproduksi bahan, media atau sumber belajar. Sumber belajar tidak sama antinya dengan audio visual aids. Dengan audio visual aids dimaksud adalah alat-alat yang membantu guru dalam kegiatan pembelajaran, karena itu juga disebut instructional aids, atau alat pengajaran. Terserah kepada guru untuk menggunakannya atau tidak, kebanyakan guru tidak merasa perlu untuk membuat atau menggunakannya. Akan tetapi learning resources atau sumber belajar yang esensial harus digunakan oleh murid. Jadi sumber belajar ditujukan kepada murid, bukan kepada guru. Belajar berdasarkan sumber atau resource based learning bukan sesuatu yang berdiri sendiri, melainkan bertalian dengan sejumlah perubahanperubahan yang mempengaruhi pembinaan kurikulum.
Perubahan-perubahan itu mengenai: (1) perubahan dalam sifat dan pola ilmu pengetahuan manusia; (2) perubahan dalam masyarakat dan tafsiran kita tentang tuntunannya; (3) perubahan tentang pikiran kita mengenai pengertian kita tentang anak dan caranya belajar; dan (4) perubahan dalam media komunikasi. Sumber yang sejak lama digunakan dalam pembelajaran adalah buku-buku dan hingga sekarang buku-buku masih memegang peranan yang penting. Oleh sebab itu ahli perpustakaan mendapat peranan yang penting sekali dalam resource based learning ini. Kerja sama antara guru dan ahli perpustakaan menjadi syarat yang penting dalam pembelajaran. Di samping itu para ahli perpustakaan harus mendapat pendidikan khusus untuk menjalankan peranannya sebagai pustakawan dan memberikan pelayanan kepada para siswa yang membutuhkan. Guru dan para pustakawan di sekolah harus saling mengenal kemampuan masing-masing. Di samping itu diperlukan pula media spesialis, yakni ahli dalam bidang media, karena sumber tidak hanya terbatas pada buku-buku saja. Resource based learning adalah cara belajar yang bermacammacam bentuk dan segi-seginya. Metode ini dapat dipersingkat atau diperpanjang, berlangsung selama satu jam pelajaran atau selama setengah semester dengan pertemuan diri kali seminggu, selama satu atau dua jam. Metode ini penggunaannya dalam pembelajaran begitu neksibel atau lugas, tergantung pada kemampuan guru menggunakannya. Belajar berdasarkan sumber mi, dapat diarahkan oleh guru atau berpusat pada kegiatan murid, dapat mengenai satu mata pelajaran tertentu atau melibatkan berbagai disiplin, dapat bersifat individual atau klasikal, dapat menggunakan audio visual yang diamati secara individual atau diperlihatkan kepada seluruh kelas. Metode ini tampaknya sebagai sesuatu yang terdiri atas berbagai komponen yang meliputi pengajaran langsung oleh guru, penggunaan buku pelajaran, latihan-latihan formal, maupun kegiatan penelitian, pencarian bahan dan berbagai sumber, latihan memecahkan soal dan penggunaan alat-alat audio visual. Metode mi dapat pula didasarkan atas penelitian, pengajaran proyek, pengajaran unit yang terintegrasi, pendekatan interdisipliner, pelajaran individual dan pelajaran aktif. Dalam belajar berdasarkan sumber diutamakan tujuan untuk mendidik murid menjadi seorang yang sanggup belajar dan meneliti sendiri, maka ia harus dilatih untuk menghadapi masalah-masalah yang terbuka bagi jawaban-jawaban yang harus diselidiki kebenarannya berdasarkan data yang dikumpulkan dan berbagai sumber, baik dan penelitian perpustakaan, eksperimen dalam laboratorium, maupun sumbersumber lain. Metode ini dapat pula didasarkan atas penelitian, pengajaran proyek, pengajaran unit yang terintegrasi, pendekatan interdisipliner, pengajaran ndividua1, dan pengajaran aktif yang penting setiap metode yang digunakan bertalian dengan tujuan yang akan dicapai. Resource based learning tidak hanya Sesuai bagi pelajaran ilmu sosial, tetapi juga bagi ilmu pengetahuan alam (Nasution,
2000:19). Belajar berdasarkan sumber tidak meniadakan peranan guru, juga tidak berarti bahwa guru dapat duduk bermalas-malasan dan pembiarkan murid belajar di perpustakaan atau laboratorium. Guru itu terlibat dalam setiap langkah proses belajar, dan perencanaan, penentuan dan mengumpulkan sumber-sumber informasi, memberi motivasi, memberi bantuan, dan memperbaiki kesalahan. Ada yang menganggap team eaching sebagai pendahuluan Resource based learning akan tetapi ada yang sebaliknya memandang team teaching sebagai kulminasi belajar berdasarkan sumber. Akan tetapi keduanya melenyapkan isolasi guru dalam kelasnya masing-masing, seperti di sekolah konvensional. Dalam kelompok atau team guru dapat saling bertukar pengalaman, saling membantu dalam mengatasi kesulitan pendidikan. Dengan demikian guru cepat tumbuh dalam profesinya dan tidak terjerat oleh kegiatan rutin yang tidak mendapat kesempatan untuk Ditinjau kembali dan diperbaiki berkat pengalaman orang lain, tetapi merupakan aktivitas pembelajaran yang dinamis. Agar pembelajaran tetap pada suasana yang dinamis, guru perlu merumuskan dengan jelas tujuan apa yang ingin dicapainya dalam melaksanakan pembelajaran. Tujuan ini bukan hanya mengenai bahan materi ajar yang harus dikuasai oleh guru, akan tetapi juga keterampilan emosional dan sosial dalam menggunakan metode dan pendekatan pembelajaran. Belajar berdasarkan sumber berarti kerja sama antara seluruh staf dan penggunaan secara fasilitas yang tersedia seperti buku-buku perpustakaan alat pengajaran, keahlian dan keterampilan guru serta anggota masyarakat yang bersedia memberi sumbangannya. B. Pendekatan Belajar dan Pembelajaran Pendekatan pembelajaran merupakan jalan yang akan ditempuh oleh guru dan siswa dalam mencapai tujuan instruksional untuk suatu satuan instruksional tertentu. Pendekatan pembelajaran merupakan aktivitas guru dalam memilih kegiatan pembelajaran, apakah guru akan menjelaskan suatu pengajaran dengan materi bidang studi yang sudah tersusun dalam urutan tertentu, ataukah dengan menggunakan materi yang terkait satu dengan lainnya dalam tingkat kedalaman yang berbeda, atau bahkan merupakan materi yang terintegrasi dalam suatu kesatuan multi disiplin ilmu. Pendekatan pembelajaran mi sebagai penjelas untuk mempermudah bagi para guru memberikan pelayanan belajar dan juga mempermudah bagi siswa untuk memahami materi ajar yang disampaikan guru, dengan memelihara suasana pembelajaran yang menyenangkan. Pada pokoknya pendekatan pembelajaran dilakukan oleh guru untuk menjelaskan materi pelajaran dan bagian-bagian yang satu dengan bagian lainnya berorientasi pada pengalamanpengalaman yang dimiliki siswa untuk mempelajari konsep, prinsip atau teori yang baru tentang suatu bidang ilmu. Program pembelajaran merupakan rencana kegiatan yang menjabarkan
kemampuan dasar dan teori pokok secara rinci yang memuat alokasi waktu, indikator pencapaian hasil belajar dan langkah-langkah kegiatan pembelajaran dan setiap materi pokok mata pelajaran. Sistem dan pendekatan pembelajaran dibuat karena adanya kebutuhan akan sistem dan pendekatan tersebut untuk meyakinkan (1) ada alasan untuk belajar; (2) siswa belum mengetahui apa yang akan diajarkan, oleh karena itu guru menetapkan hasil-hasil belajar atau tujuan apa yang diharapkan akan dicapai. Pada prinsipnya ada dua macam tujuan pembelajaran yaitu: (1) tujuan jangka panjang atau yang dinamakan tujuan terminal, tujuan ini biasanya merupakan jawaban atas masalah atau kebutuhan yang telah diketahui berdasarkan analisis sebelumnya; dan (2) tujuan jangka pendek atau biasa disebut tujuan instruksional khusus, tujuan ini merupakan hasil pemecahan atau operasionalisasi dan tujuan terminal yang disusun secara hierarkis dalam upaya pencapaian tujuan terminal. Tujuan instruksional yang dinyatakan dengan baik dalam satuan pelajaran dapat mengomunikasikan suatu usaha instruksional agar tingkah laku tertentu dapat dicapai. Dalam upaya pencapaian tujuan tersebut akan menghasilkan kemajuan di bidang ilmu pengetahuan dan teknologi, hal ini akan memberikan dampak tertentu terhadap sistem pembelajaran, sehingga pengajaran beralih pendekatannya dan cara lama ke cam baru yang lebih meyakinkan Beberapa perubahan dalam pendekatan tersebut antara lain adalah : (1) penerapan prinsip-prinsip belajar mengajar yang lugas dan terencana (2) mengacu pada aspek-aspek perkembangan sesuai tingkatan peserta didik; (3) dalam proses pembelajaran betul-betul menghormati Individu peserta didik, (4) memperhatikan kondisi objektif individu bertitik tolak pada perkembangan pribadi peserta didik; (5) menggunakan metode dan teknik mengajar yang sesuai dengan kebutuhan materi pelajaran; (6) memaparkan konsep masalah dengan penuh disiplin, (7) menggunakan pengukuran dan evaluasi basil belajar yang standar untuk mengukur kemajuan belajar; dan (8) penggunaan alat-alat audio Visual dengan memanfaatkan fasilitas maupun perlengkapan yang tersedia secara optimal. Perubahan ini betul-betul mempertimbangkan pendekatan ilmiah yaitu menggunakan faktafakta dan informasi sebagai dasar melakukan tindakan-tindakan adakan dalam melaksanakan proses pembelajaran. Penguatan mesti kontingen Ani berkaitan dengan segera begitu respons yang benar muncul. Secara umum dapat digambarkan misalnya di sekolah penguat akan tampak pada nilai hasil belajar yang tertuang dalam ijazah. Penguat seperti si Ani memberi isyarat pada temannya mengenai kemajuan melalui suatu sistem, namun hubungan antara penguat ini dan bentuk tingkah laku tertentu tidak secara khusus tersebutkan, makanya diperlukan penguatan tambahan. Penguat alami, merupakan suatu pertimbangan penting dalam menggunakan penguatan secara aktif dengan mengenali penguat-penguat yang sudah ada di kelas.
Waktu memberi penguatan ini penting diperhatikan karena jangan sampai disalahgunakan kepada anak yang suka dipuji tetapi kurang disiplin, nanti hasilnya malah tidak optimal. Jika memberi pujian terhadap anak harus perhatikan bahwa anak itu memang pantas dan layak dipuji atas dasar prestasi yang ditampilkannya dalam belajar. Situasi pembelajaran yang memungkinkan terjadinya kegiatan belajar mengajar yang optimal, akan sangat dipengaruhi oleh kemampuan guru menciptakan situasi belajar (learning situation) sehingga peserta didik dapat berinteraksi dengan guru secara intensif berdasarkan agenda yang telah diprogramkan guru. Situasi belajar mengajar akan lebih hidup atau harmonis bila ditunjang oleh penggunaan metode-metode pengajaran yang serasi dan media yang tepat. Kegiatan belajar melibatkan beberapa komponen atau unsur yaitu peserta didik, pendidik atau guru, tujuan pembelajaran, isi pelajaran, metode mengajar yang digunakan, media pembelajaran yang sesuai untuk digunakan dan evaluasi kemajuan belajar siswa menggunakan tes yang standar. Semua komponen mi saling berinteraksi dalam proses pembelajaran yang berakhir pada tujuan pembelajaran. Karena itu kegiatan belajar dan mengajar (KBM) merupakan suatu sistem yang integral, dalam suatu sistem pembelajaran atau system instructional di sekolah. Dilihat dan sudut institusional sekolah, dalam hal mendukung kelancaran aktivitas pembelajaran, kepala sekolah memainkan peran yang cukup penting, karena berkontribusi signifikan terhadap perolehan mutu hasil belajar. Meskipun setiap guru mempunyai kemampuan profesional yang tinggi dalam melaksanakan tugas profesionalnya, tetapi tidak didukung pelayanan institusional yang memadai, tentu saja kegiatan pembelajaran itu tidak akan maksimal. Peran kepala sekolah untuk menyediakan fasilitas pembelajaran, melakukan pembinaan pertumbuhan jabatan guru, dan dukungan profesionalitas lainnya menjadi suatu kekuatan tersendiri bagi guru melaksanakan tugas profesionalnya. Setelah guru mendapat dukungan institusional, hal selanjutnya yang perlu dipersiapkan oleh guru adalah berkaitan dengan pendekatan belajar yang menjadi otonomi profesional keguruan. Para ahli psikologi belajar dan ahli kependidikan telah banyak menyampaikan sejumlah teori maupun konsep pendekatan pembelajaran. Pendekatan ini pada umumnya mengacu pada pendekatan psikologi yang berkaitan dengan kemampuan peserta didik untuk menangkap ataupun menerima pelajaran dalam kegiatan pembelajaran. Pendekatan pembelajaran menjadi suatu hal yang amat penting, karena dilihat dan sudut psikologi setiap anak mempunyai kemampuan yang berbeda dalam menerima pelajaran, untuk itu diperlukan pendekatan yang sesuai potensi anak didik. Pendekatan belajar (approach to learning) dan strategi atau kiat melaksanakan pendekatan serta metode belajar dalam proses pembelajaran termasuk faktor-faktor yang turut menentukan
tingkat keberhasilan belajar siswa. Pendekatan tersebut bertitik tolak pada aspek psikologis dilihat dan pertumbuhan dan perkembangan anak, kemampuan intelektual, dan kemampuan lainnya yang mendukung kemampuan belajar. Pendekatan mi dilakukan sebagai strategi yang dipandang tepat untuk memudahkan siswa memahami pelajaran dan juga belajar yang menyenangkan. Pendekatan pembelajaran tentu tidak kaku harus menggunakan pendekatan tertentu, tetapi sifatnya lugas dan terencana, artinya memilih pendekatan disesuaikan dengan kebutuhan materi ajar yang dituangkan dalam perencanaan pembelajaran. Adapun pendekatan pembelajaran yang sudah umum dipakai oleh para guru antara lain pendekatan konsep dan proses, deduktif dan induktif, ekspositon dan heuristik, pendekatan kecerdasan serta ; pendekatan kontekstual. 1. Pendekatan Konsep dan Pendekatan Proses a. Pendekatan Konsep Pendekatan konsep adalah suatu pendekatan pengajaran yang secara langsung menyajikan konsep tanpa memberi kesempatan kepada siswa untuk menghayati bagaimana konsep itu diperoleh. Konsep merupakan buah pemikiran seseorang atau sekelompok orang yang dinyatakan dalam definisi sehingga melahirkan produk pengetahuan mehputi pnnsip, hukum, dan teori. Konsep diperoleh dan fakta, peristiwa, pengalaman, melalui generalisasi dan berpikir abstrak, kegunaan konsep untuk menjelaskan dan meramalkan. Konsep menunjukkan suatu hubungan antar konsep-konsep yang lebih sederhana sebagai dasar perkiraan atau jawaban manusia terhadap pertanyaan pertanyaan yang bersifat asasi tentang mengapa suatu gejala itu bisa terjadi. Konsep merupakan pikiran seseorang atau sekelompok orang yang dinyatakan dalam definisi sehingga menjadi produk pengetahuan yang meliputi prinsip-prinsip, hukum, dan teori. Konsep diperoleh dani fakta, peristiwa, pengalaman melalui generalisasi, dan berpikir abstrak. Konsep dapat mengalami perubahan disesuaikan dengan fakta atau pengetahuan baru, sedangkan kegunaan konsep adalah menjelaskan dan meramalkan. Para ahli psikologi menyadari akan pentingnya konsep-konsep, dan suatu definisi yang tepat mengenai konsep belum diberikan. Oleh karena itu konsep-konsep itu merupakan penyajianpenyajian internal dan sekelompok stimulus-stimulus konsep-konsep itu tidak dapat diamati, konsepkonseP harus disampulkan dalam perilaku Walaupun kita dapat memberikan suatu definisi verbal dan suatu konsep, suatu definisi tidak mengungkapkan semua hubungan-hubungan antara konsep itu dengan konsep-konsep yang Lain. Dalam pendekatan konsep ini Syamsudin Makmur (2003:228) mengemukakan bahwa dengan diperolehnya kemahiran mengadakan diskriminasi atas pola-pola stimulus respons (S-R) itu. siswa belajar mengidentifikasikan persamaan perusahaan karakteristik dan sejumlah pola-pola S-R tersebut. Selanjutnya berdasarkan persamaan ciri-ciri dan sekumpulan
stimulus dan juga objek-objeknya ia membentuk suatu pengertian atau konsep-konsep. Secara eksternal. adanya persamaan-persamaan ciri tertentu dan sejumlah perangsang dan obyek-obyek yang dihadapkan pada individu. Navell (1970) menyarankan. bahwa pemahaman terhadap konsep-konsep dapat dibedakan dalam tujuh dimensi yaitu: 1. Atribut. setiap konsep mempunyai atribut yang berbeda, contoh-contoh konsep harus mempunyai atribut-atribut yang relevan; termasuk juga atribut-atribut yang tidak relevan. Contoh-contoh konsep, meja harus mempunyai suatu permukaan yang datar, dan sambungan-sambungan yang mengarah ke bawah yang mengangkat permukaan itu dan lantai. Atribut-atribut dapat berupa fisik, seperti warna, tinggi, atau bentuk, atau dapat juga atribut-atribut itu berupa fungsional. 2. Struktur, menyangkut cara terkaitnya atau tergabungnya atribut-atribut itu. Ada tiga macam struktur yang dikenal. Konsep-konsep konjungtif adalah konsep-konsep dimana terdapat dua atau lebih sifat-sifat, sehingga dapat memenuhi syarat sebagai contoh konsep. Seorang aktnis adalah seorang wanita yang main dalam film. Dua atribut yaitu wanita dan main dalam film harus ada agar dapat mewakili konsep aktris. Konsep-konsep disjungtif adalah konsep-konsep dimana satu dani dua atau lebih sifat-sifat harus ada. Konsep paman merupakan konsep disjungtif. Parnan dapat merupakan kakak dan ibu atau ayah, atau seorang pria yang menikah dengan kakak wanita dan ayah atau ibu. Konsep-konsep relasional menyatakan hubungan tertentu antara atnibut-atribut konsep. Kelas sosial adalah suatu contoh dan konsep relasional, kelas sosial ditentukan oleh hubungan antara pendapatan, pendidikan, jabatan atau pekerjaan. dan faktor-faktor lainnya. 3. Keabstrakan. yaitu konsep-konsep dapat dilihat dan konkret. atau konsep-konsep itu terdini dan konsep-konsep lain. Suatu segi tiga dapat dilihat, keinginan adalah lebih abstrak. 4. Keinklusifan (inclusiveness), yaitu ditunjukkan pada jumlah contoh-contoh yang terlibat dalam konsep itu. Bagi seorang anak kecil, konsep kucing ditujukan pada seekor hewan tertentu yaitu kucing keluarga. Bila anak itu telah mengenal beberapa kucing lainnya, konsep kucing akan menjadi lebih luas. termasuk lebih banyak contoh-contoh. 5. Generalitas atau keumuman, yaitu bila diklasifikasikan, konsep-konsep dapat berbeda dalam posisi superordinat atau subordinatnya. Konsep wortel adalah subordinat terhadap konsep sayuran, selanjutnya konsep sayuran subordinat dan konsep tanaman yang dapat dimakan. Makin umum suatu konsep, makin banyak asosiasi yang dapat dibuat dengan konsep-konsep lainnya. 6. Ketepatan, yaitu suatu konsep menyangkut apakah ada sekumpulan aturan-aturan untuk membedakan contoh-contoh dari noncontoh-noncontoh suatu konsep. Klausmeier (1977) mengemukakan empat tingkat pencapaian konsep (concept attainment), mulai dan tingkat konnik
ke tingkat formal. Konsep-konsep pada tingkat formal yang paling tepat, sebab pada tingkat ini atribut-atribut yang dibutuhkan konsep dapat didefinisikan. 7. Kekuatan (power), yaitu kekuatan suatu konsep oleh sejauh mana orang setuju bahwa konsep itu penting. Konsep seperti tersebut di atas, memberi gambaran bahwa sulit rasanya untuk sampai pada suatu definisi konsep. Rosser (1984) menyatakan bahwa konsep adalah suatu abstraksi yang mewakili satu kelas objek-objek, kejadian-kejadian, kegiatan-kegiatan, atau hubungan-hubungan yang mempunyai atribut-atribut yang sama. Orang mengalami stimulus-stimulus berbeda-beda, membentuk konsep sesuai pengelompokan stimulus-stimulus dengan cara tertentu. Konsep-konsep itu adalah abstraksi-abstraksi berdasarkan pengalaman, dan karena tidak ada dua orang yang mempunyai pengalaman yang persis sama, maka konsep-konsep yang dibentuk orang mungkin berbeda. Menurut Ausubel (1968) konsep-konsep diperoleh dengan cara formasi konsep (concept formation) merupakan bentuk perolehan konsep-konsep sebelum anak-anak masuk sekolah. Menurut Gagne (1977) formasi konsep dapat disamakan dengan belajar konsep-konsep konkret, dan asimilasi konsep (concept assimilation) merupakan cara utama memperoleh konsep-konsep selama dan sesudah sekolah. Pendekatan pembelajaran ini oleh para ahli pendidikan didasarkan pada pengorganisasian bahan pengajaran, yang meliputi pengajaran linier dan pengajaran komulatif Pengajaran linear materi bidang studi terbagi atas urutan linier dengan kedalaman yang sama, pendekatan linier ini sering kali membuat murid cepat bosan dan sukar mengingat fakta atau konsep yang diajarkan. Pada pendekatan kumulatif ini diorganisasikan menurut urutan tertentu dengan jenjang kesulitan yang berbeda, yaitu meningkat. Jumlah unit yang diajarkan tidak sebanyak pendekatan linier, bahan ajar yang berupa konsep dan fakta menjadi banyak berkurang dibandingkan pada pendekatan dengan pengajaran linier. Pada pendekatan komulatif, pemahaman konsep atau fakta lebib ditekankan sebagai suatu pengertian konsep secara mendalam dan menyeluruh. b. Pendekatan Proses Pendekatan proses adalah suatu pendekatan pengajaran memberi kesempatan kepada siswa untuk ikut menghayati proses penemuan atau penyusunan suatu konsep sebagai suatu keterampilan proses. Pembelajaran dengan menekankan kepada belajar proses dilatarbelakangi oleh konsep-konsep belajar menurut teori Naturalisme-Romantis dan teori Kognitif Gestalt. Naturalisme-Romantis menekankan kepada aktivitas siswa, sedangkan Kognitif Gestalt menekankan pemahaman dan kesatupaduan yang menyeluruh. Pendekatan proses dalam pembelajaran dikenal pula sebagai keterampilan proses. guru menciptakan bentuk kegiatan pengajaran yang bervariasi, agar siswa
terlibat dalam berbagai pengalaman. Siswa diminta untuk merencanakan, melaksanakan, dan menilai sendiri suatu kegiatan. Siswa melakukan kegiatan percobaan, pengamatan, pengukuran, perhitungan, dan membuat kesimpulan-kesimpulan sendiri. Dalam pendekatan proses ini siswa tidak hanya belajar dan guru, tetapi juga dan sesama temannya, dan dari manusia-manusia sumber di luar sekolah. Kegiatan-kegiatan yang dapat dilakukan oleh siswa dalam pembelajaran yang menggunakan pendekatan proses adalah: (1) mengamati gejala yang timbul, (2) mengklasifikasikan sifat sifat yang sama, serupa; (3) mengukur besaran-besaran yang bersangkutan; (4) mencari hubungan antar konsep konsep yang ada; (5) mengenal adanya suatu masalah, merumuskan masalah; (6) memperkirakan penyebab suatu gejala, merumuskan hipotesa; (7) meramalkan gejala yang mungkin akan terjadi; (8) berlatih menggunakan alat-alat ukur; (9) melakukan percobaan; (10) mengumpulkan, menganalisis dan menafsirkan data; (11) berkomunikasi; dan (12) mengenal adanya variabel, mengendalikan suatu variabel. Pelaksanaan proses dimulai dan yang sederhana, selanjutnya diikuti dengan proses yang lebih kompleks makin banyak komponennya dan makin sulit. Keunggulan pendekatan proses adalah: (1) memberi bekal cara memperoleh pengetahuan, ha! yang sangat penting untuk pengembangan pengetahuan dan masa depan; dan (2) pendahuluan proses bersifat kreatif, siswa aktif dapat meningkatkan keterampilan berfikir dan cara memperoleh pengetahuan. Sedangkan kelemahannya adalah: (1) memerlukan banyak waktu sehingga sulit untuk dapat menyelesaikan bahan pengajaran yang ditetapkan dalam kurikulum; (2) memerlukan fasilitas yang cukup baik dan lengkap sehingga tidak semua sekolah dapat menyediakannya; dan (3) merumuskan masalah, menyusun hipotesis, merancangkan suatu percobaan untuk memperoleh data yang relevan adalah pekerjaan yang sulit, tidak setiap siswa mampu melaksanakannya. Pendekatan proses pada hakekatnya adalah memproses informasi, yaitu informasi pembelajaran. Menuntut para ahli psikologi pemrosesan informasi menggunakan peristiwa-peristiwa psikologi sebagai transformasi-transformasi informasi dan input ke output. Proses informasi mula-mula diterima oleh reseptor, lalu masuk keregistor penginderaan: Sebagian dan seluruh informasi yang terdapat dalam registor penginderaan dipindahkan ke memori kerja, selebihnya hiking (lancar kaji karena diulang). Memon kerja terbatas kapasitasnya, bila informasi di dalamnya tidak diulang-ulang atau diberi kode, informasi itu akan hilang. Informasi yang telah diberi kode masuk ke dalam memori jangka panjang, yang mempunyai kapasitas besar sekali. Informasi belajar yang tersimpan dikeluarkan, lalu disuruh oleh generator respons menjadi pola-pola perilaku yang membimbing efektor-efektor menghasilkan serangkaian tindakan-tindakan sebagai hasil belajar. Hasil belajar bukan hanya berupa penguasaan pengetahuan, tetapi juga kecakapan dan keterampilan dalam melihat, menganalisis dan memecahkan masalah, membuat
rencana dan mengadakan pembagian kerja. Dengan demikian aktivitas dan produk yang dihasilkan dan aktivitas belajar in mendapatkan penilaian. Penilaian tidak hanya dilakukan secara tertulis, melainkan juga secara lisan dan penilaian akan perbuatan. Pengetahuan disajikan secara mental dalam berbagai bentuk yaitu preposisi, produksi, dan gambaran mental. Hasil belajar yang baik, akan diperoleh melalui proses yang baik, dan proses belajar yang akan memberi basil yang baik pula, hasil yang baik ini menggambarkan .mutu pendidikan. Dalam kenyataan proses pembelajaran sering kali terjadi kekeliruan, karena yang diutamakan hasil maka proses belajar kurang diperhatikan, demikian juga sebaliknya, karena yang diutamakan proses maka basil diabaikan. Jadi hasil dan proses dalam kegiatan pembelajaran mempunyai kedudukan yang sama kuat, guru tidak dapat memperlakukannya berat sebelah, harus seimbang di antara keduanya. Proses diukur melalui basil, dan hasil akan kelihatan melalui proses, jadi bersifat komplementer atau saling melengkapi. Diasumsikan bahwa jika proses pembelajaran dilaksanakan dengan baik sesuai dengan rencana yang disusun sebelumnya, maka hasilnya pun diperkirakan akan baik dan memuaskan. Tetapi jika prosesnya tidak baik, hanya melaksanakan kegiatan rutin belaka, yang penting ada guru dalam kelas dan siswa tidak berkeliaran, maka hasilnya pun tidak akan memuaskan. Pendekatan proses mi menggambarkan bahwa, kegiatan belajar yang berlangsung di sekolah bersifat formal. prosesnya disengaja dan direncanakan dengan bimbingan guru dan pendidik lainnya agar siswa mencapai tujuan dan menguasai bahan belajar yang diberikan guru sesuai kurikulum untuk dipelajari. 2. Pendekatan Deduktif dan Pendekatan Induktif a. Pendekatan Deduktif Pendekatan Deduktif adalah proses penalaran yang bermula dari keadaan umum kekeadaan khusus sebagai pendekatan pengajaran yang bermula dengan menyajikan aturan, prinsip umum diikuti dengan contoh-contoh khusus atau penerapan aturan, prinsip umum itu ke dalam keadaan khusus. Langkah-langkah yang dapat digunakan dalam pendekatan deduktif dalam pembelajaran adalah: (1) memilih konsep, prinsip, aturan yang akan disajikan dengan pendekatan deduktif, (2) menyajikan aturan, prinsip yang bersifat umum lengkap dengan definisi dan buktinya; (3) disajikan contoh-contoh khusus agar siswa dapat menyusun hubungan antara keadaan khusus itu dengan aturan, prinsip umum; dan (4) disajikan bukti-bukti untuk menunjang atau menolak kesimpulan bahwa keadaan khusus itu merupakan gambaran dan keadaan umum. Sedangkan berpikir deduktif disebut juga berpikir dengan menggunakan silogisme terdiri dan tiga preposisi statement yang terdiri dan premise yaitu dasar penarikan kesimpulan sebagai
pernyataan akhir yang mengandung suatu kebenaran. Berpikir deduktif prosesnya berlangsung dan yang umum menuju ke yang khusus. Dalam berpikir deduktif ini orang bertolak dan suatu teori, prinsip, ataupun kesimpulan yang dianggapnya benar dan sudah bersifat umum. Dan situ diterapkan kepada fenomena-fenomena yang khusus, dan mengambil kesimpulan khusus yang berlaku bagi fenomena tersebut. b. Pendekatan Induktif Pendekatan Induktif pada awalnya dikemukakan oleh filosof Inggris Prancis Bacon (1561) yang menghendaki agar penarikan kesimpulan didasarkan atas fakta-fakta yang konkrit sebanyak mungkin, sistem ini dipandang sebagai sistem berpikir yang paling baik pada abad pertengahan yaitu cara mduktif disebut juga sebagai dogmatif artinya bersifat mempercayai begitu saja tanpa diteliti secara rasional. Berpikir induktif ialah suatu proses dalam berpikir yang ber1angsung dan khusus menuju ke yang umum. Orang mencari ciri-ciri atau sifat-sifat tertentu dani berbagai fenomena, kemudian menarik kesimpulan bahwa ciri-ciri atau sifat-sifat itu terdapat pada semua jenis fenomena. Tepat atau tidaknya kesimpulan atau cara berpikir yang diambil secara jnduktif im menurut Purwanto (2002:47) bergantung pada representatif atau tidaknya sampel yang diambil mewakili fenomena keseluruhan. Makin besar jumlah sampel yang diambil berarti makin representatif dan makin besar pula taraf dapat dipercaya (validitas) dan kesimpulan itu, dan sebaliknya. Taraf kebenaran kesimpulan itu masih ditentukan pula oleh obyektivitas dan si pengamat dan homogenitas dan fenomena-fenomena yang diselidiki. Dalam konteks pembelajaran pendekatan Induktif adalah pendekatan pengajaran yang bermu1a dengan menyajikan sejumlah keadaan khusus kemudian dapat disimpu1kan menjadi suatu fakta, prinsip atau aturan. Langkah-langkah yang dapat digunakan dalam pendekatan induktif da1ah: (1) memilih konsep, prinsip, aturan yang akan disajikan dengan pendekatan induktil (2) menyajikan contohcontoh khusus konsep, prinsip atau aturan itu yang memungkinkan siswa memperkirakan (hipotesis) sifat umum yang terkandung dalam contoh-contoh itu; (3) disajikan bukti-bukti yang berupa contoh tambahan untuk menunjang atau menyangkal perkiraan itu; dan (4) disusun pernyataan mengenai sifat umum yang telah terbukti berdasarkan j1angkah-1angkah yang terdahulu. Pada tingkat ini menurut Syamsudin Makmun 2003:228) siswa belajar mengadakan kombinasi dan berbagai konsep atau pengertian dengan mengoperasikan kaidah-kaidah logika formal (induktif. deduktif, analisis, sintesis, asosiasi, diferensiasi, komparasi, dan kausalitas), sehingga siswa dapat membuat kesimpulan (kongklusi) tertentu yang mungkin e1anjuthya dapat dipandang sebagai rule (prinsip, dali!, aturan, hukum. kaidah, dan sebagainya).
Pendekatan yang tidak bersifat demokratis ialah pendekatan deduktif yang agak lebih banyak mengandung sifat otoriter. Dalam kegiatan pembelajaran mi guru dalam mengajar tidak memberikan siswa kesempatan sepenuhnya menemukan, membuktikan sendiri prinsip, hukum dan sebagainya tentang bahan belajar yang harus ditelaah. Kondisi yang diisyaratkan kemungkinan tercapainya proses belajar seperti mi, Gagne menyarankan: (1) siswa diberitahukan tentang bentuk performance yang diharapkan jikalau yang bersangkutan telah mengalami proses belajar; (2) siswa diberikan sejumlah pertanyaan yang merangsang pengingatannya (recall) terhadap konsep-konsep yang telah dipelajari dan dimilikinya untuk mengungkapkan perbendaharaan pengetahuannya; (3) siswa diberikan beberapa kata-kata kunci (kode) yang menyatakan ke arah pembentukan rule tertentu yang diharapkan; (4) diberikan kesempatan kepada siswa mengekspressikan dan menyatakan rule tersebut dengan kata-kata sendiri; dan (5) siswa diberikan kesempatan selanjutnya untuk membuat rumusan rule tersebut dalam bentuk-bentuk statement formal bersifat optional sukarela. 3. Pendekatan Ekspositori dan Pendekatan Heuristik a. Pendekatan Ekspositori Pendekatan mi bertolak dan pandangan, bahwa tingkah laku kelas dan penyebaran pengetahuan dikontrol dan ditentukan oleh guru pengajar. Hakekat mengajar menurut pandangan mi adalah menyampaikan ilmu pengetahuan kepada siswa. Siswa dipandang sebagai objek yang menerima apa yang diberikan guru. Biasanya guru menyampaikan informasi mengenai bahan pengajaran dalam bentuk penjelasan dan penuturan secara lisan, yang dikenal dengan istilah, kuliah, ceramah, dan lecture. Dalam pendekatan mi siswa diharapkan dapat menangkap dan mengingat informasi yang telah diberikan guru, serta mengungkapkan kembali apa yang dimilikinya melalui respons yang ia berikan pada saat diberikan pertanyaan oleh guru. Komunikasi yang digunakan guru dalam interaksinya dengan siswa, menggunakan komunikasi satu arah atau komunikasi sebagai aksi. Oleh sebab itu kegiatan belajar siswa kurang optimal, sebab terbatas kepada mendengarkan uraian guru, mencatat, dan sekali-sekali bertanya kepada guru. Guru yang kreatif biasanya dalam memberikan informasi dan penjelasan kepada siswa menggunakan alat bantu seperti gambar, bagan, grafik, dan lain-lain di samping memberi kesempatan kepada siswa untuk mengajukan pertanyaan. Kegiatan belajar yang bersifat menerima terjadi karena guru menggunakan pendekatan mengajar yang bersifat ekspositori, baik pada tahap perencanaan maupun pada pelaksanaannya. Pendekatan ekspositori (expository) menempatkan guru sebagai pusat pengajaran, karena guru lebih aktif memberikan informasi, menerangkan suatu konsep, mendemonstrasikan keterampilan dalam
memperoleh pola, aturan, dalil, memberi contoh soal beserta penyelesaiannya, memberi kesempatan siswa untuk bertanya, dan kegiatan guru lainnya dalam pembelajaran ini. Dalam pendekatan ini menunjukkan bahwa guru berperan lebih aktif, lebih banyak melakukan aktivitas dibandingkan siswanya, karena guru telah mengelola dan mempersiapkan bahan ajaran secara tuntas, sedangkan siswanya berperan lebih pasif tanpa banyak melakukan pengolahan bahan, karena menerima bahan ajaran yang disampaikan guru. Pendekatan ekspositori disebut juga mengajar secara konvensional seperti metode ceramah maupun ernonstnasi. Pada pendekatan mi tidak terus menerus memberi informasi tanpa peduli apakah siswa memahami informasi itu atau tidak. Guru hanya memberi informasi pada saat tertentu jika diperlukan, misalnya pada permulaan e1ajaran, memberi contoh soal, menjawab pertanyaan siswa, dan sebagainya. Pendekatan ekspositori membawa siswa dapat belajar bermakna sehingga dapat merupakan pendekatan yang efektif dan efisien. Dalam pendekatan ekspositori 4ni Syamsudin Makmun (2003:233) mengemukakan bahwa guru menyajikan bahan dalam bentuk yang telah dipersiapkan secara rapi, sistematik dan lengkap sehingga siswa tinggal menyimak dan mencernanya secara teratur dan tertib. Secara garis besar prosedurnya ialah: (1) persiapan (preparation) yaitu guru menyiapkan bahan selengkapnya secara sistematik dan rapi; (2) pertautan aperception) bahan terdahulu yaitu guru bertanya atau memberikan uraian ngkat untuk mengarahkan perhatian siswa kepada materi yang telah diajarkan; 43) penyajian (presentation) terhadap bahan yang baru, yaitu guru menyajikan dengan cara memberi ceramah atau menyuruh siswa membaca bahan yang telah 4ipersiapkan diambil dan buku, teks tertentu atau ditulis oleh guru; dan (4) evaluasi (resitation) yaitu guru bertanya dan siswa menjawab sesuai dengan bahan yang dipelajari, atau siswa yang disuruh menyatakan kembali dengan kata-kata sendiri pokok-pokok yang telah dipelajari lisan atau tulisan. Pendekatan ekspositoni digunakan guru untuk menyajikan bahan pelajaran secara utuh atau menyeluruh, lengkap, dan sistematis dengan penyampaian secara verbal. David Ausubel (1975) telah banyak mencurahkan perhatian terhadap materi pembelajaran verbal yang banyak dikritik para ahli psikologi kognitif, meski sebenarnya Ausubel termasuk cognitivists, tetapi ia mempunyai resep khusus dalam mengembangkan potensi kognitif siswa melalui proses belajar mengajar verbal yang dikenal dengan expository learning. Dengan demikian pendekatan ekspositori dengan proses belajar yang berorientasi pada prinsip belajar tuntas (mastery learning) ini Harus dimulai dengan penggunaan mastery bagian terkecil, untuk kemudian baru dapat melanjutkan kedalam satuan belajar unit berikutnya. Pendekatan pembelajaran ekspositori dengan menyiasati dan merencanakan agar semua komponen pembentukan sistem mstruksional mengarah kepada tersampaikannya isi pelajaran kepada peserta didik Pendekatan
mi semua fakta. prinsip, dan konsep yang mereka butuhkan. Dengan tercapainya tingkat penguasaan hasil pelajaran yang tinggi, maka akan menunjukkan sikap mental yang sehat pada siswa yang bersangkutan. Pada pendekatan heuristik, guru tidak secara langsung menyajikan produk pengetahuan yang harus dipelajari melainkan menuntun siswa agar dapat menemukan, mencapai produk pengetahuan itu. Guru memperkenalkan atau mengerahkan siswa kepada data, siswa diminta untuk membuat kesimpulan berdasarkan data itu. Jika kesimpulan itu benar, berarti tujuan telah tercapai dan prosespun selesai. Tetapi jika kesimpulan itu tidak tepat, maka guru memberikan data atau informasi yang lebih lengkap dan diperlukan agar siswa dapat mencapai kesimpulan yang benar. b. Pendekatan Heuristik Kata heuristik berasal dan bahasa Yunani yaitu heuriskein yang berarti saya menemukan. Pengertian mi menurut Rusyan (1993:114) adalah semacam fakta psikologis yang muncul sebagai kodrat manusia yang memiliki nafsu untuk menyelidiki sejak bayi. Keinginan memperoleh pengetahuan dan informasi dan orang lain adalah dorongan wajar yang terdapat pada setiap manusia. Metode heunistik iiii dipromosikan oleh Professor Amstrong abad ke 19, menurut metode ini peserta didik sendiri yang harus menemukan fakta ilmu pengetahuan. Strategi belajar mengajar heunistik adalah merancang pembelajaran dan berbagai aspek dan pembentukan sistem instruksional mengarah pada pengaktifan peserta didik mencari dan menemukan sendiri fakta, prinsip, dan konsep yang mereka butuhkan. Pendekatan heuristik adalah pendekatan pengajaran yang menyajikan sejumlah data dan siswa diminta untuk membuat kesimpulan menggunakan data tersebut, implementasinya dalam pengajaran menggunakan metode penemuan dan metode inkuiri. Metode penemuan didasarkan pada anggapan, bahwa materi suatu bidang studi tidak saling lepas, tetapi ada kaitan antara materimateri itu. Dengan metode mi akan dicari hubungan antar materi-materi yang sebelumnya belum diketahui oleh siswa. Sedangkan metode inkuiri adalah para siswanya bebas memilih atau menyusun objek yang dipelajarinya, mulai dan menentukan masalah, menyimpulkan data, analisis data hingga pada kesimpulannya yaitu anak menemukan sendiri. Ciri metode inkuiri dalam pembelajaran sesuai dengan metode ilmiah, dalam pelaksanaannya siswa tidak terikat oleh waktu, tidak ada ikatan untuk menyelesaikan suatu unit pelajaran dalam waktu tertentu. Prinsip pendekatan heunistik oleh Rusyan (1993:115) adalah: (1) aictivitas peserta didik menjadi fokus perhatian utama dalam belajar; (2) berpikir logis adalah cara yang paling utama dalam menemukan sesuatu; (3) proses mengetahui dari sesuatu yang sudah diketahui menuju kepada yang belum diketahui adalah jalan pelajaran yang paling rasional dalam pelajaran di sekolah; (4) pengalaman yang penuli tujuan adalah tonggak dan usaha pembelajaran peserta didik kearah belajar
berbuat bekerja dan berusaha; dan (5) perkembangan mental seseorang berlangsung selama ia berpikir dan belajar mandiri. Dengan prinsip mu menunjukkan bahwa pendekatan heuristik dapat mendorong peserta didik bersikap berani untuk berpikir ilmiah dan mengembangkan berpikir mandiri. Pendekatan heuristik mi mempunyai kelemahan antara lain adalah: (1) tidak semua peserta didik cocok dengan pendekatan mi, kadang-kadang peserta didik lebih senang diberi pelajaran oleh gurunya melalui ceramah dan tanya jawab; (2) guru kurang biasa menggunakan pendekatan ini dalam penye1enggaraan disekolah karena faktor kemampuan; (3) pendekatan ini kurang cocok bagi peserta didik yang lamban; dan (4) pendekatan mi menuntut er1engkapan yang memadai, terutama bagi pekerjaan di laboratorium. Untuk mengatasinya, maka prosedur heunistik, yang menemukan jawaban dengan cara yang tidak ketat, misalnya menganjurkan murid-murid menemukan jawaban atas masalah yang pelik dengan memikirkan masalah yang ada persamaannya yang lebih sederhana atau berpikir secara analogi, berdasarkan simetri. atau dengan melukiskannya atau membuat diagram. Siswa dibimbing oleh guru agar dapat menemukan sendiri konsep yang dicari, tetapi konsep itu belum tentu telah diketahui oleh guru sebelumnya. Kemacetan pendekatan heuristik yang diterapkan dalam pembelajaran, ialah jika siswa sama sekali tidak memiliki apersepsi material yang mendasar tentang bahan yang akan diterangkan guru. Sebaliknya guru tidak dapat menyajikan materi awal untuk memulai pertanyaan yang mudah dan sederhana.. sehingga mampu mengungkap pengetahuan yang telah dimiliki siswa. Pendekatan heuristime menuntut guru terampil merangsang siswa mengungkapkan dan mengaktifkan siswa terhadap materi belajar yang dikuasai dan dimiliki. Tidak ada pendekatan yang paling baik dan cocok untuk segala keadaan. setiap pendekatan mempunyai keunggulan dan kelemahan. Melalui berbagai pendekatan yang sesuai dengan bidang studi, diperlukan kegigihan guru untuk mendesain pendekatan yang sesuai dengan mata ajar yang menjadi tanggung jawab guru. Dengan kegigihan guru menyajikan pertanyaan-pertanyaan yang mendorong siswa menjadi lebih kreatif dan berinisiatif, dampaknya kegiatan pembelajaran menjadi lancar dan bermanfaat. Perlu diingat bahwa mengajar dengan menggunakan berbagai pendekatan yang relevan, mengharuskan terjadinya perubahan perubahan pola tingkah laku instruksional yang diharapkan. Dengan demikian siswa harus melakukan interaksi terhadap lingkungan instruksional yang diharapkan untuk menunjang dan memperlancar serta memotivasi proses belajar siswa. Salah satu usaha untuk menciptakan lingkungan yang sesuai dengan proses pembelajaran dikenal dengan strategi menggunakan pendekatan, metode dan media pendidikan dalam pembelajaran. 4. Pendekatan Kecerdasan
Hal yang perlu diketahui para guru antara lain adalah kecerdasan siswa agar dapat menolong kesulitan belajarnya. Untuk mengetahui kecerdasan para siswanya tentu guru tidak melakukannya sendiri, untuk hal yang sederhana dapat dilakukan oleh konselor yang mempunyai latar belakang pendidikan dan keahlian untuk itu. Bagi sekolah-sekolah yang berada diperkotaan dan tersedia psikolog, maka dapat dimintakan bantuan para ahli psikologi tersebut untuk melakukan tes kecerdasan, dengan demikian hasilnya dapat lebih akurat, dan tindakan belajarpun dapat disesuaikan dengan kemampuan siswa oleh guru. Mun.zert, A. W. (1994) mengartikan kecerdasan sebagai sikap intelektual mencakup kecepatan memberikan jawaban, penyelesaian, dan kemampuan memecahkan masalah. David Weschler memberikan rumusan tentang kecerdasan sebagai suatu kapasitas umum dan individu untuk bertindak, berpikir rasional dan berinteraksi dengan lingkungan secara efektif. Kecerdasan merupakan salah satu faktor utama yang menentukan sukses gagalnya peserta didik belajar di sekolah. peserta didik yang mempunyai taraf kecerdasan rendah atau dibawah normal sukar diharapkan berprestasi tinggi. Tetapi tidak ada jaminan bahwa dengan taraf yang kecerdasan tinggi seseorang secara otomatis akan sukses belajar di sekolah. Intelegensi dapat dirumuskan dengan kemampuan untuk melakukan kegiatan dan mencapai prestasi-prestasi yang didalamnya berpikir memainkan peranan utama. Dan tingkah laku seseorang, pembicaraan, aksi, reaksinya, orang dapat menilainya apakah orang itu cerdas, cerdik, pintar atau sebaliknya bodoh, bebal, lamban. Walaupun untuk memperoleh informasi yang lebih dapat 4ipercaya melalui tes kecerdasan melalui uji psikotes oleh ahli psikologi. Tingkah laku yang inteligen oleh sejumlah ciri sebagai berikut mi: (1) tingkah laku yang siap melakukan perubahan-perubahan yang perlu terhadap kondisi-kondisi baru, tidak kaku; (2) tingkah laku yang bertujuan; (3) tingkah laku yang cepat, reaksi-reaksi yang segera; (4) tingkah laku yang terorganisir, yakni ada koordinasi yang baik antara kondisi-kondisi pribadi dalam lingkungan yang memecahkan persoalan, (5) tingkah laku yang dikendalikan oleh motivasi yang kuat; dan (6) tingkah laku yang success oriented. Berdasarkan test-test jntelegensi yang dilaksanakannya, Binet mengelompokkan tingkat-tingkat ,kecerdasan (intelegence Quotient-IQ) seperti berikut ini.
Peserta didik perlu menyadari potensi kecerdasan dan mengaktualisasikan secara optimal. Secara umum dapat dikemukakan bahwa untuk berhasil belajar dijenjang pendidikan menengah dan pendidikan tinggi 1dcngan baik perlu ditunjang untuk kecerdasan yang memadai, misalnya pada tahap cerdas ke atas. Howard Gardner memberikan ringkasan pendek tentang kecerdasan pribadi atau antarpribadi. Kecerdasan antar pribadi adalah kemampuan untuk memahami orang lain apa yang memotivasi mereka. bagaimana mereka bekerja, dan bagaimana mereka bekerja bahu membahu. Guru cenderung orang yang mempunyai tingkat kecerdasan antar pribadi yang tinggi. Spearrnan mendefinisikan kecerdasan adalah inteligence consist of general ability that wothng cojuntion with special abilines ada dua penekanan penting yang dapat dimaknai dan definisi diatas yaitu kapasitas umum meliputi kecepatan merespon setiap stimulus dan kemampuan memecahkan masalah dengan kapasitas khusus dikenal sebagai bakat (aptitude). Howard Gardner. psikolog yang membantu pelaksanaan riset tersebut. menganggap kecerdasan sebagai kemampuan memecahkan masalah atau menciptakan produk (Goleman. 1999:50). Ia mewariskan daftar berikut yang memuat delapan bentuk kecerdasan: 1. Kecerdasan verballbahasa (verbal linguistic intelligence). Bentuk kecerdasan mi dinampakkan oleh kepekaan akan makna dan urutan kata serta kemampuan membuat beragam penggunaan bahasa untuk menyatakan dan memaknai anti yang kompleks. Percakapan spontan, dongeng, humor. dan kelakar adalah kemampuan alamiah yang berkaitan dengan kecerdasan verbal/bahasa. Kemampuan membujuk seseorang untuk mengikuti tindakan, atau memberikan penjelasan, atau mengajar. Guru dalam memimpin pembelajaran diperlukan kemampuan melakukan negoisasi kepada pihak-pihak terkait untuk dapat membantu memenuhi kebutuhan pembelajaran. Will Rogers memiiki bentuk kecerdasan mi, demikian pula pam jumalis hebat, alili bahasa. sastrawan, orator, penyair juga memiliki kecerdasan ini. 2. Kecerdasan logika/matematika-logis (logical-mathematical intelligence). Bentuk kecerdasan ini termasuk yang paling mudah distandarisasikan dan diukur. kecerdasan ini sebagai pikiran analitik dan sainstifik, dan bisa melihatnya dalam diri ahli sains dan programer komputer, akwttan, ahli hukum, bankir, dan tentu saja ahli matematika, mereka semua pemecah masalah dan pemain hebat. Mereka bekerja sebagai simbol-simbol abstrak dan bisa melihat koneksi antara potonganpotongan informasi yang oleh orang lain mungkin terlewatkan. Einstein adalah salah satu contoh terbaik mengenai orang dengan bentuk kecerdasan mi. Guru dan profesi pendidikan memerlukan kecerdasan mi meski dalam ukuran yang relatif khusus dalam pengambilan keputusan dan penetapan kebijakan pembelajaran.
3. Kecerdasan spasial/visual (visual-spatial intelligence). Kecerdasan mi umumnya terampil menghasilkan imaji mental dan menciptakan representasi grafis, mereka sanggup berpikir tiga dimensi, mampu mencipta ulang dunia visual. Picasso, yang lukis-lukisannsya menantang cara kita memandang kenyataan, dikaruniai bakat memvisualisasikan obyek-obyek dani beragam perspektif dan berbagai sudut. Selain pada pelukis dan pematung, bentuk kecerdasan mi ditemukan juga pada para programer komputer atau desainer dan arsitek. Pendidik membutuhkan kecerdasan ini khususnya berkaitan dengan program dan perencanaan pembelajaran yang sesuai dengan harapan perolehan mutu. 4. Kecerdasan tubuh/kinestetik (kinesthetic intelligence). Kecerdasan mi memungkinkan terjadinya hubungan antara pikiran dan tubuh yang diperlukan untuk berhasil dalam aktivitas-aktivitas seperti menari. melakukan pantomim, berolah raga. menguasai seni bela diri, dan memainkan drama. Martha Graham dan Michael Jordan mempesona pam penonton dengan penggunaan tubuh secara sensitif dan eksplosif, mereka tahu cara manusia bergerak. Para penemu dibidang ini pahami bagaimana mengubah fungsi menjadi bentuk, mereka secara intuitif merasakan apa yang mungkin dilakukan dengan proses dan peralatan. Keterampilan mi dibutuhkan oleh pendidik khususnya berkaitan dengan tampilan didepan peserta didiknya, jika guru kaku atau tudak lentur akan menimbulkan kesan tidak akrab atau kaku, tidak lugas, makanya guru dalam memimpin pembelajaran perlu menjaga dirinya dan sikap kaku dan harus berpenampilan lugas. 5. Kecerdasan musikal/ritmik (mucical intelligence). Seseorang dengan bentuk kecerdasan mm mendengarkan pola musik dan ritmik secara natural dan kemudian dapat memproduksinya. Bentuk kecerdasan mi sangat menyenangkan, karena musik memiliki kapasitas untuk mengubah kesadaran kita, menghilangkan stres, dan meningkatkan fungsi otak. Sebagai contoh pelajar yang mendengarkan musik karya Mozart mencetak nilai lebih tinggi dalam standar tes IQ dibandingkan pelajar yang pada waktu yang sama menghabiskan waktu dengan meditasi atau berdiam diri. Peneliti meyakini bahwa pola-pola dalam tema-tema musik, bagaimana pun, menjalankan jaringan kerja saraf yang sama yang oleh otak dipekerjakan untuk menyelesaikan tugas-tugas visual-spasial yang kompleks. Bagi pemimpin pendidikan dan guru kecerdasan demikian diperlukan agar mereka dapat mengolah jiwanya sehingga tetap sehat dan tidak stres. Makanya guru dan kepala sekolah sebagai pemimpin pendidikan yang memiliki sedikit rasa humor tampilannya relatif kaku, sedangkan mereka yang memiliki rasa humor relatif memadai tampilannya relatif lugas dan neksibel. 6. Kecerdasan interpersonal (interpersonal intelligence). Manager, konselor. terapis, politikus, mediator, dan spesialis hubungan manusia menunjukkan bentuk kecerdasan mi. Bentuk
kecerdasan mi wajib dimiliki bagi tugas-tugas di tempat kerja seperti negosiasi dan menyediakan umpan balik atau evaluasi. Individu-individu dengan bentuk kecerdasan mi memiliki kemampuan intuitif yang kuat. Mereka biasanya pintar membaca suasana hati, temperamen, inotivasi, dan maksud orang lain. Abraham Lincoln, Mahatma Gandhi, dan Martin Luther King, Jr., memanfaatkan kecerdasan interpersonal untuk mengubah dunia. Kecerdasan ini dibutuhkan guru agar diajarkannya dengan situasi dunia nyata siswa dan mendorong siswa membuat hubungan antara pengetahuan yang dimilikinya dengan penerapannya dalam kehidupan mereka sehari-hari. Hal mi menurut Nurhadi (2003) dilakukan dengan melibatkan komponen utama pembelajaran yang efektifyakni: a. Konstruktivisme (Constructivism) Konstruktivisme (constructivism) merupakan landasan berpikir (filosofi) pendekatan kontekstual, yaitu pengetahuan dibangun sedikit demi sedikit, yang hasilnya diperluas melalui konteks yang terbatas (sempit) dan tidak dengan tiba-tiba. Pengetahuan bukanlah seperangkat faktafakta, konsep, atau kaidah yang siap untuk diambil dan diingat. Tetapi manusia harus mengkonstniksi pengetahuan itu dan memberi makna melalui pengalaman nyata. Siswa perlu dibiasakan untuk memecahkan masalah, menemukan sesuatu yang berguna bagi dirinya, dan bergelut dengan ide-ide, yaitu siswa harus mengkonstruksikan pengetahuan dibenak mereka sendiri. Esensi dan teori konstruktivisme adalah ide bahwa siswa harus menemukan dan mentransformasikan suatu informasi kompleks ke situasi lain, dan apabila dikehendaki informasi itu menjadi milik mereka sendiri. Dengan dasar mi pembelajaran harus dikemas menjadi proses mengkonstruksi bukan menerima pengetahuan. Landasan berpikir konstruktivisme agak berbeda dengan pandangan kaum objektifitas, yang lebih menekankan pada hasil pembelajaran. Dalam pandangan konstruktivisme, strategi memperoleh lebih diutamakan dibandingkan seberapa banyak siswa memperoleh dan mengingat pengetahuan. Untuk itu, tugas guru adalah memfasilitasi proses tersebut dengan: (1) menjadikan pengetahuan bermakna dan relevan bagi siswa; (2) memberi kesempatan siswa menemukan dan menerapkan idenya sendiri; dan (3) menyadarkan siswa agar menerapkan strategi mereka sendiri dalam belajar.
b. Bertanya (Questioning) Pengetahuan yang dimiliki seseorang, selalu bermula dan bertanya, karena bertanya merupakan strategi utama pembelajaran yang berbasis pendekatan kontekstual. Dalam sebuah pembelajaran yang produktif, kegiatan bertanya berguna untuk: (1) menggali informasi, baik
administrasi maupun akademis; (2) mengecek pemahaman siswa; (3) membangkitkan respon pada siswa; (4) mengetahui sejauh mana keinginan tahuan siswa; (5) mengetahui hal- hal yang sudah diketahui siswa; (6) memfokuskan perhatian siswa pada sesuatu yang dikehendaki guru; (7) untuk membangkitkan lebih banyak lagi pertanyaan Masyarakat-belajar bisa terjadi apabila ada proses komunikasj dua arah. Seorang guru yang mengajari siswanya bukan contoh masyarakat belajar karena komunikasi hanya terjadi satu arah, yaitu informasi hanya datang dan guru ke arah siswa, tidak ada anus informasi yang perlu dipelajari guru yang datang dan arah siswa. Dalam contoh mi yang belajar hanya siswa bukan guru. Dalam masyarakat belajar, dua kelompok (atau lebih) yang terlibat dalam komunikasi pembelajaran saling belajar. Seseorang yang terlibat dalam kegiatan masyarakat belajar memberikan informasi yang diperlukan oleh teman bicaranya dan sekaligus juga meminta informasi yang diperlukan dan teman belajarnya. Kegiatan saling belajar juga bisa terjadi apabila tidak ada pihak yang dominan dalam komunikasi, tidak ada pihak yang merasa segan untuk bertanya, tidak ada pihak yang menganggap paling tahu, semua pihak mau saling mendengarkan. Setiap pihak harus merasa bahwa setiap orang lain memiliki pengetahuan, pengalaman, atau keterampilan yang berbeda yang perlu dipelajari. e. Pemodelan (Modeling) Dalam sebuah pembelajaran keterampilan atau pengetahuan tertentu, ada model yang bisa ditiru. Model itu, memberi peluang yang besar bagi guru untuk memberi contoh cara mengerjakan sesuatu, dengan begitu guru memberi model tentang bagaimana cara belajar. Sebagian guru memberi contoh tentang cara bekerja sesuatu, sebelum siswa melaksanakan tugas, misalnya cara menemukan kata kunci dalam bacaan. Dalam pembelajaran tersebut guru mendemonstrasikan cara menemukan kata kunci dalam bacaan dengan menelusuri bacaan secara cepat, dengan memanfaatkan gerak mata (scaning). Ketika guru mendemonstrasikan cara membaca cepat tersebut, siswa mengamati guru membaca dan membolak balik teks. Gerak mata guru dalam menelusuri bacaan, menjadi perhatian utama siswa. Dengan begitu siswa tahu bagaimana gerak mata yang efektif dalam melakukan scaning. Kata kunci yang ditemukan guru disampaikan kepada siswa, sebagai hasil kegiatan pembelajaran menemukan kata kunci secara cepat. Secara sederhana, kegiatan itu disebut pemodelan. Artinya, ada model yang bisa ditiru dan diamati siswa, sebelum mereka berlatih menemukan kata kunci. Dalam kasus itu, guru menjadi model. Dalam pendekatan kontekstual, guru bukan satu-satunya model. Model dapat dirancang dengan melibatkan siswa, seorang siswa dapat ditunjuk untuk memberi contoh temannya, cara melafalkan suatu kata, jika kebetulan ada siswa yang pernah memenangkan lomba baca puisi atau
memenangkan kontes berbahasa Inggris, siswa itu dapat ditunjuk untuk mendemonstrasikan keahliannya. Siswa contoh tersebut dikatakan sebagai model, siswa lain dapat menggunakan model tersebut sebagai standar kompetensi yang harus dicapai. f. Reneksi (Refeiction) Reneksi adalah cara berpikir tentang apa yang baru dipelajari atau berpikir ke belakang tentang apa-apa yang sudah kita lakukan dalam hal belajar di masa yang lalu. Siswa mengendapkan apa yang baru dipelajarinya sebagai struktur pengetahuan yang baru, yang merupakan pengayaan atau revisi dan pengetahuan sebelumnya. Reneksi merupakan respons terhadap kejadian. aktivitas, atau pengetahuan yang baru diterima. Misalnya, ketika pelajaran berakhir, siswa merenung Kalau begitu, cara saya menyimpan file selama ini salah, ya! Mestinya dengan cara yang baru saya pelajari ini, file komputer saya lebih tertata dan lebih rapi. Pengetahuan yang bermakna diperoleh dari proses belajar. Pengetahuan Yang dimiliki siswa diperluas melalui konteks pembelajaran, yang kemudian diperluas sedikit demi sedikit sehingga semakin berkembang. Guru atau orang dewasa membantu siswa membuat hubungan-hubungan antara pengetahuan yang dimiliki sebelumnya dengan pengetahuan yang baru. Dengan reneksi itu, siswa merasa memperoleh sesuatu yang berguna bagi dirinya tentang apa yang harus dipelajarinya. f . Penilaian Sebenarnya (Authentic Assessment) Assessment adalah proses pengumpulan berbagai data yang bisa memberikan gambaran perkembangan belajar siswa. Gambaran perkembangan Ljar siswa perlu diketahui oleh guru agar bisa memastikan bahwa siswa mengalami proses pembelajaran dengan benar. Apabila data yang dikumpulkan mengidentifikasikan bahwa siswa mengalami kemacetan dalam belajar, cara guru segera bisa mengambil tindakan yang tepat agar siswa terbebas dan kemacetan belajar. Karena gambaran tentang kemajuan belajar itu diperlukan panjang proses pembelajaran, maka assessment tidak dilakukan diakhir periode seperti akhir semester. Pembelajaran seperti pada kegiatan evaluasi basil belajar seperti fo4atif dan sumatif, tetapi dilakukan bersama dengan cara terintegrasi, yaitu tid4k terpisahkan dan kegiatan pembelajaran. Pembelajaran yang benar seharusnya ditekankan pada upaya membantu siswa agar mampu mempelajari (learning how to learn), bukan ditekankan pada diperolehnya sebanyak mungkin informasi di akhir periode pembelajaran. Karena assessment menekankan proses pembelajaran, maka data yang dikumpulkan harus diperoleh dan kegiatan nyata yang dikerjakan siswa pada saat melakukan proses pembelajaran. Guru yang ingin mengetahui perkembangan belajar bahasa Inggris misalnya bagi para siswanya harus mengumpulkan data dan kegiatan nyata saat para siswa menggunakan bahasa Inggris, bukan pada saat para siswa mengerjakan tes bahasa Inggris. Data yang
diambil dan kegiatan siswa saat siswa melakukan kegiatan berbahasa Inggris baik dalam kelas maupun di luar kelas, itulah yang disebut data autentik. Kemajuan belajar dinilai dan proses, bukan melalui hasil, dan dengan berbagal cara. Tes hanya salah satunya, itulah hakekat penilaian yang sebenarnya. Penilai tidak hanya guru, tetapi bisa juga teman lain atau orang lain. Karakteristik authentic assessment adalah: (1) dilaksanakan selama dan sesudah proses pembelajaran berlangsung; (2) bisa digunakan untuk formatif maupun sumatif (3) yang diukur keterampilan dan performansi, bukan hanya mengingat fakta; (4) berkesinambungan; (5) terintegrasi; dan (6) dapat digunakan sebagai feed back. Dengan demikian pembelajaran yang benar memang seharusnya ditekankan pada upaya membantu siswa agar mampu mempelajari (learning how to learn) sesuatu, bukan ditekankan pada diperolehnya sebanyak mungkin informasi diakhir periode pembelajaian (Depdiknas, 2003:10). Sebuah kelas dikatakan menggunakan pendekatan kontekstual, jika menerapkan komponen utama pembelajaran efektif mi dalam pembelajarannya. Untuk melaksanakan hal itu dapat diterapkan dalam kurikulum apa saja, bidang studi apa saja, dan kelas yang bagaimana pun keadaannya. Penerapan pendekatan kontekstual secara garis besar langkah-langkahnya adalah: (1) kembangkan pemikiran bahwa anak akan belajar lebih bermakna dengan cara bekerja sendiri, menemukan sendiri, dan mengkonstruksi sendiri pengetahuan dan keterampilan barunya; (2) laksanakan sejauh mungkin kegiatan inquiry untuk semua pokok bahasan; (3) mengembangkan sikap ingin tahu Siswa dengan bertanya; (4)menciptakan masyarakat belajar; (5) menghadirkan model sebagai contoh pembelajaran; (6) melakukan reneksi di akhir pertemuan (7) melakukan penilaian yang sebenarnya dengan berbagai cara. Dengan konsep itu, hasil hasil pembelajaran diharapkan lebih bermutu bagi siswa. Proses pembelajaran berlangsung alamiah dalam bentuk kegiatan siswa bekerja dan mengalami, bukan transfer pengetahuan dan guru ke siswa, strategi pembelajaran lebih dipentingkan dari pada hasil, dimana siswa belajar mengkonstruksikan sendiri. Karena diasumsikan dengan strategi dan pendekatan yang baik, maka akan memperoleh hasil yang baik pula. Dalam konteks mi siswa perlu mengerti apa makna belajar, apa manfaatnya. dalam status apa mereka, dan bagaimana mencapainya. Para siswa menyadari bahwa yang mereka pelajar akan berguna dan sebagai bekal hidupnya kemudian hari. Para siswa mempelajari apa yang bermanfaat bagi dirinya dan berupaya menanggapinya, itulah sebabnya para siswa tersebut memerlukan tenaga pengajar yang profesional sebagai pengarah dan pembimbing mereka dalam belajar. Ada beberapa alasan mengapa pendekatan kontekstual menurut Depdiknas (2003) menjadi pilihan yaitu: (1) sejauh mi pendidikan kita masih didominasi oleh pandangan bahwa pengetahuan
sebagai perangkat fakta-fakta yang harus dihafal. Kelas masih berfokus pada guru sebagai sumber utama pengetahuan, kemudian ceramah menjadi pilihan utama strategi belajar. Untuk itu, diperlukan sebuah strategi belajar baru yang lebih memberdayakan siswa. Sebuah strategi belajar yang tidak mengharuskan siswa menghapal fakta-fakta, tetapi sebuah strategi yang mendorong siswa mengkonstruksikan pengetahuan di benak mereka sendiri; (2) melalui landasan filosofi konstruksivisme, Cli dipromosikan menjadi altematif strategi belajar yang barn. Melalui strategi belajar pendekatan kontekstual, siswa diharapkan belajar melalui mengalami, bukan menghafal; (3) knowledge is constructed by humans. Knowladge is not a set of facts, concepts, or laws waiting to be discovered. It is not something that exists independent of a knower. Humans create or construct knowledge as they attempt to bring meaning to their experience, everything that we know, we have made (Zahorik, 1995); dan (4) knowledge is konjectural and fallible. Since knowledge is a construction of humans-and humans constantly undergoing new , experiences, knowledge can never by stable. The understandings and incomplete. Knowledge grows through exposure. Understand become deeper and stronger if one tes it against new encounters (Zahorik, 1995) Ada lima elemen belajar yang konstruktivistik yang harus diperhatikan dalam pembelajaran kontekstual menurut Zahonk (1995 14-22) yaltu (1) Pengaktifan pengetahuan yang sudah ada (activating knowledge); (2) Pemerolehan pengetahian ban, (Acquiring knowledge) dengan cara mempelajari secara keseluruhan dulu, kemudian memperhatikan detailnya; (3) Pemahaman pengetahuan (understanding knowledge), yaitu dengan cara menyusun konsep sementara (hipotesis), melakukan sharing kepada orang lain agar dapat tanggapan (validasi) dan atas dasar tanggapan itu, dan konsep direvisi dan dikembangkan; (4) Mempraktekkan pengetahuan dan pengalaman tersebut (applying knowledge); dan (5) Melalcukan reneksi (renecting knowledge) terhadap strategi pengembangan pengetahuan tersebut. C. Faktor Faktor yang Mempengaruhi Perkembangan Anak Pernahkah anda memperhatikan seorang bayi yang meneliti dengan seksama sebuah mainan bani miliknya. Anak itu memasukkan mainannya itu ke dalam mulut untuk mengetahui rasanya, kemudian menggoyangnya, mengangkat, membantingkan, dan memilah-milah yang bisa ia lakukan, serta membongkarnya untuk diselidiki satu persatu. Proses yang demikian mi disebut belajar secara menyeluruh (global learning) yang merupakan cara efektif dan alamiah bagi seseorang manusia untuk mempelajari bahwa otak seorang anak hingga usia enam atau tujuh tahun mampu menyerap berbagai fakta, sifat-sifat fisik, dan kerumitan bahasa (DePorter dan Hernacki, 1999:22). Para ahli berbeda
pendapat mengenai faktor-faktor yang mempengaruhi perkembangan anak, karena memang sudut pandang maupun pendekatannya berbeda. Kata perkembangan sering kali digandengkan dengan pertumbuhan dan kematangan, ketiganya memang mempunyai hubungan yang sangat erat. Pertumbuhan dan perkembangan pada dasarnya adalah perubahan menuju ke tahap-tahap yang lebih tinggi dan lebih baik. Pertumbuhan lebih banyak berkenaan dengan aspek-aspek jasmaniah atau fisik, menunjukkan perubahan atau penambahan secara kuantitas, yaitu penambahan dalam ukuran besar atau tinggi. Sedangkan perkembangan berkaitan dengan aspek-aspek psikhis atau rohaniah, berkenaan dengan kualitas yaitu peningkatan dan penyempumaan fungsi (Syaodih Sukmadinata, 2003:111). Dengan demikian dapat ditegaskan bahwa pertumbuhan berkenaan dengan struktur, sedangkan perkembangan berkenaan dengan fungsi yang berhubungan dengan kematangan. Pada dasarnya dilihat dan aspek psikologis penyelenggaraan pendidikan khususnya mengenai pembelajaran, para ahli mengemukakan ada digunakan untuk mengkaji faktor-faktor perkembangan anak dalam belajar yaitu: 1. Pandangan Nativisme Nativisme (Nativism) yaitu Nativzts atau pembawaan adalah sebuah doktrin filosofis yang berpengaruh besar terhadap aliran pemikiran psikologis. Pandangan nativisme ini berpendapat bahwa perkembangan individu itu semata-mata ditentukan oleh faktor-faktor yang dibawa semenjak lahir. Salah satu tokoh yang menganut teori nativisme ini adalah Arthur Schopenhouer (1788-1880), seorang filsuf bangsa Jerman. Beliau berpendapat bahwa bayi itu lahir telah memiliki sifat-sifat dasar tertentu yang disebut sifat pembawaan yang baik dan pembawaan buruk. Setiap anak memiliki sifat bawaannya sendiri, sifat-sifat itu tidak bisa dirubah dengan pengalaman. Pengalamian, lingkungan atau pendidikan, oleh karena itu hasil akhir pendidikan ditentukan oleh pembawaan yang sudah dibawa sejak lahir. Berdasarkan pandangan ini keberhasilan pendidikan ditentukan .oleh nak didik itu sendiri. Istilah nativisme dan asal kata native yang artinya adalah terlahir, bagi nativisme lingkungan sekitar tidak ada artinya, sebab lingkungan tidak akan berdaya dalam mempengaruhi perkembangan anak. Jadi, perkembangan anak merupakan hasil perubahan dan sifat-sifat pembawaan itu Sendiri. Jika dikatakan secara ekstrem, paham ini tidak mempercayai pengaruh pendidikan terhadap perkembangan anak. Jika ada ilmu pendidikan yang berlandaskan pada paham ini, dikatakan bagai pedagogik yang pesimistis. Paham ini juga sering disebut sebagai biologisme, karena hanya menekankan pada kehidupan anak sendiri sebagai makhluk biologi dalam perkembangannya. Penganut pandangan ini
menyatakan bahwa kalau anak mempunyai pembawaan jahat, maka dia akan menjadi jahat. eba1iknya kalau anak mempunyai pembawaan baik, maka dia akan menjadi baik. Pembawaan buruk dan baik mi tidak dapat diubah dan kekuatan luar, jadi hasil pendidikan tergantung pada pembawaan. Dengan demikian dapat ditegaskan pandangan nativisme bahwa perkembangan manusia itu ditentukan oleh pembawaannya, sedangkan enga1aman dan pendidikan tidak berpengaruh apa-apa. Dalam ilmu pendidikan, pandangan seperti mi disebut pesimisme pedagogis. Aliran nativisme bertolak dan Leibnitzian Tradition yang menekankan kemampuan dalam diri anak, sehingga faktor lingkungan, termasuk faktor pendidikan kurang berpengaruh terhadap perkembangan anak. Dalam individu terdapat suatu inti pribadi yang mendorong manusia untuk mewujudkan diri, mendorong manusia dalam menentukan pilihan dan kemauan sendiri, dan yang menempatkan manusia sebagai makhluk aktif yang mempunyai kemauan bbas. Hasil perkembangan tersebut ditentukan oleh pembawaan yang sudah diperoleh sejak kelahiran. Tiitarahardja dan Sula (2000:196) berpendapat pembawaan itu bukanlah satu-satunya faktor yang menentukan perkembangan, masih banyak faktor yang mempengaruhi pembentukan dan perkembangan anak dalam menuju kedewasaan. 2. Pandangan Naturalisme Nature yaitu alam atau kodrat, pandangan naturalisme mi dipelopori oleh seorang filsuf Prancis J. J. Rouseau (17 12-1778). Pandangannya lebih ditekankan pada sifat hakekat anak, sehingga mempengaruhi konsepnya mengenai pembinaan terhadap perkembangannya atau perkembangannya. Rouseau berpendapat bahwa semua anak yang baru dilahirkan mempunyai pembawaan baik dan tidak ada seorang pun yang lahir dengan pembawaan buruk. Namun pembawaan baik itu, akan menjadi rusak karena dipengaruhi oleh lingkungan atau pengaruh kebudayaan manusia itu sendiri. Rouseau berpendapat bahwa pendidikan yang diberikan orang dewasa malahan dapat merusak pembawaan anak yang baik itu. Pandangan naturalisme tidak memandang penting pendidikan, aliran ini juga disebut negativisme, karena berpendapat pendidik wajib membiarkan pertumbuhan anak pada alam, dengan kata lain pendidikan tidak diperlukan. Rouseau dengan gigihnya mengajak agar kembali ke alam (nature), yang baik itu (back to nature), dengan menjauhkan anak dan lingkungan kebudayaan. Ia ingin menjauhkan anak dan segala keburukan masyarakat yang serba di buatbuat (artificial), sehingga kebaikan anak-anak yang diperoleh secara alamiah sejak lahir dapat tampak secara spontan dan bebas. Rouseau mengusulkan perlunya permainan bebas kepada anak didik untuk mengembangkan pembawaannya, kemampuan-kemampuannya, dan kecenderungan-kecenderungannya. Pendidikan yang baik adalah memberikan kebebasan kepada anak untuk berkembang menurut kodrat dan
alamnya yang baik itu. Hukuman bagi anak pun harus dengan hukuman alam, sebagai contoh anak yang memecahkan kaca jendela, dibiarkan tidur di kamar tanpa jendela berkaca itu, agar merasakan dinginnya malam karena angin yang masuk ke kamar lewat jendela itu, maka ia mendapat hukuman dan alam. Namun menurut Tirtarahardja dan Sula (2000:198) bahwa seperti diketahui, gagasan naturalisme yang menolak campur tangan pendidikan, sampai saat mi tidak terbukti. malahan terbukti sebaliknya, yaitu pendidikan makin lama makin diperlukan. Sebagaimana dikemukakan oleh Herbart (1776-1841) adalah seorang paturalis, hal ini tampak pada pandangannya: (1) teori tahap-tahap perkembangan budaya yang menyatakan bahwa ras manusia berkembang melalui tahap perkembangan budaya tertentu. dan tahap-tahap tersebut akan diulangi dalam perkembangan individu; (2) seorang manusia yang baik memerintahkan dirinya sendiri, sifat dasar manusia terdini dan dua faktor yaitu dari yang memerintah dan diri yang menolak. Mendidik orang muda agar ingin berbuat baik. bebas dan mantap, terwujud apabila sifat dasarnya mau melakukan perbuatan tersebut; dan (3) jika dibekali suatu kemampuan khusus untuk mereaksi terhadap hal-hal yang ada terhadap lingkungannya. 3. Pandangan Empirisme Empiria atau pengalaman, tokoh perintis pandangan empirisme adalah seorang filsuf Inggris bernama John Locke (1632-1704). Faham empirisme ini bertentangan dengan paham nativisme dan berpendapat, bahwa anak itu sejak lahir belum memiliki sifat-sifat pembawaan apapun. John Locke mengembangkan suatu teori yang terkenal dengan teori Tabula rasa dimana beliau berpendapat bahwa anak lahir di dunia bagaikan kertas putih yang bersih. Maka diatas kertas putih itu orang dapat membuat coretan menurut kehendaknya Oleh karena itu lingkungan (environment), anak memperoleh pengalaman-pengalaman empirik, dan pengalaman empirik yang diperoleh dan lingkungan inilah yang berpengaruh besar dalam menentukan perkembangan anak. Penganut pandangan ini menyatakan bahwa perkembangan anak gantung kepada lingkungan, sedangkan pembawaan tidak dipentingkan sebab pada waktu lahir seorang anak masih bersih. Pengalaman yang diperoleh anak dalam kehidupan sehari-hari didapat dan dunia sekitarnya yang berupa imulan-stmmu1an yang berasal dan alam bebas maupun diciptakan oleh orang dewasa dalam bentuk program pendidikan. Dalam hal ini para penganut empirisme menganggap setiap anak lahir seperti tabula rasa, dalam keadaan kosong. tak punya kemampuan dan bakat apa-apa. Hendak menjadi apa anak kelak bergantung pada pengalaman maupun lingkungan yang mendidiknya. Seorang pendidik dapat membentuk menjadi apapun yang dikehendakinya, apakah akan dibentuk menjadi seorang sarana. seorang montir di bengkel. Atau bahkan seorang penjahat. Jika ada ilmu pendidikan yang mendasarkan pada paham ini, maka dikatakan sebagai pedagogik optimistis. Paham
ini juga sering disebut sosiologisme, karena hanya menekankan arti pengaruh lingkungan dalam perkembangan anak. Mengacu pada model-model pendidikan yang berkembang di Indonesia, tidak tampak pengikut nativisme maupun empirisme yang murni, tetapi mengkombinasi nativisme dan empirisme maupun teori-teori lainnya yang relevan bagi pendidikan anak. 4. Pandangan Konvergensi atau Interaksionisme Paham nativisme, naturalisme dan empirisme memang merupakan paham-paham yang bersifat filsafat yang dikembangkan menjadi filsafat pendidikan. Pada akhir abad 19 dan awal abad 20 ilmu-ilmu telah banyak berkembang, sehingga pandangan mengenai perkembangan yang semula bersifat filsafat ini didekati dan sudut ilmu pengetahuan menjadi bersifat terapan. Perkembangan ini khususnya tampak pada ilmu genetika, diamana genetika mulai mengalami kemajuan yang pesat, demikian pula ilmu-ilmu pengetahuan sosial, seperti sosiologi, dan antropologi yang menjadi dasar pengembangan ilmu pendidikan, dan sebagainya. Maka muncullah teori konvergensi, dimana tokoh pandangan konvergensi atau interaksionisme ini adalah Louis William Stern (1871-1939) seorang ahli pendidikan, filosof, dan psikolog bangsa Jerman. Teori ini disebut konvergensi karena berpendapat bahwa perkembangan bukan hanya dilihat dari salah satu faktor pembawaan (hereditas) atau lingkungan. Tetapi dapat dikatakan bahwa penganti kerja sama antara faktor internal dan eksternal, ataupun antara faktor-faktor dasar dan faktor ajar (nature and nurture). William Stem berpandangan bahwa seorang anak dilahirkan didunia sudah disertai dengan pembawaan baik maupun pembawaan buruk. Dalam proses perkembangan anak baik faktor pembawaan maupun faktor lingkungan sama-sama mempunyai peranan yang sangat penting. Pandangan mi tidak memisahkan peranan faktor yang lain. Bakat yang dibawa waktu lahir tidak akan berkembang dengan baik tanpa adanya dukungan lingkungan yang sesuai dengan perkembangan bakat itu. Sebaliknya lingkungan yang baik tidak dapat menghasilkan perkembangan anak yang optimal kalau memang pada diri anak tidak terdapat bakat yang diperlukan untuk mengembangkan potensi dan kemampuan anak yang diharapkan. Berdasarkan pandangan konvergensi itu, William Stem membuat suatu kesimpulan bahwa hasil pendidikan itu tergantung dri pembawaan dan lingkungan, seakan-akan dua garis yang menuju kesatu titik pertemuan seperti bagan berikut:
Dua garis yang menuju kesatu titik pertemuan mi memberi gambaran bahwa pendapat William Stem disebut teori konvergensi yang intinya memusat kesatu titik. Jadi menurut teori konvergensi (1) pendidikan mungkin untuk dilaksanakan; (2) pendidilcan diartikan sebagai pertolongan yang diberikan lingkungan kepada anak didik untuk mengembangkan potensi yang baik dan mencegah berkembangnya potensi yang kurang baik; dan (3) yang membatasi basil pendidikan adalah pembawaan dan lingkungan. Aliran konvergensi pada umumnya diterima secara luas sebagai pandangan yang tepat dalam memahami tumbuh kembang manusia. Aliran ini implementasinya dalam hal belajar mengajar terlatih menyebabkan munculnya berbagai teori-teori belajar dan teori atau model mengajar seperti: (1) model behavioral yang terdiri dan belajar atas belajar kontrol diri sendiri, simulasi, dan belajar asertif, (2) model pemrosesan 1jaformasi yang terdiri dan model mengajar inkuiri, presentase kerangka atau advance organizer, dan model pengembangan berpikir; litan (3) lain sebagainya. Model perilaku dan pemrosesan informasi ini merupakan kajian psikologi yang menggambarkan tingkah laku manusia dalam pembelajaran. Teori konvergensi ini membuka kesempatan yang luas bagi melaksananya pendidikan sebagai pertolongan belajar kepada peserta didik. Alasannya potensi intelektual yang dimiliki anak dapat ditumbuhkembangkan melalui proses belajar, meskipun dilain pihak pembawaan si anak akan pembatasi perkembangan itu. Pendekatan dalam teori konvergensi mi antara lain melalui pendekatan tingkah laku (behavioral), dimana guru dapat menangkap apakah anak sudah dapat menerima pelajaran atau tidak melalui perilaku si anak. Tingkah laku itu mencerminkan apakah anak mampu menerima dan memproses informasi belajar yang diterimanya, dan jika tidak mampu guru dapat mencari tahu akan informasi sebagai kendalanya, melalui data dan informasi tersebut guru menyusun langkah-langkah untuk mengatasinya. Teori konvergensi mi bukan sekedar memadukan antara nativisme. naturalisme dan empirisme, melainkan mempunyai landasan pikir yang berbeda dengan paham tersebut. Didukung oleh pesatnya ilmu pengetahuan, teori konvergensi mi melakukan studi psikologi dan pendidikan menjadi konvergen antara pembawaan yang dipelajari sebagai hereditas dan lingkungan budaya maupun pendidikan yang berkonvergensi dengan faktor pertama. D. Motivasi Menciptakan Suasana Belajar yang Fun (Menyenangkan) Motivasi tidak sama dengan motif, meskipun akar katanya sama yaitu motivum. Motivasi dapat dipahami sebagai suatu variabel penyelang yang digmiakan untuk menimbulkan faktor-faktor tertentu di dalam organisme, yang membangkitkan, mengelola, mempertahankan, dan menyalurkan tingkah laku menuju suatu sasaran. Sedangkan motif dipahami sebagai suatu keadaan ketegangan di dalam individu, yang membangkitkan, memelihara dan mengarahkan tingkah laku menuju suatu tujuan atau sasaran. Pengertian motif tidak dapat dipisahkan daripada kebutuhan (needs), seseorang
atau suatu organisme yang berbuat melakukan sesuatu, sedikit banyaknya ada kebutuhan di dalam dirinya atau ada sesuatu yang hendak dicapainya. Pam ahli psikologi berusaha menggolong-golongkan motif dalam diri manusia atau suatu organisme ke dalam beberapa golongan seperti (a) Sertain membagi motif menjadi (1) psychological drive yaitu dorongan-dorongan yang bersifat fisiologis jasmaniah seperti lapar, haus, seks, dan sebagainya dan (2) social motives yaitu dorongan-dorongan yang ada hubungannya dengan manusia yang lain dalam masyarakat seperti dorongan estetis, dorongan ingin selalu berbuat baik (etika), dan sebagainya; (b) Woodworth mengadakan klasifikasi motif-motif yaitu (1) unlearned motives yaitu motif-motif yang tidak dipelajari merupakan motif yang pokok yang biasa disebut drive (dorongan), yang termasuk unlearned motives ialah motif-motif yang timbul disebabkan kekurangankekurangan kebutuhan-kebutuhan dalam tubuh seperti lapar, haus, sakit, dan sebagainya. Semuanya hal itu menimbulkan dorongan dalam diri untuk minta supaya dipenuhi, atau menjauhkan diri daripadanya seperti perasaan suka dan tidak suka. Motif-motif itu berkembang melalui kematangan, pelatihan, dan melalui belajar, dan (2) learned motives yaitu motif-motif yang dipelajari melalui latihan dan kehidupan sehari-hari motif-motif seseorang makin berkembang dan mengalami perubahan-perubahan yaitu tujuan-tujuan dan motif-motif menjadi lebih khusus, motif-motif itu makin berkombinasi menjadi motif-motif yang lebih kompleks, tujuan-tujuan sementara dapat berubah menjadi tujuan sebenarnya, dan motif-motif itu dapat timbul karena adanya perangsang baru. Woodworth selanjutnya menggolongkan motif itu menjadi kebutuhan kebutuhan organis seperti lapar, bergerak, istirahat dsb., motif-motif yang tumbuh sekonyong-konyong seperti kejutan, dan motif objektif seperti dorongan menyelidiki. Dan penelitian-penelitian menunjukkan, bahwa sukses belajar tidak hanya tergantung pada inteligensi anak, tetapi tergantung pada banyak hal di antaranya motif-motifnya, upaya menimbulkan tindakan belajar yang bermotif adalah penting. Siswa yang belajar harus diberi motivasi untuk belajar dengan harapan, bahwa belajar akan memperoleh hasil. Siswa haru memberikan perhatikan pada bagian-bagian yang esensial dari suatu kejadian instruksional. Bila siswa memperhatikan informasi yang relevan, maka ia terlalu siap untuk menerima pelajaran. Informasi baru yang diperoleh haru dipindahkan dari memoni jangka pendek ke memori jangka panjang. Ini dapat terjadi melalui pengulangan kembali (rehearsal), peraktek (practice), dan elaborasi atau lain-lain. Misalnya guru memberikan pujian atau hadiah bagi siswa yang menunjukkan usaha yang baik, memberikan angka tinggi terhadap prestasi yang dicapainya, tidak menyalahkan pekerjaan atau jawaban siswa secara terbuka sekalipun pekerjaan atau jawaban tersebut belum memuaskan, tidak menghukum siswa di depan kelas, menciptakan suasana belajar yang memberi kepuasan dan
kesenangan pada siswa dan usaha lain dipandang pantas dilakukan untuk memenuhi kebutuhan belajar siswa. Motivasi intrinsik, adalah dorongan siswa agar mencapai tujuan yang terkandung dalam perbuatan itu sendiri. Motivasi mi berkenaan dengan kebutuhan siswa sendiri. Siswa harus menyadari pentingnya melakukan kegiatan belajar untuk kepuasan dan kebutuhan dirinya untuk memperoleh ilmu pengetahuan dan keterampilan sebagai modal hidupnya kelak jika telah dewasa. Kedua motivasi diatas yakni ekstrinsik dan intrinsik dapat digunakan guru saat berlangsungnya proses belajar mengajar. Menjelaskan tujuan instruksional khusus kepada siswa sebelum mengajar dimulai, serta menemukan kesadaran pentingnya siswa menguasai materi tersebut merupakan upaya motivasi instrinsik. Demikian pula kesadaran siswa agar belajar sungguh-sungguh untuk meraih kehidupan yang lebih baik dimasa mendatang adalah contoh motivasi intrinsik. Motif merupakan suatu faktor yang amat penting dalam pendidikan, sehingga sering dikatakan bahwa tindakan yang sadar, dilakukan oleh anak didik adalah tindakan yang bermotif. Tindakan belajar yang memotif dapat dikatakan sebagai tindakan belajar yang dilakukan oleh anak didik didorong kebutuhan yang dirasakannya. sehingga tindakan itu tertuju ke arah suatu tujuan yang diharapkan. Kebutuhan itu timbul sebagai akibat berbagai macam hal seperti dorongan nafsu, minat, hasrat. keinginan, dan sebagainya. Abraham Maslow mengungkapkan bahwa kebutuhan manusia dapat disusun dalam suatu hierarkhi kebutuhan terendah sampai tertinggi, jika kebutuhan yang lebih rendah dapat dipenuhi, maka kebutuhan yang berada pada tingkatan diatasnya akan muncul dan minta dipenuhi. Kebutuhan yang telah dipenuhi menjadi motivator utama dan perilaku. Dengan demikian kegiatan belajar siswa dapat terjadi bila siswa ada perhatian dan dorongan terhadap stimulus belajar. Untuk itu maka guru harus berupaya menimbulkan dan mempertahankan perhatian dan dorongan siswa untuk melakukan kegiatan belajar. Upaya memberikan dorongan dan perhatian belajar kepada siswa dilakukan guru sebelum memulai belajar, pada saat berlangsungnya proses belajar mengajar terutama pada saat siswa melakukan kegiatan belajar dan pada saat siswa mengalami kemunduran. Perhatian siswa terhadap stimulasi belajar dapat diwujudkan melalui beberapa upaya seperti penggunaan media pengajaran atau alat-alat peraga, memberikan pertanyaan kepada siswa membuat variasi belajar pada siswa, melakukan pengulangan informasi yang berbeda sifatnya dengan cara sebelumnya, memberikan stimulus belajar dalam bentuk lain sehingga tidak bosan. Sedangkan motivasi belajar siswa dapat dilakukan melalui dua bentuk motivasi, yakni motivasi ekstrinsik dan motivasi intrinsik. Motivasi ekstrinsik, adalah dorongan yang timbul untuk mencapai tujuan yang datang dari luar dirinya. Abraham Maslow Bapak psikologi modern menyatakan bahwa motif- motif manusiawi itu membentuk suatu hierarki (the hierarchy of needs), setiap individu mempunyai
kebutuhan-kebutuhan yang dapat digolongkan kedalam urutan prioritas, yaitu lima tingkatan kebutuhan manusia. Kelima tingkatan kebutuhan pokok milah yang kemudian dijadikan pengertian kunci dalam mempelajari motivasi manusia. Untuk lebih jelasnya dapat digambarkan sebagai berikut.
Hierarki kebutuhan mi digambarkan dengan piramida berkotak yang paling bawah adalah kebutuhan fisiologis merupakan yang paling dasar, sedangkan yang tertinggi adalah kebutuhan actualization sebagai pemenuhan : kebutuhan yang bersifat kompetitif. Adapun kelima tingkatan kebutuhan pokok : dimaksud, adalah (1) dengan dorongan-dorongan primer atau fisiologis ada Di bagian dasar. Kebutuhan mi merupakan kebutuhan dasar yang bersifat primer dan vital, yang menyangkut fungsi-fungsi biologis dasar dari organisme manusia seperti kebutuhan akan pangan, sandang dan papan, kesehatan fisik, kebutuhan seks dan sebagainya; (2) keselamatan dan jaminan keamanan perlindungan pada lapisan berikutnya seperti terjamin keamananya, terlindung dan bahaya dan ancaman penyakit, perang, kemiskinan kelaparan, perlakuan tidak adil, dan sebagainyp (3) dorongan hidup berkelompok atau diakui sebagai anggota kelompok, cinta, diperhitungkan sebagai pribadi, rasa setiakawan, kerjasama; (4) afeksi sebagai kategori tertinggi berikutnya yaitu kebutuhan akan penghargaan, dihargai karena prestasi, prestise, kemampuan, kedudukan atau status, kekuasaan dan pemilikan adalah langsung lebih tinggi daripada dorongan berkumpul, cinta, dan afeksi; (4) kemudian aktualisasi diri (self actualisaion) yaitu mempertinggi potensi-potensi yang dimiliki,
pengembangan din secara maksimum, kreatifitas, ekspressi, kebutuhan untuk mengenal dan mengetahui, serta kebutuhan estetis yang ada dipuncak hierarki. Tingkatan atau kebutuhan dan Maslow ini menurut Purwanto (2002:78) tidak dimaksudkan sebagai kerangka yang dapat dipakai setiap saat, tetapi lebih merupakan kerangka acuan yang dapat digunakan sewaktu-waktu bilamana diperlukan. Sehingga dapat dipertimbangkan dan diperkirakan tingkat kebutuhan mana yang dapat mendorong seseorang yang akan dimotivasi sehingga ia bertindak melakukan sesuatu. Penelitian psikologi banyak menghasilkan teori-teori motivasi tentang perilaku. Para ahli berpendapat bahwa motivasi perilaku manusia berasal dan kekuatan mental umum, insting, dorongan, kebutuhan, proses kognitif, dan interaksi, perilaku penting bagi manusia adalah belajar dan bekerja (Dimyati dan Mudjiono, 1999:84). Menyadarkan si anak didik terhadap kebutuhan yang diperlukan berarti menimbulkan motif belajar anak. Belajar menimbulkan perubahan mental pada diri siswa, sedangkan bekerja menghasilkan sesuatu yang bermanfaat bagi diri pelaku dan orang lain, motivasi belajar dan motivasi bekerja merupakan penggerak kemajuan masyarakat. Kedua motivasi tersebut perlu dimiliki oleh para siswa dan guru untuk memperlancar pembelajaran. Kaitannya dengan pembelajaran, motivasi merupakan faktor yang sangat besar pengaruhnya pada proses belajar siswa, tanpa adanya motivasi, maka proses belajar siswa akan sukar berjalan secara lancar. Dalam konsep pembelajaran motivasi berarti seni mendorong peserta didik untuk terdorong melakukan kegiatan belajar sehingga tujuan pembelajaran tercapai. Motivasi adalah syarat mutlak dalam belajar, hal mi berarti dalam proses pembelajaran. Adakalanya guru membangkitkan dorongan, desire, incentive, atau radah murid untuk aktif ambil bagian dalam kegiatan belajar (Rasyad, 2003:92). Upaya menggerakkan, mengarahkan, dan mendorong kegiatan murid untuk belajar dengan penuh semangat dan vitalitas yang tinggi dinamakan memberi motivasi. Banyak bakat anak tidak berkembang hal mi menurut Purwanto (2002:61) dikarenakan tidak diperolehnya motivasi yang tepat. Jika seseorang mendapat motivasi yang tepat, maka lepaslah tenaga yang luar biasa, sehingga tercapai hasil-hasil yang semula tidak terduga. Dalam proses pembelajaran para guru perlu mendesain motivasi yang tepat terhadap anak didik agar para anak didik itu belajar atau mengeluarkan potensi belajarnya dengan baik memperoleh hasil yang maksimal. Dari sejumlah teori belajar yang telah di kemukakan para ahli pendidikan maupun psikologi pendidikan, belakangan mi ada pendekatan belajar yang populer disebut Quantum learning berakar dan upaya Dr. Georgi Lozanov seorang pendidik berkebangsaan Bulgaria. Beliau ini mengadakan penelitian dengan pendekatan eksperimen dan hasil penelitian itu ditemukannya model balajar yang disebutnya sugestology atau sugestopedia yang pada prinsipnya sugesti dapat dan pasti mempengaruhi hasil situasi belajar. Istilah lain yang dapat dipertukarkan dengan sugestology
adalah pemercepatan belajar (accelerated learning) yang diartikan sebagai memungkinkan siswa untuk belajar dengan kecepatan yang mengesankan (Impressive), dengan upaya yang normal dibarengi dengan kegembiraan. Setiap detail apapun memberikan sugesti positif maupun negatif dalam belajar dan pembelajaran. Sugesti positif adalah mendudukkan murid secara nyaman dan menyenangkan dalam belajar, didukung oleh guru-guru yang terlatih dalam seni pengajaran dan pembelajaran. Konsep penting Quantum learning oleh DePorter dan Hemnacki (2000:16) mendefinisikannya sebagai interaksi-interaksi yang mengubah energi menjadi cahaya. Quantum learning mencakup aspek-aspek penting dalam program neurolinguistik yaitu bagaimana otak mengatur informasi yang diperoleh dalam belajar. Artinya dalam belajar siswa dan guru dapat meningkatkan motivasi, meningkatkan nilai belajar, memperbesar keyakinan diri, mempertahankan sikap positif, dan melanjutkan keberhasilan dengan memanfaatkan keterampilan orang diperoleh. Motivasi yang demikian ini memberi semangat yang kuat bagi guru untuk melaksanakan tugas profesionalnya, dan juga memberi semangat kepada siswa untuk memperoleh hasil belajar yang bermutu. Model ini meneliti hubungan antara bahasa dan perilaku sehingga dapat digunakan untuk menciptakan jalinan pengertian antara siswa dan guru dalam proses belajar dan pembelajaran. Model atau pendekatan Quantum learning menggabungkan sugestologi, teknik percepatan belajar, dan neurolinguistik dengan teori-teori pembelajaran, keyakinan akan mampu menerima pelajaran, dan metode yang sesuai dengan tuntutan materi pelajaran. Model ini dapat digunakan untuk semua mata pelajaran pada semua jenjang dan jenis pendidikan, hanya saja beberapa di antaranya disesuaikan dengan siapa yang menjadi peserta didik dan apa mata pelajarannya. Lingkungan dan sumber belajar model quantum learning mempertimbangkan dengan cermat lingkungan positif, aman, mendukung, santai, penjelajahan, dan menggembirakan, sedangkan gerakan fisik dalam belajar yaitu gerakan, terobosan, perubahan keadaan. permainan-permainan, fisiologi, estafet, dan partisipasi. Kemudian iklim belajarnya diciptakan nyaman, cukup penerangan. enak dipandang, dan jika diperlukan ada musiknya. DePorter dan Hernacki menggambarkan model quantum learning sebagai mana diilustrasikan pada gambar 2.3. Teori belajar quantum learning ini dapat berkembang dimulai dan adanya dorongan yang disebut motivasi dan dalam diri siswa sebagai motif berprestasi. Sudah barang tentu teori motivasinya quantum learningnya DePorter dan Hernacki ini tidak sepenuhnya sesuai dengan iklim belajar di Indonesia. Tetapi jika dicermati ada beberapa prinsip dan pendekatan yang patut dipertimbangkan dalam pembelajaran seperti konsep lingkungan belajar yang menyenangkan dan nyaman, terobosan-terobosan dalam pembelajaran, interaksi pembelajaran untuk mengembangkan ilmu pengetahuan, menggunakan pendekatan yang membangkitkan kreatifitas
belajar, dan sebagainya. Hal yang demikian ini tentu penting dan dapat diterapkan sesuai iklim pembelajaran di Indonesia. Quantum learning sebagai suatu proses pembelajaran yang akrab dan menyenangkan baik bagi peserta didik maupun pendidik dalam proses pembelajaran adalah diperlukan. Oleh karena itu proses pembelajaran seperti ini sangat memerlukan guru yang menguasai materi ajar dan mempunyai sifat perarah, bukan pemarah. Beberapa gambaran aplikasi dalam quantum learning yaitu berpikir logis, berpikir kreatif, membaca cepat, mencatat akurat, dan menulis dengan penuh percaya diri. Sebagai guru tentu harus sudah menyadari bahwa untuk menghasilkan siswa yang kreatif, inovatif, inisiatif, dan sebagainya maka kelas harus menyenangkan dan penuh dengan gerakan-gerakan keilmuan.
Oleh karena itu yang menjadi masalah adalah bagaimana cara menjadikan murid agar mampu menyerap ilmu pengetahuan yang disampaikan guru dengan cara yang menyenangkan. Kemudian bagaimana cara mengelola kelas secara baik, sehingga guru dapat mengajar dengan gembira dan siswa mampu mengoptimalkan kemampuannya tanpa rasa takut dan terancam, tetapi tetap dalam suasana menyenangkan.
Proses belajar dan mengajar menurut Lazanov (1978) adalah fenomena yang kompleks. segala sesuatunya berarti, setiap kata, pikiran, tindakan, dan asosiasi dan sampai sejauh mana anda mengubah lingkungan belajar, presentasi, dan rancangan pengajaran, sejauh itu pula proses belajar berlangsung (DePorter. At al. 2000:3). Quantum teaching adalah mengubah belajar yang meriah dengan segala nuansanya, juga menyertakan segala kaitan, interaksi, dan perbedaan yang memaksimalkan momen belajar. Quantum teaching berfokus pada hubungan dinamis dalam lingkungan kelas, interaksi yang mendirikan landasan dan kerangka untuk belajar. Quantum berarti interaksi yang mengubah energi menjadi cahaya, jadi quantum teaching adalah pengubahan bermacam-macam interaksi yang ada dalam dan sekitar momen belajar. Interaksiinteraksi mi mencakup unsur-unsur untuk belajar efektif yang mempengaruhi kesuksesan siswa. Interaksi-interaksi ini mengubah kemampuan dan bakat alamiah siswa menjadi cahaya yang akan bermanfaat bagi mereka sendiri dan bagi orang lain. Segala hal yang dilakukan dalam kerangka quantum teaching yaitu setiap interaksi dengan siswa, setiap rancangan kurikulum, dan metode instruksional dibangun di atas prinsip bawalah dunia mereka ke dunia kita dan antar dunia kita ke dunia mereka. Betapa pentingnya pada langkah awal memasuki dunia murid, untuk mendapatkan hak mengajar yang pertama harus dilakukan adalah membangun jembatan autentik memasuki kehidupan murid. Sertifikat mengajar atau dokumen yang mengizinkan seseorang untuk mengajar atau melatih, hanya berarti bahwa anda memiliki wewenang untuk mengajar, hal mi tidak berarti bahwa seseorang itu mempunyai hak untuk mengajar. Karena itu mengajar adalah hak yang harus diraih dan diberikan oleh siswa, bukan oleh Departemen Pendidikan, belajar dan segala definisinya adalah kegiatan Full contact. Dengan kata lain belajar melibatkan semua aspek kepribadian manusia yaitu pikiran, perasaan, dan bahasa tubuh disamping pengetahuan, sikap, dan keyakinan sebelumnya serta persepsi masa yang akan datang. Bagi guru peranan motivasi mi sangat penting dalam proses belajar mengajar, karena dapat menimbulkan kemauan, memberi semangat, dan menimbulkan semangat untuk meningkatkan prestasi belajarnya. Pentingnya motivasi belajar bagi siswa adalah untuk: (1) menyadarkan kedudukan pada awal belajar, proses dan hasil akhir; (2) menginformasikan tentang kekuatan usaha belajar yang dibandingkan dengan teman sebaya; (3) mengarahkan kegiatan belajar sehingga anak mengubah cara belajarnya lebih tekun; (4) membesarkan semangat belajar, seperti mempertinggi semangat untuk lulus tepat waktu dengan hasil yang memuaskan; dan (5) menyadarkan tentang adanya perjalanan belajar dan kemudian bekerja yang bersinambungan, :individu dilatih untuk menggunakan kekuatannya sedemikian rupa sehingga dapat berhasil (Dimyati dan Mudjiono,
1999:85). Motivasi tersebut memberi gambaran betapa pentingnya motivasi disadari oleh pelakunya agar belajar dan bekerja dapat diselesaikan dengan baik. Proses motivasi diawali dan kebutuhan yang tidak terpuaskan seperti diilustrasikan oleh Ivancevich (1984:310) pada gambar 2.4 berikut ini.
Kekurangan yang dirasakan individu akan mendorong serta memberikan tekanan secara fisik dan psikologis sehingga mengarahkan perilakunya untuk mencapai tujuannya. Perilaku tersebut memungkinkan individu memenuhi kebutuhannya, sehingga kebutuhan tersebut terpuaskan. Kebutuhan (need) itu hanyalah sebagai suatu istilah yang berarti adanya suatu kekurangan tertentu di dalam sesuatu organisme, kebutuhan bagi manusia bersifat fisiologi dan psikis. Kebutuhan dan keinginan dalam belajar yang timbul dalam diri individu merupakan titik awal yang menimbulkan perilaku individu untuk berbuat dan bertindak, selanjutnya menyebabkan terjadinya dorongandorongan dalam diri. Dorongan-dorongan ini akan mengarahkan perilaku individu untuk melakukan sesuatu sehingga tercapainya tujuan. Dilihat dari sudut psikologis motivasi adalah kecenderungan emosi yang mengantar atau memudahkan peraihan sasaran. Robbins (1996) mengemukakan motivasi merupakan suatu konstruk yang menjelaskan awal, arah, mtensitas dan kehadiran perilaku individu yang bertujuan. Motivasi mencakup konsep-konsep kebutuhan untuk berprestasi, kebutuhan untuk bekerja sama. kebiasaan, ketidakcocokan dan keingintahuan. Motivasi manusia menurut Thomas L. Good dan Jere E. Bropy (1990:360) dikembangkan berdasarkan tiga kerangka teoritik utama yaitu:
1. Behaviorism, percaya bahwa motivasi berawal dan situasi, kondisi dan objek yang menyenangkan, jika hal ini memberi kepuasan yang berkelanjutan (reinforcement contingncies) maka akan menimbulkan tingkah laku yang siap untuk melakukan sesuatu. 2. Cognitif (cognitivists) penganut mi meyakini bahwa yang mempengaruhi perilaku individu adalah proses pemikiran, karena itu penganut faham kognitif mi memfokuskan pada bagaimana individu memproses informasi dan memberikannya penafsiran untuk situasi khusus. 3. Humanists, penganut paham ini percaya bahwa orang bertindak dalam suatu lingkungan dan membuat pilihan mengenai apa yang dikerjakannya. Dalam konteks belajar dan pembelajaran tampak pada proses dinamis yang mengoptimalkan perpaduan tujuan pengajaran, potensi peserta didik, materi ajar, metode pengajaran, media pengajaran, dan lingkungan belajar. Hal mi didorong oleh kemampuan kognitif yaitu pengetahuan, pemahaman, penerapan, analisis, sintesis dan evaluasi. Kemampuan afeksi yaitu penerimaan, penanggapan, penilaian, pengorganisasian dan karakterisasi. Kemudian kemampuan psikomotorik yaitu kesiapan, meniru, membiasakan, menyesuaikan, dan menciptakan. Sampai pada tahap tertentu individu menikmati kepuasan yang telah dicapainya, tetapi setelah itu kepuasan itu menjadi sesuatu yang biasa, hal mi menyebabkan timbulnya kebutuhan dan keinginan baru yang kadarnya lebih tinggi dibandingkan kebutuhan yang telah dicapai. Kebutuhan individu menimbulkan perilaku yang mendorongnya untuk mencapai tujuan sebagai pemenuhan kebutuhan. Dorongan yang kuat membawa dirinya langsung pada sasaran kebutuhan, dengan diperolehnya kebutuhan yang dimaksud, maka akan memberi kepuasan kepada yang bersangkutan. Terry dan Franklin (1982:299) menggambarkan prosesnya sebagaimana dilukiskan pada gambar 2,5. Gambar tersebut menjelaskan bahwa ada ketegangan-ketegangan tertentu bagi individu dikarenakan kebutuhan yang tidak terpuaskan.
Kebutuhan yang tidak terpuaskan akan menimbulkan ketegangan dan selanjutnya akan mendorong pencanan untuk menemukan formula yang tepat untuk mencapai tujuan. Perilaku pencarian yang memungkinkan tujuan tercapai akan menyebabkan pengurangan ketegangan. Rantai kebutuhan, keinginan, dan kepuasan dimulai dani timbulnya kebutuhan, yaitu sesuatu yang ingin dihasilkan. Kebutuhan bukan merupakan sesuatu yang sederhana, karena kebutuhan manusia adalah bervariasi dan bertingkat-tingkat, selain itu kebutuhan juga tidak bebas dan individu lain dan dani lingkungan. Berangkat dan teori-teori kebutuhan tersebut bahwa belajar yang menyenangkan itu berkaitan dengan lingkungan belajar yang tepat yaitu: (1) menciptakan suasana yang nyaman dan santai tapi serius; (2) bila perlu menggunakan musik yang sesuai bagi siswa supaya terasa santai, terjaga, dan siap untuk berkonsentrasi; (3) menggunakan teknik mengingat visual untuk mempertahankan sikap positif dan (4) melakukan interaksi dengan lingkungan sehingga siswa terpanggil untuk belajar yang lebih baik. Dengan suasana belajar yang menyenangkan mi akan memotivasi belajar lebih aktif dengan ciri-ciri: (1) belajar apa saja dan setiap situasi; (2) menggunakan apa yang dipandang menguntungkan untuk dipelajari; (3) mengupayakan agar segalanya dapat dilaksanakan dengan baik; dan (4) bersandar pada kehidupan. Belajar aktif mi bertolak belakang dengan belajar pasif dengan ciri-ciri: (1) tidak dapat melihat adanya potensi belajar; (2) mengabaikan kesempatan untuk berkembang dan suatu pengalaman belajar; (3) membiarkan segalanya terjadi; dan (4) menarik diri dan kehidupan.
Motivasi belajar juga penting diketahui oleh guru, karena pemahaman dan pengetahuan motivasi belajar siswa bermanfaat bagi guru untuk: (I) membangkitkan, meningkatkan, dan memelihara semangat belajar siswa untuk belajar sampai berhasil, membangkitkan jika belajar siswa tidak bersemangat. meningkatkan bila semangat belajar siswa timbul tenggelam, memelihara bila semangat belajar siswa telah kuat untuk mencapai tujuan belajar; (2) mengetahui dan memahami motivasi belajar siswa di kelas yang bermacam-macam seperti ada siswa yang acuh tak acuh, ada yang tidak memusatkan perhatiannya pada pelajaran, ada yang hanya ingin bemain, ada yang memang bersemangat untuk belajar, dan beragam perilaku lainnya; (3) meningkatkan dan menyadarkan guru untuk memilih satu diantara bermacam-macam peran dan pendekatan belajar yang sesuai dengan mata ajar yang menjadi tanggung jawabnya; dan (4) memberi peluang bagi guru untuk memantapkan unjuk kerja dalam konteks rekayasa pedagogis sehingga guru membuat siswa berhasil dalam belajar (Dimyati dan Mudjiono,1999:86). Motivasi belajar dari sisi guru ini berada pada lingkup program belajar dan pembelajaran. Oleh karena itu guru berpeluang untuk meningkatkan, mengembangkan dan memelihara motivasi belajar dengan optimalisasi terapan prinsip belajar, dinamisasi pribadi siswa, pemanfaatan dan pengalaman dan kemampuan siswa, aspirasi dan cita-cita, dan tindakan pembelajaran sesuai rekayasa pedagogis. Pembelajaran berkaitan dengan konteks dan isi, dilihat dani sisi konteks akan dapat dilihat bagian-bagian yang dibutuhkan untuk mengubah suasana yang membudayakan, landasan yang kukuh, lingkungan yang mendukung, dan rancangan belajar yang dinamis. Sedangkan dilihat dan isi akan dapat ditemukan keterampilan penyampaian untuk kurikulum apapun, disamping strategi yang dibutuhkan siswa untuk bertanggung jawab atas apa yang meneka pelajari yaitu penyajian yang prima, fasilitasi yang luwes. keterampilan belajar untuk belajar, dan keterampilan hidup yang memperkuat informasi dan menerapkan apa yang dipelajari guru dalam situasi pendidikan seharihari. Masih banyak teknik-teknik belajar yang menyenangkan, dan mungkin saja tidak ada suatu teori atau model yang baku atau yang paling jitu untuk digunakan. Hal ini terpulang kembali kepada kreasi dan kemampuan para guru menggunakan berbagai metode yang sesuai dan kesiapan para siswa untuk dapat menerima teknik-teknik belajar yang digunakan. Dalam psikologi perkembangan dipahami bahwa setiap manusia itu berbeda baik dilihat dan perkembangannya, kemampuan dan keterampilan, kematangan, kecepatan menangkap informasi, kemampuan menyelesaikan berbagai permasalahan dan lainnya yang berkaitan dengan perkembangannya. Makanya dipahami bahwa manusia itu menjadi unik dan penanganannya pun unik pula Sifat motivasi: Motivasi intrinsik yaitu merupakan dorongan dalam diri siswa yang akan dapat
membuat siswa selalu ingin untuk belajar dan mengajar prestasi yang diharapkan. Kemudian motivasi ekstninsik merupakan sesuatu yang perlu dimanipulasi oleh guru atau perancang dan pengembang pembelajaran sehingga siswa merasakan adanya dorongan untuk mempelajari mateni yang diajarkan. Motivasi dalam belajar dilakukan dengan mengatur situasi atau atmosfir pembelajaran yang kondusif. Kondisi yang diciptakan mi dapat menjadi penguatan (reinforcement). Karena itu motivasi belajar penning bagi siswa dimaksudkan untuk: (1) menyadarkan kedudukan awal balajar, proses dan hasil akhir; (2) menginformasikan tentang kekuatan usaha belajar bila dibandingkan dengan teman sebaya; (3) mengarahkan kegiatan kearah pembelajaran yang lebih berkualitas; dan (4) membesarkan semangat belajar bagi para siswa; (5) menyadarkan tentang adanya perjalanan yang harus ditempuh dalam proses belajar; dan sebagainya. Motivasi belajar ini memberi gambaran bahwa jika motivasi yang dilakukan oleh guru dan juga siswanya sesuai dengan peruntukannya, maka akan menimbulkan semangat yang tinggi untuk mencapai keberhasilan yang bermutu. Adanya pandangan beberapa ahli yang menekankan segi-segi tertentu pada motivasi tersebut justru mengisaratkan agar guru bertindak taktis dan kreatif dalam mengelola motivasi belajar siswa. Motivasi belajar dihayati dialami dan perlu dihidupkan terus untuk mencapai hasil belajar optimal dan dijadikan dampak pengiring yang selanjutnya menimbulkan program belajar sepanjang hayat sebagai perwujudan emansipasi kemandirian tersebut terwujud dalam cita-cita atau aspirasi siswa, kemampuan siswa, kondisi, kemampuan siswa, mengatasi kondisi lingkungan negatif, dinamika siswa dalam belajar. Mc. Dougall berpendapat bahwa tingkah laku terdiri dan pemikiran tentang tujuan, perasaan subjektif, dan dorongan mencapai kepuasan. Tujuan motivasi dalam belajar adalah untuk menggerakkan atau menggugah seseorang agar timbul keinginan dan kemauannya untuk melakukan kegiatan belajar sehingga dapat mencapai hasil belajar. Teknik-teknik yang perlu dikembangkan dalam hal ini antara lain adalah menumbuhkan minat belajar dengan memuaskan, menciptakan atau mendatangkan pengalaman umum yang dapat dimengerti oleh semua pelajar, menyediakan kata kunci, konsep, model, rumus, dan strategi sebuah masukan, menyediakan kesempatan bagi pelajar untuk menunjukkan bahwa mereka tahu, menunjukkan kepada pelajar cara-cara mengulang materi dan menegaskan bahwa ia mengetahui isi pelajaran, dan pengakuan untuk penyelesaian, antisipasi, perolehan keterampilan dan ilmu pengetahuan. Penelitian Lazanov ( 1978) menunjukkan bahwa pengaruh guru sangat jelas terhadap kesuksesan belajar siswa, kemampuan atau keterampilan baru akan berkembang jika diberikan lingkungan model yang sesuai. Guru merupakan faktor penting dalam lingkungan belajar dan kehidupan siswa, jadi peran guru lebih dan sekedar pemberi ilmu pengetahuan, tetapi guru juga adalah rekan belajar, model, pembimbing fasilitator, dan mengubah kesuksesan siswa mempercepat
belajar. Pemercepatan belajar adalah menyingkirkan hambatan yang menghalangi V proses belajar alamiah dengan menyusun bahan pengajaran yang sesuai, cara efektif dalam penyajian pelajaran, dan keterlibatan aktif mendorong motivasi belajar siswa. Guru harus dapat mempertahankan minat siswa untuk belajar lebih lama, memantapkan motivasi mereka, dan menyebabkan proses belajar terjadi secara alamiah lanjutan dan pengalaman. Bagi seorang kepala sekolah motivasi adalah untuk menggerakkan para guru dan personel sekolah lainnya dalam usaha meningkatkan prestasi pembelajaran, prestasi itu diperoleh setelah melalui proses belajar yang menyenangkan bagi para siswanya sehingga tercapai tujuan pembelajaran yang menjadi tanggung jawabnya. Pada gilirannya secara institusional bagi kepala sekolah tercapai tujuan institusi yang dipimpinnya. Bagi seorang guru tujuan motivasi adalah untuk menggerakkan atau memacu para siswanya agar timbul keinginan dan kemauan untuk meningkatkan prestasi belajaruya. Para siswa tersebut dibangunkan semangat belajarnya, sehingga semangat belajar itu membuat mereka asyik belajar baik di sekolah maupun di rumah. Jika keasyikan itu melanda para siswa memang bisa saja membuat guru menjadi kewalahan, karena selesai belajar yang satu mereka akan minta yang lain segera pula dipelajari. Hal yang demikian ini dapat terjadi apabila guru mampu membangkitkan semangat belajar para siswanya dengan memberi dorongan motivasi belajar yang tepat dan menyenangkan. Semangat belajar tersebut memberi jaminan akan tercapainya tujuan pendidikan sesuai yang diharapkan dan ditetapkan dalam kurikulum sekolah. setiap tindakan motivasi mempunyai tujuan, makin jelas tujuan yang diharapkan atau yang akan dicapai, maka jelas pula bagaimana tindakan motivasi itu dilakukan. Tindakan memotivasi akan lebih dapat berhasil jika tujuannya jelas dan disadari oleh orang yang dimotivasi serta sesuai dengan kebutuhan orang yang dimotivasi. Bagi setiap guru penting sekali mengetahui motivasi belajar gunanya adalah untuk: (1) membangkitkan, meningkatkan, dan neme1ihara semangat belajar sampai berhasil; (2) mengobarkan semangat fr1ajar siswa; (3) mengingatkan dan menyadarkan guru untuk memilih satu di antara bermacam-macam peran yang sesuai dengan mata pelajaran yang diajarkannya; dan (4) memberi peluang guru untuk unjuk kerja rekayasa pedagogis tugas guru adalah membuat semua siswa belajar sampai berhasil.
BAB III KONSEP DASAR PSIKOLOGI PENDIDIKAN A. Arti dan Makna Psikologi dalam Pendidikan Psikologi dapat diartikan sebagai ilmu tentang jiwa atau ilmu jiwa, sebab kata psikologi berasal dan bahasa Yunani psyche yang berarti jiwa, roch, atau sukma. Sedangkan logy atau logos berarti ilmu atau pengetahuan. Jadi psikologi berarti ilmu tentang jiwa, atau ilmu yang mempelajari jiwa. Psikologi menurut Woodward dan Marquis (1955:3) adalah studi tentang kegiatan-kegiatan atau tingkah laku individu dalam keseluruhan ruang hidupnya. dan dalam kandungan sampai balita. dan masa kanak-kanak sampai dewasa serta masa ini. Psikologi adalah suatu ilmu yang berusaha menyelidiki semua aspek kehidupan dan tingkah laku manusia, baik yang bersifat jasmaniah maupun rohaniah, baik secara teoritis maupun dengan melihat kegunaannya dalam praktek. Menurut Thonthowi (1993:2) psikologi adalah ilmu yang mempelajari tingkah laku organisme dalam hubungan dengan lingkungannya. Sedangkan Syaodih Sukmadinata (2003: 18) berpendapat bahwa psikologi adalah Sebagai suatu studi atau ilmu yang mempelajari kegiatan atau perilaku individu dalam interaksi dengan lingkungannya. Organisme dalam psikologi dimaksudkan, bahwa tingkah laku yang dipelajari oleh psikologi pada hakekatnya tidak hanya tingkah laku manusia saja, melainkan juga tingkah laku hewan. Hal yang berkaitan dengan lingkungan (environment) adalah segala faktor yang ada diluar individu yang mempunyai hubungan bermakna bagi tingkah laku itu. Pengertian tingkah laku dalam batasan mi mempunyai arti yang luas, meliputi tingkah laku yang nyata seperti berbicara, membaca, tertawa, melompat, berjalan, dan sebagainya. Kemudian tingkah laku yang tidak nyata seperti berfikir, mengingat, berfantasi, merasakan. menghendaki, dan sebagainya. Tingkah laku tertutup itu merupakan proses, sebagai proses tidak bisa diamati. proses itu baru dapat diamati setelah berubah atau dimanifestasikan dalam bentuk gejala, kemudian gejala itu menjadi tingkah laku yang terbuka. Oleh karena itu jika disebut-sebut kata psikologi sebelum masa itu, maka maksudnya adalah sebagai pemikiran tentang jiwa, atau sebagai pengetahuan yang belum berkedudukan sebagai ilmu pengetahuan. Setelah berdiri psikologi sebagai ilmu pengetahuan yang otonom. timbullah aliran-aliran psikologi dan cabang-cabang psikologi. Ada beberapa aliran-aliran psikologi itu misalnya strukturalisme. isosiasionisme, fungsionalisme, behaviorisme, psikologi dalam, psikologi personalistik, dan sebagainya. Semua aliran-aliran mi yang mempengaruhi cabang-cabang psikologi. karena aliran itu terutama bergerak dalam bidang pemikiran dan pandangan. Adapun cabang-cabang psikologi misalnya psikologi,
psikologi perkembangan, psikologi pendidikan, psikologi kepribadian. ssiko1ogi industri, psikologi sosial, dan sebagainya. Adanya cabang-cabang mikologi ini memberi gambaran bahwa ada perbedaan-perbedaan lapangan orang dipelajari. Cakupan psikologi itu cukup luas, meliputi hampir semua aspek kepribadian dan tingkah laku manusia. Sebagian para ahli berpendapat Psikologi Pendidikan adalah sub disiplin psikologi, bukan psikologi itu .diri. Oleh karena itu dapat ditegaskan bahwa, psikologi ialah disiplin ilmu membahas prilaku manusia, baik sebagai individu maupun kelompok dalam hubungannya dengan lingkungan. Secara harfiah psikologi berarti ilmu jiwa, akan tetapi jiwa itu abstrak, sehingga tidak mungkin dipelajari secara langsung, karena itu psikologi itu katakan sebagai ilmu yang mempelajari perilaku atau kegiatan individu manusia tertentu yang memiliki karakteristik dan keunikan tertentu yang bersifat spesifik atau khas. Psikologi sebagai ilmu pengetahuan yang otonom baru diakui pada tahun 1886, sebelumnya belum berhak dikatakan sebagai ilmu Pengetahuan. Dalam pandangan Arthur S. Reber (1988) psikologi pen-didikan adalah sebuah sub disiplin ilmu psikologi yang berkaitan dengan teori dan lnasa1ah kependidikan yang berguna dalam: (1) penerapan prinsip-prinsip belajar dalain kelas; (2) pengembangan dan pembaharuan kurikulum; (3) ujian dan evaluasi bakat dan kemampuan (4) sosialisasi proses-proses dan interaksi proses-proses tersebut dengan pendayagunaan ranah kognitif; dan (5) penyelenggaraan pendidikan melalui aktivitas keguruan. Pandangan Arthur S. Reber ini memberi gambaran bahwa fokus psikologi pendidikan adalah penerapan prinsip-prinsip belajar sebagai upaya menumbuhkembangkan ranah kognitif melalui pengembangan kurikulum dalam pembelajaran. Witherington (1978) mendefinisikan psikologi pendidikan A systematic study of the process and factors involved in the education of human being is called educational psychology. Psikologi pendidikan ialah suatu studi yang sistematis tentang proses-proses dan faktor-faktor yang berhubungan dengan pendidikan manusia. Sedangkan Tardif (1987) berpendapat bahwa psikologi pendidikan ialah sebuah bidang studi yang berhubungan dengan penerapan pengetahuan tentang perilaku manusia untuk usaha-usaha kependidikan. Psikologi pendidikan adalah ilmu pengetahuan yang mempelajari tingkah laku-tingkah laku yang terjadi dalam proses pendidikan. Psikologi pendidikan (educational psychology) ialah penyelidikan masalah-masalah psikologis di bidang pendidikan, dan penerapan metode yang telah dirumuskan untuk memecahkan masalah tersebut (James P. Chaplin, 1989:158). Definisi psikologi pendidikan menurut Barlow (1985) adalah ....a body of knowledge grounded in psychological research which provides a repertoire of resources to aid you in functioning more effectively in teaching learning process. Definisi ini memberi penjelasan bahwa psikologi pendidikan adalah sebuah pengetahuan berdasarkan riset psikologis yang menyediakan serangkaian sumber-sumber
untuk membantu anda melaksanakan tugas sebagai seorang guru dalam proses belajar mengajar secara lebih efektif (Muhibinsyah, 2003:12). Para ahli psikologi cenderung menganggap psikologi pendidikan sebagai sub disiplin psikologi yang bersifat praktis, bukan teoritis. Psikologi dan pendidikan masing-masing memiliki konsep, teori, dan pendekatan yang dapat digunakan untuk memecahkan masalah-masalah belajar peserta didik maupun proses mengajar bagi para guru sebagai profesi kependidikan. Psikologi dalam hubungannya dengan pendidikan, atau kegunaan psikologi dalam pendidikan dimaksudkan untuk menolong keberhasilan para pendidik membimbing para peserta didik dalam belajar. Hal mi sejalan dengan pendapat Wooltolk dan Nicolick psikologi pendidikan ialah studi ilmiah tentang faktor atau aspek individu dalam pendidikan, sehingga pembahasannya berkenaan dengan pendidikan yaitu belajar siswa, proses belajar, proses mengajar, evaluasi hasil belajar untuk mengukur kemajuan belajar, dan kebutuhan-kebutuhan sosial guru dan siswa dalam belajar. Adapun ruang lingkupnya meliputi: (1) situasi atau tempat yang berhubungan dengan mengajar dan belajar (context of teaching and learning); (2) tahapan-tahapan dalam mengajar dan belajar (process of teaching and learning): dan (3) hasil-hasil yang dicapai oleh proses mengajar dan belajar (outcomes of teaching and learning). Proses disini menurut Muhibinsvah (2003:13) adalah yang berhubungan langsung dengan proses belajar dan proses mengajar yang dilakukan oleh manusia. Jadi. ruang lingkup psikologi pendidikan mi menggambarkan proses belajar dan pembelajaran. Pengertian tentang psikologi pendidikan akan lebih konkret, apabila dibahas tentang hal-hal apa saja yang dipelajari dalam psikologi pendidikan. hiti isi penyajian psikologi pendidikan antara lain meliputi: (1) hereditas; (2) lingkungan fisiologis; (3) pertumbuhan dan perkembangan; (4) sifat dan hakekat kejiwaan manusia; (5) proses-proses tingkah laku; (6) hakekat dan ruang lingkup belajar; (7) faktor-faktor yang mempengaruhi belajar; (8) prinsip-prinsip dan teori belajar; (9) pengukuran dan evaluasi hasil belajar; (10) transfer belajar/latihan; (11) teknik-teknik pengukuran dan evaluasi; (12) kesehatan rental; (13) dan lain sebagainya (Soemanto, 1998:8). Dan sejumlah pokok pembahasan psikologi pendidikan tersebut, ternyata perihal belajar menjadi pembahasan yang amat penting dalam psikologi pendidikan. Withenngton (1978) menegaskan bahwa psikologi pendidikan bukan adanya sebagai psikologi terapan yang seolah-olah tidak memiliki hak hidup sendiri. Alasan bahwa psikologi pendidikan sebagai science adalah mengacu pada ciri-ciri berikut: (I) susunan prinsip-prinsip dan kebenaran-kebenaran besar yang tersendiri; (2) faktor-faktor yang bersifat objektif dan dapat diperiksa kebenarannya; dan (3) teknik-teknik khusus yang berguna untuk melakukan penyelidikan
praktis, teoritis, atau praktis teoritis tidaklah penting. Terlepas dari konsep sebagai ilmu terapan atau ilmu yang berdiri sendiri, tetapi yang penting adalah isi dan kajiannya itu sendiri. Fokus utama kajian psikologi pendidikan adalah interaksi antara pendidik (guru) dengan peserta didik (siswa) untuk meningkatkan kemampuan para peserta didik, dengan dukungan sarana dan fasilitas tertentu yang berlangsung dalam suatu lingkungan tertentu (Syaodih Sukmadinata, 2003:29). Psikologi pendidikan berusaha untuk mewujudkan tindakan psikologis yang tepat dalam interaksi antar setiap faktor pendidikan. Pengetahuan psikologis tentang anak didik menjadi hal yang sangat penting dalam pendidikan. Karena itu, pengetahuan tentang psikologi pendidikan seharusnya menjadi kebutuhan bagi para pendidik, bahkan bagi tiap orang yang menyadari peranannya sebagai pendidik. Mengenai pengembangan subjek didik dapat dilakukan dengan penerapan psikologi pendidikan. Psikologi tergolong ke dalam kelompok ilmu perilaku dan dengan sendirinya mempelajari tingkah laku manusia. Tindakan manusia beserta apa yang dirasa dan dipikirkannya menjadi objek psikologi. Teori belajar, baik yang lama maupun yang modem, mendominasi proses belajar mengajar di sekolah. Teori lama yang perlu diidentifikasi adalah psikologi fakultas dan apersepsi. Sedangkan yang baru adalah asosialisme, stimulus respons, dan kognitif. Psikologi yang diterapkan dalam pendidikan menurut Bemadib (1996: 13) pada umumnya atau pendidikan di sekolah pada khususnya disebut psikologi pendidikan. 1. Arti Pentingnya Psikologi Pendidikan Proses pendidikan adalah mempelajari situasi pendidikan dengan fokus utama interaksi pendidikan, yaitu interaksi antara peserta didik dengan pendidik yang berlangsung dalam lingkungan belajar. Pendidikan selain merupakan prosedur juga merupakan lingkungan yang menjadi tempat terlibatnya individu yang saling berinteraksi. Dalam interaksi antar individu ini baik antara guru dan para siswa maupun antara siswa dengan siswa lainnya, terjadi proses dan peristiwa psikologis. Syaodih Sukmadinata (2003:31) mengatakan bahwa seluruh kegiatan interaksi pendidikan diciptakan bagi kepentingan siswa, yaitu membantu pengembangan semua potensi dan kecakapan yang dimilikinya setinggi-tingginya. Sehubungan dengan hal itu, maka hal-hal yang berkenaan dengan perkembangan, potensi dan kecakapan, dinamika perilaku serta kegiatan siswa terutama perilaku belajar menjadi kajian utama dan penting bagi psikologi pendidikan. Psikologi sebagai ilmu pengetahuan yang berupaya memahami keadaan dan perilaku manusia, termasuk para siswa yang satu sama lainnya berbeda, pengetahuan mengenai psikologi mi amat penting bagi para guru pada semua jenjang satuan pendidikan. Para ahli psikologi dan pendidikan
pada umumnya berkeyakinan bahwa dua orang anak (yang kembar sekalipun) tak pernah memiliki respons yang sama persis terhadap situasi belajar mengajar di kelas. Keduanya sangat mungkin berbeda dalam hal pembawaan, kematangan jasmani. inteligensi, dan keterampilan motorik. Anakanak itu seperti juga anak lainnya, relatif berbeda dalam kepribadian sebagaimana yang tampak dalam penampilan dan cara berpikir atau memecahkan masalah mereka masing-masing. Dimana pun proses pendidikan berlangsung, alasan utama kehadiran guru adalah untuk membantu siswa agar dapat belajar sebaik-baiknya. Oleh karena itu adalah hal yang mendasar bagi guru untuk mengetahui dan memahami sepenuhnya karakteristik dan sifat-sifat para siswanya secara psikologis. Dengan memahaminya secara psikologis, guru akan dapat memahami proses dan tahapan-tahapan belajar yang terjadi bagi para siswanya. Pengetahuan mengenai psikologi pendidikan bagi para guru berperan penting dalam menyelenggarakan pendidikan di sekolah-sekolah. Pengetahuan yang sifat psikologis mengenai peserta didik dalam proses belajar dan proses belajar mengajar sesungguhnya tidak hanya diperlukan calon guru atau guru yang sedang bertugas di lembaga pendidikan dasar dan menengah, melainkan juga para dosen di perguruan tinggi (Muhibinsyah, 2003:16). Pekerjaan guru adalah lebih bersifat psikologis daripada pekerjaan seorang dokter, insinyur, atau ahli hukum. Untuk itu guru hendaknya mengenal anak didik serta menyelami kehidupan kejiwaan anak didik di sepanjang waktu. Guru menurut Soemanto (1998:7) hendaknya tidak jemu dengan pekerjaannya, meskipun ia tidak dapat menentukan atau meramalkan secara tegas tentang bentuk manusia orang bagaimanakah yang akan dihasilkannya kelak di kemudian hari. Hal ini menjadi kenyataan bahwa guru tak pernah mengetahui hasil akhir dan pekerjaannya. 2. Tujuan dan Kegunaan Mempelajari Psikologi Pendidikan Ada dua tujuan utama dan studi tentang psikologi pendidikan menurut Syaodih Sukmadinata (2003:22) yaitu: (1) agar seorang mempunyai pemahaman yang lebih baik tentang individu, baik dirinya sendiri maupun yang lain; dan (2) dengan hasil pemahaman tersebut seseorang diharapkan dapat bertindak ataupun memberikan perlakuan yang lebih bijaksana. Sementara itu Chaplin (1972) menitikberatkan manfaat atau kegunaan mempelajari psikologi pendidikan untuk memecahkan masalah-masalah yang terdapat dalam dunia pendidikan dengan cara menggunakan metode-metode yang telah disusun serarapi dan sistematis. Kemudian Lindgren berpendapat bahwa manfaat mempelajari psikologi pendidikan ialah untuk membantu para guru dan calon guru dalam mengembangkan pemahaman yang lebih baik mengenai pendidikan dan prosesnya. Pemecahan berbagai masalah pendidikan tidak perlu dibedakan apakah masalah-masalah psikologis itu dan pihak guru, siswa, atau situasi belajar mengajar yang dihadapi guru dan siswa dalam pembelajaran.
Secara umum manfaat dan kegunaan psikologi pendidikan menurut pendapat Muhibinsyah (2003:18) bahwa psikologi pendidikan merupakan alat bantu yang penting bagi penyelenggara pendidikan untuk mencapai tujuan pendidikan. Psikologi pendidikan dapat dijadikan landasan berpikir dan bertindak bagi guru, konselor, dan juga tenaga profesional kependidikan laiannya dalam mengelola proses belajar dan mengajar. Sedangkan proses pembelajaran tersebut adalah unsur utama dalam pelaksanaan setiap sistem pendidikan. Manfaat dan kegunaan psikologi pendidikan juga membantu untuk memahami karakteristik peserta didik apakah termasuk anak yang lambat belajar atau yang cepat belajar, dengan mengetahui karakteristik mi guru dapat mendesain pendekatan belajar untuk anak didik yang berbeda-beda tersebut, sehingga pembelajaran dapat dilaksanakan secara optimal untuk seluruh karakteristik anak didik. 3. Kekuatan Kekuatan Umum Jiwa Manusia Hakekat kejiwaan manusia terwujud dengan adanya kekuatan-kekuatan serta aktivitasaktivitas kejiwaan dalam diri manusia, yang semua itu menghasilkan tingkah laku yang lebih sempurna daripada makhluk-makhluk lain. Kekuatan-kekuatan umum jiwa manusia telah dibahas para tokoh ilmu jiwa dan pendidikan (Soemanto, 1998:12). Berdasarkan observasi dan penyelidikan yang dilakukan oleh Plato (428-348 SM) mengungkapkan bahwa jiwa manusia terdiri atas tiga kekuatan yaitu: (1) akal sebagai kekuatan terpenting dari jiwa manusia, akal adalah bagian jiwa manusia yang merupakan kekuatan untuk menemukan kebenaran dan kesalahan. Dengan akal, manusia dapat mengarahkan seluruh aktivitas jasmani dan kejiwaannya, sehingga manusia mampu memperoleh kehidupan yang lebih sejahtera; (2) spirit sebagai kekuatan penggerak kehidupan pribadi manusia. Spirit adalah kekuatan untuk menjalankan gagasan-gagasan yang telah diputuskan oleh akal melalui pemilihan berbagai alternatif gagasan; dan (3) nafsu sebagai stimuli gerakan fisik dan kejiwaan dan merupakan kekuatan paling konkret dalam diri manusia. Nafsu mi terbentuk dan segenap keinginan dan selera yang sangat erat berhubungan dengan fungsi-fungsi jasmaniah. Plato membedakan antara keinginan-keinginan yang berguna dan konstruktif dengan keinginan-keinginan yang tidak berguna dan merugikan. John Locke (1632-1704) menekankan pembahasan tentang akal sebagai gudang dan pengembang ilmu pengetahuan, karena akal merupakan kekuatan vital untuk mengembangkan diri. Akal mempunyai kekuatan-kekuatan serta materiil untuk melatih kekuatan-kekuatan itu, ada dua kekuatan akal manusia yaitu: (1) kekuatan berpikir yang disebut pengertian. segala peristiwa yang terjadi dalam akal dapat dikenal dan dikehendaki oleh manusia. Pengertian terjadi dan proses aktivitas pengamatan yang mencakup kegiatan mengindera. mengenal, menalar, dan meyakini. Mengamati berarti menerima ini presiimpresi dari dalam dan dari luar diri, dengan kata lain
mengamati berarti memasukkan ide-ide dan konsep-konsep kedalam kesadaran dengan menggunakan berbagai macam cara. Pengamatan hanyalah kapasitas awal dan manusia, pengertian memerlukan keterlibatan dari enam kekuatan mental manusia yang meliputi mengamati atau pengamatan, mengingat atau ingatan, imajinasi, kombinasi aktivitas psikis, abstraksi atau pikiran, dan pemakaian tanda atau simbolisasi; dan (2) kekuatan kehendak yang disebut kemauan, manusia sering mengimajinasikan sesuatu tindakan yang berhubungan dengan suatu pilihan diantara berbagai alternatif. Tindakan memilih ini disebut sebagai istilah volition dapat terjadi apabila kita menggerakkan kekuatan kehendak atau kemauan. Jadi kemauan adalah kekuatan untuk memilih, bukan keinginan. Keinginan adalah ide renektif yang melibatkan sesuatu keadaan dimasa mendatang, sedangkan kemauan adalah kekuatan untuk memilih sesuatu keadaan atau tindakan dimasa sekarang. Meskipun kemauan tidak sama dengan keinginan, namun keduanya berhubungan erat. Kekuatan kejiwaan manusia Menurut Jean Jacques Rousseau (1712-1778) ada lima yang terdiri dan lima kekuatan jiwa manusia yaitu: (1) penginderaan terjadi apabila objek-objek eksternal berinteraksi dengan organ-organ indera; (2) perasaan sangat erat hubungannya dengan penginderaan; (3) keinginan sangat erat kaitannya dengan perasaan senang atau tidak senang, cocok atau tidak cocok, dan setuju atau tidak setuju; (4) kemauan sangat erat hubungannya dengan keinginan; dan (5) akal sebagai kekuatan penemu ide umum maupun kebenaran sesuatu ide, memiliki dua kapasitas yaitu Pertama kapasitas penalaran indera yang disebut common sense, penalaran indera memberikan ide tertentu tentang benda tertentu di alam sekitar. Kedua, kapasitas penalaran intelektual, bila kita dengan akal sehat menyimpulkan ide tentang sesuatu benda, maka terhadap setiap benda yang sejenis dapat dimasukkan ke dalam ide umum itu. Menurut (Soemanto, 1998:17) pengetahuan tentang kekuatan-kekuatan kejiwaan ini sangat perlu untuk dipelajari oleh para guru atau pendidik demi kelancaran memberi pelayanan yang sesuai dengan sifat umum jiwa anak didik. Pengetahuan mi juga sangat bagi guru dan tenaga kependidikan lainnya penting dalam rangka memotivasi tingkah laku belajar anak didik di dalam proses belajar mengajar. B. Aktivitas Kejiwaan Mempelajari psikologi berarti mempelajari tingkah laku manusia, baik yang teramati maupun yang tidak teramati. Segenap tingkah laku manusia mempunyai latar belakang psikologis, karena itu secara umum aktivitas-aktivitas manusia itu dapat dicari hukum psikologis yang mendasarinya. Ada beberapa aktivitas kejiwaan yang berhubungan erat dengan psikologi pendidikan yaitu: 1. Pengamatan Indera
Setiap manusia yang sehat mentalnya dapat mengenal lingkungan fisik yang nyata, baik di dalam dirinya sendiri maupun di luar dirinya dengan menggunakan organ-organ inderanya. Cara mengenal dua luar seperti ini disebut mengamati secara indera, organ-organ indera yang ada pada diri manusia disebut modalitas pengamatan. Pengamatan merupakan fungsi sensoris yang memungkinkan seseorang menangkap stimuli dan dunia nyata sebagai bahan yang teramati. Pengamatan sebagai suatu fungsi primer dari jiwa dan menjadi awal dari aktivitas intelektual. Objek pengamatan memiliki sifats-ifat keinginan, kesendirian, lokalitas, dan bermateri. Subjek dapat mengadakan orientasi terhadap suatu objek, karena objek itu dapat ditangkap dengan tidak tergantung kepada adanya saja. Untuk memungkinkan subjek mengadakan orientasi, maka subjek dapat menggambarkan dunia pengamatan menurut aspek pengaturan tertentu berupa sudut-sudut tinjauan: (1) ruang, yaitu menggambarkan dunia pengamatan dalam konsep-konsep seperti atas bawah, kanan kiri, jauh dekat, muka belakang, dan sebagainya; (2) waktu, dunia pengamatan digambarkan dalam hubungannya dengan jarak waktu, jarak ruang, stabilitas benda tetap maupun tidak tetap, waktu dulu, sekarang dan akan datang dan sebagainya; (3) Gestalt, dunia pengamatan digambarkan sebagai bentukan-bentukan atau medan psikologis yang tersusun dalam kebulatan, kesatuan, dan kesamaan dari bagian-bagian dalam konteks keseluruhan; dan (4) arti, medan pengamatan digambarkan dengan hubungan arti atau struktur arti. Berbagai objek atau peristiwa yang sama, apabila ditinjau dari sudut arti dan masingmasing akan menunjukkan hal-hal yang sangat berbeda misalnya bentuk gedung sekolah, gedung asrama, gedung markas tentara, rumah sakit, perkantoran yang bersamaan, namun artinya berbedabeda meskipun sama-sama gedung. Para ahli psikologi membedakan lima macam alat indera menurut lima macam modalitas pengamatan yakni: a. Penglihatan Ada tiga macam penglihatan yaitu: (1) penglihatan terhadap bentuk, yaitu penglihatan terhadap penglihatan yang berdimensi dua. Setiap objek penglihatan tidak dilibat secara terpisahpisah, melainkan sebagai objek yang saling berhubungan, misalnya objek yang dekat dan yang jauh, objek yang pokok dan yang melatarbelakangi, objek yang menjadi bagian dan .keseluruhannya; (2) penglihatan terhadap warna yaitu objek psikhis dan warna menyangkut nilai-nilai psikologis warna meliputi nilai efektif suatu objek yang mempengaruhi tingkah laku manusia dan nilai lambang atau simbolis misalnya merah adalah lambang keberanian, putih adalah lambang kesucian dan ketulusan, hitam lambang kesedihan, kuning lambang pengharapan, biru lambang kasih sayang atau kesetiaan, hijau lambang kesejahteraan, ungu lambang kebesaran dan kemuliaan, abu-abu lambang keraguan atau kesabaran dan lain-lain; (3) penglihatan terhadap dalam objek yang berdimensi tiga, gejala
penting yang tampak dan penglihatan ini adalah kontansi volume dan jarak yang berbeda kita melihat sesuatu benda, ternyata memperoleh kesan ,bahwa volume benar itu tidak berbeda, melainkan sama, tidak berubah sifatnya melainkan konstan besarnya. Ini terjadi karena objek yang kita hadapi selalu dilihat dalam konteks sistemnya dan proporsi atau perbandingan benda-benda satu sama lain serta terhadap tempatnya adalah sama. b. Pendengarannya Mendengar adalah menangkap bunyi-bunyi (suara) dengan indera pendengar, pendengaran dan suara itu memelihara komunikasi vokal antara makhluk yang satu dengan lainnya. Bunyi suara binatang dan manusia sebenarnya adalah pernyataan, dan dimengerti oleh binatang dan manusia lain dalam suatu arti tertentu. Karena itu, makna bunyi dapat berfungsi dua macam yaitu sebagai tanda (signal) dan sebagai lambang karena itu yang kita tangkap adalah artinya bukan bunyi atau suaranya. Mendengar atau mendengarkan adalah menangkap atau menerima suara melalui indera pendengaran. Pendengaran terhadap bunyi-bunyian, mi berarti apa yang baru saja didengar atau terdengar tidak akan segera hilang, melainkan masih terngiang dan masih turut bekerja dalam apa yang didengar atau terdengar pada saat berikutnya. 2. Tanggapan Tanggapan menurut Bigot at al (1950:72) biasanya didefinisikan sebagai bayangan yang tinggal dalam ingatan setelah kita melakukan pengamatan. Suryabrata (200 1:36) berpendapat sebenarnya definisi mi kurang menggambarkan materinya, sebab hanya menunjuk kepada sebagian saja dan tanggapan itu. Linschoten mencoba memberikan definisi yang lebih memadai, walaupun agak sukar dipahami, dia mengemukakan bahwa tanggapan adalah melakukan kembali sesuatu perbuatan atau melakukan sebelumnya sesuatu perbuatan tanpa hadirnya objek fungsi primer yang merupakan dasar dan modalitas tanggapan itu. Kemudian tanggapan juga bisa didefinisikan sebagai bayangan yang menjadi kesan yang dihasilkan dari pengamatan. Kesan tersebut menjadi isi kesadaran yang dapat dikembangkan dalam hubungannya dengan konteks pengalaman waktu sekarang serta antisipasi keadaan untuk masa yang akan datang. Ada tiga macam tanggapan yaitu: (1) tanggapan masa lampau yang sering disebut sebagai tanggapan ingatan; (2) tanggapan masa sekarang sebagai tanggapan imajinatif dan (3) tanggapan masa mendatang sebagai tanggapan antisipatif. Menganggap dapat diartikan sebagai mereaksi stimuli dengan membangun kesan pribadi yang berorientasi kepada pengamatan masa lalu, pengamatan masa sekarang, dan harapan masa yang akan datang. Tanggapan diperoleh dari penginderaan dan pengamatan. Johann Frederich Herbart (17761841) mengemukakan bahwa tanggapan ialah merupakan unsur dasar dan jiwa manusia. Tanggapan dipandang sebagai kekuatan psikologis yang dapat menolong atau menimbulkan keseimbangan,
ataupun merintangi atau merusak keseimbangan. Tanggapan-tanggapan ada yang berada dalam kesadaran, dan kebanyakan dibawah sadar, diantara kedua kesadaran ini terdapat batas pemisah yang disebut ambang kesadaran. 3. Fantasi Tanggapan yang mengendap di bawah kesadaran dapat muncul kembali ke dalam kesadaran dan yang semula memang berada diambang kesadaran itu Selalu ada dan muncul secara mekanis (Soemanto, 2000:26). Dalam tanggapan kita tidak hanya dapat menghidupkan kembali apa yang telah kita amati di masa lampau, akan tetapi kita juga dapat mengantisipasikan yang akan datang, atau mewakili yang sekarang. Untuk memudahkan penafsiran tanggapan biasanya ditempuh dengan jalan membuat perbandingan antara tanggapan dan pengamatan. Biasanya orang mengemukakan deretan gejala dan yang paling, dengan berpangkal pada pengamatan, sampai ke paling yang kurang peraga yaitu berpikir. Fantasi dapat didefinisikan sebagai aktivitas imajinasi untuk berbentuk tanggapan-tanggapan baru dengan pertolongan tanggapan-tanggapan. Fantasi lama yang telah ada, dan tanggapan yang baru itu tidak harus sama sesuai dengan benda-benda yang ada. Dengan demikian fantasi itu, menggabungkan sebagai fungsi yang memungkinkan manusia untuk berorientasi lain alam mainan, dimana aktivitas imajinasi itu melampaui dunia nyata, dapat dibedakan atas sengaja atau yang disadari. Menurut Suryabrata, :39) biasanya fantasi didefinisikan sebagai daya untuk membentuk tanggapan-tanggapan baru dengan pertolongan tanggapan-tanggapan yang telah ada, dan tanggapan baru itu tidak harus sesuai dengan benda-benda yang ada. Fantasi dapat dikatakan sebagai fantasi sengaja atau disadari yang merupakan usaha imajinasi dari subjek secara sengaja dan disadari. Fantasi disengaja ini dapat dibagi menjadi dua macam yaitu: (1) fantasi sengaja secara pasif, yaitu tidak dikendalikan oleh pikiran dan kemauan; dan (2) fantasi sengaja aktif, yaitu yang dikendalikan oleh pikiran dan kemauan. Baik fantasi sengaja maupun tidak sengaja, keduanya dapat bersifat mengabstraksikan, mendeterminasikan yaitu apabila fantasi itu membentuk gambaran baru dengan menggunakan skema tertentu, ataupun mengombinasikan yaitu apabila fantasi itu menggabungkan beberapa anggapan. Fantasi mencipta yaitu fantasi yang mengadakan tanggapan-tanggapan yang benar-benar baru, misalnya orang mengarang cerita, anak menciptakan alat mainan, dan sebagainya. Kegunaan fantasi antara lain adalah (1) orang dapat memahami, mengerti dan menghargai kultur orang lain; (2) orang dapat keluar dani ruang dan waktu, sehingga dengan demikian ia dapat membami hal-hal yang ada dan terjadi di tempat lain dan diwaktu yang lain, misalnya dalam mempelajari sejarah atau peristiwa sebelumnya yang telah terjadi; (3) dapat melepaskan diri dan kesukaran dan permasalahan serta
melupakan kegagalan atau kesan-kesan buruk; (4) dapat membantu seseorang dalam mencari keseimbangan bathin dengan melupakan kegagalan-kegagalan di masa lampau; (5) fantasi memungkinkan orang untuk menyelesaikan konnik ini secara imajinir, sehingga dapat mengurangi ketegangan psikhis dan menjaga keseimbangan bathin; dan (6) memungkinkan seseorang untuk dapat membuat perencanaan untuk dilaksanakan di masa mendatang dan berusaha merealisasikannya. Karena itu pendidikan dalam kegiatan pembelajaran hendaknya berusaha mengembangkan fantasi anak secara sehat. Hal mi akan memberi arah kepada anak untuk mengembangkan kemampuan intelektualnya menjadi lebih bermakna dan mampu menentramkan suasana bathinnya. 4. Ingatan Pribadi manusia beserta aktivitas-aktivitasnya tidak semata-mata ditentukan oleh pengaruh dan proses-proses yang berlangsung waktu kini, tetapi juga oleh pengaruh-pengaruh dan prosesproses di masa yang lampau. Pengaruh-pengaruh dan proses-proses yang lampau ikut menentukan perkembangan kepribadian dalam suatu sejarah di mana hal yang lampau dalam cam tertentu dapat diaktifkan kembali. Mengingat berarti menyerap atau melekatkan pengetahuan dengan jalan secara aktif, fungsi ingatan itu meliputi tiga aktivitas yaitu: (1) mencamkan, yaitu menangkap atau menerima kesan-kesan; (2) menyimpan kesan-kesan; dan (3) mereproduksi kesan-kesan. Atas dasar kenyataan inilah biasanya ingatan didefinisikan sebagai kecakapan untuk menerima, menyimpan, dan memproduksikan kesan-kesan. Sifat dan ingatan yang baik adalah cepat berlaku untuk aktivitas mencamkan, sifat setia, kuat, dan luas berlaku untuk menyimpan, sedangkan sifat siap berlaku dalam hal memproduksi kesan-kesan. Dengan demikian kita dapat menyebutkan adanya berbagai sifat ingatan yang baik. Ingatan dikatakan cepat apabila dalam mencamkan kesan-kesan tidak mengalami kesulitan. Ingatan dikatakan setia apabila kesan yang telah dicamkan itu tersimpan dengan baik dan stabil. Ingatan dikatakan kuat apabila kesan-kesan yang tersimpan bertahan lama, ingatan dikatakan luas, apabila kesan-kesan yang tersimpan sangat bervariasi dan banyak jumlahnya. Ingatan dikatakan siap, apabila kesan-kesan yang tersimpan sewaktu-waktu mudah direproduksikan ke alam kesadaran. Mencamkan terhadap sesuatu kesan akan lebih kuat apabila: (1) kesan-kesan yang dicamkan dibantu dengan penyuaraan; (2) pikiran subjek lebih terkonsentrasi kepada kesan-kesan itu; (3) teknik belajar yang dipakai oleh subjek adalah efektif; (4) subjek menggunakan titian ingatan; dan (5) struktur bahan dan kesan-kesan yang dicamkan adalah jelas. Ingatan cepat artinya mudah dalam mencamkan sesuatu hal tanpa - kesukaran, penggunaan metode belajar yang tepat akan mempertinggi pencaman. Dalam hubungan dengan ini dikenal ada tiga macam metode belajar yaitu: (1) metode keseluruhan yaitu metode menghafal dengan mengulang
berkali-kali dan permulaan sampai akhir; (2) metode bagian yaitu menghafal sebagian demi sebagian, masing-masing bagian itu dihafal; dan (3) metode campuran yaitu menghafal bagian-bagian yang sukar lebih dahulu, selanjutnya dipelajari dengan metode keseluruhan. Secara umum pencaman diperkuat oleh faktor struktur bahan yang dicarikan dan sikap bathin orang mengenai bahan itu. 5. Pikiran dan Berpikir Pikiran dapat diartikan sebagai kondisi letak hubungan antar bagian pengetahuan yang telah ada dalam diri yang dikontrol oleh akal. Akal adalah sebagai kekuatan yang mengendalikan pikiran. Sedangkan berpikir berarti meletakkan hubungan antar bagian pengetahuan yang diperoleh manusia. Berpikir sebagai proses menentukan hubungan-hubungan secara bermakna antara aspek-aspek dan suatu bagian pengetahuan. Sedangkan bentuk aktivitas berpikir merupakan tingkah laku simbolis, karena seluruh aktivitas ini hubungan dengan atau mengenai penggantian hal-hal yang konkret. Berpikir merupakan proses dinamis yang menempuh tiga langkah berpikir yaitu: (1) pembentukan pengertian yaitu melalui proses mendeskripsi ciri-ciri objek yang sejenis mengklasifikasi ciri-ciri yang sama mengabstraksi dengan menyisihkan, membuang, dan menganggap ciri-ciri yang hakiki; (2) pembentukan pendapat, yaitu meletakkan hubungan antar dua buah pengertian atau lebih yang hubungan itu dapat dirumuskan secara verbal berupa pendapat menolak, pendapat menerima atau mengiakan, dan pendapat asumtif yaitu mengungkapkan kemungkinan-kemungkinan suatu sifat pada suatu hal; dan (3) pembentukan keputusan, yaitu penarikan kesimpulan yang berupa keputuSai1 sebagai hasil pekerjaan akal berupa pendapat baru yang dibentuk berdasarkan pendapat-pendapat yang sudah ada. 6. Perhatian Perhatian bukannya suatu fungsi, melainkan suatu modus fungsi, jadi jika perhatian diartikan sebagai aktivitas jiwa tidak sepenuhnya tepat. Hal-hal yang termasuk sebagai fungsi jiwa yaitu pengamatan, tanggapan, fantasi, ingatan, dan pikiran, jadi fungsi memberi kemungkinan dan perwujudan aktivitas Perhatian adalah cara menggerakkan bentuk umum cara bergaulnya jiwa dengan bahan-bahan dalam medan tingkah laku. Dilihat dan versi lain perhatian dapat diartikan dua macam yaitu: (1) perhatian adalah pemusatan tenaga kekuatan jiwa tertuju kepada sesuatu objek (Stern, 1950:653 dan Bigot, 1950:163); dan (2) perhatian adalah pendayagunaan kesadaran untuk menyertai sesuatu aktivitas yang dilakukan. Pada pokoknya ada bermacam-macam perhatian yang meliputi: (1) perhatian menurut cara kerjanya terdiri dan perhatian spontan yaitu perhatian yang tidak sengaja atau tidak sekehendak subjek dan perhatian reneksif yaitu perhatian yang disengaja atau sekehendak subjek; (2) perhatian menurut intensitasnya terdiri dan perhatian intensif yaitu perhatian yang banyak dikuatkan oleh
banyaknya rangsang atau keadaan yang menyertai aktivitas atau pengalaman bathin dan perhatian tidak intensif yaitu perhatian yang kurang diperkuat oleh rangsangan atau beberapa keadaan yang menyertai aktivitas atau pengalaman bathin; dan (3) perhatian menurut luasnya terdiri dari perhatian terpusat atau konsentratif yaitu perhatian yang tertuju kepada lingkup objek yang sangat terbatas dan perhatian terpencar yaitu perhatian yang pada suatu saat tertuju kepada lingkup objek yang luas dan tertuju kepada bermacam-macam objek. Ditinjau dan segi kepentingan pendidikan dan belajar, pemilihan jenis perhatian yang efektif untuk memperoleh pengalaman belajar adalah hal yang penting bagi subjek yang belajar. Pemilihan cara kerja perhatian oleh anak didik dapat dibimbing oleh pihak pendidik atau lingkungan belajarnya dalam proses pembelajaran. Salah satu usaha untuk membimbing perhatian anak didik yaitu melalui pemberian rangsangan atau stimuli yang menarik perhatian anak didik. Untuk memudahkan persoalan, maka dalam mengemukakan perhatian mi dapat ditempuh cara dengan menggolonggolongkan perhatian tersebut menurut cara tertentu. Adapun golongan-golongan atau macam-macam perhatian itu adalah: (1) atas dasar intensitasnya yaitu banyak sedikitnya kesadaran yang menyertai sesuatu aktivitas atau pengalaman bathin; (2) atas dasar cara timbulnya dibedakan menjadi perhatian spontan atau perhatian tak sengaja yang timbul begitu saja dan perhatian sekehendak atau perhatian yang disengaja karena usaha dengan sekehendak; dan (3) atas dasar luasnya objek yang dikenai perhatian yang dibedakan menjadi perhatian terpencar yaitu suatu saat dapat tertuju kepada macam-macam objek dan perhatian terpusat pada suatu saat dapat tertuju kepada objek yang sangat terbatas. Dipandang dan segi praktis adalah sangat penting untuk mengetahui hal-hal apa yang menarik perhatian itu, dalam melihatnya dapat dilihat dan dua segi yaitu objek yang diperhatikan dan dani segi subyek yang memperhatikan. Dipandang dan segi objek, maka dapat dirumuskan bahwa hal yang menarik perhatian adalah hal yang keluar dan konteksnya atau yang lain dari yang lain. Sedangkan dipandang dan segi subyek yang memperhatikan maka dapat dirumuskan bahwa hal yang menarik perhatian adalah yang sangat bersangkut atau dengan pribadi si subyek. Hal yang bersangkut paut dengan diri si subyek itu dapat bermacam-macam yaitu yang bersangkut paut dengan kebutuhan, yang bersangkut paut dengan kegemaran, yang bersangkut paut dengan pekerjaan atau keahlian, bersangkut paut dengan sejarah hidup sendiri, dan lain sebagainya kesemuanya ini menarik perhatian. 7. Perasaan Secara sederhana perasaan dapat diartikan sebagai pengalaman yang bersifat efektif, yang dihayati sebagai suka (pleasentness) atau ketidaksukaan pleasentness) yang timbul karena adanya perangsang-perangsang tertentu. berangsang yang menyenangkan adalah perasaan yang disukai, yang
diingini, sehingga diusahakan untuk memperolehnya, sebaliknya perangsang yang tidak menyenangkan adalah perasaan yang tidak disukai, yang tidak diingini sehingga mengusahakan untuk menghindarinya. Perasaan dapat diartikan sebagai suasana psikis yang mengambil bagian pribadi dalam situasi, dengan jalan membuka diri terhadap suatu hal yang berbeda dengan keadaan atau nilai dalam diri. Apabila berpikir itu bersifat objektif, maka perasaan itu bersift subjektif karena lebih banyak dipengaruhi oleh keadaan diri. Apa yang baik, menarik, dan indah menurut seseorang belum tentu demikian bagi orang lain, penilaian subjek terhadap suatu objek, membentuk perasaan subjek yang bersangkutan. Perasaan umumnya bersangkutan dengan fungsi mengamati, menanggap, membayangkan, mengingat, atau memikirkan sesuatu. Perasaan banyak mendasari dan juga mendorong tingkah laku manusia. Perasaan dapat dibagi atas: (1) perasaan-perasaan jasmaniah sering disebut perasaan rendah seperti perasaan sensoris yaitu perasaan yang berhubungan dengan stimuli terhadap indera misalnya dingin, hangat, pahit, masam, dan sebagainya. Kemudian perasaan vitas yang berhubungan dengan kondisi jasmani seperti lelah, lesu, letih, lemah, segar, sehat, dan sebagainya: (2) perasaan-perasaan rohaniah sering disebut sebagai perasaan luhur yang terdiri dan perasaan intelektual yaitu perasaan yang berhubungan dengan kesanggupan intelektual dalam mengatasi sesuatu masalah, perasaan etis yaitu perasaan yang berhubungan dengan baik dan buruk atau norma, perasaan estetis yaitu perasaan yang berhubungan dengan penghayatan dan apresiasi tentang sesuatu yang indah dan tidak indah, perasaan sosial yaitu perasaan yang cenderung untuk meningkatkan diri dengan orang lain, dan perasaan harga diri yaitu perasaan yang berhubungan dengan penghargaan diri seseorang. Perasaan bereaksi terhadap lingkungan atau stimulinya atas dorongan emosi sebagai kekuatan jiwa, emosi mi erat hubungannya dengan jasmani. Karena itu, perubahan-perubahan jasmani, baik jasmani luar maupun dalam diikuti dengan timbulnya emosi. Perubahan pernafasan, perubahan denyut jantung, perubahan darah, perubahan pencernaan dalam perut, perubahan kesehatan badan, dan sebagainya semuanya mempengaruhi timbulnya emosi. Keadaan emosi yang stabil maupun goncang amat mempengaruhi perasaan, karena itu pendidikan hendaknya mengenal serta mengusahakan stabilitas emosi anak didik dengan jalan menyeimbangkan emosi anak didik. Perasaan anak didik dapat diwujudkan dalam bentuk ekspresi, yaitu pernyataan emosi atau perasaan yang dapat diamati oleh orang lain misalnya tersenyum, tertawa, menangis, murung, murani, nanar, tunduk kepala, mengelus dada, cemberut, merengut, dan sebagainya. Karena itu ekspressi ini dapat membantu pendidik dalam usaha mengenal emosi dan perasaan anak didiknya, Perasaan dapat pula dibedakan dengan perasaan merdeka dan perasaan terikat. Perasaan menjadi merdeka, apa bila tidak terdapat stimuli dan gangguan yang merintangi dan atau menekan jasmani dan rohani. Perasaan dapat
terikat, apabila terdapat stimuli dan gangguan yang merintangi dan atau menekan jasmani atau rohani, sedangkan cara bekerja perasaan lebih bersifat internal 8. Kemauan Kemauan bukanlah aktivitas maupun usaha kejiwaan, melainkan kekuatan atau kehendak untuk memilih dan merealisasi suatu tujuan yang merupakan pilihan di antara berbagai tujuan yang bertentangan. Pemilihan dan relasi tujuan memerlukan suatu kekuatan yang disebut kemauan, dan kemauan :itu bukan keinginan. Kemauan dapat bekerja baik secara paksaan maupun di dalam bentuk pilihan sendiri. Kemauan yang bebas adalah kemauan yang sesuai keinginan diri, sedangkan kemauan yang terikat adalah kemauan yang menimbulkan oleh kondisi kebutuhan yang terbatasi oleh norma sosial ataupun kondisi lingkungan. Kekuatan kemauan bereaksi, apabila dipancing oleh adanya usaha memenuhi kebutuhan. Bila ditekankan pada kepentingan pribadi, maka Kemauan mengaktualisasikan diri sebagai kekuatan yang mendorong perbuatan mencapai tujuan. Bila ditekankan pada segi lainnya, maka kemauan mengaktualisasikan diri sebagai kekuatan yang menarik perbuatan yang mencapai tujuan. Kekuatan kemauan dapat diterangkan berupa dorongan-dorongan pemilihan yang dilatarbelakangi oleh nilainilai, kebutuhan-kebutuhan, pengetahuan, ketrampilan sikap, dan kebiasan yang dimiliki pribadi. Kuat atau lemahnya kemauan seseorang dilatarbelakangi oleh pengalaman atau hasil belajarnya. Karena itu pendidikan mempunyai peranan penting dalam kemauan anak didik untuk belajar lebih lanjut. Pendidikan hendaknya mampu memberikan pengalaman belajar sedemikian rupa, sehingga itu memperkuat kemauan anak didik untuk belajar lebih rajin dan lebih baik. C. Pentingnya Pengetahuan Psikologi Pendidikan bagi Guru Guru dan tenaga kependidikan lainnya dalam melaksanakan tugas pembelajaran ternyata perlu memiliki pengetahuan psikologi. Karena psikologi mempersoalkan aktivitas manusia, baik yang dapat diamati maupun yang tidak, secara umum aktivitas-aktivitas dan penghayatan itu dapat dicari hukum-hukum psikologis yang mendasarinya. Bagi para pendidik penting sekali mengetahui hukum-hukum tersebut sehingga dengan demikian dapat membantu guru dan tenaga kependidikan lainnya untuk memahami tingkah laku belajar anak didiknya lebih baik. Kemampuan memahami tingkah laku belajar anak didiknya akan memberi penjelasan bahwa anak sedang dalam keadaan belajar dengan baik atau tidak, pemahaman ini akan dapat mengukur kemampuan belajar dan kemampuan menerima materi pelajaran bagi para siswanya. Sebagaimana dijelaskan sebelumnya bahwa, psikologi sebagai ilmu pengetahuan masih muda usianya, tentu psikologi pendidikan lebih muda lagi, artinya psikologi pendidikan masih menghadapi
berbagai problematika dan perkembangan sebagai suatu ilmu pengetahuan, dalam perkembangannya ini masih banyak hal-hal yang dapat dilengkapi sebagai ilmu pengetahuan yang dinamis. Namun pada prinsipnya psikologi pendidikan merupakan alat yang cukup penting untuk memahami tingkah laku belajar anak. Dalam hal ini setiap guru harus senantiasa memahami dan mengikuti perkembangan psikologi pendidikan, karena dengan modal ini para guru dapat tertolong memahami pertumbuhan dan perkembangan belajar peserta didik, dan para guru dapat meningkatkan kemampuan belajar peserta didiknya sesuai potensi yang dimiliki masing-masing. Psikologi pendidikan ini sebagai alat bagi guru untuk mengendalikan dirinya, dan juga memberi bantuan belajar kepada peserta didik dalam kegiatan pembelajaran.
BAB IV PERENCANAAN PENGAJARAN DALAM PEMBELAJARAN A. Perencanaan Pengajaran dalam Kegiatan Pembelajaran Kegiatan belajar yang berlangsung di sekolah bersifat formal, disengaja, direncanakan, dengan bimbingan guru, dan bantuan pendidik lainnya. Apa yang hendak dicapai dan dikuasai oleh siswa dituangkan dalam tujuan belajar, dipersiapkan bahan apa yang harus dipelajari, dipersiapkan juga metode pembelajaran yaitu yang sesuai bagaimana cam siswa mempelajarinya, dan melakukan evaluasi untuk mengetahui kemajuan belajar siswa. Persiapan ini telah direncanakan secara seksama oleh guru mengacu pada kurikulum mata pelajaran. Penjelasan ini memberi gambaran bahwa kegiatan belajar yang secara sengaja dipersiapkan dalam bentuk perencanaan pengajaran, persiapan pengajaran ini sebagai kegiatan integral dan proses belajaran di sekolah. Penyusunan program pembelajaran dapat dibedakan menjadi program tahunan, program semester, program mingguan, dan program harian. Program tahunan merupakan rencana pembelajaran yang disusun untuk setiap mata pelajaran yang berlangsung selama satu tahun ajaran pada setiap mata pelajaran kelas tertentu yang disusun menjadi bahan ajar. Langkah-langkah penyusunan program tahunan adalah: (1) membaca dan memahami kurikulum silabusnya; (2) menganalisis kemampuan dasar yang ada pada kurikulum; dan (3) menentukan alokasi waktu setiap kemampuan dasar berdasarkan kalender pendidikan yang ditetapkan. Adapun tim yang menyusun program tahunan terdiri dari tim perekayasa kurikulum, ahli mata pelajaran, dan kelompok kerja guru yang terdiri guru mata pelajaran, tim mi idealnya difasilitasi oleh Pemerintah Daerah dimana program pembelajaran itu berada. Program semester disusun dengan merancang kegiatan pembelajaran untuk semua mata pelajaran dan kelas yang dilakukan pada satu semester. Perencanaan mi akan merespon pemenuhan target pembelajaran baik diukur dan prestasi belajar siswa melalui sejumlah tes dan alat evaluasi yang digunakan maupun pelayanan belajar siswa oleh para pendidik dilihat dan kesiapan dan strategi yang digunakan. Untuk mencapai target dan tujuan yang ditetapkan, maka secara teknis dan operasional dijabarkan dalam program mingguan dan juga harian.
1. Pengertian dan Tujuan Perencanaan Pengajaran Proses pembelajaran bisa disebut interaksi edukatif yang sadar akan tujuan, artinya interaksi yang telah dicanangkan untuk suatu tujuan tertentu, setidaknya adalah tercapainya tujuan instruksional atau tujuan pembelajaran yang dirumuskan dalam satuan pelajaran. Proses pembentukan setiap rencana latihan maupun pembelajaran yang baik mulai dengan penentuan tujuan pelajaran yang tepat. Hal ini berlangsung dengan mengidentifikasi setiap mata pe1ajain pokok atau topik yang harus dicakup untuk mencapai tujuan ini. Kemudian pokok-pokok ini harus disesuaikan yang satu dengan yang lain untuk membentuk pelajaran itu. Perencanaan pengajaran merupakan suatu program bagaimana mengajarkan apa-apa yang sudah dirumuskan dalam kurikulum. Acuan utama penyusunan perencanaan program pengajaran adalah kurikulum. Perencanaan pengajaran (Instructional Design) dapat dilihat dari berbagai sudut pandang yaitu: (1) perencanaan pengajaran sebagai sebuah proses adalah pengembangan pengajaran secara sistematik yang digunakan secara khusus teori-teori pembelajaran dan pengajaran untuk menjamin kualitas pembelajaran. Dalam perencanaan ini menganalisis kebutuhan dan proses belajar dengan alur yang sistematik untuk mencapai tujuan pembelajaran. Termasuk di dalamnya melakukan evaluasi terhadap materi pelajaran dan aktivitas-aktivitas pengasanan; (2) perencanaan pengajaran sebagai sebuah disiplin adalah cabang dari pengetahuan yang senantiasa memperhatikan hasil basil penelitian dan teori-teori tentang strategi pengajaran dan implementasinya terhadap strategi-strategi tersebut; (3) perencanaan pengajaran sebagai sains (Science) adalah mengkreasi secara detail spesifikasi dan pengembangan, implementasi, evaluasi, dan pemeliharaan akan situasi maupun fasilitas pembelajaran terhadap unit-unit yang luas maupun yang lebih sempit dan materi pelajaran dengan segala tingkatan kompleksitasnya; (4) perencanaan pengajaran sebagai realitas adalah ide pengajaran dikembangkan dengan memberikan hubungan pengajaran dan waktu ke waktu dalam suatu proses yang dikerjakan perencana secara cermat bahwa semua kegiatan telah sesuai dengan tuntutan sains dan dilaksanakan secara sistematik; (5) perencanaan pengajaran sebagai suatu sistem adalah sebuah susunan dan sumber-sumber dan prosedur-prosedur untuk menggerakkan pembelajaran. Pengembangan sistem pengajaran melalui proses yang sistematik selanjutnya diimplementasikan mengacu pada sistem perencanaan itu; dan (6) perencanaan pengajaran sebagai teknologi adalah suatu perencanaan yang mendorong penggunaan teknik-teknik yang dapat mengembangkan tingkah laku kognitif dan teoriteori konstruktif terhadap solusi dan problem-problem pengajaran. Mengacu pada berbagai sudut pandang tersebut, maka perencanaan program pengajaran harus sesuai dengan konsep pendidikan dan pengajaran yang dianut dalam kurikulum. Penyusunan perencanaan program pengajaran sebagai sebuah proses, disiplin, ilmu pengetahuan, realitas, sistem,
dan teknologi pembelajaran bertujuan agar pelaksanaan pengajar berjalan lebih lancar dan hasilnya lebih baik. Kurikulum khususnya GBPP, menjadi acuan utama dalam penyusunan perencanaan program pengajaran, namun kondisi sekolah dan lingkungan sekitar, kondisi siswa dan guru merupakan hal-hal penting yang perlu diperhatikan. Dalam GBPP telah tercantum tujuan kurikuler, tujuan instruksional, pokok bahasan, sub pokok bahasan, dan alokasi waktu untuk mengajarkan pokok bahasan tersebut. Persiapan mengajar disusun mencakup semua tujuan yang telah ditetapkan tersebut. Tujuan pendidikan ini mengacu pada tujuan pendidikan nasional sebagaimana dituntun oleh UUSPN No. 20 tahun 2003 bahwa pendidikan nasional bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa pada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab. Dalam penyusunan program caturwulan dan juga semester, rincian pokok bahasan menjadi sub pokok bahasan dengan memperhatikan waktu yang tersedia. Jika waktu yang tersedia cukup banyak, maka sub pokok bahasan yang akan disampaikan dibatasi dengan memilih yang amat penting untuk disampaikan. Demikian juga pada waktu menyusun rencana pelajaran dalam satuan pelajaran. Luasnya bahan, penggunaan media pengajaran dan banyaknya aktivitas belajar perlu disesuaikan dengan waktu yang tersedia. Jumlah pertemuan penyampaian pelajaran dalam satu semester dapat dihitung, maka dalam merinci pokok bahasan untuk setiap hari pertemuan perlu diperhatikan alokasi waktu yang tersedia, perlu pengelompokan pokok bahasan sehingga akhirnya dapat dihasilkan unit-unit satuan bahasan dalam satu semester yang bersangkutan yang masingmasing akan dikembangkan dalam bentuk satuan pelajaran. Perencanaan program pengajaran juga perlu memperhatikan keadaan sekolah dimana pembelajaran itu berlangsung. Terutama ketersediaan sarana, prasarana, kelengkapan, dan alat bantu pelajaran menjadi pendukung terlaksananya berbagai aktivitas belajar siswa. Guru tidak mungkin melaksanakan kegiatan pembelajaran menggunakan bak pasir jika di sekolah tidak tersedia bak pasir yang diperlukan tersebut. Guru juga tidak akan mungkin meminta siswa untuk mengamati tanaman jika di sekolah tersebut tidak ada kebun sekolah. Dalam menyusun rencana program pengajaran komponen siswa perlu mendapat perhatian yang memadai. Apakah program pembelajaran satu semester yang dilaksanakan dalam bentuk aktivitas belajar menggunakan waktu harian dan mingguan dipandang sebagai suatu skenario tentang apa yang harus dipelajari oleh siswa dan bagaimana mempelajarinya. Agar bahan dan cara belajar mi sesuai dengan kondisi siswa, maka penyusunan skenario program pembelajaran dan keluasan maupun kedalaman bahan ajar perlu disesuaikan dengan kemampuan dan perkembangan siswa. Aktivitas
belajar yang direncanakan guru disesuaikan dengan keadaan kelas yang pandai atau cepat belajar, sedang dan kelompok kurang atau lambat belajar, guru dalam menyusun rencana pelajaran harus menggunakan kriteria siswa yang akan menerima pelajaran tersebut. Untuk mengatasi variasi kemampuan siswa, maka guru perlu menggunakan metode atau bentuk kegiatan mengajar yang bervariasi pula. Data atau informasi tentang siswa dapat dimanfaatkan untuk penyusunan dan perencanaan penyempurnaan pengajaran. Pengajaran yang baik hendaknya disusun dengan berpedoman kepada keadaan, kemampuan,, minat dan kebutuhan siswa. Hal ini secara riil dapat diketahui melalui proses dan hasil pengumpulan data. Sebelum menyiapkan rencana pelajaran, atau satuan pelajaran guru hendaknya mempelajari dulu record siswa. Melalui pemanfaatan record tersebut, guru akan memperoleh gambaran umum tentang kondisi dan masalah siswa, record siswa juga dapat digunakan untuk mengadakan berbagai usaha penyesuaian pelajaran dengan perbedaan individu. Tiap siswa mempunyai kemampuan, kondisi, kecepatan belajar, dan lain-lain yang berbeda. Karenanya perlu dikembangkan sistem mentor, yaitu bantuan belajar bagi siswa pandai atau kelas tinggi. Dalam proses pembelajaran guru dituntut memiliki kemampuan dalam segala hal yang berkaitan dengan pelaksanaan pendidikan pengajaran. Jika seorang guru pada suatu saat memiliki kekurangan dalam hal-hal tertentu, maka segera guru yang bersangkutan belajar untuk meningkatkan kompetensinya baik melalui jalur pendidikan dan latihan maupun belajar mandiri dengan melakukan diskusi dengan teman sejawat secara intensif. Dalam program semester guru menyusun rencana penyampaian bahan ajar, dimana bahan ajar tersebut telah benar-benar dikuasai oleh guru baik pengajaran di kelas maupun suatu percobaan yang akan dilaksanakan di laboratorium atau tempat lain yang ditunjuk sebagai tempat belajar siswa. Suatu program pengajaran mulai dengan tujuan menyeluruh, yang akan dicapai sebagai hasil dan belajar atau latihan. Tujuan mi terpecah ke dalam berbagai-bagai aspek dan mata pelajaran yang harus dicakup untuk memperoleh tujuan itu. Tujuan perencanaan pembelajaran bukan hanya penguasaan prinsip-prinsip fundamental pembelajaran, tetapi juga mengembangkan sikap yang positif terhadap program pembelajaran, meneliti, dan menemukan pemecahan masalah pembelajaran. Tujuan perencanaan pembelajaran secara ideal menguasai sepenuhnya bahan dan materi ajaran, metode dan penggunaan alat dan perlengkapan pembelajaran, menyampaikan kurikulum atas dasar bahasan dan mengelola alokasi waktu yang tersedia, dan membelajarkan murid sesuai yang diprogramkan. 2. Fungsi-Fungsi Manajemen Dalam Pembelajaran
Ketika seorang guru merancang pengajaran, maka guru harus sudah mempertimbangkan pertanyaan apakah tersedia kelengkapan yang cukup untuk digunakan siswa dalam program pembelajaran yang dirancang ?. Guru dalam menyusun perencanaan pembelajaran harus dapat mengenali kebutuhan-kebutuhan dan mewaspadai kendala-kendala serta batasan-batasan yang barangkali dijumpai dalam realitas. Dalam mengkaji kebutuhan-kebutuhan belajar saat suatu program pembelajaran direncanakan atau mulai dipertimbangkan, guru sebagai perencana sering mendapat informasi tentang kendala yaitu: (1) keterbatasan dana atau anggaran untuk mendukung pembelajaran; (2) penyesuaian waktu dan program yang harus dipersiapkan untuk dilaksanakan pada tahun depan, semester depan, minggu depan, atau besok; (3) keterbatasan perlengkapan pembelajaran yang siap untuk digunakan; (4) ruangan belajar yang tersedia; dan (5) keterbatasan kebutuhan belajar lainnya. Kendala dan keterbatasan tersebut mempengaruhi dukungan perencanaan pembelajaran, karena itu guru harus benar-benar dapat mengenali secara hati-hati dan mempertimbangkan kebutuhan yang masih mungkin dapat diperoleh dan digunakan untuk pembelajaran dan dapat dimasukkan secara riil dalam perencanaan pembelajaran dengan menggunakan sumber-sumber yang masih memungkinkan, selanjutnya diambil keputusan. Untuk memahami materi perencanaan pengajaran atau pembelajaran ada baiknya lebih dulu memahami apa itu manajemen, karena perencanaan merupakan bagian dan fungsi-fungsi manajemen. Sebagaimana dikemukakan oleh Terry manajemen merupakan proses yang khas terdiri dan tindakantindakan perencanaan, pengorganisasian, pergerakkan, dan pengawasan yang dilaksanakan untuk menentukan serta mencapai sasaran-sasaran yang telah ditetapkan melalui pemanfaatan sumber daya manusia serta sumber daya lain (Winardi, 1986). Pendapat mi dipertegas lagi oleh Gibson, Ivancevich, dan Donnely (1982) mengatakan bahwa manajemen adalah suatu tindakan, kegiatan, atau tindakan dengan tujuan tertentu melaksanakan pekerjaan manajerial dengan tiga fungsi utama yaitu perencanaan, pengorganisasian, dan pengendalian. Jadi, manajemen adalah suatu tindakan atau kegiatan merencanakan, mengorganisasikan, menggerakkan, mengendalikan atau melakukan pengawasan. Konsep manajemen tersebut jika diterjemahkan dalam kegiatan pembelajaran, maka manajemen pembelajaran dikaitkan sebagai usaha dan tindakan kepala sekolah sebagai pemimpin instruksional di sekolah dan usaha maupun tindakan guru sebagai pemimpin pembelajaran di kelas dilaksanakan sedemikian rupa untuk memperoleh hasil dalam rangka mencapai tujuan program sekolah dan juga pembelajaran. Artinya manajemen pembelajaran di sekolah merupakan pengelolaan pada beberapa unit pekerjaan oleh personel yang diberi wewenang untuk itu yang muaranya pada suksesnya program pembelajaran. Dengan demikian mengacu pada prinsip yang dikemukakan tersebut, maka
keefektifan manajemen pembelajaran dapat dicapai jika fungsi perencanaan, pengorganisasian, penggerakan, dan pengawasan dapat diimplementasikan dengan baik dan benar dalam program pembelajaran. a. Penerapan Fungsi Perencanaan dalam Kegiatan Pembelajaran Perencanaan adalah proses penetapan dan pemanfaatan sumber daya secara terpadu yang diharapkan dapat menunjang kegiatan-kegiatan dan upaya-upaya yang akan dilaksanakan secara efisien dan efektif dalam mencapai tujuan. Dalam hal ini Gaffar (1987) menegaskan bahwa perencanaan dapat diartikan sebagai proses penyusunan berbagai keputusan yang akan dilaksanakan pada masa yang datang untuk mencapai tujuan yang ditentukan. Sedangkan Banghart dan Trull (1973) mengemukakan bahwa perencanaan adalah awal dari semua proses yang rasional, dan mengandung sifat aptimisme yang didasarkan atas kepercayaan bahwa akan dapat mengatasi berbagai macam permasalahan dalam konteks pembelajaran perencanaan dapat diartikan sebagai proses penyusunan materi pelajaran, penggunaan media pengajaran, penggunaan pendekatan atau metode pengajaran, dalam suatu alokasi waktu yang akan dilaksanakan pada masa satu semester yang akan datang untuk mencapai tujuan yang ditentukan. Proses perencanaan dilaksanakan secara kolaboratif atau kerja sama, artinya dengan mengikutsertakan personel sekolah dalam semua tahap perencanaan. Bentuk kerja sama dalam perencanaan adalah dengan terlibat personel sekolah. Hoyle (1985) berpendapat bahwa sangat perlu bagi semua pengajar dan personel lain yang berkepentingan dengan tujuan sekolah dilibatkan dalam perencanaan, karenanya masyarakat sekolah bertanggung jawab atas perencanaan yang telah ditetapkan (Moedjiarto, 1990). Pengikutsertaan ini akan menimbulkan perasaan ikut memiliki (sense of heloning) yang dapat memberikan dorongan kepada guru dan personel sekolah yang lain untuk berusaha agar rencana tersebut berhasil. Sudah barang tentu lingkup perencanaan ml meliput komponen administrasi pendidikan dalam kurikulum, supervisi, kemudian, keuangan, sarana rana, kepegawaian, layanan khusus, hubungan masyarakat, fasilitas proses belajar mengajar, dan ketatausahaan sekolah. Untuk membangun kerja sama yang baik dan perencanaan yang tepat diperlukan personel yang berpengalaman berpengetahuan dalam bidang perencanaan agar dapat menentukan dengan tepat apa yang harus dikerjakan. Banghart dan Trull (1973) mengemukakan rencana sekolah merupakan kegiatan menyeleksi kebutuhan dana, memilih dan melatih tenaga, serta menilai unjuk kerja organisasi untuk memenuhi tujuan. Perencanaan pembelajaran memainkan peranan penting dalam memandu guru untuk melaksanakan tugas profesionalnya sebagai pendidik dalam melayani kebutuhan belajar para
siswanya. Perencanaan pengajaran juga dimaksudkan sebagai langkah awal sebelum proses pembelajaran berlangsung. Seorang guru sebelum masuk ke ruang kelas, sudah mempersiapkan sejumlah materi dan bahan ajar yang akan disampaikan kepada siswa, agar penyampaian materi tersebut sesuai arah dan tujuan yang ditetapkan, maka lebih dulu disusun suatu perencanaan yang feasible dan matang. Dengan kesiapan perencanaan yang matang ini permasalahan teknis dapat diatasi, tinggal guru mengatur skenario pembelajaran yang efektif di kelas sesuai rencana tersebut. Guru sebagai perencana pembelajaran, sering mengabaikan tuntutan atas layanan yang diperlukan, peralatan tertentu, ruangan tertentu, jumlah anggaran yang tersedia, bantuan profesional, dan bantuan teknis yang harus ada pada waktu yang diperlukan. Guru mengabaikan hal tersebut karena beberapa alasan antara lain pemerintah tidak atau belum menyediakan anggaran untuk keperluan pembelajaran tersebut. Prosedur perencanaan pembelajaran ini tentu tidak mudah untuk diterapkan dalam proses perencanaan pembelajaran. Jika dukungan tertentu seperti dana atau fasilitas kelengkapan pembelajaran tidak tersedia, maka keberhasilan dan penerapan dari suatu program baru yang telah dirancang dalam perencanaan pembelajaran menjadi sangat terbatas. Sesudah memiliki konsep-konsep yang akan diajarkan, guru hendaknya merencanakan strategi-strategi pengajaran untuk mengajarkan konsep-konsep itu. Dalam merencanakan, guru harus memutuskan tingkat pencapaian konsep yang mana yang dapat diharapkan dan para siswa. Analisis konsep akan dapat menolong guru dalam hal mi, dan memilih materi pelajaran yang akan diberikan. Jadi perencanaan pembelajaran adalah awal dan semua proses yang rasional sebagai proses penetapan, penyusunan berbagai keputusan penyelenggaraan pembelajaran yang akan dilaksanakan pada masa yang akan d4tang untuk mencapai tujuan pembelajaran dan pemanfaatan sumber sumber daya pendidikan yang tersedia secara terpadu. Artinya perencanaan pembelajaran pada prinsipnya meliputi: (1) menetapkan apa yang mau dilakukan oleh guru, kapan dan bagaimana cara melakukannya dalam implementasi pembelajaran; (2) membatasi sasaran atas dasar tujuan instruksional khusus dan menetapkan pelaksanaan kerja untuk mencapai hasil yang maksimal melalui proses penentuan target pembelajaran; (3) mengembangkan alternatif-alternatif yang sesuai dengan strategi pembelajaran; (4) mengumpulkan dan menganalisis informasi yang penting untuk mendukung kegiatan pembelajaran; dan (5) mempersiapkan dan mengomunikasikan rencana-rencana dan keputusan-keputusan yang berkaitan dengan pembelajaran kepada pihak-pihak yang berkepentingan. Jika prinsip-prinsip ini terpenuhi, secara teoritik perencanaan pembelajaran itu akan memberi penegasan untuk mencapai tujuan sesuai skenario yang disusun. b. Penerapan Fungsi Pengorganisasian dalam Kegiatan Pembelajaran
Kegiatan pengorganisasian pembelajaran bagi tiap guru dalam institusi sekolah dimaksudkan untuk menentukan siapa yang akan melaksanakaii tugas sesuai prinsip pengorganisasian, dengan membagi tanggung jawab setiap personel sekolah dengan jelas sesuai bidang, wewenang, mata ajaran, dan tanggung jawabnya. Dalam hal ini Gorton (1976) mengemukakan pengorganisasian adalah terbaginya tugas ke dalam berbagai unsur organisasi, dengan kata lain pengorganisasian yang efektif adalah membagi habis dan menstrukturkan tugas-tugas ke dalam sub-sub atau komponenkomponen organisasi. Sedangkan Oteng Sutisna (1983:174) menyatakan bahwa pengorganisasian sebagai kegiatan menyusun struktur dan membentuk hubungan-hubungan agar diperoleh kesesuaian dalam- usaha mencapai tujuan bersama. Pengorganisasian ini memberi makna adanya unsur-unsur yang mempersatukan dan memisahkan dengan tujuan, keselarasan, dan keseimbangan. Unsur-unsur yang mempersatukan di antaranya tujuan bersama yang menjadi iktikat bersama untuk mewujudkannya, sedangkan unsurunsur yang memisahkan di antaranya kewenangan membagi-bagikan kekuasaan yang dimiliki, menyerahkan tanggung jawab kepada pihak tertentu, dan memberi pengarahan kepada anggota atau unit dibawah tanggung jawabnya. Jika ditelusuri hubungan pengorganisasian dengan pembelajaran, tampak pada adanya unsur-unsur yang mempersatukan yaitu tujuan bersama yang menjadi iktikat bersama antara guru sebagal pendidik untuk mencapai tujuan pembelajaran dan siswa sebagai peserta didik untuk mencapai tujuan belajar yang dilaksanakan bersama oleh pendidik dan peserta didik. Sedangkan unsur yang memisahkan adalah adanya kewenangan guru dalam menyampaikan pelajaran di lain pihak adanya kewajiban peserta didik untuk mematuhi aturan dalam mengikuti pelajaran. Hal inilah yang harus dijalankan oleh pendidik dan peserta didik dalam proses pembelajaran. Bagi guru dalam merencanakan program pembelajaran dan melaksanakan tugas pembelajaran perlu menstrukturkan model dan perencanaan pembelajaran sesuai aturan atau kaidah pembelajaran, dan memenuhi aspek-aspek edukatif dengan memperhatikan unsur-unsur persatuan dan juga unsur-unsur yang memisahkan. Berikan kesempatan kepada murid-murid untuk mencoba memperaktekkan prinsip-prinsip dan prosedur belajar. Pengorganisasian pembelajaran mi memberi gambaran bahwa kegiatan belajar dan mengajar mempunyai arah dan penanggung jawab yang jelas. Artinya dilihat dan komponen yang terkait dengan pembelajaran pada institusi sekolah memberi gambaran bahwa jelas kedudukan kepala sekolah dalam memberikan fasilitas dan kelengkapan pembelajaran, jelas kedudukan guru untuk menentukan dan mendesain pembelajaran dengan mengorganisasikan alokasi waktu, desain kurikulum, media dan kelengkapan pembelajaran, dan lainnya yang berkaitan dengan suksesnya penyelenggaraan kegiatan belajar. Kemudian jelas kedudukan siswa dalam mengikuti kegiatan
belajar baik di kelas maupun belajar di rumah, di bawah koordinasi guru dan juga orang tua siswa yang berkaitan dengan belajar. Mereka melaksanakan fungsi tugas dan tanggung jawabnya sebagai pendidik berangkat dan kebersamaan untuk memenuhi tujuan pembelajaran sebagai bagian dan tujuan sekolah, dan juga tujuan pendidikan nasional. Dengan kejelasan masing-masing unsur dan komponen pembelajaran mi dimungkinkan kegiatan belajar dan mengajar akan sesuai dengan yang direncanakan baik proses maupun kualitas yang dipersyaratkan. Pengorganisasian pembelajaran mi dimaksudkan agar materi dan bahan ajaran yang sudah direncanakan dapat disampaikan secara maksimal. Dengan demikian jelaslah, pengorganisasian pembelajaran meliputi aspek: (1) menyediakan fasilitas, perlengkapan dan personel yang diperlukan untuk .penyusunan kerangka yang efisien dalam melaksanakan rencana-rencana melalui suatu proses penetapan pelaksanaan pembelajaran yang diperlukan untuk menyelesaikannya; (2) pengelompokan komponen pembelajaran dalam struktur sekolah secara teratur; (3) membentuk struktur wewenang dan mekanisme koordinasi pembelajaran; (4) merumuskan dan menetapkan metode dan prosedur pembelajaran; dan (5) memilih, mengadakan latihan dan pendidikan dalam upaya pertumbuhan jabatan guru dilengkapi dengan sumber-sumber lain yang diperlukan. Pengorganisasian pembelajaran mi memberi gambaran apakah seorang guru mampu mengelola kelas dengan menggunakan teknik dan langkah tertentu seperti yang tertuang dalam perencanaan pengajaran orang dibuatnya sendiri, sehingga proses pembelajaran, berlangsung dengan suasana yang harmonis, edukatif, meaning full, berkualitas, dan mengarah pada pencapaian tujuan yang telah ditentukan. c. Penerapan Fungsi Penggerakan dalam Kegiatan Pembelajaran Menggerakkan (actuating) menurut terry (1977) berarti merangsang anggota-anggota kelompok untuk melaksanakan tugas-tugas dengan antusias dan kemampuan yang baik. Dalam konteks pembelajaran di sekolah tugas menggerakkan dilakukan oleh kepala sekolah sebagai pemimpin instruksional, sedangkan dalam konteks kelas pengerakkan dilakukan oleh guru sebagai penanggung jawab pembelajaran. Oleh karena itu kepala sekolah sebagai pemimpin dan guru sebagai penanggung jawab pembelajaran mempunyai peran yang sangat penting dalam menggerakkan orangorang yang terlibat dalam melaksanakan program belajar dan mengajar pada institusi sekolah. Dengan demikian penggerakan juga dapat diartikan sebagai pelaksanaan dan kepemimpinan bagi sekolah maupun dalam kegiatan pembelajaran. Penggerakan dalam proses pembelajaran dilakukan oleh pendidik dengan suasana yang edukatif agar siswa dapat melaksanakan tugas belajar dengan penuh antusias, dan mengoptimalkan kemampuan belajarnya dengan baik. Peran guru sangat penting dalam menggerakkan dan memotivasi
para siswanya melakukan aktivitas belajar baik itu dilakukan di kelas, di laboratorium, di perpustakaan, peraktek kerja lapangan, dan tempat lainnya yang memungkinkan para siswa melakukan kegiatan belajar. Guru itu tidak hanya berusaha menarik perhatian murid, tetapi juga ia harus meningkatkan aktivitas murid-muridnya melalui pendekatan dan metode pembelajaran yang sesuai pada apa materi pelajaran yang sedang disajikan oleh guru. Sedangkan kepala sekolah sebagai pemimpin instruksional menggerakkan semua personel dan potensi sekolah untuk mendukung sepenuhnya kegiatan pembelajaran yang dikendalikan oleh guru dalam upaya membelajarkan anak didik. Penggerakan yang dilakukan kepala sekolah sebagai pemimpin instruksional dan guru sebagai pemimpin pembelajaran paling tidak meliputi: (1) menyusun kerangka waktu dan biaya yang diperlukan baik untuk institusi maupun pembelajaran secara rinci dan jelas; (2) memprakarsai dan menampilkan kepemimpinan dalam melaksanakan rencana dan pengambilan keputusan; (3) mengeluarkan instruksi-instruksi yang spesifik ke arah pencapaian tujuan; dan (4) membimbing, memotivasi, dan melakukan supervisi oleh kepala sekolah terhadap guru. Membimbing, memotivasi, dan memberi tuntunan atau arahan yang jelas bagi guru terhadap pelayanan belajar terhadap peserta didiknya. d. Penerapan Fungsi Pengawasan dalam Kegiatan Pembelajaran Pengawasan adalah suatu konsep yang luas yang dapat diterapkan pada manusia, benda, dan organisasi. Anthony, Dearden, dan Bedford (1984) mengemukakan bahwa pengawasan dimaksudkan untuk memastikan agar anggota organisasi melaksanakan apa yang dikehendaki dengan mengumpulkan, menganalisis, dan mengevaluasi informasi serta memanfaatkannya untuk mengendalikan organisasi. Jadi pengawasan mi dilihat dan segi input, proses, dan output bahkan outcome. Dalam konteks pembelajaran pengawasan dilakukan oleh kepala sekolah terhadap seluruh kelas apakah terjadi kegiatan belajar mengajar. Kemudian mengawasi pihak-pihak yang terkait dengan pembelajaran apakah dengan sungguh-sungguh memberikan pelayanan kebutuhan pembelajaran. Sedangkan guru melakukan pengawasan terhadap program yang ditentukannya apakah sudah dilaksanakan sesuai rencana yang ditetapkannya sendiri. Jika ada kekeliruan atau ada program yang tidak dapat diselesaikan segera dilakukan perbaikan dalam perencanaannya, sehingga tujuan yang sebelumnya ditentukan tetap secara maksimal dapat dipenuhi. Kaitannya dengan siswanya guru perlu untuk memastikan apakah para siswanya itu melaksanakan kegiatan belajar sesuai yang direncanakan. Untuk keperluan pengawasan ini guru mengumpulkan, menganalisis, dan mengevaluasi informasi kegiatan belajar serta memanfaatkannya untuk mengendalikan pembelajaran sehingga tercapai tujuan belajar.
Perbaikan dapat dilakukan baik sedang berlangsungnya proses pembelajaran, maupun pada program pembelajaran berikutnya sebagai implikasi dan pengawasan pembelajaran yang dilakukan oleh guru maupun kepala sekolah. Jadi, pengawasan dalam perencanaan pembelajaran meliputi: (1) mengevaluasi pelaksanaan kegiatan, dibanding dengan rencana; (2) melaporkan penyimpangan untuk tindakan koreksi dan merumuskan tindakan koreksi, menyusun standar-standar pembelajaran dan sasaran-sasaran; dan (3) menilai pekerjaan dan melakukan tindakan koreksi terhadap penyimpanganpenyimpangan baik insutusional satuan pendidikan maupun proses pembelajaran. Guru harus mengatur pikirannya sendiri yang kacau, ia harus dapat melihat dengan jelas apa-apa yang sedang ia usahakan untuk dikerjakan, dan mengutarakannya dengan cara yang paling logis dan teratur dengan landasan yang benar. e. Tenaga Kependidikan Dalam kegiatan pembelajaran tenaga kependidikan merupakan suatu komponen yang penting dalam penyelenggaraan pendidikan. Guru sebagai tenaga pendidik adalah seseorang atau sekelompok orang yang berprofesi mengelola kegiatan belajar dan mengajar serta seperangkat peran lainnya yang memungkinkan berlangsungnya kegiatan belajar mengajar yang lebih efektif, melalui transfonnasi. Tenaga pendidikan bertugas menyelenggarakan kegiatan mengajar, melatih, meneliti, mengembangkan, mengelola dan/atau memberikan pelayanan teknis dalam bidang pendidikan. Salah satu unsur tenaga pendidikan adalah tenaga pendidik sebagai tenaga pengajar yaitu guru yang tugas utamanya adalah mengajar. Kehadiran guru atau pendidik merupakan motivator, stabilisator, dan komunikator dalam pembelajaran yang tentunya bertujuan mensosialisasikan materi pembelajaran kepada peserta didik, baik berlangsung dalam kelas (sekolah) maupun di luar kelas atau sekolah. Karena tugasnya mengajar, maka dia harus mempunyai wewenang mengajar berdasarkan kualifikasi sebagai tenaga pengajar. Kedudukan guru dipahami demikian penting sebagai ujung tombak dalam pembelajaran dan pencapaian mutu hasil belajar peserta didik. Guru bukan lagi pemain tunggal atau sebagai tenaga pendidik satu-satunya yang menentukan gairah belajar dalam proses pembelajaran di sekolah, melainkan Ia mempunyai banyak mitra, yaitu tenaga kependidikan bukan guru (non teaching slaffi.
Tenaga kependidikan bukan guru tidak hanya menyangkut mereka yang bertugas di sekolah saja, tetapi juga yang bertugas di luar sekolah. Tenaga kependekan dapat dibedakan sebagai tenaga fungsional kependidikan dan tenaga teknis. Tenaga fungsional merupakan tenaga-tenaga kependidikan yang menempati jabatan-jabatan fungsional, yakni jabatan-jabatan yang dalam pelakan pekerjaan keahlian akademis kependidikan seperti guru, konselor, supervisor, ahli kurikulum, peneliti pendidikan, dan sebagainya, Sedangkan tenaga teknis kependidikan merupakan tenaga kependidikan yang dalam pelaksanaan pekerjaan lebih dituntut kecakapan-kecakapan teknis operasional dan administratif seperti pustakawan, laboran sekolah, teknisi bengkel kerja di sekolah, dan lain sebagainya. Semua tenaga kependidikan tersebut secara langsung maupun tidak langsung mempengaruhi dan menentukan kinerja sekolah. Sebagai tenaga kependidikan dan tenaga pengajar, setiap guru dalam melaksanakan tugas pengajar harus memiliki kemampuan profesional dalam proses belajar mengajar atau pembelajaran. Kemampuan mi sebagai gambaran bahwa guru itu merupakan pekerjaan yang membutuhkan keahlian. Dengan kemampuan itu, guru dapat melakukan perannya sesuai standar kinerja guru sebagai tenaga profesional. Profesional guru dikembangkan dan kompetensi dasar yang memiliki ciri-ciri: (1) kepribadian yang prima; (2) kemampuan untuk memotivasi peserta didik; (3) kemampuan manajemen pembelajaran secara utuh; (4) kemampuan untuk mengekspressikan gagasan-gagasan; dan (5) memiliki kemampuan menggunakan media maupun peralatan belajar terkini, pendekatan belajar, dan metodologi pendidikan. Guru dikatakan kompeten jika ia menguasai dan memiliki kecakapan profesional keguruan, ditandai dengan keahliannya selaras dengan tuntutan bidang ilmu yang menjadi tanggung jawabnya. Atas dasar kedudukan profesional itu guru mempunyai wewenang dalam pelayanan belajar dan pelayanan sosial di masyarakat. Standar kinerja guru menurut Gaffar (1987:159) ada tiga bidang, yakni: (1) content knowledge; (2) behavior skills; dan (3) human relation skills. Sementara itu Rochman dan Sanusi (1991) menyebutkan tugas dan kinerja guru mencakup aspek: (1) kemampuan profesional, yang meliputi penguasaan materi ajar dan hulu hingga hum, dan filosofi, konsep dasar, landasan keilmuan, keguruan, dan proses pembelajaran; (2) kemampuan sosial, meliputi kemampuan untuk berinteraksi dengan lingkungan dan menyesuaikan diri dengannya; dan (3) kemampuan individual, yang meliputi sikap, penampilan, pemahaman, dan penghayatan terhadap materi ajar, serta kesediaan menjadi teladan atau panutan bagi para siswanya. Kompetensi atau kemampuan adalah performansi yang mengarah pada pencapaian tujuan secara tuntas menuju kondisi yang diinginkan. Makna dan kondisi performansi mengandung perilaku yang bertujuan dan melebihi dan apa yang dapat diamati, mencakup proses berpikir, menilai, dan
mengambil keputusan Kompetensi dapat diklasifikasikan menjadi: (1) kompetensi dasar untuk memelihara dan memenuhi kebutuhan hidup; (2) kompetensi umum untuk bisa hidup bersama di masyarakat; (3) kompetensi teknis maupun keterampilan untuk melakukan suatu pekerjaan atau kegiatan; dan (4) kompetensi profesional untuk penentuan keputusan, berisi serangkaian kegiatan analisis sintesis, penggunaan pengetahuan dan pengalaman, pemikiran dan kreativitas. Kompetensi bersifat unik untuk setiap orang, mengingat isi kompetensi-kompetensi teknis dan profesional berbeda, demikian juga spektrum setiap komponen potensi tiap individu berbeda. Kompetensi keguruan termasuk kompetensi profesional, sebab dalam melaksanakan tugasnya membutuhkan analisis dan sintesis atas dasar pengetahuan dan pengalamannya, dalam melaksanakan pelayanan belajar membutuhkan pemikiran dan kreativitas. Dengan demikian mengajar adalah mengusahakan agar terjadi perubahan perilaku siswa yang spesifik. Tenaga pendidikan pada umumnya terdiri dari guru, pengelola kurikulum, konselor, supervisor, kepala sekolah dan tenaga fungsional kependidikan lainnya sesuai aturan. B. Prinsip Perencanaan Pengajaran 1. Prinsip- Prinsip Pengajaran dalam Perencanaan Pengajaran Setiap teori belajar mempunyai prinsip-prinsip belajar mengajar sendiri, yang mungkin sama ataupun berbeda dengan teori yang lain. Dalam kegiatan belajar mengajar, guru tidak hanya menggunakan satu pendekatan ataupun metode mengajar, tetapi menggunakan beberapa metode yang mungkin berasal dan teori psikologi atau teori belajar mengajar yang sama, mungkin juga dan teori yang berbeda. Ada beberapa prinsip pengajaran yang secara relatif berlaku umum di antaranya adalah prinsip perkembangan, perbedaan individu, minat dan kebutuhan aktivitas, dan motivasi. a. Prinsip Perkembangan Pada prinsipnya siswa yang sedang belajar di kelas berada dalam proses perkembangan, dan akan tents berkembang yang berarti perubahan. Kemampuan anak pada jenjang usia dan tingkat kelas berbeda-beda sesuai perkembangannya. Anak pada jenjang usia atau kelas yang lebih tinggi, memiliki kemampuan lebih tinggi dan yang di bawahnya. Pada waktu memilih bahan dan metode mengajar, guru hendaknya memperhatikan dan menyesuaikan dengan kemampuan anak. Karena perubahan ada yang cepat dan ada yang lambat. Oleh karena itu guru hendaknya mengerti dan bersabar dalam melaksanakan tugas pelayanan belajar bagi para muridnya. Bila pada suatu saat siswa belum memperhatikan kemajuannya, mungkin membutuhkan satu minggu atau lebih baru kemudian anak dapat mengalami kemajuan yang berarti. Tantangan inilah yang menjadi bagian penting dan profesi seorang guru dalam melaksanakan tugas pembelajaran. b. Prinsip Perbedaan Individu
Seorang guru yang menghadapi 30 orang siswa di kelas, sebenarnya bukan hanya menghadapi ciri-ciri satu kelas siswa, melainkan juga menghadapi 30 perangkat ciri-ciri siswa. Tiap orang siswa memiliki ciri-ciri dan pembawaan-pembawaan yang berbeda, menerima pengaruh dan perlakuan dan keluarganya yang masing-masing juga berbeda. Ada siswa yang memiliki badan tinggi kurus, gemuk pendek, cekatan atau lamban, kecerdasan tinggi atau sedang, berbakat dalam beberapa mata pelajaran tertentu, dalam mata pelajaran lainnya kurang berbakat, tabah dan ulet, mudah tersinggung, periang atau pemurung, bersemangat, acuh tak acuh, dan ciri-ciri perilaku lainnya. Untuk dapat memberikan bantuan belajar bagi siswa, maka guru harus dapat memahami dengan benar ciri-ciri para siswanya tersebut. Baik dalam menyiapkan dan menyajikan pelajaran maupun dalam memberikan tugas-tugas dan pembimbingan belajar siswa. Guru hendaknya dapat menyesuaikan dengan ciri-ciri siswanya masing-masing, dalam model pengajaran berprogram atau modul, penyesuaian belajar dengan perbedaan individu mi sepenuhnya dapat dilakukan oleh guru, karena cara belajarnya individual. Dalam pembelajaran bersifat klasikal, seperti yang umumnya dilaksanakan di sekolah-sekolah, penyesuaian pelajaran dengan perbedaan individual sangat terbatas. Pada model pembelajaran klasikal umumnya guru-guru pada jam pelajaran yang sama, dalam suatu kelas guru mengajarkan bahan dan materi yang sama dengan cara yang sama untuk semua siswa pada kelas tersebut, sehingga perbedaan individu tersebut cenderung diabaikan. Karena itu guru harus mampu mengombinasikan kegiatan pelayanan kelas dengan pelayanan belajar individual dengan serasi, yaitu mendesain prosedur maupun alokasi tanggung jawabnya. Pembelajaran model klasikal mi dapat disempurnakan dengan cara: (1) guru menggunakan metode atau strategi belajar mengajar yang bervariasi, sebab dengan variasi tersebut diharapkan beberapa perbedaan kemampuan anak dapat terlayani; (2) menggunakan alat dan media pengajaran yang dapat membantu siswa khususnya yang mempunyai kelemahan tertentu. Anak yang kemampuan berpikir abstraknya kurang, dapat dibantu dengan peraga yang konkret, anak yang pendengarannya kurang dapat dibantu dengan penglihatan, dan sebagainya; (3) guru memberikan bahan pelajar n tambahan kepada anak-anak yang pandai, untuk mengimbangi kepandaiannya. Bahan-bahan tersebut dapat berupa bahan bacaan, soal-soal yang harus dipecahkan, dan sebagainya; (4) guru memberikan bantuan atau bimbingan khusus kepada anak-anak yang kurang pandai atau lambat dalam belajar yang dilakukan dalam jam pelajaran maupun di luar jam pelajaran; dan (5) pemberian tugas-tugas disesuaikan dengan minat dan kemampuan anak. Anak yang lebih pandai bobot tugasnya lebih sukar dibanding anak yang kurang pandai. Kelima cara-cara tersebut penerapannya tidaklah kaku, tetapi neksibel atau lugas, untuk lebih memberi dinamika belajar yang lebih bervariasi, cara-cara tersebut telah dimasukkan dalam perencanaan pembelajaran.
c. Minat dan Kebutuhan Anak Setiap anak mempunyai minat dan kebutuhan sendiri-sendiri, anak di kota misalnya berbeda minat dan kebutuhan dengan anak di desa, demikian juga anak di daerah pantai berbeda minat dan kebutuhannya dengan anak di, demikianlah seterusnya. Dalam hal pembelajaran, bahan ajaran dan sampaian sedapat mungkin disesuaikan dengan minat dan kebutuhan tersebut. Walaupun hampir tidak mungkin menyesuaikan pengajaran dan minat dan kebutuhan setiap siswa, meskipun demikian sedapat mungkin perbedaan-perbedaan minat dan kebutuhan tersebut dapat dipenuhi. Pembelajaran perlu memperhatikan minat dan kebutuhan, sebab keduanya akan di penyebab timbulnya perhatian. Sesuatu yang menarik minat dan dibutuhkan anak, tentu akan menarik perhatiannya, dengan demikian mereka akan bersungguh-sungguh dalam belajar. d. Aspek Motivasi dalam Perencanaan Pembelajaran Setiap perbuatan termasuk perbuatan belajar didorong oleh sesuatu atau beberapa motif. Motif atau biasa juga disebut dorongan atau kebutuhan, merupakan suatu tenaga yang berada pada din individu atau siswa yang mendorongnya untuk berbuat mencapai suatu tujuan. Tenaga pendorong atau motif pada seseorang mungkin cukup besar, sehingga tanpa motivasi dan luar dia sudah bisa berbuat. Orang atau siswa tersebut disebut memiliki motif internal, pada orang atau siswa lain, mungkin saja tenaga pendorong internal mi kecil sekali, sehingga ia membutuhkan motivasi dan luar, yaitu dan guru, orang tua, teman, buku-buku, dan sebagainya. Orang atau siswa seperti itu membutuhkan motif eksternal atau dorongan motivasi dan luar dirinya. Motif memiliki peranan yang cukup besar dalam upaya belajar Tanpa motif hampir tidak mungkin siswa melakukan kegiatan belajar. Ada beberapa upaya yang dapat dilakukan guru dalam perencanaan pengajaran untuk membangkitkan belajar para siswa yaitu: (1) mempersiapkan untuk menggunakan cara atau metode dan media mengajar yang bervariasi. Dengan metode dan media yang bervariasi kebosanan dapat dikurangi atau dibilangkan; (2) merencanakan dan memilih bahan yang menarik minat dan dibutuhkan siswa. Sesuatu yang dibutuhkan akan menarik perhatian, pemenuhan kebutuhan belajar ini akan membangkitkan motif untuk mempelajarinya; (3) memberikan sasaran antara, sasaran akhir belajar adalah lulus ujian atau naik kelas. .Sasaran akhir baru dicapai pada akhir tahun, untuk membangkitkan motif, diadakan sasaran antara seperti ujian semester, tengah semester, ia1ast akhir, kuis, dan sebagainya; (4) memberikan kesempatan untuk sukses. Bab atau soal-soal yang sulit hanya bisa diterima atau dipecahkan oleh siswa pandai, siswa kurang pandai sukar menguasai atau memecahkannya, itu perencanaan pembelajaran harus dilihat dan kesesuaian minat kemampuan belajar anak.
Agar siswa yang kurang pandai juga bisa menguasai dan memecahkan soal, maka berikan bahan/soal yang sesuai dengan kemampuannya. Keberhasilan yang dicapai siswa dapat menimbulkan kepuasan dan kemudian membangkitkan motif, (5) diciptakan suasana belajar yang menenangkan, suasana belajar yang hangat berisi rasa persahabatan, ada rasa humor, pengakuan akan keberadaan siswa, terhindar dani celaan dan makian, dapat membangkitkan motif, dan (6) adakan persaingan sehat, peisalng3n atau kompetisi yang sehat dapat membangkitkan motivasi belajar. Siswa dapat bersaing dengan hasil belajarnya sendiri atau dengan basil yang dicapai oleh orang lain. Dalam persaingan mi dapat diberikan ujian, ganjaran ataupun hadiah. 2. Konsep Pendekatan Sistem dalam Pengajaran Pengajaran sebagai suatu sistem merupakan suatu pendekatan mengajar yang menekankan hubungan sistematik antara berbagai komponen dalam pengajaran. Hubungan sistematik mi mempunyai arti bahwa komponen yang terpadu dalam suatu pengajaran sesuai dengan fungsinya saling berhubungan satu sama lain dan membentuk suatu kesatuan. Dalam pengajaran sebagai suatu sistem, langkah perencanaan program pengajaran memegang peranan yang sangat penting, sebab menentukan langkah pelaksanaan dan evaluasi. Keterpaduan pengajaran sebagai sistem bukan hanya antara komponen-komponen proses belajar mengajar, tetapi juga antara langkah yang satu dengan langkah berikutnya. Dilihat dan konsep pendekatan sistem, bahwa bahan ajar berkaitan dengan kurikulum, kegiatan belajar mengajar, teknik dan metode pengajaran, kenyamanan dan suasana pembelajaran, sarana dan prasarana belajar yang layak dan mendukung berlangsungnya pembelajaran dengan baik dan menyenangkan. a. Perencanaan Tujuan-TUjuan Instruksional Program semester merupakan rencana pembelajaran yang disusun untuk setiap mata pelajaran yang berlangsung selama satu semester. Langkah-langkah penyusunan program semester ini hampir sama dengan program tahunan yaitu: (1) membaca dan memahami program semester dalam satu tahun; (2) menganalisis kemampuan dasar dan materi pokok dengan merumuskan indikator pencapaian hasil belajar siswa pada setiap semester yang diprogram; dan (3) menentukan alokasi waktu setiap kemampuan dasar berdasarkan kalender pendidikan yang ditetapkan. Program mingguan merupakan rencana pelajaran yang disusun untuk satu minggu yang merupakan bagian integral dan program semester untuk setiap mata pelajaran. Perlu dihitung bahwa pertemuan pada satu semester itu terdiri dari 18 minggu, untuk itu perlu dicermati apakah ada kemungkinan pada minggu tertentu tidak efektif untuk belajar seperti bertepatan pada hari besar nasional ataupun hari besar keagamaan, karena itu perlu dihitung secara cermat pertemuan efektif yang dapat dilakukan dalam satu semester dalam menentukan alokasi waktu penyampaian pokok
bahasan. Sebagai solusinya harus hati-hati dalam merumuskan program harian yaitu rencana pelajaran yang disusun untuk setiap mata pelajaran yang berlangsung selama satu hari dalam mata pelajaran tertentu. Pembelajaran merupakan aktivitas guru dan peserta didik sebagai proses interaksi untuk mencapai tujuan pembelajaran. Karena itu, rancangan pembelajaran yang efektif terletak pada dua hal yaitu: (1) pemilihan stimulus diskriminatif dan penggunaan penguatan. Pemilihan stimulus dalam pembelajaran di kelas meliputi dua hal penting yaitu diskriminasi stimulus dan generalisasi stimulus, hal mi merupakan prasyarat penting bagi pembelajar untuk dapat memperoleh tingkah laku verbal yang lebih rumit; dan (2) memberikan penguatan agar belajar lebih efektif. Apabila seorang guru akan mengajarkan bahan pengajaran mengenai setiap pokok bahasan kepada siswa-siswanya, maka guru tersebut harus mengadakan persiapan terlebih dahulu. Hal ini dimaksudkan agar proses pembelajaran dapat berlangsung dengan lancar, sehingga tujuan yang telah ditetapkan dapat dicapai. Pembelajaran di sini merupakan interaksi semua komponen atau yang terdapat dalam upaya belajar mengajar yang satu sama saling berhubungan dalam ikatan untuk mencapai tujuan. Komponen pembelajaran ini antara lain meliputi tujuan pengajaran yang hendak dicapai, belajar mengajar, media dan alat pengajaran, dan evaluasi belajar yang standar sebagai alat ukur kemajuan belajar siswa: Tujuan merupakan penjabaran dani tujuan pendidikan nasional. Tujuan didikan nasional menggambarkan kepribadian ideal seorang warga negara Indonesia. karena itu, dalam mempersiapkan rencana pembelajaran, yang pertama dilakukan oleh guru adalah merumuskan tujuan umum pelajaran yang akan dicapai. Langkah berikutnya adalah menyiapkan pokok-pokok materi dan bahan ajar dalam kegiatan pembelajaran, menetapkan media dan alat pengajaran yang dapat digunakan memperjelas dan mempermudah memahami materi pelajaran oleh siswa yang disampaikan oleh guru, kemudian menyusun alat evaluasi yang akan digunakan dalam menilai seberapa jauh tujuan-tujuan pembelajaran telah atau belum tercapai. Tujuan pengajaran merupakan titik awal yang sangat penting dalam pembelajaran, sehingga baik arti maupun jenisnya perlu dipahami betul oleh setiap guru maupun calon guru. Tujuan pengajaran pakan komponen utama yang terlebih dahulu harus dirumuskan oleh guru dalam pembelajaran, karena merupakan sasaran dan proses pembelajaran. Karena itu tujuan pembelajaran atau tujuan instruksional sering juga makan sasaran belajar. Sebelumnya tujuan pembelajaran diartikan sebagai suatu upaya perididik atau guru dalam hubungan dengan tugas-tugasnya membina peserta didik seperti meningkatkan kemampuan baca siswa melatih, keterampilan tangan siswa, atau menumbuhkan sikap disiplin dan percaya diri dikalangan siswa. Dewasa ini menurut Ibrahim dan Nana Syaodih 1996:69) tujuan pembelajaran lebih diartikan sebagai
perilaku hasil belajar yang diharapkan dimiliki para siswa setelah mereka menempuh proses pembelajaran seperti siswa-siswa: (1) memiliki kemampuan membaca yang lebih. baik; (2) bersikap disiplin dan percaya diri; (3) dapat memecahkan persamaan kuadrat; (4) gemar membuat kerajinan tangan dan tanah liat; (5) dapat mengemukakan cara-cara yang tepat untuk mencegah timbulnya penyakit disentri (6) dapat menuliskan contoh-contoh kalimat tunggal dalam bahasa Indonesia; (7) dan lain sebagainya. Dari contoh tersebut menunjukkan bahwa pada waktu yang lalu tujuan pengajaran diartikan sebagai suatu proses yang dilakukan oleh guru, sedangkan dewasa mi tujuan pembelajaran lebih diartikan sebagai suatu produk atau hasil yang dicapai oleh siswa. Dengan kata lain, tujuan pembelajaran pada waktu yang lalu berpusat pada pendidik atau guru, sedangkan tujuan pembelajaran dewasa mi selalu berpusat pada peserta didik atau siswa. Dengan berpusatnya tujuan pembelajaran kepada siswa, keberhasilan pembelajaran lebih banyak dinilai dan seberapa jauh perubahanperubahan perilaku yang diinginkan telah terjadi pada diri siswa. Tentu saja tugas seorang guru tidak berakhir jika para siswanya telah memiliki perilaku yang diharapkan sebagai hasil dan proses pembelajaran yang telah ditempuh. Tujuan pembelajaran yang berpusat pada siswa dirasakan dapat memberikan petunjuk yang terarah bagi perkembangan alat evaluasi belajar, memilih materi dan kegiatan pembelajaran, penetapan media dan alat pengajaran. Dilihat dan kawasan (domain) atau bidang yang dicakup, tujuan-tujuan .pendidikan dapat dibagi atas: 1) Tujuan Kognitif Beberapa ahli psikologi dan ahli pendidikan berpendapat, bahwa konsepsi-konsepsi tentang belajar yang telah dikenal, tidak satupun yang mempersoalkan proses-proses kognitif yang terjadi selama belajar. Proses-proses semacam itu menyangkut insight, atau berpikir dan reasoning, atau menggunakan logika deduktif dan induktif. Walaupun konsepsi-konsepsi lain tentang belajar dapat diterapkan pada hubungan-hubungan stimulus dan respons yang erbitrer dan tak logis. para ahli psikologi dan pendidikan mi berpendapat, bahwa lebih banyak dibutuhkan untuk menjelaskan belajar tentang hubungan-hubungan yang logis, rasional, atau non anbitrer. Pendekatan-pendekatan kognitif tentang belajar memusatkan pada proses perolehan konsepkonsep, pada sifat dan konsep-konsep, dan pada bagaimana konsep-konsep itu disajikan dalam struktur kognitif. Walaupun pada teori awan kognitif memikirkan kondisi-kondisi yang memperlancar pembentukan konsep, penekanan mereka ialah pada proses-proses internal yang digunakan dalam belajar konsep-konsep. Tingkah laku seseorang senantiasa didasarkan pada kognisi, yaitu tindakan mengenal atau memikirkan situasi dimana tingkah laku itu terjadi. Segala upaya yang
menyangkut kegiatan atau aktivitas otak termasuk ke dalam ranah kognitif. Dalam situasi belajar, seseorang terlibat langsung dalam situasi kognitif dan memperoleh insight untuk memecahkan masalah: Tujuan-tujuan kognitif adalah tujuan-tujuan yang lebih banyak berkenaan dengan perilaku dalam aspek berpikir/intelektual. Menurut Benjamin Bloom ada enam tingkatan dalam domain kognitif yang berlaku juga .untuk tujuan-tujuan dalam domain ini yaitu: (1) pengetahuan/ingatan (knowledge), aspek ini mengacu pada kemampuan mengenal dan mengingat materi yang sudahi dipelajari dan yang sederhana sampai pada hal-hal yang sukar. Pada umumnya unsur pengetahuan ini menyangkut halhal yang perlu diingat seperti bahasan, peristilahan, ide, gejala, rumus-rumus, pasal, hukum, dan, nama orang, nama tempat, dan lain-lain. Penguasaan hal tersebut memerlukan hapalan dan ingatan, akan hal-hal yang pernah dipelajari meliputi fakta, kaidah, prinsip, dan metode yang diketahui. Tujuan dalam tingkatan pengetahuan mi termasuk kategori paling rendah dalam domain kognitif (2) pemahaman (comprehension), aspek pemahaman mi mengacu pada kemampuan untuk mengerti dan memahami sesuatu setelah sesuatu itu diketahui atau diingat dan memaknai arti dari bahan maupun materi yang dipelajari. Pada umumnya unsur pemahaman ini menyangkut kemampuan menangkap makna suatu konsep dengan kata-kata sendiri. Pemahaman dapat dibedakan menjadi tiga kategori yakni penerjemahan (translation) misalnya dari lambang ke anti, penafsiran (interpretation), dan ekstrapolasi (extrapolation) yaitu menyimpulkan dan sesuatu yang telah diketahui. Dalam hal ini, siswa dituntut untuk memahami atau mengerti .apa yang diajarkan, mengetahui apa yang sering dikomunikasikan, dan dapat memanfaatkan isinya tanpa keharusan menghubungkannya dengan hal-hal yang lain. Aspek ini setingkat lebih tinggi dan pengetahuan sehingga untuk mencapai tujuan dalam tingkatan pemahaman ini dituntut keaktifan belajar murid yang lebih banyak; (3) penerapan/aplikasi (application), aspek ini mengacu pada kemampuan menggunakan atau menerapkan pengetahuan atau menggunakan ide-ide umum, metode-metode, prinsip-prinsip, rumus-rumus, teori-teori, dan sebagainya yang sudah dimiliki pada situasi baru dan konkret. yang menyangkut penggunaan aturan, prinsip, dan sebagainya dalam memecahkan persoalan tertentu. Dalam aplikasi harus ada konsep, teori, hukum, rumus, kemudian diterapkan atau digunakan dalam memecahkan suatu persoalan. Tujuan dalam aspek setingkat ini lebih tinggi daripada tujuan dan aspek pemahaman, sehingga kegiatan pembelajaran yang dituntut pun lebih tinggi (4) analisis (analysis), aspek ini mengacu pada kemampuan mengkaji atau menguraikan sesuatu bahan atau keadaan ke dalam komponen-komponen atau bagian-bagian yang lebih spesifik, serta mampu memahami hubungan di antara bagian yang satu dengan yang lain, sehingga struktur dan aturannya dapat lebih dipahami. Kemampuan ini merupakan akumulasi atau
kumpulan pengetahuan, pemahaman, dan aplikasi. Kemampuan analisis ini dapat di klasifikasikan menjadi tiga kelompok yaitu analisis unsur, analisis hubungan. dan analisis prinsip-prinsip yang terorganisasi. Dengan demikian, keaktifan belajar siswa lebih tinggi daripada keaktifan belajar yang dituntut aspek aplikasi; (5) sintesis (synthesis), aspek mengacu pada kemampuan memadukan berbagai konsep atau komponen, sehingga membentuk suatu pola struktur atau bentuk baru. Sintesis menuntut adanya kriteria untuk menemukan pola dan struktur organisasi yang dimaksud, sintesis adalah lawan dan analysis. Aspek sintesis ini memerlukan tingkah laku yang kreatif, kemampuan sintesis (membentuk) relatif lebih tinggi dan kemampuan analisis (menuraikan), sehingga untuk menguasainya diperlukan kegiatan belajar yang lebih kompleks; dan (6) evaluasi (evaluation), aspek mi mengacu pada kemampuan memberikan pertimbangan atau penilaian terhadap gejala atau peristiwa berdasarkan norma-norma atau patokan-patokan berdasarkan kriteria tertentu. Kriteria yang digunakan dapat bersifat intern yaitu berasal dan situasi atau keadaan yang dievaluasi itu sendiri, dan kriteria ekstern yaitu kriteria yang berasal dan luar keadaan atau situasi yang dievaluasi tersebut. Hasil belajar dalam tingkatan ini merupakan basil belajar yang tertinggi dalam domain kognitif, sehingga memerlukan semua tipe hasil belajar tingkatan sebelumnya yaitu pengetahuan, pemahaman, aplikasi, analysis, dan sintesis. Dengan demikian, kegiatan belajar yang dituntut untuk mencapai tujuan dalam tingkatan mi jelas lebih tinggi lagi. 2) Tujuan Afektif Tujuan-tujuan afektif adalah tujuan-tujuan yang banyak berkaitan dengan aspek perasaan, nilai, sikap, dan minat perilaku peserta didik atau siswa. Sikap seseorang dapat diramalkan perubahannya apa bila ia telah memiliki penguasaan kognitif tingkat tinggi. Ciri-ciri belajar afektif akan tampak pada siswa dalam berbagai tingkah laku, seperti perhatiannya terhadap pelajaran etika dan moral yang akan meningkatkan kedisiplinannya dalam mengikuti pelajaran lainnya di sekolah. Menurut Krathwohl, Bloom, dan Manusia bahwa domain afektif berdasar lima kategori yaitu: (1) penerimaan (receiving), aspek ini mengacu pada kepekaan dan kesediaan menerima dan menaruh perhatian terhadap nilai tertentu, seperti kesediaan menerima norma-norma disiplin yang berlaku di sekolah. Penerimaan merupakan tingkat hasil belajar terendah dalam domain afektif (2) pemberian respons (responding), aspek mi mengacu pada kecenderungan memperlihatkan reaksi terhadap norma tertentu. Menunjukkan kesediaan dan kerelaan untuk merespons, memperhatikan secara aktif, turut berpartisipasi dalam suatu kegiatan, serta merasakan kepuasan dalam merespons, misalnya mulai berbuat sesuai tata tertib disiplin yang telah diterimanya, aspek mi satu tingkat di atas penerimaan; (3) penghargaan/penilaian (valuing), aspek mi mengacu pada kecenderungan menerima suatu norma tertentu, menghargai suatu norma, memberikan penilaian terhadap sesuatu dengan memposisikan dii
sesuai dengan penilaian itu, dan mengikat diri pada suatu norma. Siswa misalnya, telah memperlihatkan perilaku disiplin yang menetapkan dan waktu ke waktu. Tujuan-tujuan dalam aspek ini dapat diklasifikasikan sebagai sikap dan apresiasi, aspek mi berada satu tingkat diatas pemberian respons; (4) pengorganisasian (organization), aspek mi mengacu pada proses membentuk konsep tentang suatu nilai serta menyusun suatu sistem nilai-nilai dalam dininya. Pada taraf mi seseorang mulai memilih nilai-nilai yang ia sukai, misalnya tentang norma- norma disiplin tersebut, dan menolak nilai-nilai yang lain, aspek mi satu tingkat di atas penghargaan; dan (5) karakterisasi (characterization) yaitu pembentukan pola hidup, aspek ini mengacu pada proses mewujudkan nilainilai dalam pribadi sehingga merupakan watak, dimana norma itu tercermin dalam pribadinya. Dalam taraf ini perilaku disiplin, misalnya betul-betul telah menyatu dalam dininya, aspek ini merupakan tingkat paling tinggi dani domain afektif. Belajar afektif berbeda dengan belajar intelektual dan ketrampilan atau disebut belajar kognitif, karena segi afektif sangat bersifat subjektif, lebih mudah berubah, dan tidak ada materi khusus yang harus dipelajari, karena lebih menekankan segi penghayatan dan apresiasi. Setiap orang memiliki sejumlah nilai, baik yang jelas atau terselubung, disadari atau tidak. Nilai-nilai yang demikian mi ada yang tersembunyi, dan ada pula yang dapat dinyatakan secara eksplisit, nilai juga bersifat multi dimensional ada yang relatif dan ada yang absolut. sifat-sifat yang demikian inilah yang menjadi penting dalam merumuskan tujuan belajar afektif. 3) Tujuan Psikomotor Ranah psikomotorik adalah ranah yang berkaitan dengan keterampilan (skill) atau kemampuan bertindak setelah seseorang menerima pengalaman belajar tertentu. Tujuan-tujuan psikomotor adalah tujuan-tujuan yang banyak berkenaan dengan aspek keterampilan motorik atau gerak dan peserta didik atau siswa. Hasil belajar psikomotor mi sebenarnya merupakan kelanjutan dan hasil belajar kognitif (memahami sesuatu) dan hasil belajar afektif (kecenderungan untuk berperilaku). Menurut Elizabeth Simpson domain psikomotor terbagi atas tujuh kategori yaitu: (I) persepsi (perception), aspek mi mengacu pada penggunaan alat drior untuk memperoleh kesadaran akan suatu objek atau gerakan dan mengalihkannya ke dalam kegiatan atau perbuatan. Dalam bermain badminton misalnya, siswa menggunakan indera penglihatan, pendengaran, dan sentuhan untuk dapat menyadari unsur-unsur fisik dan permainan tersebut. Aspek ini merupakan tingkatan yang paling rendah dalam domain psikomotor: (2) kesiapan (set), aspek ini mengacu pada kesiapan memberikan respons secara mental. fisik, maupun perasaan untuk suatu kegiatan. Kesiapan fisik dan mental
misalnya, pada saat seseorang sedang mengambil ancang-ancang sebelum melakukan service pada permainan badminton, aspek mi berada satu tingkat diatas persepsi: (3) respons terbimbing (guided response), aspek mi mengacu pada pemberian respons perilaku, gerakan-gerakan yang diperlihatkan dan didemonstrasikan sebelumnya. Siswa-siswa yang memperhatikan pukulan-pukulan service dalam permainan badminton dengan cara tertentu berdasarkan petunjuk-petunjuk yang diperlihatkan oleh gurunya. merupakan salah satu contoh dan respons terbimbing, aspek ini berada satu tingkat di atas kesiapan: (4) mekanisme (mechanical response), aspek ini mengacu pada keadaan dimana respons fisik yang dipelajari telah menjadi kebiasaan. Siswa yang selalu melakukan pukulan service dalam permainan badminton dengan cara-cara tertentu sesuai dengan apa yang dipelajarinya, merupakan contoh dan aspek mekanisme. aspek ini berada satu tingkat di atas respons terbimbing; (5) respons yang kompleks (complex response), aspek ini mengacu pada pemberian respons atau penampilan perilaku atau gerakan yang cukup rumit dengan terampil dan efisien. Siswa yang terampil melakukan pukulan service secara akurat. Tanpa membuat kesalahan selama permainan, merupakan salah satu contoh respons yang kompleks, aspek mi berada satu tingkat diatas mekanisme; (6) penyesuaian pola gerakan atau adaptasi (adjustment), aspek ini mengacu pada kemampuan menyesuaikan respons atau perilaku gerakan dengan situasi yang baru. Setelah menguasai permainan badminton dengan lawanlawan tertentu. siswa dapat menerapkan dan menggunakan keterampilan yang telah dikuasainya dalam menghadapi lawan-lawan yang lain aspek ini berada satu tingkat diatas respons yang kompleks; dan (7) organisasi, aspek ini mengacu pada kemampuan menampilkan pola-pola gerak gerik yang baru, dalam arti menciptakan perilaku dan gerakan yang baru dilakukan atas prakarsa atau inisiatif sendiri. Setelah cukup lama belajar dan berlatih badminton, siswa dapat menciptakan cara pukulan service yang unik berbeda dan yang lain (original), aspek mi menduduki tingkatan yang paling tinggi dalam domain psikomotor (Ibrahim dan Nana Syaodih, 1996:77). Di samping cara-cara penggolongan di atas, terdapat pula cara-cara penggolongan yang dikemukakan oleh ahli-ahli yang lain. Dengan memperhatikan penggolongan tujuan-tujUan tersebut, diharapkan dapat diperoleh gambaran tentang lingkup dan tingkatan tujuan4UJU pengajaran yang dapat dikembangkan dalam penyelenggaraan pembelajaran. Karena itu perencanaan program pembelajaran baik dalam penyusunan bahan, penentuan metode dan pendekatan, penentuan media dan perlengkapan pengajaran, dan penentuan alokasi waktu belajar mengacu pada penggolongan tujuan-tujUan tersebut yaitu aspek kognitif, afektif, dan psikomotorik. b. Perencanaan Materi dan Bahan-Bahan Pengajaran Untuk mencapai hasil yang memuaskan dalam penyajian bahan pembe1ajaran telah diadakan penelitian yang menyatakan bahwa pengalaman praktis para guru selama beberapa generasi dapat
dibuktikan bahwa, prosedur pemanfaatan alat dan bahan pengajaran haruslah: (1) pemeriksaan awal, bahan pengajaran yang akan digunakan harus diperiksa lebih dahulu, supaya guru dapat menentukan apakah bahan tersebut dapat berguna bagi siswa dalam mencapai tujuan; (2) persiapan lingkungan, dimanapun penyajian bahan pengajaran akan berlangsung, semua perlengkapan harus ditempatkan pada tempat yang baik dan benar. Hal-hal penting yang pendukung suasana-belajar harus dipikirkan betul-betul. Dalam menggunakan media yang memakai tenaga listrik dalam penyampaian bahan peralatan harus dicek apakah semua peralatan dapat bekerja dengan baik, dan guru harus mengatur peralatan tersebut sedemikian rupa sehingga semua siswa dapat melihat dan mendengar dengan baik; (3) persiapan siswa, dan pengalaman dan penelitian dapat membuktikan bahwa apa yang dapat dipelajari dan sesuatu sangat tergantung dan bagaimana para siswa dipersiapkan untuk menerima bahan dan materi pelajaran yang disajikan. Dan segi pendidikan, guru harus mempunyai pandangan yang luas tentang bahan yang diajarkan dan bagaimana cara menyajikan bahan tersebut, topik harus rasional dan ada motivasi. Bagaimana siswa tetap merasa tertarik dan selalu memusatkan perhatian mereka kepada bahan yang disajikan oleh guru; dan (4) penyajian bahan pengajaran, suatu hal yang harus dipersiapkan oleh guru dan ia harus mampu melaksanakannya ialah, menyajikan bahan pelajaran. Sebagaimana seorang pemain sandiwara menarik perhatian penonton, demikian pula seorang guru harus mampu menarik perhatian dalam kelas. Bukan dalam arti menarik perhatian karena pakaiannya yang seronok, akan tetapi karena penguasaannya terhadap bahan dan materi pelajaran yang ia sajikan, metode yang digunakan, keterampilan memanfaatkan media sampai kepada penggunaan bahasa yang baik dan benar. Materi dan bahan pelajaran dirumuskan setelah penentuan TIU dan TIK serta penyusunan alat eva1uasi belajar. Ada beberapa hal yang perlu diperhatikan dalam menetapkan materi pelajaran (1) materi pelajaran hendaknya sesuai dengan atau dapat menunjang tercapainya tujuan instruksional; (2) materi pelajaran hendaknya sesuai dengan tingkat pendidikan dan perkembangan siswa pada umumnya; (3) materi pelajaran hendaknya terorganisasi secara sistematik dan berkesinambungan; dan (4) materi pelajaran hendaknya mencakup hal-hal yang bersifat faktual maupun konseptual. Materi dan bahan pengajaran ditetapkan dengan mengacu pada tujuan-tujuan instruksional yang ingin dicapai. Materi yang diberikan bermakna bagi para siswa, dan merupakan bahan yang betul-betul penting, baik dilihat dan tujuan yang ingin dicapai maupun fungsinya untuk mempelajari bahan berikutnya. c. Perencanaan Alat dan Media Pengajaran Dalam membahas kedudukan media pengajaran dalam perencanaan pengajaran, diperlukan pengetahuan tentang merumuskan dan menganalisis tujuan pengajaran, menetapkan prosedur, jenis dan alat penilaian. Selanjutnya menetapkan langkah-langkah kegiatan yang harus dilakukan dalam
penyajian dan mempelajari bahan pelajaran secara sistematik dan teratur. Pengetahuan tentang media pengajaran sangat berguna untuk menyusun perencanaan program pengajaran. Karena program pengajaran adalah seluruh rencana kegiatan yang saling terkait untuk mencapai suatu tujuan pengajaran. Dengan mengenal media pengajaran dan memahami cara-cara penggunaannya akan sangat membantu tugas para guru dalam meningkatkan efektivitas proses pembelajaran. Jerome Bruner (1960) membagi alat instruksional dalam empat macam menurut fungsinya yaitu: 1. Alat untuk menyampaikan pengalaman vicarious, yaitu menyajikan bahan kepada murid-murid yang sedianya tidak dapat mereka peroleh dengan pengalaman langsung yang lazim di sekolah. Ini dapat dilakukan melalui film, televisi, rekaman suara, dan lain-lain vicarious berarti sebagai substitusi untuk pengganti pengalaman yang langsung. 2. Alat model yang dapat memberikan pengertian tentang struktur atau prinsip suatu gejala, misalnya model molekul atau alat pemafasan, tetapi juga eksperimen atau demonstrasi, juga program yang memberikan langkah untuk memahami prinsip, atau struktur pokok. 3. Alat dramatisasi, yakni yang mendramatisasikan sejarah suatu peristiwa atau tokoh, film tentang alam yang memperlihatkan perjuangan untuj( hidup, untuk memberi perhatian tentang suatu ide atau gejala. 4. Alat automatisasi seperti teaching mechine atau pelajaran berprograma menyajikan suatu masalah dalam urutan yang teratur dan memberi balikan atau feedback tentang respons murid. Alat ini dapat meringankan beban guru, alat ini tidak akan dapat menggantikannya seperti halnya buku. Selain itu alat mi segera memberikan feedback dan memberi jalan untuk memperbaiki kesalahan yang dibuat oleh murid. Telah banyak alat maupun media yang tersedia bagi guru, namun yang penting dalam merencanakan pembelajaran dan mengimplementasikannya dalam mengajar ialah bagaimana menggunakan alat-alat media pendidikan ini sebagai suatu sistem yang terintegrasi dalam pembelajaran. Tugas seorang pendidik adalah tugas profesional, selalu menghadapi menjadi pendidik yang kreatif, dinamis, kritis dan ilmiah. Sebelum ia menentukan bahan pelajaran, ia harus menentukan tujuan instruksional yang sesuai dengan tingkat kemampuan siswa, kemampuan apa yang akan dikembangkan, menyusun kegiatan belajar mengajar, untuk mi ia harus mampu menentukan media dan metode pengajaran yang tepat. Banyak media pendidikan sekarang ini telah diprogram melalui media masa, kenyataan ini jelas menuntut seorang pendidik untuk serba bisa menyerap segala macam informasi, khususnya informasi yang relevan dengan bidang studinya, demi perkembangan lebih lanjut. Sebagai
konsekwensi perkembangan media pendidikan yang pesat dewasa ini, pendidik dituntut untuk mampu memanfaatkan media pendidikan yang tersedia di sekolah dan lingkungan. Sebagai pendidik dalam bidang studi apa saja, ia harus mampu pula menggunakan lingkungan sekitar sebagai media belajar. Pendidik di zaman sekarang seharusnya mampu memanfaatkan media belajar yang sangat kompleks seperti video, televisi dan film, di samping media pendidikan yang sederhana. Agar supaya proses pembelajaran tidak mengalami kesulitan maka masalah perencanaan, pemilihan dan pemanfaatan media perlu dikuasai dengan baik oleh guru. Bahkan tidak mustahil dapat mengakibatkan kegagalan mencapai tujuan, bila tidak dikuasai sungguh-sungguh oleh guru. d. Perencanaan Evaluasi Pengajaran Maksud dan tujuan dan evaluasi adalah, menentukan hasil yang dicapai oleh siswa. Bagaimanapun, penetapan proses pembelajaran secara keseluruhan, termasuk tujuan yang akan dicapai oleh siswa, media pembelajaran, teknik pendekatan dalam pembelajaran, balikan sifat efektif seorang guru memerlukan evaluasi. Dimana evaluasi adalah suatu proses yang berlangsung secara berkesinambungan. Evaluasi dilakukan sebelum, selama, dan sesudah suatu proses pembelajaran. Evaluasi sebelum proses pembelajaran, misalnya karakteristik siswa, kemampuan siswa, metode dan materi pembelajaran yang digunakan. Evaluasi selama proses pembelajaran ialah evaluasi yang digunakan untuk melacak dan memperbaiki masalah belajar mengajar serta kesulitannya, baik dalam penyampaian materi maupun strategi pendekatan yang digunakan. Feedback atau umpan balik diberikan melalui tes-tes formatif mula-mula bahan pelajaran dibagi dalam satuan-satuan pelajaran, misalnya meliputi-meliputi bahan pelajaran satu bab atau bahan yang dapat dikuasai dalam waktu satu atau dua minggu. Evaluasi pencapaian hasil belajar siswa, dapat dilakukan secara formatif dan sumatif. Tes formatif bersifat diagnotis yang serentak menunjukkan kemajuan atau keberhasilan anak, tes formatif ini bermacam-macam fungsinya. Evaluasi formatif dapat diadakan setiap saat, dalam arti pada saat penyajian pelajaran, guru setiap saat dapat berhenti sebentar. untuk mengajukan pertanyaan yang menyangkut bahan yang baru disajikan. Tujuan evaluasi formatif untuk mengetahui sampai sejauh mana siswa mampu menerima apa yang disajikan atau tidak, sehingga guru dapat mengetahui apakah materi tersebut sesuai dengan kemampuan siswa untuk menerima atau terlalu mudah. atau terlampau sulit. Dengan demikian mudah bagi guru untuk memperbaiki kesalahan-kesalahan yang dibuat oleh para siswa. dapat mengadakan penekanan-penekanan pada bagian tertentu serta pengayaannya. Fungsi utama dan evaluasi formatif adalah mengumpulkan data dan informasi untuk memperbaiki hasil dan suatu kegiatan pembelajaran. Tes formatif itu menjamin bahwa tugas pelajaran tertentu dikuasai sepenuhnya sebelum beralih kepada tugas berikutnya Bagi murid yang masih kurang
menguasai bahan pelajaran tes formatif merupakan alat untuk mengungkapkan dimana sebenarnya letak kesulitannya. Jadi tes formatif adalah alat untuk mendiagnosis kelemahan, kesalahan dan kekurangan murid dalam menguasai materi pelajaran, sehingga ia dapat memperbaikinya. Di samping menunjukkan kekurangan murid perlu pula diberikan petunjuk bagaimana caranya ia dapat memperbaikinya. Karena itu tes formatif merupakan bagian yang integral dan proses belajar. Evaluasi formatif mi diadakan sebagai suatu proses yang konstruktif dan positif. Pada saat yang sama guru harus pula menentukan apakah pekerjaan tepat guna atau tidak. Untuk mencapai hal tersebut, maka evaluasi sumatif harus diadakan. e. Penyusunan Satuan Pelajaran (Model-Model Lesson Plan) Satuan pelajaran adalah program belajar mengajar dalam satuan terkecil memuat tujuan instruksional, bahan pelajaran, kegiatan belajar mengajar, metode dan alat bantu mengajar, serta evaluasi kemajuan hasil belajar. Pada dasarnya yang menjadi isi dan program semester adalah yang tercantum dalam GBPP, tetapi beberapa pengaturan kembali serta perluasan dan kelengkapan sehingga membentuk suatu program kerja pembelajaran. Adapun unsur-unsur yang biasanya terkandung dalam program pembelajaran pada satu semester tertentu meliputi: 1) Tujuan Pembelajaran Tujuan adalah arah pembelajaran yang dicantumkan dalam program Semester, tujuan-tujuan tersebut masih bersifat umum yang diangkat dari GBPP, yaitu tujuan kurikuler dan tujuan instruksional umum. Sedangkan tujuan instruksional khusus disebut sebagai sasaran belajar siswa, sebab rumusan tujuan tersebut diorientasikan bagi kepentingan siswa. Tujuan instruksional umum dan khusus dijabarkan dan kurikulum yang berlaku secara resmi di sekolah mengacu pada kondisi belajar yang diperlukan. Acuan pada kurikulum yang berlaku tersebut berkaitan erat dengan bahan ajar yang baru dijabarkan oleh guru dalam bentuk materi pelajaran. Dalam penyusunan perencanaan pembelajaran sasaran belajar siswa harus memperhitungkan pengetahuan awal dan kebutuhan belajar siswa, dilihat dan sudut siswa bisa saja siswa yang mempelajari mata pelajaran yang sama, tetapi tujuannya berbeda. Sedangkan dan segi guru, tujuan pembelajaran merupakan pedoman tindak mengajar dengan acuan yang berbeda. Keberhasilan belajar siswa berarti tercapainya tujuan belajar siswa dan juga tercapainya tujuan instruksional, hal ini merupakan prasyarat bagi program belajar selanjutnya. Dianjurkan agar tujuan dirumuskan dalam bentuk kelakuan yang dapat diamati. Karena itu, guru harus merumuskan dengan jelas tujuan apa yang ingin dicapai dengan pelajaran itu. Tujuan mi tidak hanya mengenai bahan yang harus dikuasai, akan tetapi juga keterampilan, tujuan emosional, dan sosial. Tujuan belajar untuk memenuhi kebutuhan dikemudian
hari, sangat penting artinya bagi siswa. Misalnya, siswa mempunyai semangat yang kuat untuk belajar dengan harapan dapat melanjutkan ke jenjang pendidikan selanjutnya, atau siswa lainnya berharap setelah tamat dapat diterima bekerja untuk memenuhi nafkah hidupnya. Dengan demikian dapat ditegaskan bahwa siswa belajar didorong oleh keingintahuan dan keinginan untuk memenuhi kebutuhannya. Sedangkan tujuan mengajar pada prinsipnya untuk mengadakan perubahan yang dikehendaki dalam tingkah laku sebagai hasil belajar bagi siswa. Pengajaran dapat membuat seorang siswa menjadi orang lain, dalam hal apa yang ia lakukan dan yang dapat dicapainya. Perubahan mi biasanya dilakukan oleh guru dengan menerapkan strategi menggunakan pendekatan belajar, metode mengajar, media pengajaran, dan kelengkapan pengajaran lainnya yang memungkinkan dapat dilakukan. Dalam pengembangan kurikulum dan pengajaran, dibedakan antara tujuan-tujuan instruksional umum (TIU) dan tujuan-tujuan instruksional khusus (TIK). Salah satu langkah penting yang perlu dilakukan guru dalam kegiatan perencanaan pengujaran ialah menetapkan dan merumuskan TIK. TIU dapat dilihat di dalam GBPP, sedangkan TIK harus dirumuskan sendiri oleh guru mata pelajaran yang bersangkutan berdasarkan TIU berisi sejumlah kemampuan yang lebih spesifik yang dijabarkan dalam bahan atau materi ajar untuk menunjang pencapaian kemampuan yang terkandung dalam TIU. Susunan kemampuan-kemampuan yang tercantum dalam rumusan TIK yang dijabarkan dan TIU, mengandung beberapa sifat antara lain: (1) bertingkat atau hierarkikal, dimana kemampuankemampuan tersebut tersusun dan yang lebih sederhana atau mudah ke yang lebih kompleks atau sulit, dan pada umumnya kemampuan yang lebih sederhana merupakan prasyarat untuk menguasai kemampuan yang lebih kompleks, misalnya pengertian tentang penjumlahan merupakan prasyarat untuk mempelajari dan memahami perkalian; (2) setara, atau merupakan kelompok (cluster) dimana kemampuan-kemampuan tersebut mencakup hal-hal yang sejenis tanpa mengandung hubungan prasyarat; (3) berurutan atau prosedural, dimana kemampuan yang satu merupakan kelanjutan dan kemampuan yang lain secara berurutan, tetapi tidak merupakan prasyarat; dan (4) kombinasi dan dua atau lebih sifat tersebut di atas. Adanya sifat bertingkat, setara, dan berurutan dalam susunan kemampuan-kemampuan yang terkandung dalam rumusan TIK perlu diperhatikan, baik dalam menelapkan tata ruang TIK maupun proses belajar untuk mencaparnya. Sebagai kemampuan-kemampuan yang dijabarkan dan TIU, TIK memiliki ciri-ciri: (1) spesifik atau khusus, dalam anti bahwa perilaku yang terkandung di dalamnya sudah dibatasi lingkupnya; (2) operasional, dalam anti bahwa perilaku yang terkandung di dalamnya
konkret dan dapat diamati; dan (3) dapat diukur, dalam anti bahwa terwujud tidaknya perilaku yang dimaksud dalam diri siswa dapat diukur melalui alat ukur yang ada. Langkah pertama yang harus dibuat guru dalam merencanakan pengajaran untuk suatu pokok bahasan dalam kurikulum adalah merumuskan TIK yang menjabarkan dan TIU yang ingin dicapai melalui pokok bahasan yang bersangkutan. Mengingat TIU adalah tujuan yang penting untuk dicapai oleh para siswa, perlu diupayakan agar TIK yang dijabarkan daripadanya betul-betul mencerminkan apa yang dimaksud oleh TIU tersebut. Untuk itu dalam menjabarkan TIK dari TIU perlu ditempuh prosedur kerja sebagai berikut: .menelaah TIU, menentukan sub kemampuan, dan merumuskan TIK. Penting tidaknya suatu kemampuan serta perilaku awal siswa dipertimbangkan dalam merumuskan TIK. 2) Pokok Bahasan Dalam membuat perencanaan pembelajaran untuk setiap pokok bahasan, guru dapat memilih cara mengajar berdasarkan teori-teori belajar yang sesuai dengan materi pelajaran yang tertuang dalam pokok bahasan. Sebelum menuliskannya dalam perencanaan pembelajaran lebih dulu dipertimbangkan, apakah cara itu cocok untuk mengajarkan pokok bahasan tersebut. Pokok atau satuan bahasan menunjukkan judul materi pelajaran yang akan dipelajari atau diajarkan dalam suatu semester tertentu. Pokok bahasan tersebut diambil dan GBPP tanpa atau dengan beberapa penyesuaian dan pengaturan kembali oleh guru yang bersangkutan. Pokok bahasan mi dielaborasi sedemikian rupa menjadi bahan ajar yang disusun dalam bentuk materi pelajaran diuraikan mengacu pada alokasi waktu yang tersedia. Jadi, pokok bahasan menjadi dasar pengajaran dan menggambarkan ruang lingkupnya. Pokok bahasan untuk SD, biasanya lebih sederhana atau lingkupnya tidak terlalu luas dibanding pokok bahasan SLTP dan sekolah menengah. Perencanaan pengajaran menyusun pokok bahasan dan sub pokok bahasan dalam satu semester, dengan perhitungan dapat dipenuhi dalam satu semester dengan kualitas yang dipersyaratkan. Pada jenjang pendidikan tertentu dan kelas tertentu ada yang memadukan berbagai disiplin ilmu seperti bahasa Inggris dengan seni, sosiologi dan ekonomi, hukum dan politik, kimia dan biologi, dan sebagainya. Pokok bahasan yang campuran tersebut penyusunan perencanaan pengajarannya perlu dibuat bersama para pakar yang berasal dan berbagai disiplin ilmu (interdiciplinary). Dalam hal ini mereka akan mempertimbangkan berapa banyak pokok bahasan yang akan diajarkan, sejauh mana luas lingkup dan kedalamannya. Sudah tentu pokok bahasan itu disesuaikan dengan jenis sekolah, kelas, waktu, karakteristik siswa, keterbatasan biaya, fasilitas, sumber pengajaran, tenaga administrasi dan hubungannya dengan pelajaran lain. 3) Metode Mengajar
Sekalipun masih bersifat tentatif atau sementara, dalam perencanaan pembelajaran program satu semester hendaknya dicantumkan pula metode-metode mengajar yang direncanakan akan digunakan dalam mengajarkan setiap pokok bahasan yang telah ditetapkan. Metode pengajaran banyak ditentukan oleh tujuan yang dirumuskan oleh guru. Bila topik yang akan dibahas itu luas seperti dalam pengajaran unit, berbagai ragam metode akan perlu digunakan. Biasanya metode mengandung unsur-unsur: (1) uraian tentang apa yang akan dipelajari (2) diskusi dan pertukaran pikiran; (3) kegiatan-kegiatan yang menggunakan berbagai alat instruksional, laboratorium, dan lainlain; (4) kegiatan-kegiatan dalam lingkungan sekitar sekolah seperti kunjungan, kerja lapangan, eksplorasi, dan penelitian; (5) kegiatan-kegiatan dengan menggunakan berbagai sumber belajar seperti buku perpustakaan, alat audio visual. dan lain-lain; dan (6) kegiatan kreatif seperti drama, seni rupa, musik, pekerjaan tangan dan sebagainya. Dengan demikian dapat ditegaskan bahwa metode mengajar adalah cara yang digunakan oleh guru dalam mengorganisasikan kelas pada umumnya atau dalam menyajikan bahan pelajaran pada khususnya. Dalam berbagai kegiatan dalam metodologi pembelajaran itu murid-murid berlatih untuk mengadakan observasi yang sistematis, membuat catatan, dan membuat laporan tertulis. Para siswa dapat pula belajar menggunakan berbagai alat audio visual, menggunakan perpustakaan, mengadakan wawancara dengan menggunakan tape recorder, menggunakan camera untuk melengkapi observasi dan laporan. 4) Media dan Sumber Media pendidikan lazim disebut sebagai alat-alat belajar atau mengajar. Metode yang tepat untuk bahan pelajaran tertentu dapat lebih efektif jika disertai dengan media pendidikan yang tepat pula. Pada dasarnya sesuai dengan perkembangan siswa sebagai anak, pengajaran lebih mengutamakan sifat konkret, sehingga alat mengajar pun dimulai pemilihannya dan sifat itu seperti yang digambarkan oleh Edgar Dale pada gambar tampak sebuah kerucut yang bertingkat sifatnya mulai dan yang paling abstrak sampai yang paling konkret jika dilihat dan atas ke bawah. Kerucut pengalaman Edgar Dale ini memberi arti bahwa dalam menggunakan media pendidikan mula-mula berupaya dengan media yang paling konkret, yaitu Direct Purposeful Experiences atau pengalaman sengaja yang langsung. Demikian selanjutnya sehingga bagi peserta didik pada tingkatan perguruan tinggi. yang telah mampu menjelajahi dunia abstrak media yang digunakan dapat yang paling abstrak yaitu verbal symbol atau lambang kata. Pendidikan yang disertai media yang tepat, selain memudahkan siswa dalam mengalami. memahami, mengerti, dan melakukan juga menimbulkan motivasi yang lebih kuat ketimbang semata-
mata dengan menggunakan kata-kata yang abstrak. Dalam merencanakan pengajaran, di samping menentukan media yang akan digunakan, juga menetapkan alat pengajaran yang akan dipakai.
Untuk setiap pokok bahasan di samping metode mengajar dicantumkan pula media, alat bantu, dan buku sumber yang digunakan dalam pembelajaran. Pencantuman buku sumber meliputi judul buku, idea dan topik bahasan buku, nama penulis, tahun terbit, dan juga penerbit, dalam perencanaannya guru menjelaskan bagian-bagian yang gunakan dalam pembelajaran sesuai pokok bahasan yang dipilih. Guru dan lembaga pendidikan biasanya mencari media yang murah dan ekonomis, sehingga media yang paling ampuh tetapi mahal jarang digunakan. 5) Evaluasi Pengajaran Dalam perencanaan pengajaran yang tertuang dalam satuan pelajaran, evaluasi selalu memegang peranan penting dalam segala bentuk pengajaran yang efektif. Dengan evaluasi diperoleh balikan atau feedback yang dipakai untuk memperbaiki dan merevisi bahan atau metode pengajaran, atau untuk menyesuaikan bahan dengan pengembangan ilmu pengetahuan. Guru menilai hingga manakah pengetahuan yang diperoleh dan transformasi dapat dimanfaatkan untuk memahami hasil belajar. Dalam program semester tersebut sebaiknya dapat dilihat kegiatan-kegiatan evaluasi belajar yang dilaksanakan di luar pokok babasan masing-masing seperti tes sumatif dan evaluasi formatif Evaluasi pembelajaran berguna untuk mengetahui hingga manakah siswa telah mencapai tujuantujuan pelajaran yang telah ditentukan dalam perencanaan pembelajaran.
6) Alokasi Waktu Untuk setiap pokok bahasan dan kegiatan evaluasi dalam satu semester bersangkutan, perlu dicantumkan jumlah waktu yang dialokasikan, sehingga sejak awal sudah dapat diketahui apakah program semester yang dibuat itu dapat diselesaikan pada waktunya. Jika melebihi waktu yang tersedia, maka perlu diadakan penyesuaian-penyesuaian dalam materi maupun alokasi waktu. Isi dan alokasi waktu setiap satuan pelajaran tergantung pada luas dan sempitnya pokok bahasan yang dicakupnya. Pokok bahasan yang membutuhkan waktu 2 jam pelajaran, mungkin selesai diajarkan dalam satu pertemuan saja. Pokok bahasan yang membutuhkan .waktu 4 jam pelajaran, perlu disamping dalam dua pertemuan penyajian,demikian seterusnya. Pada bagian awal format program pembelajaran sebaiknya dituliskan judul program, semester, kelas, sekolah, dan nama mata pelajaran. Perencanaan program pembelajaran suatu semester tersebut dapat disusun seperti berbentuk matriks sesuai ketentuan yang diberikan oleh sekolah bersangkutan. Program semester dijadikan pegangan untuk mengajar di kelas, program semester ini masih perlu dijabarkan dalam program jangka pendek dalam bentuk jumlah pertemuan mengacu pada pokok bahasan yang ditetapkan sebelumnya. Perencanaan program ini pada dasarnya memuat kegiatan mingguan dan harian dalam program satuan pelajaran. 3. Refleksi Penyusunan Perencanaan Pengajaran Kekuatan dan kelemahan perencanaan program pengajaran yang telah disusun guru biasanya dapat diketahui dengan lebih jelas, setelah program tersebut dilaksanakan di kelas dan dievaluasi dengan seksama Hasil yang diperoleh dan evaluasi program pembelajaran tersebut, memberi petunjuk kepada guru, tentang bagian-bagian mana dan perencanaan pembelajaran tersebut yang berhasil dilaksanakan, dan mana pula yang tidak berhasil dalam upaya mencapai tujuan yang telah ditetapkan. Setelah pembelajaran dilaksanakan, maka guru kembali meneliti perencanaan pelajaran yang memuat pokok bahasan dan sub pokok bahasan, alokasi waktu, tujuan instruksional umum dan khusus, materi dan bahan pelajaran, metode dan kegiatan belajar mengajar, media dan alat pengajaran, sumber dan bahan pengajaran, dan evaluasi kemajuan belajar siswa. Jika komponen-komponen tersebut telah memiliki kekuatan dan dapat membelajarkan anak, maka oleh guru perlu dipertahankan dan juga diteruskan. tetapi jika di antara komponen tersebut mempunyai titik lemah atau kurang mendukung keberhasilan belajar anak, maka guru perlu melakukan perbaikan seperlunya. Guru sebagai komponen yang bertanggung jawab dalam proses dan misi pendidikan secara umum, serta proses pembelajaran secara khusus, sangat rentan dengan berbagai persoalan yang mungkin muncul. Hal ini dapat terjadi, jika sejak awal rencana pembelajaran dan proses pembelajaran ini tidak direncanakan secara matang dan arif, perencanaan pembelajaran
yang tidak matang akan berimplikasi pada gagalnya sistem pembelajaran. Oleh karena itu, sejak awal guru sudah membuat perencanaan pembelajaran yang matang dan teruji, sehingga muara pembelajaran adalah kualitas belajar ditandai dengan hasil evaluasi kemajuan belajar siswa dengan tes yang standar.
BAB V MODEL MENGAJAR DALAM PEMBELAJARAN Menyampaikan bahan pelajaran berarti melaksanakan beberapa kegiatan, tetapi kegiatan itu tidak akan ada gunanya jika tidak mengarah pada tujuan tertentu. Artinya seorang pengajar harus mempunyai tujuan. dalam kegiatan pengajarannya, karena itu setiap pengajar menginginkan pengajarannya dapat diterima sejelas-jelasnya oleh para peserta didiknya. Untuk mengerti suatu hal dalam diri seseorang, terjadi suatu proses yang disebut sebagai proses belajar melalui model-model mengajar yang sesuai dengan kebutuhan proses belajar itu. Melalui model mengajar itu pengajar mempunyai tugas merangsang serta meningkatkan jalannya proses belajar. Untuk dapat melaksanakan tugas itu dengan baik, pengajar harus mengetahui bagaimana model dan proses pembelajaran itu berlangsung. Model dan proses pembelajaran akan menjelaskan makna kegiatan-kegiatan yang dilakukan oleh pendidik selama pembelajaran berlangsung. Setiap pengajar atau pendidik akan alasan-alasan mengapa ia melakukan kegiatan [dalam pembelajaran dengan menentukan sikap tertentu. Rooijakkers (2003:13) mengemukakan bilamana pengajar tidak mengetahui apa sebenarnya yang terjadi dalam pikiran peserta didiknya untuk mengerti sesuatu, kiranya dia pun tidak akan dapat memberi dorongan yang tepat kepada mereka yang sedang. Para murid akan mudah melupakan pelajaran yang diterimanya. jika pengajar tidak memberi penjelasan yang benar dan menyenangkan. Dalam pikiran murid tidak terjadi gerak proses belajar, kalau hal baru dalam materi pelajaran itu disajikan secara tidak jelas. Sejalan dengan hal itu Rooijakkers (2003:15) menjelaskan bahwa keberhasilan seorang pengajar akan terjamin, jika pengajar itu dapat mengajak para muridnya mengerti suatu masalah melalui semua tahap proses belajar, karena dengan cara begitu murid akan memahami hal yang diajarkan. Desigan begitu dalam proses pembelajaran pengajar harus dapat menggunakan model-model dan pendekatan mengajar yang dapat menjamin pembelajaran berhasil sesuai yang direncanakan. Model mengajar dan proses belajar dalam pembelajaran merupakan masalah yang kompleks, karena itu bagi para guru dan tenaga kependidikan lainnya perlu memperkaya pemahamannya yang berkaitan dengan model mengajar.
A. Arti Model Mengajar dalam Pembelajaran 1. Problematika dan Kasus Model Pengajaran Pengalaman di antara pengajar dalam proses pembelajaran menunjukkan, bahwa ada pada beberapa sekolah model pengajarannya mengkondisikan muridnya disibukkan oleh kegiatan-kegiatan yang kurang perlu seperti mencatat bahan pelajar akan yang sudah ada dalam buku menceritakan halhal yang tidak perlu, dan sebagainya. Sering pula ditemukan waktu kontak antara guru dengan murid tidak dimanfaatkan secara baik, guru lebih suka memaksakan kehendakinya dalam belajar muridnya sesuai keinginannya dan ada juga guru untuk memudahkan kerjanya meminta salah seorang muridnya untuk mencatat di papan tulis kemudian murid lainnya mencatat apa yang dicatat dipapan tulis dan kegiatan-kegiatan lainnya yang kurang perlu dan sebagainya. Sedangkan guru yang bersangkutan istirahat di ruang guru atau duduk di kelas asik dengan kegiatannya sendiri. Model mengajar seperti mi tentu saja dipandang tidak mendidik seperti di kemukakan A. S. Neil (1973) menuturkan bahwa saya percaya bahwa memaksa apapun dengan kekuasaan adalah salah, seorang anak seharusnya tidak melakukan apapun sampai ia mampu berpendapat dengan mengemukakan pendapatnya sendiri (Hobson dalam Palmer, 2003:1). Pendapat Neil jp memberi gambaran bahwa para siswa diminta untuk berpikir dan belajar tanpa tekanan, tetapi bimbingan dan arahan yang menganut prinsip-prinsip kemerdekaan dan demokrasi. Dilihat dan segi pemanfaatan sumber daya, sering kali sarana dan prasarana proses belajar mengajar di kelas, laboratorium, perpustakaan, dan di peraktek kerja dengan berbagai alasan belum dimanfaatkan secara baik. Kelengkapan dan fasilitas belajar tidak memadai dengan alasan anggaran yang tidak memadai, diantara guru tidak terampil menggunakannya, manajemen sekolah yang kaku, dan sebagainya. Masalah lainnya adalah kepala sekolah tidak memanfaatkan kesempatan yang ada untuk melakukan evaluasi tentang program pembelajaran. Kepala sekolah tersebut membiarkan para guru menggunakan model mengajar yang telah lama dilaksanakan atau bersifat belaka, sehingga kepala sekolah tidak mengetahui mana yang harus diperbaiki dan mana yang dikembangkan dalam program pembelajaran. Seharusnya kepala sekolah mendorong para guru menggunakan model- model mengajar yang dapat memberi jaminan bahwa pembelajaran dilakukan atas dasar prinsip-prinsip pedagogik. Dukungan kepala sekolah mi diwujudkan dalam bentuk menyediakan fasilitas yang diperlukan untuk program pembelajaran. Sejalan dengan pendapat tersebut, maka pijakan utama bagi praktek pembelajaran yang bijak dan seorang pendidik yang terlatih menurut Susan Issacs (1948) adalah memberikan suatu kerangka kerja yang kokoh untuk kontrol dan rutin serta bantuan nyata sesuai aturan-aturan sosial, namun tetap dengan kebebasan pribadi yang luas (Hinsheiwood dalam Palmer,
2003:11). Artinya keterampilan guru dalam menggunakan sarana dan prasarana belajar secara optimal adalah penting. 2. Arti dan Makna Model Model Pengajaran Untuk mengatasi berbagai problematika dalam pelaksanaan pembelajaran, tentu diperlukan model-model mengajar yang dipandang mampu mengatasi kesulitan guru melaksanakan tugas mengajar dan juga kesulitan belajar peserta didik. Model diartikan sebagai kerangka konseptual yang digunakan sebagai pedoman dalam melakukan kegiatan. Model dapat dipahami sebagai: (1) suatu tipe atau desain; (2) suatu deskripsi atau analogi yang dipergunakan untuk membantu proses visualisasi sesuatu yang tidak dapat dengan langsung diamati; (3) suatu sistem asumsi-asumsi, datadata dan inferensi-inferensi yang dipakai untuk menggambarkan secara matematis suatu obyek atau peristiwa; (4) suatu desain yang disederhanakan dari suatu sistem kerja, suatu terjemahan realitas yang disederhanakan, (5) suatu deskripsi dati suatu sistem yang mungkin atau imajiner; dan (6) penyajian yang diperkecil agar dapat menjelaskan dan menunjukkan sifat bentuk aslinya (Komaruddin, 2000:152). Model dirancang untuk mewakili realitas yang sesungguhnya. walaupun model itu sendiri bukanlah realitas dan dunia yang sebenarnya. Atas dasar pengertian tersebut, maka model mengajar dapat dipahami sebagai kerangka konseptual yang mendeskripsikan dan melukiskan prosedur yang sistematik dalam mengorganisasikan pengalaman belajar dan pembelajaran untuk mencapai tujuan belajar tertentu. dan berfungsi sebagai pedoman bagi perencanaan pengajaran bagi para guru dalam melaksanakan aktivitas pembelajaran. Model mengajar menurut Joyce dan Weil (2000:13) adalah suatu deskripsi dan lingkungan belajar yang menggambarkan perencanaan kurikulum. kursus-kursus, desain unit-unit pelajaran dan pembelajaran, perlengkapan belajar, buku-buku pelajaran. buku-buku kerja, program multimedia, dan bantuan belajar melalui program komputer. Sebab model-model ini menyediakan alat-alat belajar yang diperlukan bagi para siswa. Hakekat mengajar (teaching) menurut Joyce dan Weil adalah membantu para pelajar memperoleh informasi, ide, keterampilan, nilai, cara berpikir, sarana untuk mengekspressikan dirinya, dan belajar bagaimana cara belajar. Hasil akhir atau hasil jangka panjang dan mengajar adalah kemampuan siswa yang tinggi untuk dapat belajar lebih mudah dan lebih efektif di masa yang akan datang. Model mengajar tidak hanya memiliki makna deskriptif dan kekinian, akan tetapi juga bermakna prospektif dan berorientasi kemasa depan. Joyce dan Weil (2000) mengemukakan ada empat kategori yang penting diperhatikan dalam model mengajar, yakni model informasi, model personal, model interaksi dan model tingkah laku.
Model mengajar yang telah dikembangkan dan dites keberlakuannya oleh para pakar pendidikan dengan mengklasifikasikan model pembelajaran pada empat kelompok yaitu: 1. Model pemrosesan informasi (Information Processing Models) meiijelaskan bagaimana cara individu memberi respon yang datang dari lingkungannya dengan cara mengorganisasikan data, memformulasikan masalah, membangun konsep dan rencana pemecahan masalah serta penggunaan simbol-simbol verbal dan non verbal. Model ini memberikan kepada pelajar sejumlah konsep, pengetesan hipotesis, dan memusatkan perhatian pada pengembangan kemampuan kreatif. Model pengelolaan informasi mi secara umum dapat diterapkan pada sasaran belajar dan berbagai usia dalam mempelajari individu dan masyarakat. Karena itu model mi potensial untuk digunakan dalam mencapai tujuan-tujuan yang berdimensi personal dan sosial disamping yang berdimensi intelektual. 2. Model personal (Personal Family) merupakan rumpun model pembelajaran yang menekankan kepada proses mengembangkan kepribadian individu siswa dengan memperhatikan kehidupan emosional. Proses pendidikan sengaja diusahakan untuk memungkinkan seseorang dapat memahami dirinya sendiri dengan baik. memikul tanggung jawab. dan lebih kreatif untuk mencapai kualitas hidup yang lebih baik. Model mi memusatkan perhatian pada pandangan perseorangan dan berusaha menggalakkan kemandirian yang produktif, sehingga manusia menjadi semakin sadar diri dan bertanggung jawab atas tujuannya. 3. Model sosial (Social Family) menekankan pada usaha mengembangkan kemampuan siswa agar memiliki kecakapan untuk berhubungan dengan orang lain sebagai usaha membangun sikap siswa yang demokratis dengan menghargai setiap perbedaan dalam realitas sosial. Inti dan sosial model ini adalah konsep synergy yaitu energi atau tenaga (kekuatan). yang terhimpun melalui kerja sama sebagai salah satu fenomena kehidupan masyarakat. Dengan menerapkan model sosial pembelajaran di arahkan pada upaya melibatkan peserta didik dalam menghayati, mengkaji, menerapkan dan menerima fungsi dan peran sosial. Model sosial mi dirancang untuk memanfaatkan fenomena kerja sama, membimbing para siswa mendefinisikan masalah. mengeksplorasi berbagai cakrawala mengenai masalah, mengumpulkan data yang relevan, dan mengembangkan serta mengetes hipotesis. Karena itu guru seyogiyanya mengorganisasikan belajar melalui kerja kelompok dan mengarahkannya, kemudian pendidikan dalam masyarakat yang demokratis seyogiyanya mengajarkan proses demokratis secara langsung, jadi pendidikan harus diorganisasikan dengan cara melakukan penelitian bersama (cooperative inquiry) terhadap masalah-masalah sosial dan masalah-masalah akademis.
4. Model sistem perilaku dalam pembelajaran (Behavioral Model of Teaching) dibangun at4s dasar kerangka teori perubahan perilaku. melalui teori ini siswa dibimbing untuk dapat memecahkan masalah belajar melalui penguraian perilaku ke dalam jumlah yang kecil dan berurutan. Sejalan dengan hal itu teori konvergensinya William Stem implementasinya dalam hal belajar mengajar telah menyebabkan munculnya berbagai teori-teori belajar dan teori atau model mengajar seperti: (1) model behavioral yang terdiri dan belajar tuntas. belajar kontrol diri sendiri. Simulasi dan belajar asertif (2) model pemrosesan informasi yang terdiri dan model mengajar inkuiri, presentase kerangka dasar atau advance organizer, dan model pengembangan berpikir; dan (3) lain sebagainya yang dapat dijadikan pendekatan yang efektif dalam pengajaran. Dalam program pengajaran yang menggunakan model satuan pelajaran, guru masih mempunyai kemungkinan untuk mengadakan perubahan-perubahan yang dipandang penting dalam pelaksanaannya. Model satuan pelajaran merupakan model yang paling sederhana, tetapi memberikan peranan yang lebih besar kepada guruguru sebagai perencana pembelajaran. Tetapi model pengajaran dengan modul, model pengajaran dengan kaset video, kaset audio, komputer, dan pengajaran berprogram pelaksanaannya dalam pembelajaran benar-benar harus sesuai dengan yang telah direncanakan dalam perencanaan program pengajaran yang disusun oleh guru. Kelima model pengajaran yang digunakan tersebut termasuk ke dalam pengajaran sebagai sistem, memiliki ciri-ciri atau prinsip-prinsip yang sama. Perbedaannya adalah terletak pada penggunaan perangkat keras atau alat-alat teknologi yang digunakan dalam mengimplementasikan model-model mengajar. Kembali kepada model satuan pelajaran, bahwa dalam model satuan pelajaran yang disusun oleh guru dengan menjabarkan tujuan instruksional umum yang ada dalam kurikulum atau GBPP menjadi tujuan instruksional khusus. Model satuan pelajaran mi guru menentukan dan menyusun alat evaluasi untuk mengukur kemajuan belajar siswa, memilih dan merumuskan bahan ajaran, merencanakan proses belajar mengajar atau pembelajaran, serta menentukan media dan alat pengajaran. Penggunaan model mi selain sederhana juga tidak menuntut biaya yang tinggi, karena disusun oleh guru sendiri baik mengenai isi, media yang digunakan, dan kegiatan pembelajaran. Sedangkan model pembelajaran dengan kaset video, kaset audio, komputer, dan pengajaran berprograma disusun oleh tim atau lembaga khusus yang terdiri dan beberapa ahli. Peran guru dalam model mi adalah sebagai pelaksana atau fasilitator belajar, karena semua komponen pengajaran telah disusun secara terpadu dalam pusat teknologi pembelajaran. Model pengajaran ini menuntut biaya yang tinggi, tetapi memungkinkan pengajaran dilaksanakan secara individual, sehingga beberapa prinsip pengajaran yang baik hampir seluruhnya
dapat dilaksanakan. Beberapa prinsip pengajaran yang baik menurut Ibrahim dan Nana Syaodih (1996:53) yaitu penyesuaian pengajaran dengan perbedaan individual siswa, maju berkelanjutan. kenaikan kelas secara otomatis, belajar tuntas, program pengayaan dan program perbaikan. Dalam model ini, guru dapat memilih topik atau kegiatan yang akan disajikan di kelas. tetapi tidak dapat mengubah dan menyesuaikannya dengan keadaan lingkungan. a. Pendekatan atau Model Interaksi Sosial Dalam uraian mengenai tahapan instruksional telah dijelaskan bahwa dalam proses pengajaran, intinya adalah belajar para siswa. kadar tingginya kegiatan belajar banyak dipengaruhi oleh pendekatan dan model belajar mengajar yang digunakan guru. Ada beberapa pendapat mengenai pendekatan mengajar antara lain sebagaimana di kemukakan oleh Richard Anderson (1959:201) mengajukan dua pendekatan yang berorientasi kepada guru atau disebut teacher centered dan pendekatan yang berorientasi kepada siswa atau disebut student centered. Pendekatan pertama disebut pula tipe otokratis karena pendekatannya satu arah dan guru dan pendekatan kedua disebut tipe demokratis karena guru memberi peluang murid mengajukan pendapatnya. Pendapat lainnya di kemukakan oleh Massialas (1975 :21) yang mengajukan dua pendekatan yakni pendekatan ekspositorz dan pendekatan inquiry. Kedua pendapat di atas pada hakikatnya sama, hanya istilahnya saja yang berbeda. Pendekatan interaksi sosial hampir memiliki persamaan dengan pendekatan inquiry terutama social inquiry. Pendekatan mi menekankan terbentuknya hubungan antara individu/siswa yang satu dengan siswa yang lainnya sehingga dalam konteks yang lebih luas terjadi hubungan sosial individu dengan masyarakat. Oleh sebab itu proses belajar mengajar hendaknya mengembangkan kemampuan dan kesanggupan siswa untuk mengadakan hubungan dengan orang lain!siswa lain, mengembangkan sikap dan perilaku yang demokratis, serta menumbuhkan produktivitas kegiatan belajar siswa. Metode-metode belajar yang paling diutamakan dalam pendekatan ini antara lain diskusi, problem solving, metode simulasi, bekerja kelompok, dan metode lain yang menunjang berkembangnya hubungan sosial siswa. Pendekatan interaksi sosial pada hakikatnya bertolak dan pemikiran pentingnya hubungan pnbadi (interpersonal relationship) dan hubungan sosial atau hubungan individu dengan lingkungan sosialnya. Proses belajar pada hakikatnya adalah mengadakan hubungan sosial dalam pengertian siswa berinteraksi dengan siswa lain dan berinteraksi dengan kelompoknya. Langkah yang ditempuh guru dalam pendekatan mi adalah: (1) guru melemparkan masalah dalam bentuk situasi sosial kepada para siswa; (2) siswa dengan bimbingan guru menelusuri berbagai macam masalah yang terdapat dalam situasi tersebut, (3) siswa diberi tugas atau permasalahan untuk dipecahkan. dianalisis, dikerjakan yang berkenaan dengan situasi tersebut; (4)
dalam memecahkan masalah belajar tersebut siswa diminta untuk mendiskusikannya (5) siswa memuat kesimpulan dan hasil diskusinya; dan (6) pembahasan kembali hasil-hasil kegiatannya. Contoh pendekatan ini antara lain adalah menggunakan metode sosiodrama atau bermain peran (role playing). Ktterlibatan siswa dalam melakukan kegiatan belajar cukup tinggi terutama dalam bentuk partisipasi dalam kelompoknya, partisipasi ini menggambarkan adanya interaksi sosial di antara sesama murid dalam kelompok tersebut. Oleh karena itu pendekatan ini boleh dikatakan berorientasi kepada siswa dengan mengembangkan sikap demokratis, artinya sesama mereka mampu saling menghargai, meskipun di antara mereka ada perbedaan;
b. Model Pembelajaran Alam Sekitar Gerakan pendidikan yang mendekatkan anak dengan alam sekitarnya adalah gerakan pengajaran alam sekitar, perintis gerakan ini antara lain adalah Fr. Finger (1808-1888) di Jerman dengan heimatkunde (pengajaran alam sekitar), dan J. Ligthart (1859-1916) di Belanda dengan Het Voile Leven (kehidupan senyatanya). Beberapa prinsip gerakan heimatkunde adalah: (1) dengan pengajaran alam sekitar itu, guru dapat memperagakan secara langsung sesuai dengan sifatsifat atau dasar-dasar pengajaran; (2) pengajaran alam sekitar memberikan kesempatan sebanyakbanyaknya agar anak aktif atau giat tidak hanya duduk, dengar, dan catat saja; dan (3) pengajaran alam sekitar memungkinkan untuk memberikan pengajaran totalitas, yaitu suatu bentuk dengan ciriciri: (a) suatu pengajaran yang tidak mengenai pembagian mata pengajaran dalam daftar pengajaran, tetapi guru memahami tujuan pengajaran dan mengarahkan usahanya untuk mencapai tujuan. (b) suatu pengajaran yang menarik minat, karena segala sesuatu dipusatkan atas suatu bahan pengajaran yang menarik perhatian anak dan diambilkan dan alam sekitarnya, dan (c) suatu pengajaran yang memungkinkan segala bahan pengajaran itu berhubung-hubungan satu sama lain seerat-eratnya secara teratur: (4) pengajaran alam sekitar memberi kepada anak bahan apersepsi intelektual yang kukuh dan tidak verbalitas; dan (5) pengajaran alam sekitar memberikan apersepsi emosional. karena alam sekitar mempunyai ikatan emosional dengan anak. Alam sekitar tidak berbeda untuk anak maupun orang dewasa, segala kejadian di alam sekitarnya merupakan sebagian dan hidupnya sendiri dalam suka maupun duka seperti kelahiran, kematian, pesta, panen, gotong royong. berladang. dan sebagainya. Alam sekitar sebagai fundamen pendidikan dan pengajaran memberikan dasar emosional, sehingga anak menaruh perhatian yang spontan terhadap segala sesuatu yang diberikan kepadanya asal itu didasarkan atas dan diambil dan alam sekitar. J. Ligthart (1859-1916) mengemukakan pegangan dalam Het Voile Leven yaitu: (1) anak harus mengetahui barangnya terlebih dahulu sebelum mendengar namanya; (2) pengajaran sesungguhnya harus mendasarkan pada pengajaran selanjutnya atau mata pengajaran yang lain harus dipusatkan atas pengajaran itu; dan (3) haruslah diadakan perjalanan memasuki hidup senyatanya kesemua jurusan, agar murid paham akan hubungan antara bermacam-macam lapangan dalam hidupnya. Pokok-pokok pendapat pengajaran alam sekitar tersebut telah banyak dilakukan di sekolah, baik dengan peragaan, penggunaan bahan lokal dalam pengajaran dan lain-lain. Mengacu pada konsep pendidikan alam sekitar Tirtarahandja dan Sula (2000:202) berpendapat bahwa beberapa tahun terakhir ini telah ditetapkan adanya materi pelajaran muatan lokal dalam kurikulum, termasuk penggunaan alam sekitar. Dengan kurikulum muatan lokal tersebut diharapkan anak semakin dekat
dengan alam sekitar dan masyarakat lingkungannya. Di samping alam sekitar sebagai isi bahan ajar, alam sekitar juga menjadi kajian empirik melalui percobaan, studi banding, dan sebagainya. Dengan memanfaatkan sumber-sumber dan alam sekitar dalam kegiatan belajar dan mengajar, dimungkinkan anak akan lebih menghargai, mencintai, dan melestarikan lingkungan alam sekitar sebagai sumber kehidupannya. c. Model Pembelajaran Pusat Perhatian Pengajaran pusat perhatian dirintis oleh Ovide Decroly (1871-1932) dan Belgia dengan pengajaran melalui pusat-pusat minat (Centres d interet), disamping pendapatnya tentang pengajaran global. Pendidikan menurut Decroly berdasar pada semboyan Ecole pour la vie, par la vie (sekolah untuk hidup dan oleh hidup). Anak harus dididik untuk dapat hidup dalam masyarakat dan dipersiapkan dalam masyarakat, anak harus di arahkan kepada pembentukan individu dan anggota masyarakat. Karenanya, anak harus mempunyai pengetahuan terhadap diri sendiri seperti hasrat dan cita-citanya, kemudian pengetahuan tentang dunianya seperti lingkungannya dan tempat hidup di hari depannya. Menurut Decroly dunia mi terdiri dan alam dan kebudayaan, dan dunia itu harus hidup yang dapat mengembangkan kemampuan untuk mencapai cita-Cita. Hasil penelitian yang mendalam oleh Ovide Decroly menyumbangkan dua pendapat yang berguna bagi pendidikan dan pengajaran yaitu: (I) metode global (keseluruhan) hasil yang diperoleh dan observasi dan tes, menunjukkan bahwa anak mengamati dan mengingat secara global (keseluruhan). Mengingat keseluruhan lebih dulu baru bagian-bagian sama dengan prinsip psikologi Gestalt. Dalam mengajarkan membaca dan menulis ternyata mengajarkan kalimat lebih mudah daripada kata-kata lepas, sedangkan kata lebih mudah diajarkan ketimbang huruf-huruf secara mandiri. Metode mi bersifat video visual sebab arti sesuatu kata yang diajarkan itu selalu diasosiasikan dengan tanda (tulisan) atau gambar yang dapat dilihat; dan (2) centre d interet (pusatpusat minat). Hasil penelitian psikologiknya menunjukkan bahwa anak-anak mempunyai minat yang spontan (sewajarnya). Bagi Decroly sekolah merupakan suatu laboratorium guna mengadakan penyelidikan demi kebaikan sistem pendidikan dan pengajaran. Pada sekolah tersebut diuji berbagai dasar aliran dalam dunia pengajaran modern seperti: (1) sekolah berhubungan langsung dengan alam dan penghidupan sekitarnya; (2) pendidikan dan pengajaran berdasarkan atas perkembangan anak. Tiap-tiap anak mempunyai perbedaan antara lain kesanggupan, tingkat kepandaian, tempo mama perkembangan, perhatian, pembawaan, bakat, dan sebagainya; (3) sekolah kerja; (4) pendidikan yang fungsional dan praktis; (5) pendidikan kesosialan dan kesusilaan dengan memberi kesempatan untuk beker jasama; (6) kerja sama antar rumah dan sekolah; (7) koedukasi; dan (8) mempergunakan alat baru seperti
percetakan, pengumpulan alat pelajaran oleh siswa sendiri. Semua hal mi telah dipraktekkan Decroly di sekolahnya. Pengajaran harus disesuaikan dengan minat-minat spontan, sebab apabila tidak, maka pengajaran itu tidak akan banyak hasilnya anak mempunyai minat-minat spontan terhadap diri sendiri yang dibedakan menjadi dorongan mempertahankan diri, dorongan mencari makan dan minum, dan dorongan memelihara diri. Sedangkan minat terhadap masyarakat (biososial) ialah dorongan sibuk bermain-main dan dorongan meniru orang lain. Dorongan-dorongan inilah menurut Tirtarahardja dan Sula (2000:204) yang digunakan sebagai pusat-pusat minat. Sedangkan pendidikan dan pengajaran harus selalu dihubungkan dengan pusat-pusat minat tersebut. Gerakan pengajaran pusat perhatian tersebut telah mendorong berbagai upaya agar dalam kegiatan belajar mengajar diadakan berbagai variasi cara mengajar agar perhatian para siswa tetap terpusat pada bahan ajaran. Peluang untuk memvariasikan pengajaran terbuka luas dengan kemajuan teknologi, hal ini menyebabkan upaya menarik minat belajar menjadi lebih besar. Pemusatan perhatian dalam pengajaran dilakukan bukan hanya pada pembukaan pelajaran, tetapi pada setiap pembahasan materi pelajaran sehingga tidak ada waktu yang disia-siakan dan pengajaran berlangsung dengan penuh anti. d. Model Pembelajaran Sekolah Kerja Gerakan sekolah kerja dapat dipandang sebagai titik kulminasi dan pandangan-pandangan yang mementingkan pendidikan keterampilan dalam pendidikan. Tokoh pendidikan sekolah kerja mi adalah G. Kerschensteiner (1854-1932) dengan konsep Arbeitschule-nya (Sekolah Kerja) di Jerman. Perlu di kemukakan bahwa sekolah kerja itu bertolak dan pandangan bahwa pendidikan tidak hanya demi kepentingan individu, tetapi juga demi kepentingan masyarakat. Dengan kata lain sekolah berkewajiban menyiapkan warga negara yang baik yakni: (1) tiap orang adalah pekerja dalam salah satu lapangan jabatan; (2) tiap orang wajib menyumbangkan tenaganya untuk kepentingan negara; dan (3) dalam menunaikan kedua tugas tersebut haruslah selalu diusahakan kesempurnaannya, agar dengan jalan itu tiap warga negara ikut membantu mempertinggi dan menyempurnakan kesusilaan dan keselamatan negara. Tujuan sekolah kerja mi menurut G. Kerschensteiner adalah: (1) menambah pengetahuan anak, yaitu pengetahuan yang didapat dan buku atau orang lain, dan yang didapat dan pengalaman sendiri; (2) agar anak dapat memiliki kemampuan dan kemahiran tertentu; dan (3) agar anak dapat memiliki pekerjaan sebagai persiapan jabatan dalam mengabdi negara. G. Kerschensteiner berpendapat bahwa kewajiban utama sekolah adalah mempersiapkan anak-anak untuk dapat bekerja. Bekerja di sini bukan pekerjaan otak yang dipentingkan, melainkan pekerjaan tangan, sebab
pekerjaan tangan adalah dasar dan segala pengetahuan adat, agama. bahasa, kesenian. ilmu pengetahuan. Dan lain-lain. Dengan banyaknya macam pekerjaan yang menjadi pusat pelajaran. maka sekolah kerja dibagi menjadi tiga golongan besar yaitu: (1) sekolah-sekolah perindustrian seperti tukang cukur, tukang cetak, tukang kayu, tukang daging, masinis, dan lain-lain; (2) sekolah-sekolah perdagangan seperti makanan, pakaian bank, asuransi, pemegang buku, porselin, pisau, gunting. dan lain-lain; dan (3) sekolah-sekolah rumah tangga bertujuan mendidik para calon ibu yang diharapkan akan menghasilkan warga negara yang baik. Setiap pekerjaan itu dilaksanakan di sekolah, oleh karena itu sekolah idealnya dipersyaratkan harus mempunyai alat-alat lengkap dan tempat atau ruang yang cukup, dapur, laboratorium, perpustakaan, kebun sekolah, tempat bertukang, dan sebagainya tersedia di sekolah. Pengikut G. Kerschensteiner antara lain adalah Leo de Paeuw seorang direktur jenderal pengajaran normal di Belgia mendirikan sekolah kerja seperti Kerschensteiner yaitu: (1) sekolah teknik kerajinan; (2) sekolah dagang; (3) sekolah pertanian bagi anak laki-laki; (4) sekolah rumah tangga kota; dan (5) sekolah rumah tangga desa. Kedua yang terakhir mi khusus untuk para gadis, dan dapat berhasil baik. Sedangkan sekolah-sekolah lainnya bersifat intelektualistik. Peranan sekolah kejuruan pada tingkat menengah inilah menurut Tirtarahardja dan Sula (2000:206) merupakan tulang punggung penyiapan tenaga terampil yang diperlukan negara-negara membangun seperti Indonesia. Bagi para generasi muda Indonesia pendidikan keterampilan itu sangat diperlukan terlebih lagi bagi setiap orang yang akan memasuki lapangan kerja. e. Model Pembelajaran Individual Sejak lama diketahui adanya perbedaan di antara berbagai individu siswa yang tak dapat tiada harus diperhatikan. Perbedaan terdapat juga dalam gaya belajar murid, karena itu pengajaran individual akan senantiasa merupakan masalah yang menarik perhatian para pendidik untuk dikaji dan dianalisis. Tugas-tugas yang dikerjakan para murid di rumah kebanyakan menuntut kegiatan secara individual, beberapa kegiatan dan pemberian tugas di sekolah juga dapat dikerjakan secara individual, seperti memecahkan soal, melakukan pengamatan atau percobaan di laboratorium, dan sebagainya. Pembelajaran secara individual tampak pada perilaku atau kegiatan guru dalam mengajar yang menitikberatkan pada pemberian bantuan dan bimbingan belajar kepada masing-masing siswa secara individual. Susunan suatu tujuan belajar yang didesain untuk belajar mandiri harus disesuaikan dengan karakteristik individual dan kebutuhan tiap siswa. I3entuk-bentuk belajar mandiri antara lain adalah: (1) self instruction semacam modul; (2) independent study; (3) individualized prescribed
instruction; dan (4) self pacet learning. Untuk tujuan belajar meningkatkan kemampuan kognitif dan psikomotorik lebih banyak ditempuh dengan belajar mandiri. Pada model pembelajaran secara individual, guru memberikan bantuan belajar kepada masing-masing pribadi siswa sesuai mata pelajaran yang diajarkan oleh guru yang bersangkutan. Perilaku pembelajaran individual ini guru akan memberikan kesempatan dan keleluasaan kepada masing-masing individu siswa untuk dapat belajar sesuai dengan kemampuan yang dimiliki siswanya. Kemudian ada kesempatan bagi masing-masing individu siswa untuk mengembangkan kemampuan yang dimiliki siswa, artinya setiap individu siswa memiliki paket belajar secara individual yang sesuai dengan tujuan belajarnya secara individual juga. Dalam pembelajaran secara individual, masing-masing siswa menyusun program belajarnya sendiri, siswa mempunyai keleluasaan belajar berdasarkan kemampuannya sendiri, mempunyai kedudukan yang bersifat sentral, yang menjadi pusat pelayanan dalam pembelajaran. Posisi guru dalam model pembelajaran individual adalah membantu siswa membelajarkan siswa, membantu merencanakan kegiatan belajar siswa sesuai dengan kemampuan dan daya dukung yang dimiliki siswa. Guru membicarakan kepada siswa mengenai pelaksanaan belajarnya, mengemukakan kriteria keberhasilan belajar, dan menentukan alokasi waktu maupun kondisi belajar yang tepat bagi siswa secara individual. Peran guru selanjutnya adalah sebagai penasehat atau pembimbing belajar, membantu siswa untuk mengadakan penilaian belajar dan kemajuan yang telah dicapainya. Guru mengorganisasikan kegiatan belajar yaitu mengatur dan memonitor kegiatan belajar siswa sejak awal sampai akhir sesuai schedul yang disepakati. Model pelayanan belajar secara individual mi menggunakan pendekatan yang terbuka antara guru dan siswa, yang bertujuan untuk menimbulkan perasaan bebas dalam belajar sehingga terjadi hubungan yang harmonis antara guru dengan siswa dalam belajar. f. Model Pembelajaran Klasikal Gioup presentation adalah kegiatan penyampaian pelajaran kepada sejumlah siswa, yang biasanya dilakukan oleh pengajar dengan berceramah di kelas. Model pembelajaran individual menurut Nasution (2000) lebih sukar dijalankan daripada model pengajaran klasikal. Pembelajaran klasikal mencerminkan kemampuan utama guru, karena pembelajaran klasikal ini merupakan kegiatan belajar dan mengajar yang tergolong efisien. Pembelajaran secara klasikal ini memberi arti bahwa seorang guru melakukan dua kegiatan sekaligus yaitu mengelola kelas dan mengelola pembelajaran. Pengelolaan kelas adalah penciptaan kondisi yang memungkinkan terselenggaranya kegiatan pembelajaran secara baik dan menyenangkan yang dilakukan di dalam kelas diikuti sejumlah siswa yang dibimbing oleh seorang guru.
Dalam hal ini guru dituntut kemampuannya menggunakan teknik-teknik penguatan dalam pembelajaran agar ketertiban belajar dapat diwujudkan. Pengajaran klasikal dirasa lebih sesuai dengan kurikulum yang uniform. yang dinilai melalui ujian yang uniform pula. Hasil penelitian J. H. Pestalozzi (1746- 1827) mengajarkan bermacam-macam mata pelajaran pertukaran di sekolahnya. Sejak Pestalozzi pengajaran kiasikal menjadi populer sebagai pengganti pengajaran individual oleh seorang tutor. Pengajaran klasikal merupakan keharusan dalam menghadapi jumlah murid yang membanjiri sekolah sebagai akibat demokrasi, industrialisasi, pemerataan, dan pendidikan atau kewajiban belajar. Dengan sendirinya dicari usaha untuk memperbaiki pengajaran klasikal itu. Kurikulum dijadikan uniform bagi seluruh negara, ujian akhir dan tes masuk sedapat mungkin disamakan untuk semua jenis sekolah. Buku pelajaran yang diterbitkan oleh pemerintah sama bagi semua, bila diizinkan buku-buku lain dapat digunakan asalkan dasarnya sama yaitu mengacu pada kurikulum yang telah ditentukan pemerintah. Dicari metode pendidikan klasikal yang paling efektif dan paling baik bagi kelas atau kelompok. Guru yang dipersiapkan adalah guru yang baik bagi kelas. Pestalozzi diakui sebagai tokoh yang melahirkan gagasan-gagasan besar tentang pendidikan antara lain : (1) mendemokrasikan pendidikan dengan menyatakan adalah hak mutlak dan setiap anak untuk mengembangkan potensi dirinya sepenuhnya; (2) mempsikologikan pendidikan, yaitu teori dan praktek pendidikan harus didasarkan pada psikologi atau ilmu tentang karakteristik jiwa individu manusia; (3) mendasarkan pendidikan pada perkembangan organik daripada pemindahan gagasan-gagasan; (4) pendidikan mulai dengan persepsi tentang objek-objek yang konkrit, pembentukan tindakan-tindakan yang konkrit, dan pengalaman terhadap respon-respon emosional yang aktual; (5) perkembangan adalah sebuah pembangunan potensi secara berangsur-angsur. Setiap bentuk pengajaran harus dilakukan dengan perlahan-lahan, melalui yang berangsur-angsur, sesuai dengan pemekaran kemampuan-kemampuan dan anak; (6) perasaan-perasaan keagamaan dibentuk mendahului dan kata-kata atau simbol-simbol yang dimiliki anak; (7) perlu ada pandangan yang revolusioner tentang disiplin, yang didasarkan pada kemamuan baik dan kerja sama antar pelajar dengan pengajar; dan (8) diperlukan alat baru dalam pendidikan guru dan studi tentang pendidikan sebagai sebuah ilmu (Mudyahardjo, 2001:121) Pendapat Pestalozzi tersebut implementasinya dalam pendidikan dilakukan dalam pengajaran klasikal jangan sampai merugikan bagi kepentingan anak sebagai individu dalam belajar, hal yang diperhatikan adalah kelas sebagai keseluruhan. Guru mencoba menyesuaikan pengajarannya dengan kemampuan rata-rata anak, Ia tahu bahwa Ia terpaksa menghambat kemajuan anak-anak yang cepat serta mengabaikan anak-anak yang lambat, hal ini penting untuk diketahui bagi setiap guru, agar ia dapat menentukan solusi yang paling arif. Walaupun pengajaran klasikal sangat umum dijalankan, ini
tidak berarti bahwa perbedaan individual dapat diabaikan. Nasution (2000:41) berpendapat bahwa justru karena pengajaran kita bersifat klasikal, harus lebih diperhatikan perbedaan individual, yaitu guru dengan sadar memaksa dirinya memberi perhatian kepada setiap anak secara individual di kelasnya. Kegiatan-kegiatan belajar yang bersifat menerima atau menghafal pada umumnya diberikan secara klasikal. Siswa yang berjumlah kurang lebih 30 atau 40 orang siswa, pada waktu yang sama menerima bahan yang sama, umumnya kegiatan ini diberikan dalam bentuk ceramah. Dalam mengikuti kegiatan belajar ini, murid-murid dituntut untuk selalu memusatkan perhatian terhadap pelajaran. kelas harus sunyi dan semua murid duduk ditempat masing-masing mengikuti uraian guru. Pengelolaan pembelajaran yang bertujuan untuk mencapai tujuan belajar, dapat dilakukan melalui tindakan penciptaan tertib belajar di kelas. Penciptaan suasana menyenangkan dalam belajar ini dilakukan dengan pemusatan perhatian pada bahan pelajaran dengan menggunakan pendekatan yang sesuai dengan materi pelajaran, dan mengikutsertakan siswa secara aktif sesuai dengan kondisi siswa. Belajar secara klasikal cenderung menempatkan siswa dalam posisi pasif. sebagai penerima bahan ajaran. Upaya rnengaktifkan siswa clapat menggunakan metode tanya jawab. demonstrasi, diskusi, dan lain-[ain yang sesuai bagi para muridmuridnya. Sehubungan dengan hal itu Pestalozzi mengatakan tujuan pendidikan adalah tercapainya perkembangan anak yang serasi mengenai daya jiwa. Untuk membantu peserta didik memikul tanggung jawab atas perilakunya dan tanggung jawab lingkungan sosialnya sehingga dapat digunakan dalam lingkungan kelas. Model ini dalam kelas diwujudkan dalam bentuk suatu pertemuan dimana kelompok bertanggung jawab untuk membangun sistem sosial yang sesuai. Penerapan model ini dimaksudkan untuk melaksanakan unsur perbedaan perseorangan dengan tetap menghargai tugas-tugas bersama dan hak-hak orang lain. Model mi memberikan metode langsung untuk mengelola suasana pengajaran atau instructional setting dan untuk mengorganisasikan peserta didik agar dapat bertanggung jawab atas situasi kelas dalam proses pembelajaran. Model mi sering disebut Classroom Management Model. Model ini memiliki karakteristik yang memberikan suasana belajar individual dan kelompok, serta pencapaian keterampilan sosial. Model mi juga dapat digunakan untuk mencapai tujuan yang bersifat akademis. g. Model Konstruktivis dalam Mengajar Prinsip yang paling umum dan paling esensial yang dapat diturunkan dan konstruktivisme, ialah bahwa anak-anak memperoleh banyak pengetahuan di luar sekolah, dan pendidikan seharusnya memperhatikan hal itu dan menunjang proses alamiah ini. Untuk dapat melaksanakan proses belajar mengajar semacam ini, di bawah ini disarankan beberapa prinsip mengajarkan sains di sekolah dasar
(Kamii, 1979). Untuk tingkat sekolah yang lebih tinggi, akan diberikan pula suatu strategi mengajar yang akan dibahas dibagian lain. Model konstruktivisme yang dikemukakan Piaget ini memberi arahan kepada guru untuk membangkitkan kemampuan berpikir anak dalam belajar, adapun prinsipprinsip yang perlu diperhatikan menurut Piaget adalah hal-hal berikut ini. 1) Menyiapkan Benda-Benda Nyata untuk Digunakan Siswa Ada dua alasan bagi prinsip ini, yaitu pengetahuan fisik diperoleh dengan berbuat pada bendabenda, dan melihat bagaimana benda-benda itu beraksi. Misalnya, untuk mengetahui apakah sebuah bola yang dibuat dari tanah atau dapat terapung dalam tanah, anak itu harus berbuat sesuatu pada benda-benda itu dan memperoleh jawaban dan benda-benda itu. Sambil ia mengubah-ubah perbuatan atau tindikannya,. ia menghubungkan perubahan-perubahan dalam perbuatannya dan perubahanperubahan dalam reaksi benda-benda itu. Bukan hanya mengetahui nsik yang dikembangkannya, melainkan juga pengetahuan logiko-matematik. Alasan yang kedua pam siswa harus bekerja dengan bendabenda ialah, bahwa inilah satu-satunya cara mereka dapat menglogiko-matematikkan kenyataan. Bukan dengan cara belajar kata-kata, para siswa menjadi lebih baik berfikir mengenai alam nyata. 2) Memperhatikan Empat Cara Berbuat Terhadap Benda Ada empat cara berbuat terhadap benda-benda yaitu: (1) berbuat terhadap benda-benda dan melihat bagaimana benda-benda itu beraksi; (2) berbuat terhadap benda-benda untuk menghasilkan suatu efek yang diinginkan; (3) menjadi sadar bagaimana seorang menghasilkan efek yang diinginkan; dan (4) menjelaskan. Mengenai pendekatan ketiga Piaget menemukan, bahwa di sekitar umur 4 atau 5 tahun, anak-anak dapat melakukan banyak hal pada tingkat inteligensi praktis, tetapi mereka tidak menyadari bagaimana menghasilkan sesuatu yang diinginkan itu. Cara yang keempat dapat berupa penjelasan langsung dan suatu peristiwa, atau berupa menguji suatu hipotesis secara sistematis. Bila dipusatkan hanya untuk pada penjelasan-penjelasan, adanya bahaya karena kerapkali timbul verbalisme. Bila digunakan dua pendekatan yang pertama, para siswa dapat diminta menjelaskan apa yang menyebabkan mereka berpikir. Dalam pelajaran terapung, melayang, dan tenggelam, misalnya waktu mereka disuruh membuat kapal-kapal dan tanah liat, guru menggunakan pendekatan kedua, bila ia meminta para siswa untuk membuat kapal tanah hal yang dapat terapung dalam air. Kemudian, bila guru bertanya apa yang akan terjadi bila anak menempatkan benda-benda dalam kapal tanah hal itu, maka guru menggunakan pendekatan yang pertama. Kedua pendekatan ini dan juga pendekatan yang ketiga, mengandung unsur penjelasan dan pada umumnya lebih baik daripada mengajar menjelaskan, yang bagaimanapun juga sulit bagi para siswa dalam periode-periode konkret.
Pendekatan yang ketiga, yaitu sadar bagaimana seseorang menghasilkan efek yang diinginkan, dapat digunakan bila guru menganjurkan siswa untuk bertanya pada siswa yang lain bagaimana ia menyelesaikan tugasnya. Ini merupakan suatu contoh. situasi yang secara edukatif, baik bagi siswa yang mengajarkan dan bagi siswa yang diajari. 3) Memperkenalkan Kegiatan Kegiatan-kegiatan itu mungkin menarik bagi para siswa, tetapi jangan dipaksakan pada mereka. Para siswa hendaknya mempunyai kebebasan untuk mengikuti perhatian mereka sendiri, oleh karena pikiran itu hanya akan dapat untuk menolak saran-saran guru. Karena itu menurut Susan Issacs (1946) kerangka. ini merupakan koreksi terhadap ide bahwa seorang anak tak akan pernah belajar jika ia tidak dibentak atau dipukul, juga bagi gagasan anak tidak membutuhkan belajar, namun hanya perlu menunjukkan kebaikannya. Kegiatan utama pembelajaran menurut Susan Issacs adalah memberikan suatu kerangka kerja yang kokoh untuk kegiatan pembelajaran, karena perkembangan intelektual anak berhubungan erat dengan perkembangan emosional. Oleh karena itu kebebasan di ruang kelas akan menghilangkan hambatan proses belajar atau distorsi perkembangan watak dan anak didik. 4) Menciptakan Pertanyaan, Masalah-Masalah dan Pemecahannya Dewasa ini para pendidik kerap kali menganjurkan pemecah masalah. tetapi jarang kita dengar tentang pentingnya penciptaan masalah-masalah dan pengajuan pertanyaan-pertanyaan. Selain para siswa mencoba menjawab pertanyaan-pertanyaan atau memecalikan masalah-masalah mereka, mereka juga termotivasi untuk bekerja keras. Menurut Piaget, perumusan pertanyaan-pertanyaan merupakan salah satu dan bagian-bagian yang paling penting dan paling kreatif dan sains yang diabaikan dalam pendidikan sains. 5) Siswa Saling Berinteraksi Menurut Piaget, pertukaran gagasan-gagasan tidak dapat dihindari untuk perkembangan penalaran. Walaupun penalaran tidak dapat diajarkan secara langsung, perkembangannya dapat distimulasi oleh konfrontasi kritis, khususnya dengan teman-teman setingkat. Seperti halnya perbedaan pendapat itu esensial untuk konstruksi sains, demikian pula hal mi tidak dapat dihindari untuk mengkonstruksi pengetahuan fisik dan pengetahuan logiko-matematik. Menurut Piaget, para siswa hendaknya dianjurkan untuk mempunyai pendapat sendiri (walaupun pendapat itu mungkin 6salah), mengemukakannya, mempertahankannya, dan merasa bertanggung jawab atasnya. Ungkapnya keyakinan secara jujur, akhirnya memupuk ekuilibrasi konstruktif dan membuat para siswa lebih cerdas dan lebih termotivasi untuk terus belajar, dibandingkan dengan belajar jawaban benar.
Adakalanya guru dapat menganjurkan para siswa untuk membandingkan berbagai gagasan. Pada kesempatan lain guru membentuk kelompok-kelompok kecil untuk memecahkan masalah tertentu. Cara ketiga untuk membangkitkan interaksi ialah dengan meminta seluruh kelas seluruh kelas membandingkan sebagai masalah, pengamatan, dan interpretasi. 6) Hindari Istilah Teknis dan Tekankan Berpikir Hasil penelitian mengungkapkan, bahwa bahasa dapat memperjelas dan memperkaya gagasan-gagasan bila para siswa sudah pada tingkat perkembangan yang tinggi. Tetapi, kerapkali kata-kata dan istilah-istilah teknis merintangi berpikir, oleh karena itu guru hendaknya dapat membangkitkan gagasan-gagasan untuk melatih dan mengembangkan kemampuan berpikir siswa. Adakalanya siswa-siswa membandingkan hal-hal yang salah, walaupun demikian, mereka harus dianjurkan untuk berpikir dengan cara mereka sendiri. Sebagian dan intuisi-intuisi mereka itu ada yang salah, dan sebagian ada yang betul. dan gagasan-gagasan mi harus ditelusuri dan dikoordinasikan agar para siswa menjadi pemikir-pemikir yang diharapkan. 7) Memperkenalkan Kembali (Reintroduce) Materi Kegiatan Anak yang sama bila melihat mobil, atau benda lain apapun juga atau peristiwa, tidak akan melihat kenyataan yang sama pada umur 6, 10, dan 14 tahun. Alasannya ialah, karena anak yang lebih tua mengasimilasikan benda-benda ke dalam pengetahuan terstruktur yang lebih baik daripada anak yang lebih muda. Jadi, pengurutan ketat dan isi tidak perlu, menurut Piaget. Kecuali itu, penelitian Piaget menunjukkan bahwa anak-anak memperoleh pengetahuan dengan cara-cara yang amat berbeda dan cara orang dewasa. Pernyataan bahwa urutan ketat tidak perlu, tidak berarti bahwa semua urutan harus dihindari. Misalnya, pelajaran kapal tanah liat diharuskan untuk kelas 2 hingga kelas 6. Dalam jangka umur yang panjang ini, guru diberitahu bahwa bagi anak-anak yang lebih muda masalahnya ialah membuat benda yang akan terapung. Sebaliknya, untuk anak-anak yang lebih tua masalahnya ialah menemukan mengapa bentuk benda tertentu dapat memuat lebih banyak daripada benda yang lain, dan apa yang membuat suatu benda itu tenggelam atau terapung. Suatu urutan yang Lain ditunjukkan oleh dua sasaran berikut, disarankan sesudah para siswa dapat membuat kapal tanah liatnya terapung: (1) guru dapat menanyakan pada para siswa apakah mereka mempunyai benda apa saja dalam bangku mereka yang mereka mau tempatkan pada kapal mereka; dan (2) guru memberi siswa beberapa benda kecil dan menyarankan agar siswa tersebut menemukan berapa jumlah benda yang dapat dimuat oleh kapalnya. Dalam setiap saran di atas guru telah membawa terapung dan tenggelam ketingkat yang lebih tinggi daripada sebelumnya, dan yang penting ialah guru tidak memaksakan gagasan-gagasan ini.
Jika saran yang tepat dibuat pada waktu yang tepat, maka hal mi akan membawa siswa ke pertanyaan-pertanyaan tingkat tinggi, seperti pertanyaan-pertanyaan berikut: (1) apakah kapal yang sama akan selalu memuat jumlah yang sama, benda-benda yang menyebabkan tenggelam ?; (2) haruskah benda-benda itu ditempatkan pada posisi yang sama?; (3) apakah yang terjadi bila air masuk ke dalam kapal ?; dan (4) apa yang terjadi, bila benda-benda itu dilemparkan kedalam kapal ? (Wihis Dahar, 1996:160-162). Dapat dilihat bahwa ada suatu derajat interaksi yang tinggi antara pengurutan yang dilakukan guru dan pengurutan yang dilakukan para siswa. Seni mengajar terletak pada bagaimana memikirkan saat yang tepat, kapan akan mengajukan suatu pertanyaan yang baik. yang akan memberikan stimulasi pada siswa untuk pindah ketingkat berpikir yang lebih tinggi, dan akan menahan diri untuk tidak mengajukan pertanyaan. Jadi dalam bentuk pengajaran klasikal menurut Rooijakkers (2003:73) pada intinya pengajar melakukan berbagai kegiatan seperti berbicara, menjelaskan, menulis. memikirkan, mempertimbangkan, berjalan, mendengarkan, bertanya. membaca. membenahi diri, dan sebagainya dalam pembelajaran model klasikal. Kegiatan model klasikal ini pengajar memberi tahu, mengadakan kontak pada murid dalam kelas. memberi tugas. dan melakukan evaluasi untuk mengukur sampai dimana para muridnya dapat menguasai materi pelajaran yang sudah disampaikan. h. Model Pengembangan Sistem Pengajaran Prosedur pengembangan sistem instruksional merupakan perwujudan dan penerapan pendekatan sistem ke dalam sistem pendidikan ke dalam kurikulum sekolah dasar, sekolah lanjutan pertama, sekolah menengah dan kejuruan. Istilah sistem instruksional yang dipergunakan dalam prosedur pengembangan sistem instruksional (PPSI) menunjukkan makna sistem, yaitu sebagai suatu kesatuan yang terorganisasi, yang terdiri dan sejumlah komponen yang saling bergantung satu sama lain dalam rangka mencapai tujuan yang telah ditentukan sebelumnya. PPSI pada dasarnya ialah salah satu prosedur mengajar dan belajar yang dipandang dan sudut sistem, sehingga mengajar itu
menunjukkan suatu sistem yang saling terkait antara satu komponen dengan komponen lainnya dalam
pembelajaran. Sistem ialah seperangkat objek yang memiliki sejumlah komponen, yang setiap komponennya saling berinteraksi dan saling mempengaruhi satu sama lainnya. Sebagai suatu sistem, PPSI mengandung sejumlah komponen, antara lain materi, metode, dan evaluasi yang saling berinteraksi satu sama lain dalam upaya mencapai tujuan pembelajaran yang telah dirumuskan sebelumnya.
Pengembangan sistem instruksional mempunyai lima langkah pokok yaitu: (1) adalah merumuskan tujuan institusional khusus, yaitu rumusan mengenai kemampuan atau perilaku yang diharapkan dimiliki oleh para siswa sesudah mengikuti suatu program pembelajaran. Kemampuan atau perilaku itu harus dirumuskan secara spesifik dan operasional, sehingga dapat diamati atau terukur. Perilaku yang spesifik itu dijabarkan dalam tiga kawasan yaitu kognitif, afektif. dan psikomotorik: (2) adalah pengembangan kegiatan pembelajaran, yaitu menentukan kegiatan belajar mengajar yang dijabarkan berdasarkan tujuan instruksional khusus yang telah disusun dengan cara merumuskan semua kemungkinan. kegiatan belajar yang diperlukan guna mencapai tujuan tersebut, menentukan mana dan sejumlah kegiatan belajar yang perlu siswa. Selanjutnya menetapkan kegiatan belajar yang masih perlu di1aksanak oleh siswa guna memantapkan pemahaman mereka: (3) pengembangan kegiatan pembelajaran, yaitu merencanakan program kegiatan pembelajaran. Pada perencanaan program pembelajaran ini adalah pokok pelajaran yang diambil dan kurikulum. Dalam hal mi perlu dirumuskan pokok. pokok materi pengajaran yang akan diberikan kepada siswa sesuai dengan jenis-jenis kegiatan belajar yang telah ditentukan sebelumnya. Bila perlu untuk setiap materi pengajaran diberikan uraian singkat untuk memudahkan para guru, menyampaikan pelajaran. Selanjutnya disusun strategi pembelajaran dengan merumuskan peranan serta kegiatan pembelajaran yang disusun secara sistematis sesuai dengan situasi kelas. Metode mengajar pun dipilih mana yang paling sesuai dengan tujuan, termasuk juga di dalamnya alat bantu buku sumber yang diperlukan; (4) pelaksanaan, yaitu melaksanakan program pembelajaran melalui fase yaitu mengadakan pra-tes, menyampaikan bahan dan materi: pelajaran, melakukan pos-tes, dan perbaikan pembelajaran seperlunya pra-tes sudah terkandung seperangkat alat evaluasi yang akan mengukur kemampuankemampuan yang tercantum di dalam tujuan-tujuan instruksional yang telah dijabarkan sebelum para siswa mengikuti program pembelajaran. Bilamana para siswa telah menguasai kemampuan yang terdapat dalam tujuan instruksional yang ingin dicapai itu, maka bahkan tidak perlu lagi diajarkan kepada siswa dalam program pengajaran. Selanjutnya proses pengajaran, dilaksanakan dengan berpegang kepada perencanaan program kegiatan instruksional, baik dalam hal materi, metode, maupun media instruksional yang akan dipakai. Sebelum para guru menyajikan materi instruksional, hendaknya dijelaskan dulu tujuan instruksional khusus yang akan dicapai, sehingga siswa mengetahui kemampuan-kemampuan apa yang harus dikuasainya setelah selesai mengikuti pengalaman belajar. Pos-tes diberikan sesudah mereka selesai mengikuti program pembelajaran. Pertanyaan yang diberikan dalam postes identik dengan pra-tes, hanya berbeda dalam waktu dan fungsinya. Pra-tes berfungsi menilai kemampuan awal para siswa tentang materi instruksional sebelum pengajaran diberikan. Sedangkan pos-tes berfungsi menilai kemampuan mereka dalam menguasai materi
instruksional setelah pengajaran diberikan. Dengan demikian dapat diketahui sejauh mana keberhasilan program pengajaran yang diberikan itu dapat dicapai oleh para siswa dengan membandingkan hasil pra-tes dengan pos-tes, dan (5) evaluasi kemajuan belajar. penentuan alat evaluasi dirumuskan berdasarkan tujuan-tujuan instruksional.
Fungsi evaluasi adalah untuk menilai sejauh mana kemajuan hasil belajar siswa dengan mengukur kemampuannya menguasai kemampuan-kemampuan yang telah dirumuskan dalam tujuan instruksional khusus. Dalam model mi pengembangan alat evaluasi tidak dilakukan pada langkah akhir dan kegiatan pengajaran, tetapi pada langkah kedua sesudah tujuan instruksional khusus ditentukan. Hal mi didasarkan atas prinsip yang berorientasi kepada tujuan atau hasil, bahwa penilaian terhadap suatu sistem pengajaran didasarkan atas hasil yang akan dicapai yang pertama. Untuk mengecek apakah rumusan tujuan instruksional tersebut bisa diukur atau tidak, maka perlu dikembangkan lebih dahulu alat evaluasi sebelum melangkah lebih jauh. Dan pengembangan alat evaluasi pada langkah ini mungkin dijumpai beberapa jenis tujuan instruksional khusus yang perlu diganti. mempertegas atau diubah rumusannya. sehingga dapat diukur. Dalam pengembangan alat evaluasi, perlu ditentukan jenis-jenis tes yang akan dipergunakan. apakah tes tertulis, tes lisan, atau tes perbuatan. Apakah akan dipergunakan suatu jenis tes, dua jenis tes. atau ketiga-tiganya hal itu tergantung pada hakikat tujuan instruksional yang hendak dicapai. Paradigma pengajaran menurut Sujono (1979:30) adalah: (1) adanya beberapa dasar pengajaran sebagai pusat perhatian/minat yang terpenting adalah pengajaran harus berdasarkan kebutuhan yang tumbuh dan perhatian siswa yang menentukan pangkal dan guru halnya mempunyai tugas untuk membimbing; (2) bahan yang diajarkan merupakan suatu keseluruhan dengan mengambil
salah satu kebutuhan sebagai pusat, di kelas rendah dipakai hubungan simbiotis bukan hubungan secara keilmuan; (3) dalam mengolah bahan pelajaran siswa harus aktif baik jasmani maupun rohani; dan (4) bahan pengajaran diambil dan lingkungan hidup agar siswa dapat mengamati, mengetahui menyelidiki menghayati dan mencintai lingkungan. B. Pendekatan dalam Model Mengajar 1. Pendekatan Inqiury/Discovery atau Model Personal Pendekatan ini bertolak dan pandangan bahwa siswa sebagai subjek dan objek dalam belajar, mempunyai kemampuan dasar untuk berkembang secara optimal sesuai kemampuan yang dimilikinya. Proses pembelajaran harus di pandang sebagai stimulus yang dapat menantang siswa untuk melakukan kegiatan belajar. Peranan guru lebih banyak menetapkan diri sebagai pembimbing atau pemimpin belajar dan fasilitator belajar. Dengan demikian, siswa lebih banyak melakukan kegiatan sendiri atau dalam bentuk kelompok memecahkan permasalahan dengan bimbingan guru. Pendekatan inquiry merupakan pendekatan mengajar yang berusaha meletakkan dasar dan mengembangkan cara berfikir ilmiah, pendekatan ini menempatkan siswa lebih banyak belajar sendiri, mengembangkan kekeratifan dalam memecahkan masalah. Siswa betul-betul ditempatkan sebagai subjek yang belajar. Peranan guru dalam pendekatan inquiry adalah pembimbing belajar dan fasilitator belajar. Tugas utama guru adalah memilih masalah yang perlu dilontarkan kepada kelas untuk dipecahkan oleh siswa sendiri. Tugas berikutnya dan guru adalah menyediakan sumber belajar bagi siswa dalam rangka pemecahan masalah. Sudah barang tentu bimbingan dan pengawasan dan guru masih tetap diperlukan. namun campur tangan atau intervensi terhadap kegiatan siswa dalam pemecahan masalah harus dikurangi. Pendekatan inquiry dalam mengajar termasuk pendekatan modem, yang sangat didain bakau untuk dilaksanakan di setiap sekolah. Adanya tuduhan bahwa sekolah menciptakan kultur bisu, tidak akan terjadi apabila pendekatan mi digunakan. Pendekatan inquiry dapat dilaksanakan apabila dipenuhi syarat-syarat berikut: (1) guru harus terampil memilih persoalan yang relevan untuk diajukan kepada kelas (persoalan bersumber dan bahan pelajaran yang menantang siswa problematik) dan sesuai dengan daya nalar siswa; (2) guru harus terampil menumbuhkan motivasi belajar siswa dan menciptakan situasi belajar yang menyenangkan; (3) adanya fasilitas dan sumber belajar yang cukup: (4) adanya kebebasan siswa untuk berpendapat. berkarya, berdiskusi; (5) partisipasi setiap siswa dalam setiap kegiatan belajar; dan (6) guru tidak banyak campur tangan dan intervensi terhadap kegiatan siswa. Ada lima tahapan yang ditempuh dalam melaksanakan pendekatan inquiry/discovery yakni: (1) perumusan masalah untuk dipecahkan siswa; (2) menetapkan jawaban sementara atau lebih
dikenal dengan istilah hipotesis; (3) siswa mencari informasi, data, fakta yang diperlukan untuk menjawab permasalahan/hipotesis; (4) menarik kesimpulan jawaban atau generalisasi; dan (5) mengaplikasikan kesimpulan! generalisasi dalam situasi baru. Metode mengajar yang biasa digunakan guru dalam pendekatan ini antara lain metode diskusi dan pemberian tugas, diskusi untuk memecahkan permasalahan dilakukan oleh sekelompok kecil siswa antara tiga sampai lima orang dengan arahan dan bimbingan guru. Kegiatan ini dilaksanakan pada saat tatap muka atau pada saat kegiatan terjadwal. Dengan demikian dalam pendekatan inquiry/discoveni model komunikasi yang digunakan, bukan komunikasi satu arah atau komunikasi sebagai aksi, tetapi komunikasi banyak arah atau komunikasi sebagai peranaksi. Studi dan penelitian terhadap kedua pendekatan mi telah banyak dilakukan. Berbagai studi tersebut antara lain menyimpulkan bahwa pendekatan ekspositoni dan inquiry tidak berbeda efektifnya dalam mencapai hasil belajar yang bersifat informasi, fakta dan konsep, tetapi berbeda secara signifikan dalam mencapai keterampilan berfikir, pendekatan inquiry lebih efektif dan pendekatan ekspositori.
Pendekatan inquiry/discovery dalam pembelajaran dapat lebih membiasakan kepada anak untuk membuktikan sesuatu mengenai materi pelajaran yang sudah dipelajari. Membuktikan dengan melakukan penyelidikan sendiri oleh siswa dibimbing oleh guru, penyelidikan itu dilakukan oleh para siswa baik dilapangan seperti laboratorium, situs purbakala, hewan yang berkeliaran sesuai mata ajar yang dipelajari di sekolah. Setelah diselidiki melalui tempat-tempat tersebut kemudian dianalisis oleh para siswa bersama menggunakan buku-buku referensi, ensikiopedia, kamus dan lainnya yang berkaitan dengan materi tersebut. Dengan menggunakan pendekatan inquiry dan discoveri ini pengembangan kognitif siswa lebih terarah dan dalam kehidupan sehari-hari dapat diaplikasikan secara motorik. 2. Pendekatan Tingkah Laku (Behavioral Models) Beberapa istilah yang digunakan dalam pendekatan ini antara lain behavioral modification, behavioral therapy, social learning theory. Pendekatan ini menekankan pada teori tingkah laku.
sebagai aplikasi dari teori belajar behaviorisme. Tingkah laku individu pada dasarnya dikontrol oleh stimulus dan respon yang diberikan individu. Penguatan hubungan stimulus dengan respon merupakan proses belajar yang menyebabkan perubahan tingkah laku. Teori mi dimulai oleh Pavlov dengan teori klasikal conditioning. Thorndike dengan teori instrumental conditioning dan dikembangkan oleh Skiner dengan teori operant conditioning. Paradigma utama dalam proses belajar adalah stumulus-respon. Uraian lebih lengkap mengenai teori ini dapat ditemukan dalam teori tentang belajar. Namun yang penting dalam bahasan ini adalah aplikasinya bagi guru dalam proses belajarmengajar. Dalam pendekatan ini langkah guru mengajar adalah sebagai berikut: (I) guru menyajikan stimulus belajar pada siswa; (2) mengamati tingkah laku siswa dalam menanggapi stimulus yang diberikan oleh guru (respon siswa); (3) menyediakan atau memberikan latihan-latihan kepada siswa dalam memberikan respon terhadap stimulus; dan (4) memperkuat respon siswa yang dipandang paling tepat terhadap jawaban dan stimulus. Tahapan instruksional ini mengacu pada tujuan instruksional, yaitu rumusan pernyataan mengenai kemampuan atau tingkah laku yang diharapkan dimiliki atau dikuasai siswa, bila dilukiskan dalam bentuk bagan penerapan pendekatan tersebut untuk mencapai tujuan instruksional dalam strategi mengajar adalah sebagaimana dijelaskan pada gambar 5.4 secara diagramatik. Memperhatikan langkah di atas maka aspek penting dan pendekatan ini melatih siswa dan memperkuat respon belajar siswa yang paling tepat terhadap stimulus sehingga memiliki pemahaman yang jelas. Pemahaman memerlukan kemampuan menangkap makna atau arti dan sesuatu konsep yang menjadi kajian dan pembahasan dalam suatu materi pelajaran.
Untuk itu dalam pendekatannya diperlukan adanya hubungan atau pertautan antara konsep dengan makna yang ada dalam konsep tersebut. Pendekatan-pendekatan pembelajaran yang dibahas di atas hanya sebagai contoh, digunakan pada fase kedua (tahapan instruksional). Pendekatan yang kemukakan mi masih dapat dikembangkan sesuai dengan kebutuhan dan aspek-aspek lain yang lebih memudahkan siswa untuk dapat memahami materi pelajaran dengan baik dan benar. Bagan di atas menggambarkan pendekatan mengajar dalam pembelajaran digunakan pada tahapan instruksional atau tahapan kedua dan tiga tahapan mengajar. Pendekatan mengajar mana yang :dipilih diserahkan sepenuhnya kepada guru dengan mempertimbangkan kondisi dan suasana belajar-mengajar. Namun pendekatan manapun yang akan dipilih hendaknya diperhatikan bahwa inti dan proses belajarmengajar ialah adanya kegiatan siswa belajar, artinya harus berpusat kepada siswa, bukan kepada guru pengajar. Dalam pendekatan tingkah laku dimulai dan menyusun tahapan mengajar (Strategi) yang digunakan dalam pembelajaran. Strategi mi dimulai dan prainstruksional yaitu persiapan dan perencanaan pembelajaran pada satu mata pelajaran yaitu bagaimana siswa dapat mengikuti pelajaran dan apa saja yang mungkin dapat dilakukannya sebelumnya sudah direncanakan dan dipertimbangkan. Setelah model pembelajarannya dapat ditetapkan sedemikian rupa, maka masuklah pada tahap instruksional yaitu pelaksanaan pembelajaran sesuai yang ditentukan sebelumnya. Untuk mengukur kemajuannya selanjutnya dilakukan evaluasi tindak lanjut pembelajaran dan mengetahui kemajuan belajar siswa dengan menggunakan pendekatan-pendekatan dan model mengajar yang dipersiapkan sebelumnya. C. Menggunakan Berbagai Metode dalam Proses Belajar Mengajar Dalam menggunakan model mengajar sudah barang tentu guru yang tidak mengenal metode mengajar jangan diharap bisa melaksanakan proses belajar mengajar sebaik-baiknya. Untuk mendorong keberhasilan guru dalam proses belajar-mengajar, di bawah mi disajikan pengertian, fungsi, dan langkah-langkah pelaksanaan metode mengajar. Hal yang penting dalam metode ialah. bahwa setiap metode pembelajaran yang digunakan bertalian dengan tujuan belajar yang ingin dicapai. Tujuan untuk mendidik anak agar sanggup memecahkan masalah-masalah dalam belajarnya, memerlukan metode yang lain, bila tujuannya mengumpulkan informasi. Oleh karena itu untuk mendorong keberhasilan guru dalam proses belajar-mengajar, guru seharusnya mengerti akan fungsi, dan langkah-langkah pelaksanaan metode mengajar. Ada sejumlah metode-metode mengajar yang mungkin dapat dilakukan oleh guru antara lain sebagai berikut: 1. Model Mengajar Menggunakan Metode Ceramah
Ceramah adalah sebuah bentuk interaksi melalui penerangan dan penuturan lisan dan guru kepada peserta didik. Dalam pelaksanaan ceramah untuk menjelaskan uraiannya, guru dapat menggunakan alat-alat bantu seperti gambar, dan audio visual lainnya. Ceramah adalah penuturan lisan dan guru kepada peserta didik, ceramah juga sebagai kegiatan memberikan informasi dengan kata-kata sering mengaburkan dan kadang-kadang ditafsirkan salah. Kadang-kadang terjadi pula orang baru saja mengikuti ceramah, jika ditanya, tidak tahu apa-apa. Kemungkinan terjadinya hal ini adalah karena penceramahnya kurang pandai menyampaikan informasi dan mungkin bila karena khalayaknya bukan pendengar yang baik. Karena itu alat utama dalam metode ceramah mi adalah berhubungan dengan siswa menggunakan bahasa lisan. Peranan siswa dalam metode ceramah adalah mendengarkan dengan teliti mencatat pokok penting yang dikemukakan oleh guru. Di samping itu. mungkin pula disebabkan oleh sifat metodenya sendiri, yaitu: (1) metode ceramah tidak dapat memberikan kesempatan untuk berdiskusi memecahkan masalah sehingga proses menyerap pengetahuannya kurang tajam; (2) metode ceramah kurang memberi kesempatan kepada para peserta didik untuk mengembangkan keberanian mengemukakan pendapatnya; (3) pertanyaan lisan dalam ceramah kurang dapat ditangkap oleh pendengarannya, apalagi digunakan kata-kata asing; dan (4) metode ceramah kurang cocok dengan tingkah laku kemampuan anak yang masih kecil. Taraf berpikir anak masih berada dalam taraf yang kurang konkret. Agar ceramah itu menjadi metode yang baik, perlu diperhatikan hal berikut: (1) metode ceramah digunakan jika jumlah khalayak cukup banyak; (2) metode ceramah dipakai jika guru akan memperkenalkan materi pelajaran baru: ((3) metode ceramah dipakai khalayaknya telah mampu menerima informasi melalui kata-kata; (4) sebaiknya ceramah diselingi oleh penjelasan melalui gambar dan alat-alat vaisual lainnya; dan (5) sebelum ceramah dimulai, sebaiknya guru berlatih dulu memberikan ceramah. Dalam kehidupan sehari-hari di sekolah metode ceramah paling populer dikalangan guru. Sebelum metode lain yang dipakai untuk mengajar, metode ceramah yang paling dulu digunakan. Bagi kita bukanlah metode ceramah itu harus dihilangkan sama sekali, melainkan bagaimana menggunakan metode ceramah yang efektif dan efisien. Oleh karena itu disarankan agar guru-guru mengikuti langkah-langkah sebagai berikut: Pertama: Melakukan pendahuluan sebelum bahan baru diberikan dengan cara sebagai berikut: (1) menjelaskan tujuan lebih dulu kepada peserta didik dengan maksud agar peserta didik mengetahui arah kegiatannya dalam belajar, bahkan tujuan itu dapat membangkitkan motivasi belajar jika bertalian dengan kebutuhan mereka; (2) setelah itu baru di kemukakan pokok-pokok materi yang akan dibahas. Hal ini dimaksudkan agar peserta didik melihat
luasnya bahan pelajaran yang akan dipelajarinya; dan (3) memancing pengalaman peserta didik yang cocok dengan materi yang akan dipelajarinya. Caranya ialah dengan pertanyaan-pertanyaan yang menarik perhatian mereka. Kedua: Menyajikan bahan baru dengan memperhatikan faktor-faktor sebagai berikut: (1) perhatian peserta didik dan awal sampai akhir pelajaran harus tetap terpelihara. Semangat mengajar memberi bantuan sepenuhnya dalam memelihara perhatian peserta didik kepada pelajaran: (2) menyajikan pelajaran secara sistematis. tidak berbelit-belit, dan tidak meloncat-loncat; (3) kegiatan belajar mengajar diciptakan secara variatif. jangan membiarkan peserta didik hanya duduk dan mendengarkan, tatapi kesempatan untuk berpikir, dan berbuat. misalnya pelatihan mengerjakan tugas. mengajukan pertanyaan. berdiskusi. atau melihat peragaan. (4) memberi ulangan pelajaran kepada responsi. Jawaban yang salah dan benar perlu ditanggapi sebaik-baiknya; (5) membangkitkan motivasi belajar secara terus menerus selama pelajaran berlangsung. Motivasi belajar akan selalu tumbuh jika situasi belajar menyenangkan: dan (6) menggunakan media pelajaran yang variatif yang sesuai dengan tujuan pelajaran. Ketiga: Menutup pelajaran pada akhir pelajaran. Kegiatan yang penn diperhatikan pada penutupan itu adalah sebagai berikut: (I) mengambil kesimpulan dan semua pelajaran yang telah diberikan, dilakukan oleh peserta didik di bawah bimbingan guru; (2) memberikan kesempatan pada peserta didik untuk menanggapi meteri pelajaran yang telah diberikan terutama mengenai hubungan dengan pelajaran lain; dan (3) melaksanakan penilaian secara komprehensif untuk mengukur perubahan tingkah laku. 2. Model Mengajar Menggunakan Metode Tanya-Jawab (Respons) Pendekatan dalam mengajar umumnya menempuh dua macam cara, yaitu memberikan stimulasi dan mengadakan pengarahan aktivitas belajar. Banyak yang dapat kita bicarakan mengenai teknik mengajar yang baik, antara lain teknik bertanya. Pertanyaan adalah pembangkit motivasi yang dapat merangsang peserta didik untuk berpikir. Melalui pertanyaan peserta didik didorong untuk mencari dan menemukan jawaban yang tepat dan memuaskan. Dalam mencari dan menemukan itu ia berpikir menghubung-hubungkan bagian -pengetahuan yang ada pada dirinya dengan isi pertanyaan itu. Jawaban yang dapat segera diperoleh jika isi pertanyaan banyak kaitannya dengan pengetahuan yang ada pada dirinya. Jika jawaban yang diminta belum siap dimilikinya, maka hal mi mendorong untuk menemukannya. Ia akan menjelajahi data-data jawaban melalui berbagai cara yang tepat. Proses yang dilakukan adalah dengan membaca, meneliti atau diskusi. Membaca informasi dan berbagai sumber ada]ah salah satu teknik untuk menemukan jawaban. Penelitian di laboratorium, di lapangan, di musium, atau di tempat-tempat sumber belajar lainnya juga merupakan cam untuk menemukan jawaban. Jika pencarian jawaban dilakukan melalui penelitian atau membaca informasi
atau berbagai sumber sebanyak-banyaknYa maka guru telah berhasil menciptakan suasana belajar yang baik. Kegiatan belajar seperti itu sangat membantu dalam membina manusia seutuhnya. Jika kita hayati pengalaman kita mengajar di sekolah, kadang-kadang kita berintrospeksi, apakah yang dilakukan itu telah cukup memberi stimuli pada peserta didik untuk belajar sesungguhnya, apakah peserta didik terbangkit atau mendorongnya untuk belajar yang baik di sekolah atau di rumah. Kunci pokok kehadiran stumuli belajar antara lain adalah pertanyaan yang diajukan oleh gurunya. Orang berpendapat bahwa pendapat itu adalah membuka jalan kearah yang baik dalam belajar. Dengan pertanyaan itu peserta didik akan segera mulai belajar sesungguhnya (menaingful learning). Jika dilihat dan intensitasnya, pertanyaan itu ada yang baik dan ada yang jelek. Pertanyaan yang baik ditandai oleh: (1) adanya respon dan pihak peserta didik untuk menjawabnya, jika jawabannya sulit ditemukan, peserta didik tidak putus semangat untuk mencarinya dan berbagai sumber. Kadang-kadang melakukan penelitian atau membaca informasi dan buku, surat kabar, atau majalah. Jadi, pertanyaan yang baik itu akan menumbuhkan berbagai respon untuk mencari dan menemukan jawaban yang tepat; (2) adanya rasa tidak puas atas pertanyaan yang diberikan. Dorongan yang menumbuhkannya adalah antara lain persaingan di antara mereka untuk memperoleh pujian dan nilai yang baik. Karenanya mereka selalu giat untuk selalu mencari dan menemukan jawaban yang tepat; (3) adanya pertanyaan yang tidak terlampau menghendaki jawaban ya atau bukan. Pertanyaan seperti apakah ibukota Sumatera Utara ? akan lain fungsinya dengan pertanyaan apa persyaratan bagi berdirinya suatu negara ?. dan kedua pertanyaan itu dapat dibedakan bahwa pertanyaan pertama hanya meminta jawaban berdasarkan ingatan, jawabannya bersifat fakta, dan untuk menjawabnya tidak memerlukan proses pemikiran yang dalam dan karenanya, jawabannya mudah ditemukan. Lain halnya dengan pertanyaan kedua. Pertanyaan mi banyak menuntut pikiran yang mendalam. Dalam menjawabnya selain harus membaca informasi sebanyak banyaknya, peserta didik harus menjelajahi pembuktian-pembuktian yang menunjang kebenaran jawaban tersebut. Jika pertanyaan tersebut kita telaah secara mendalam, tampak bahwa pertanyaan kedua mengundang banyak aktivitas belajar: dan (4) pertanyaan yang jelas dan mudah dipahami. Pertanyaan yang jelas biasanya ditandai oleh pemakaian bahasa yang sederhana, singkat dan padat. Pertanyaan yang mudah ditandai oleh pertanyaan yang selalu berpusat pada tujuan dan materi pelajaran, ruang lingkupnya tidak terlalu luas, dan cukup menggambarkan keseluruhan materi pelajaran. Pertanyaan itu harus bermakna, maksudnya: (1) dapat membangkitkan aktivitas kegiatan belajar yang sesungguhnya; dan (2) dapat membentuk pengetahuan, sikap, dan keterampilan yang
dibutuhkan melalui kegiatan belajar. Dalam kegiatan belajar dan mengajar pertanyaan yang baik bergantung pada: (1) cara seseorang atau guru bertanya pada para siswanya mengenai hal pelajaran; (2) sikap seseorang guru mengajukan pertanyaan adalah sikap yang edukatif, dan (3) cara memberi giliran dalam menjawab pertanyaan mengacu pada asas keadilan dan demokrasi. Cara seseorang mengajukan pertanyaan, hasil pengalaman menunjukkan bahwa cara seseorang mengajukan pertanyaan itu banyak ragamnya. Caranya ialah ada yang dengan: (1) memberikan pengarahan ulang (redirecting); dan (2) ada yang dengan membimbing untuk memberikan jawaban (probing). Pada pertanyaan bentuk pengarahan ulang terdapat proses pengalihan jawaban dan seseorang terhadap peserta didik lainnya. Maksudnya untuk memperoleh jawaban yang tepat dan para peserta didik. Secara diagramatik Rusyan (1993:69) menggambarkan bahwa guru mengajukan pertanyaan terhadap seseorang atau peserta didik, dan kemudian mengalihkan pertanyaan itu terhadap peserta didik lainnya untuk dikomentari dan diberi penjelasan seperlunya. Ganis interaksi antara pertanyaan dan jawaban dalam kegiatan belajar tersebut dapat dilukiskan sebagai berikut:
Contoh Pertanyaan: Guru: Amat, apakah yang akan terjadi bila logam dijatuhkan kedalam air? Amat: Tenggelam, Pak Guru. Guru: Amin, apakah kamu setuju dengan pendapat Amat itu? (atau bisa juga: Amin, dapatkah kamu menjelaskan pendapat Amat itu?) Pada pertanyaan yang bersifat mendidik, maka bagi peserta didik untuk menemukan jawaban terdapat upaya untuk memberikan pengarahan, namun tidak sambil mengulang (clarification), dan generalisasi (generalization). Pertanyaan berbentuk isyarat menolong peserta didik agar jawabannya sampai kepada yang diharapkan atau sekurang-kurangnya bisa sampai jawaban yang tidak terlampau menyimpang dati yang sebenarnya. Pertanyaan berbentuk penjelasan dapat berguna untuk para
peserta didik dalam memberikan pendapatnya agar lebih jelas daripada yang diungkapkannya, terutama mengenal pengertian-pengertian. Pertanyaan-pertanyaan bentuk tunggu mi, memerlukan waktu rata-rata 5 detik. Ia berpendapat jika waktu ini secara konsekuen dilaksanakan, akibatnya dapat membina kreativitas peserta didik dalam menemukan jawaban. Kalimat-kalimat yang digunakan lambat laun akan menjadi sempurna, dan peserta didik yang lambat pun akan dapat memberikan jawaban, sehingga anak yang cepat menangkap pertanyaan dan yang lambat mendapat perhatian yang sama. Contoh tiga jehis pertanyaan probing tersebut adalah sebagai berikut: Pertanyaan probing dalam bentuk isyarat Guru : Amin, Berapa 25 X 25? Ainin: (lama berpikir tidak menjawab). Tidak tahu. Guru: Coba pikirkan, berapa 20X 25? Amin: (dengan mudah menjawab) 500. Guru: Berapa 5 X 25? Amin: 125 Guru: Sekarang, jadi berapa 25 X 25? Amin: (ia menghitungnya) 500 + 125 = 625 Pertanya probing dalam bentuk penjelasan Guru: Tidak jauh dan sekolah kita akan didirikan pabrik obat. Setujukah kamu semua? Beberapa murid menjawab: Tidak setuju. Guru: Mengapa tidak setuju, Anif? Arif: Sebab air yang mengalir di sungai kita akan mengandung racun. Guru: Apa yang dimaksud racun itu, Arif? Dan seterusnya. Pertanyaan Probing dalam bentuk generalisasi, Guru: Ada tiga buah segitiga A, B, dan C. Ukurlah berapa besar sudutnya, ukurlah besar masing-masing sudut segitiga itu. Kemudian tariklah kesimpulan berapa besar jumlah sudut suatu segitiga. Banyak hal yang kita lakukan dalam mengajukan pertanyaan agar pertanyaan itu dapat dengan mudah dipahami. antara lain dengan diikuti oleh pemantapan atau reinforcement yang tinggi yang dapat merangsang peserta didik untuk berpikir. Pemantapan itu bisa dilakukan dalam bentuk: (1) verbal, yaitu mengucapkan kata-kata yang tidak monoton tetapi beralun disertai dengan tekanan yang menegaskan seperti pada kalimat: siapa yang menemukan listrik?: (2) gestural. yaitu pengucapan pertanyaan yang disertai dengan gerak dan mimik tertentu tanda emosional; (3) parsial, yaitu bagian-bagian tertentu dalam pertanyaan seperti: kapan proklamasi Indonesia diucapkan? Siapa yang mengucapkannya? Di mana? Dalam menjawab pertanyaan itu guru perlu memperhatikan masa tunggu yang disarankan oleh Dr. Rowe itu. Sikap guru bertanya kepada seseorang berbeda sikap guru bertanya kepada kelompok atau kelas. Menurut
teori, sikap guru kepada kelas lebih berhasil dalam menelaah jawaban yang diminta karena dorongan untuk menjawabnya lebih besar jika dibandingkan dengan kepada perseorangan. Para peserta didik banyak terlibat dalam menentukan jawaban itu. Oleh karena itu pertanyaan sebaiknya diarahkan kepada seluruh kelas walaupun pertanyaan itu memerlukan pertanyaan dan perseorangan atau seorang peserta didik. Sikap lain dalam mengajukan pertanyaan yang perlu dikembangkan ialah sebagai berikut: (1) pertanyaan yang pernah diucapkan jangan sering diulang. Pengulangan pertanyaan bisa membuat pertanyaan menjadi kabur, apalagi jika kalimat yang pertama tidak sama strukturnya dengan kalimat kedua; (2) isi pertanyaan hendaknya berkisar pada pokok bahasan tertentu. Pertanyaan diluar bahasan akan mengaburkan jawaban yang diminta, dan akibatnya kan membuat antipati dan pihak peserta didik; dan (3) selalu menuntun peserta didik dalam menjawab pertanyaan kepada pokok pelajaran. Tidak jarang peserta didik yang menjawab pertanyaan diluar pokok pelajaran. Cara guru memberikan giliran: Cara guru memberikan giliran dalam memberikan menjawab pertanyaan dapat berpengaruh dalam menciptakan kadar jawaban yang diharapkan. Kadar jawaban akan lebih tinggi jika pertanyaan dapat dijawab oleh banyak peserta didik. Pertanyaan yang hanya di jawa boleh peserta didik jangan diharapkan jawaban pertanyaan itu lengkap dan memadai. Maksud pertanyaan pada hakikatnya tidak ingin adanya jawaban yang tepat, tetapi juga agar pertanyaan itu dapat menciptakan proses belajar yang baik. Untuk itu maka diperlukan cara memberikan jawaban dengan bergilir. Cara memberikan giliran itu dapat dilakukan sebagai berikut: (1) dengan pertanyaan yang ditujukan kepada seseorang dan gilirannya kepada orang lain; (2) dengan pertanyaan yang diberikan kepada kelompok dan gilirannya kepada kelompok lain; (3) dengan pertanyaan yang ditujukan kepada siapapun dan diarahkan secara tersebar. Pertanyaan itu tidak ditujukan kepada peserta didik atau kelompok tertentu tetapi kepada peserta didik yang bersedia menjawabnya. Semua bersedia menjawabnya akan diberikan giliran secara teratur; dan (4) dengan pertanyaan yang ditujukan kepada seluruh kelas dan dijawab secara spontan oleh siapa saja. Yang menjawab mungkin hanya peserta didik atau seseorang wakil dan kelas yang bersangkutan. Guru bisa memberikan giliran yang lebih adil untuk menjawab pertanyaan yang diajukan melalui wakil kelompok itu 3. Metode Mengajar Menggunakan Metode Diskusi Diskusi ialah percakapan ilmiah yang responsif berisikan pertukaran pendapat yang dijalin dengan pertanyaan-pertanyaan problematis pemunculan ide-ide dan pengujian ide-ide ataupun pendapat dilakukan oleh beberapa orang yang tergabung dalam kelompok itu yang diarahkan untuk memeperoleh pemecahan masalahnya dan untuk mencari kebenaran. Dalam diskusi selalu ada suatu
pokok yang dibicarakan. Dalam percakapan itu diharapkan para pembicara tidak menyimpang dan pokok pembicaraan. Mereka harus selalu senantiasa kembali kepada pokok masalahnya. Pada hakikatnya diskusi berbeda dengan percakapan, situasi lebih santai kadang diselingi dengan humor. Dalam diskusi, semua anggota turut berpikir dan diperlukan disiplin yang ketat. Manfaat diskusi antara lain adalah sebagai berikut: (1) peserta didik memperoleh kesempatan untuk berpikir; (2) peserta didik mendapat pelatihan mengeluarkan pendapat, sikap dan aspirasmya secara bebas; (3) peserta didik belajar bersikap toleran terhadap teman-temannya; (4) diskusi dapat menumbuhkan partisipasi aktif dikalangan peserta didik; (5) diskusi dapat mengembangkan sikap demokratif, dapat menghargai pendapat orang lain; dan (6) dengan diskusi, pelajaran menjadi relevan dengan kebutuhan masyarakat. Diskusi selalu dipakai dalam pergaulan sehari-hari, dan karenanya merupakan sebagian dan kehidupan sehari-hari. Di samping manfaat menggunakan metode diskusi, tentu terdapat kelemahan-kelemahannya. Adapun kelemahan-kelemahannya itu antara lain adalah sebagai berikut: (1) diskusi terlampau menyerap waktu. Kadang-kadang diskusi larut dengan keasikannya dan dapat mengganggu pelajaran lain; (2) pada umumnya peserta didik tidak berlatih untuk melakukan diskusi dan menggunakan waktu diskusi dengan baik, maka kecenderungannya mereka tidak sanggup berdiskusi; dan (3) kadang-kadang guru tidak memahami cara-cara melaksanakan diskusi, maka kecenderungannya diskusi menjadi tanya jawab. Kelemahan mi menunjukkan bersumber dan guru yang kurang menguasai penggunaan dana manfaat metode diskusi dalam membahas materi pelajaran. Kelemahan juga datang dan peserta didik yaitu kurang mampu melaksanakan diskusi dengan baik, karena terjebak dengan tanya jawab atau debat kusir, sehingga makna diskusi sebagai suatu teknik untuk memahami materi pelajaran tidak terpenuhi dengan baik. Usaha apa yang dapat dilakukan oleh guru supaya diskusi bisa berhasil dengan baik? Antara lain adalah: (1) masalahnya harus kontroversial, artinya mengandung pertanyaan dan peserta didik. Masalah itu menarik perhatian mereka karena bertalian erat dengan pengalaman mereka; (2) guru harus menempatkan dirinya sebagai pemimpin diskusi. Ia harus membagi-bagi pertanyaan dan memberi petunjuk tentang jalannya diskusi. Guru juga berperan sebagai penangkis terhadap pertanyaan yang diajukan peserta didik; dan (3) guru hendaknya memperhatikan pembicaraan agar fungsi guru sebagai pemimpin diskusi dapat dilaksanakan sebagaimana mestinya. Beberapa jenis diskusi yang lazim dilakukan yaitu: (1) diskusi panel. Diskusi mi hanya dilakukan oleh beberapa orang yang terpilih sebagai wakil orang banyak. Mereka adalah pakar di bidangnya masing-masing dan memiliki wawasan yang berbeda. Diskusi terjadi diantara diskusi panel. Jika diskusi melibatkan peserta diskusi lainnya, maka diskusi itu disebiiF1biiiii2) simposium.
Jalan diskusinya sama dengan panel, namun diakhiri dengan sebuah keputusan. Tiap pembicaraan mengemukakan pendirian dan pandangan yang berbeda. Pada diskusi mi peserta juga diberi kesempatan untuk mengemukakan pendapat (forum); (3) diskusi seminar. Dalam seminar terdapat jenis pengarahan yang memberi garis pembicaraan nanti dalam diskusi. Setelah pengarahan disampaikan, baru disajikan kertas kerja oleh beberapa orang ahli. Bahan yang di terima dan pengarahan dan kertas kerja menjadi bahan untuk didiskusikan; (4) diskusi lokakarya. Konsep hasil seminar diturunkan kepada yang bersifat praktis seperti pada kegiatan penulisan modul. Sebelum kegiatan mi dilakukan, dibicarakan dulu dalam lokakarya, terutama cara-cara menulis modul, bahan-bahan tulisannya, serta pemakaian bahasa yang cocok dengan perkembangan peserta didik. Kadang-kadang lokakarya digabung dengan kegiatan penatalan dan disebut penlok; dan (5) diskusi formal. Diskusi ini mengikuti cara-cara yang dilakukan dalam rapat formal seperti pada rapat guru dan kepala sekolah atau pertemuan periodik antara guru dan kepala peserta didik. Dikelas diskusi ini bisa juga dilakukan dengan cara sebagai berikut: (a) guru menjelaskan permasalahan dihadapkan peserta didik untuk di pecahkan; (b) setelah peserta didik memahami masalahnya diskusi dimulai, dan setiap peserta didik diberi kesempatan untuk mengemukakan pendapatnya; dan (c) pengambilan kesimpulan; (6) Bila memungkinkan, pimpinan diskusi diserahkan kepada peserta didik; (7) diskusi kuliah. Diskusi mi dilakukan setelah kuliah selesai, dimulai dan sebuah urutan singkat tentang pokok bahasan. Berbagai masalah dan uraian itu didiskusikan; (8) brainstorming. Diskusi ini dimaksudkan untuk menampung sejumlah pendapat dan para anggota diskusi sebagai bahan pemecahan masalah yang sedang dihadapi. Semua pendapat, tanpa didiskusikan lebih jauh, ditampung saja. Pemimpin diskusi atau pihak yang ditunjuk mencoba memecahkan masalah dengan menggunakan berbagai pendapat tadi. Diskusi mi jarang dipakai dalam mengajar. 4. Model Mengajar Menggunakan Metode Demonstrasi Metode demostrasi merupakan metode yang paling sederhana dibandingkan dengan metodemetode mengajar lainnya. Metode demostrasi adalah pertunjukan tentang proses terjadinya suatu peristiwa atau benda sampai pada penampilan tingkah laku yang dicontohkan agar dapat diketahui dan dipahami oleh peserta didik secara nyata atau tiruannya. Metode ini adalah yang paling pertama digunakan oleh manusia yaitu tatkala manusia purba menambah kayu untuk memperbesar nyala unggun api, sementara anak-anak mereka memperhatikan dan menirunya. Metode demonstrasi mi barang kali lebih sesuai untuk mengajarkan bahan-bahan pelajaran yang merupakan suatu gerakangerakan, suatu proses maupun hal-hal yang bersifat rutin. Dengan metode demonstrasi peserta didik berkesempatan mengembangkan kemampuan mengamati segala benda yang sedang terlibat dalam
proses serta dapat mengambil kesimpulan-kesimpulan yang diharapkan. Dalam demonstrasi diharapkan setiap langkah pembelajaran dan hal-hal yang didemonstrasikan itu dapat dilihat dengan mudah oleh dan melalui prosedur yang benar dan dapat pula dimengerti materi yang diajarkan. Meskipun demikian murid-murid perlu juga mendapatkan waktu yang cukup lama untuk memperhatikan sesuatu yang didemonstrasikan itu. Dalam demonstrasi, terutama dalam rangka mengembangkan sikap-sikap, guru perlu merencanakan pendekatan secara lebih berhati-hati dan ia memerlukan kecakapan untuk mengarahkan motivasi dan berpikir siswa. Dalam hal mi ada dua macam demonstrasi, yaitu : (1) demonstrasi formal dan (2) demonstrasi informal. Dari uraian di atas dapatlah ditarik kesimpulan, bahwa yang dimaksud dengan metode demonstrasi dalam belajar dan mengajar ialah metode yang digunakan oleh seorang guru atau orang luar yang sengaja didatangkan atau murid sekali pun untuk mempertunjukkan gerakan-gerakan suatu proses dengan prosedur yang benar disertai keterangan-keterangan kepada seluruh dunia. Dalam metode demonstrasi murid mengamati dengan teliti dan seksama serta dengan penuh perhatian dan partisipasi. a. Kebaikan-kebaikannya Tujuan pengajaran menggunakan metode demonstrasi adalah untuk memperlihatkan proses terjadinya suatu peristiwa sesuai materi ajar, cara pencapaiannya, dan kemudahan untuk dipahami oleh siswa dalam pengajaran kelas. Metode demonstrasi mempunyai kebaikan-kebaikan, antara lain ialah: (1) perhatian murid dapat dipusatkan kepada hal-hal yang dianggap penting oleh guru sehingga hal yang penting itu dapat diamati secara teliti. Di samping itu perhatian siswa pun lebih mudah dipusatkan kepada proses belajar mengajar dan tidak kepada yang lainnya; (2) dapat membimbing peserta didik ke arah berpikir yang sama dalam satu saluran pikiran yang sama; (3) ekonomis dalam jam pelajaran di sekolah dan ekonomis dalam waktu yang panjang dapat diperlihatkan melalui demostrasi dengan waktu yang pendek; 4) dapat mengurangi kesalahan-kesalahan bila dibandingkan dengan hanya membaca atau mendengarkan, karena murid mendapatkan gambaran yang jelas dan hasil pengamatannya: (5) karena gerakan i1n proses dipertunjukkan maka tidak memerlukan keterangan-keterangan yang banyak: dan (6) beberapa persoalan yang menimbulkan pertanyaan atau keraguan dapat diperjelas waktu proses demonstrasj. b. Kelemahan-kelemahannya Metode demonstrasi mempunyai beberapa kelemahan, antara lain sebagai berikut: (I) derajat visibilitasnya kurang, peserta didik tidak dapat melihat atau mengamati keseluruhan benda atau peristiwa yang didemonstrasikan, kadang-kadang terjadi perubahan yang tidak terkontrol; (2) untuk mengadakan demonstrasi diperlukan alat-alat yang khusus. Kadang-kadang alat itu sukar didapat. Demonstrasi merupakan metode yang tak wajar bila alat yang didemonstrasikan tidak dapat diamati
secara seksama; (2) dalam mengadakan pengamatan terhadap hal-hal yang didemonstrasikan diperlukan pemusatan perhatian. Dalam hal mi banyak diabaikan oleh murid-murid; (3) tidak semua hal dapat didemonstrasikan di dalam kelas; (4) memerlukan banyak waktu, sedangkan hasilnya kadang-kadang sangat minimum; (5) kadang-kadang proses yang didemonstrasikan di dalam kelas akan berbeda jika proses itu didemonstrasikan dalam situasi nyata/sebenarnya; dan (6) agar didemonstrasi mendapatkan hasil yang baik diperlukan ketelitian dan kesabaran. Kadang-kadang ketelitian dan kesabaran itu diabaikan sehingga apa yang diharapkan tidak tercapai sebagaimana mestinya.
c. Cara Mengatasi Kelemahan Metode Demonstrasi Ada berbagai cara yang dapat dilakukan mengatasi kelemahan-kelemahan metode demonstrasi yakni: (1) tentukan terlebih dahulu hasil yang ingin dicapai dalam jam pertemuan itu; (2) guru mengarahkan demonstrasi itu sedemikian rupa sehingga murid-murid memperoleh pengertian dan gambaran yang benar, pembentukan sikap dan kecakapan praktis; (3) pilih dan kumpulkan alatalat demonstrasi yang akan dilaksanakan; (4) usahakan agar seluruh murid dapat mengikuti pelaksanaan demonstrasi itu sehingga memperoleh pengertian dan pemahaman yang sama; (5) berikan pengertian yang sejelas-jelasnya tentang landasan teori dan yang didemonstrasikan. Hindari pemakaian istilah yang tidak dipahami murid; (6) sedapat mungkin bahan pelajaran yang didemonstrasikan adalah hal-hal bersifat praktis dan berguna dalam kehidupan sehari-hari; dan (7) menetapkan garis-garis besar langkah-langkah demonstrasi yang akan dilaksanakan. Dan sebaiknya demonstrasi itu dimulai, guru telah mengadakan uji coba (try out) supaya kelak dalam melakukannya tepat dan secara otomatis. 5. Model Mengajar Menggunakan Metode Sosiodrama Sosiodrama (role playing) berasal dan kata sosio dan drama. Sosio berarti sosial menunjuk pada objeknya yaitu masyarakat menunjukkan pada kegiatan-kegiatan sosial, dan drama berarti mempertunjukkan, mempertontonkan atau memperlihatkan. Sosial atau masyarakat terdiri dan manusia yang satu sama lain terjalin hubungan yang dikatakan hubungan sosial. Drama dalam pengertian luas adalah mempertunjukkan atau mempertontonkan suatu keadaan atau peristiwaperistiwa yang dialami orang. Orang dan tingkah laku orang. Metode sosiodrama berarti cara menyajikan bahan pelajaran dengan mempertunjukkan dan mempertontonkan atau mendramatisasikan cara tingkah laku dalam hubungan sosial. Jadi sosiodrama ialah metode mengajar yang dalam pelaksanaannya peserta didik mendapat tugas dan guru untuk mendramatisasikan suatu situasi sosial yang mengandung suatu problem, agar peserta didik dapat memecahkan suatu masalah yang muncul dan suatu situasi sosial. a. Kebaikan-kebaikannya Metode sosiodrama oleh Mansyur (1996:104) mempunyai kebaikan-kebaikan antara lain ialah: (1) murid melatih dirinya untuk melatih, memahami, dan mengingat bahan yang akan didramakan. Sebagai pemain harus memahami, menghayati isi cerita secara keseluruhan, terutama untuk materi yang harus diperankannya. Dengan demikian daya ingatan murid harus tajam dan tahan lama; (2) murid akan terlatih untuk berinisiatif dan berkreatif. Pada waktu bermain drama para pemain dituntut untuk mengemukakan pendapatnya sesuai dengan waktu yang tersedia; (3) bakat yang terpendam pada murid dapat dipupuk sehingga dimungkinkan akan muncul atau timbul bibit
seni dan sekolah. Jika seni drama mereka dibina dengan baik kemungkinan besar mereka akan jadi pemain yang baik kelak; (4) kerja sama antar pemain dapat ditumbuhkan dan dibina dengan sebaikbaiknya: (5) murid memperoleh kebiasaan untuk menerima dan membagi tanggung jawab dengan sesamanya; dan (6) bahasa lisan murid dapat dibina menjadi bahasa yang baik agar mudah dipahami orang lain. b. Kelemahan-kelemahannya Metode sosiodrama mempunyai kelemahan-kelemahan, antara lain: (1) sebagian besar anak yang tidak ikut bermain drama mereka menjadi kurang aktif; (2) banyak memakan waktu, baik waktu persiapan dalam rangka pemahaman isi bahan pelajaran maupun pada pelaksanaan pertunjukan; (3) memerlukan tempat yang cukup luas, jika tempat bermain sempit menyebabkan gerak para kurang bebas; dan (4) kelas lain sering terganggu oleh suara pemain dan para penonton yang kadang-kadang bertepuk tangan dan sebagainya. c. Cara-cara mengatasi Kelemahan-kelemahan Metode Sosiodrama Usaha-usaha untuk mengatasi kelemahan-kelemahan dan metode sosiodrama, antara lain ialah: (1) guru harus menerangkan kepada siswa, untuk memperkenalkan metode ini, bahwa dengan jalan sosiodrama siswa diharapkan dapat memecahkan masalah hubungan sosial yang aktual ada di masyarakat. Kemudian guru menunjuk beberapa siswa yang berperan, masing-masing akan mencari pemecahan masalah sesuai dengan perannya, dan siswa yang lain menjadi penonton dengan tugastugas tertentu pula; (2) guru harus memilih masalah yang urgen sehingga menarik minat anak. Ia dapat menjelaskan dengan baik dan menarik, sehingga siswa terangsang untuk memecahkan masalah itu: (3) agar siswa memahami peristiwanya maka guru harus bisa menceritakan sambil mengatur adegan pertama; dan (4) bobot atau luasnya bahan pelajaran yang akan didramakan harus sesuai dengan waktu yang tersedia. Oleh karena itu harus diusahakan agar para pemain berbicara dan melakukan gerakan jangan sampai banyak variasi yang kurang berguna.
6. Model Mengajar Menggunakan Metode Karyawisata Karyawisata (Jield trip) ialah pesiar (ekskursi) yang dilakukan oleh para peserta didik untuk melengkapi pengalaman belajar tertentu dan merupakan bagian integral dan kurikulum sekolah. Dengan karyawisata sebagai metode belajar mengajar, anak didik dibawah bimbingan guru mengunjungi tempat-tempat tertentu dengan maksud untuk belajar. Berbeda halnya dengan tamasya dimana manusia terutama pergi untuk mencari liburan, dengan karya wisata manusia diikat oleh tujuan dan tugas belajar. Kendati pun karyawisata menurut Rusyan (1993:82) banyak memiliki nilai non akademis, tetapi tujuan umum pendidikan dapat dicapai, terutama mengenai wawasan dan pengalaman tentang dunia luar seperti kunjungan ketempat-tempat situs bersejarah, museum, peternakan yang sistematis, dan sebagainya. a. Kebaikan-kebaikannya Metode karyawisata mempunyai beberapa kebaikan, antara lain ialah: (1) anak didik dapat mengamati kenyataan-kenyataan yang beraneka ragam dan dekat; (2) anak didik dapat menghayati pengalaman-pengalaman baru dengan mencoba turut serta di dalam suatu kegiatan; (3) anak didik dapat menjawab masalah-masalah atau pertanyaan-pertanyaan dengan melihat, mendengar, mencoba dan membuktikan secara langsung; (4) anak didik dapat memperoleh informasi dengan jalan mengadakan wawancara atau mendengarkan ceramah yang diberikan on the spot; dan (5) anak didik dapat mempelajari sesuatu secara integral dan komprehensif. b. Kelemahan-kelemahannya Adapun kelemahan-kelemahan dan metode karyawisata ini antara lain: (1) memerlukan persiapan yang melibatkan banyak pihak; (2) jika karyawisata sering dilakukan akan mengganggu kelancaran rencana pelajaran, apalagi jika tempat-tempat yang dikunjungi jauh dan sekolah; (3) kadang-kadang mendapat kesulitan dalam bidang pengangkutan; (4) jika tempat yang dikunjungi itu sukar diamati, akibatnya siswa menjadi bingung dan tidak akan mencapai tujuan yang diharapkan. Misalnya untuk mempelajari proses kimia yang dikerjakan oleh mesin yang diamati; (5) memerlukan pengawasan yang ketat; dan (6) memerlukan biaya yang relatif tinggi. c. Cara-cara Mengatasi Kelemahan-Kelemahan Metode Karyawisata Ada beberapa cara yang digunakan untuk mengatasi kelemahan-kelemahan metode karyawisata, antara lain: (1) perlu merumuskan tujuan-tujuan yang jelas dan tegas; (2) buatlah rumusan tujuan yang jelas dan konkret; (3) penentuan tugas-tugas yang harus dilakukan sewaktu dan sesudah pelaksanaan karyawisata; (4) rencana penilaian pengalaman-pengalaman dan hasil karyawisata; dan (5) rencana selanjutnya sebagai kelanjutan pengalaman hasil karyawisata.
7. Model Mengajar Menggunakan Metode Kerja Kelompok Istilah kerja kelompok dipakai untuk merangkum pengertian dimana anak didik dalam satu kelompok dipandang sebagai satu kesatuan tersendiri. untuk mencari satu tujuan pelajaran yang tentu dengan bergotong royong. Metode kerja kelompok atau bekerja dalam situasi kelompok, mengandung pengertian bahwa siswa dalam suatu kelas dipandang sebagai satau kesatuan (kelompok) tersendiri, ataupun dibagi atas kelompok-kelompok kecil atau sub-sub kelompok. Sebagai metode kerja kelompok dapat dipakai mengajar untuk mencapai bermacam macam tujuan di sekolah. di dalam praktek ada banyak jenis kerja kelompok yang dapat dilaksanakan yang kesemuanya bergantung pada beberapa faktor, misalnya pada tujuan khusus yang akan dicapai, umur dan kemampuan siswa-siswa, serta fasilitas pelajaran-pelajaran di kelas. Kelompok bisa dibuat berdasarkan perbedaan individual dalam kemampuan belajar, perbedaan minat dan bakat belajar, jenis kegiatan, wilayah tempat tinggal, random, dan sebagainya. a. Kebaikan-kebaikannya Sebaiknya kelompok menggambarkan yang heterogen, baik dan segi kemampuan belajar maupun jenis kelamin. Hal ini dimaksudkan agar kelompok-kelompok tersebut tidak berat sebelah yaitu ada kelompok terdiri dan anggota yang berkemampuan baik dan ada kelompok dengan anggota yang berkemampuan kurang baik, hal ini harus dihindari. Ada beberapa kebaikan dan metode kerja kelompok, antara lain adalah: (1) membiasakan siswa bekerja sama menurut paham demokrasi, memberikan kesempatan kepada mereka untuk mengembangkan sikap musyawarah dan bertanggung jawab; (2) kesadaran akan adanya kelompok menimbulkan rasa kompetitif yang sehat. sehingga membangkitkan kemauan belajar dengan sungguh-sungguh; (3) guru tidak perlu mengawasi masingmasing murid secara individual, cukup hanya dengan memperhatikan kelompok saja atau ketua-ketua kelompoknya. Penjelas tentang tugas pun dapat dilakukan hanya melalui ketua kelompok; dan (4) melatih ketua kelompok menjadi pemimpin yang bertanggung jawab dan membiasakan anggotaanggotanya untuk melaksanakan tugas kewajiban sebagai warga yang patuh pada aturan, b. Kelemahan-kelemahannya Di samping kebaikannya tentu saja metode mi mempunyai pula kelemahan-kelemahan. Kelemahan itu dapat ditinjau dan dari segi, yaitu: (1) segi penyusunan kelompok yakni: (a) sulit untuk membuat kelompok yang homogen, baik inteligensi, bakat dan minat, atau daerah tempat tinggal (b) murid-murid yang oleh guru telah dianggap homogen, sering tidak merasa cocok dengan anggota kelompoknya itu; dan (c) pengetahuan guru tentang pengelompokan itu kadang-kadang masih belum mencukupi; dan (2) segi kerja kelompok yakni: (a) pemimpin kelompok kadang-kadang
sukar untuk memberikan pengertian kepada anggota, sulit untuk menjelaskan dan mengadakan pembagian kerja; (b) anggota kadang-kadang tidak mematuhi tugas-tugas yang diberikan oleh pemimpin kelompok; dan (c) dalam belajar bersama kadang-kadang tidak terkendali sehingga menyimpang dan rencana yang berlarut-larut. c. Cara-cara Mengatasi Kelemahan-kelemahan Metode Kerja Kelompok Kelemahan-kelemahan yang melekat dan yang akan ditemui. dalam metode ini, bukanlah berarti untuk melemahkan penggunaannya, melainkan agar dapat diambil langkah buat mengatasinya. Langkah-langkah buat mengatasinya menurut Mansyur (1996:108) antara lain adalah: (1) guru haruslah berusaha memperoleh pengetahuan yang luas dalam hal cara menyusun kelompok, baik melalui buku atau dengan bertanya kepada mereka yang telah berpengalaman; (2) kumpulan data tentang siswa untuk menunjang tugas-tugas guru; (3) adakan tes sosiometri dan buatlah sosiogram dari kelas bersangkutan untuk mengetahui klik atau ada murid yang terisolasi; (4) bimbingan terhadap kelompok harus dilakukan terus menerus; (5) usahakan agar jumlah kelompok itu tidak terlalu besar dan anggotanya dalam waktu tertentu berganti-ganti; dan (6) dalam memberikan motivasi haruslah menuju kepada kompetisi yang sehat. 8. Model Mengajar Menggunakan Metode Latihan Metode latihan (drill) atau metode training merupakan suatu cara mengajar yang baik untuk menanamkan kebiasaan-kebiasaan tertentu. Juga sebagai sarana untuk memperoleh suatu ketangkasan, ketepatan, kesempatan dan keterampilan. Metode latihan pada umumnya digunakan untuk memperoleh suatu ketangkasan atau ketrampilan dan apa yang telah dipelajari. Mengingat latihan ini kurang mengembangkan bakat atau inisiatif siswa untuk berpikir, latihan-disiapkan-untuk mengembangkan kemampuan yang sebelumnya dilakukan diagnosis agar kegiatan itu bermanfaat bagi pengembangan motorik siswa. a. Kebaikan-kebaikannya Metode latihan mempunyai kebaikan-kebaikan, antara lain adalah: (I) pembentukan kebiasaan yang dilakukan dengan mempergunakan metode ini akan menambah ketepatan dan kecepatan pelaksanaan; (2) pemanfaatan kebiasaan-kebiasaan tidak memerlukan banyak konsentrasi dalam pelaksanaannya; dan (3) pembentukan kebiasaan membuat gerakan-gerakan yang kompleks. rumit menjadi otomatis, habitation makes complex movement more automatic. b. Kelemahan-kelemahannya Adapun kelemahan-kelemahan metode ini antara lain: (1) metode ini dapat menghambat bakat dan inisiatif murid, karena murid lebih banyak dibawa kepada konformitas dan diarahkan kepada uniformitas; (2) kadang-kadang latihan yang dilaksanakan secara berulang-ulang merupakan hal yang
monoton. mudah membosankan; (3) membentuk kebiasaan yang kaku, karena murid lebih banyak ditujukan untuk mendapatkan kecakapan memberikan respons secara otomatis. tanpa menggunakan inteligensia: dan (4) dapat menimbulkan verbalisme karena murid-murid lebih banyak dilatih menghafal soal-soal dan menjawabnya secara otomatis. c. Cara mengatasi kelemahan-kelemahan metode latihan Ada bermacam-macam usaha yang dapat dilakukan untuk mengatasi kelemahan-kelemahan metode latihan mi yaitu antara lain: (L) latihan hanya untuk bahan atau tindakan yang bersifat otomatis; (2) latihan harus memiliki arti yang luas, karenanya: (a) jelaskan terlebih dahulu tujuan latihan tersebut; (b) agar murid dapat memahami manfaat latihan itu bagi kehidupan siswa; dan (c) murid perlu mempunyai sikap bahwa latihan itu diperlukan untuk melengkapi belajar; (3) masa latihan relatif harus singkat, tetapi harus sering dilakukan pada waktu-waktu tertentu; (4) latihan harus menarik, gembira dan tidak membosankan. Untuk itu perlu: (a) dibandingkan minat intrinsik; (b) tiap-tiap kemajuan yang dicapai murid harus jelas; dan (c) hasil latihan terbaik dengan sedikit menggunakan emosi; dan (3) proses latihan dan kebutuhan-kebutuhan harus disesuaikan dengan proses perbedaan individual: (a) tingkat kecakapan yang diterima pada satu tidak perlu sama; dan (b) perlu diberikan perorangan dalam rangka menambah latihan kelompok. Cara mengatasi kelemahan mi tentu harus disesuaikan dengan kondisi objektif dimana pembelajaran itu berlangsung, dan jika dengan menggunakan beberapa langkah tertentu tampak sudah dapat mengatasi masalah, maka kegiatan belajar dilanjutkan sesuai skenario yang telah disiapkan. 9. Model Mengajar Menggunakan Metode Pemberian Tugas Metode pemberian tugas dan resitasi adalah cara penyajian bahan pelajaran di mana guru memberikan tugas tertentu agar murid melakukan kegiatan belajar, kemudian harus di pertanggungjawabkannya. Tugas yang diberikan oleh guru dapat memperdalam bahan pelajaran, dan dapat pula mengecek bahan yang telah dipelajari. Tugas dan resitasi merangsang anak untuk aktif belajar baik secara individual maupun kelompok. a. Kebaikannya Metode pemberian tugas mempunyai beberapa kebaikan antara lain: (1) pengetahuan yang diperoleh murid dan hasil belajar, hasil percobaan atau hasil penyelidikan yang banyak berhubungan dengan minat atau bakat yang berguna untuk hidup mereka akan lebih meresap, tahan lama dan lebih otentik; (2) mereka berkesempatan memupuk perkembangan dan keberanian mengambil inisiatif, bertanggung jawab dan berdiri sendiri; (3) tugas dapat lebih meyakinkan tentang apa yang dipelajari dan guru, lebih memperdalam, memperkaya atau memperluas wawasan tentang apa yang dipelajari; (4) tugas dapat membina kebiasaan siswa untuk mencari dan mengolah sendiri informasi dan
komunikasi. Hal ini diperlukan sehubungan dengan abad informasi dan komunikasi yang maju demikian pesat dan cepat; dan (5) metode mi dapat membuat siswa bergairah dalam belajar dilakukan dengan berbagai variasi sehingga tidak membosankan. b. Kelemahannya Beberapa kelemahan dan metode pemberian tugas ini dalam pembelajaran adalah: (1) sering kali siswa melakukan penipuan diri di mana mereka hanya meniru hasil pekerjaan orang lain, tanpa mengalami peristiwa belajar; (2) adakalanya tugas itu dikerjakan oleh orang lain tanpa pengawasan: (3) apabila tugas terlalu diberikan atau hanya sekedar melepaskan tanggung jawab bagi guru, apalagi bila tugas-tugas itu sukar dilaksanakan ketegangan mental mereka dapat terpengaruh; dan (4) karena kalau tugas diberikan secara umum mungkin seseorang anak didik akan mengalami kesulitan karena sukar selalu menyelesaikan tugas dengan adanya perbedaan individual. Kelemahan ini lebih dititikberatkan pada siswa, tetapi ada juga kelemahan guru. c. Cara Mengatasi Kelemahan-Kelemahan Metode Pemberian Tugas Ada beberapa cara untuk mengatasi kelemahan-kelemahan dan metode pemberian tugas ini, antara lain: (1) tugas yang diberikan kepada siswa hendaknya jelas, sehingga mereka mengerti apa yang harus dikerjakan (2) tugas yang diberikan kepada siswa dengan memperlihatkan perbedaan individu masing-masing; (3) waktu untuk menyelesaikan tugas harus cukup; (4) adalah kontrol atau pengawasan yang sistematis atas tugas yang diberikan sehingga mendorong siswa untuk belajar dengan sungguh-sungguh; dan (5) tugas yang diberikan hendaklah mempertimbangkan: (a) menarik minat dan perhatian siswa: (b) mendorong siswa untuk mencan, mengalami dan menyampaikan; (c) diusahakan tugas itu bersifat praktis dan ilmiah; dan (d) bahan pelajaran yang ditugaskan agar diambilkan dan hal-hal yang dikenal siswa. 10. Model Mengajar Menggunakan Metode Eksperimen Kadang-kadang menurut Rusyan (1993:110) orang mengaburkan pengertian eksperimen dengan kerja laboratorium, meskipun kedua pengertian ini mengandung prinsip yang hampir sama, namun berbeda dalam konotasinya. Ekspenmen adalah percobaan untuk membuktikan suatu pertanyaan atau hipotesis tertentu. Eksperimen bisa dilakukan pada suatu laboratorium atau di luar laboratorium, pekerjaan eksperimen mengandung makna belajar untuk berbuat, karena itu dapat dimasukkan ke dalam metode pembelajaran. Metode eksperimen adalah cara penyajian bahan pelajaran di mana siswa melakukan percobaan dengan mengalami untuk membuktikan sendiri sesuatu pertanyaan atau hipotesis yang dipelajari.
Dalam proses belajar mengajar dengan metode eksperimen mi siswa diberi kesempatan untuk mengalami sendiri atau melakukan sendiri, mengikuti proses, mengamati suatu objek, menganalisis, membuktikan dan menarik kesimpulan sendiri tentang suatu objek, keadaan atau proses sesuatu. Peran guru dalam metode eksperimen ini sangat penting, khususnya berkaitan dengan ketelitian dan kecermatan sehingga tidak terjadi kekelinian dan kesalahan dalam memaknai kegiatan eksperimen dalam kegiatan belajar dan mengajar. Jadi, peran guru untuk membuat kegiatan belajar ini menjadi faktor penentu berhasil atau gagalnya metode eksperimen ini. a. Kebaikan-kebaikannya Metode eksperimen mempunyai kebaikan sebagai berikut: (1) metode ini dapat membuat siswa lebih percaya atas kebenaran atau kesimpulan berdasarkan percobaannya sendiri dan pada hanya menerima kata guru atau buku saja; (2) dapat mengembangkan sikap untuk mengadakan studi eksploratoris tentang sains dan teknologi, suatu sikap dan seseorang ilmuwan; (3) metode ini didukung oleh asas-asas didaktik modem, antara lain: (a) siswa belajar dengan mengalami atau mengamati sendiri suatu proses atau kejadian; (b) siswa terhindar jauh dan verbalisme; (c) memperkaya pengalaman dengan hal-hal yang bersifat objektif dan realistis; (d) mengembangkan sikap berpikir ilmiah; dan (e) hasil belajar akan tahan lama dan internalisasi. b. Kelemahan-kelemahannya Selain kebaikan tersebut, metode eksperimen mengandung beberapa kelemahan sebagai berikut: (1) pelaksanaan metode mi sering memerlukan berbagai fasilitas peralatan dan bahan yang tidak selalu mudah diperoleh dan murah; (2) setiap eksperimen tidak selalu memberikan hasil yang diharapkan karena mungkin ada faktor-faktor tertentu yang berada diluar jangkauan kemampuan atau pengendalian; dan (3) sangat menuntut penguasaan perkembangan materi, fasilitas peralatan dan bahan mutakhir. Sering terjadi siswa lebih dahulu mengenal dan menggunakan alat bahan tertentu dan pada guru. c. Cara Mengatasi Kelemahan-Kelemahan Metode Eksperimen Ada beberapa cara untuk mengatasi kelemahan-kelemahan dan metode manusia dan metode eksperimen: (1) hendaknya guru menerangkan sejelas jelasnya tentang hasil yang ingin dicapai sehingga ia mengetahui pertanyaan-pertanyaan yang perlu dijawab dengan eksperimen; (2) hendaknya guru membicarakan bersama-sama dengan siswa tentang langkah yang dianggap baik untuk memecahkan masalah dalam eksperimen, serta bahan-bahan yang diperlukan, variabel yang perlu dikontrol dan hal-hal yang perlu dicatat; (3) bila perlu, guru menolong siswa untuk memperoleh bahan-bahan yang diperlukan; dan (4) guru perlu merangsang agar setelah eksperimen berakhir, ia
membanding-bandingkan hasilnya dengan hasil eksperimen orang lain dan mendiskusikannya bila ada perbedaan-perbedaan atau kekeliruan-kekeliruan. D. Strategi dalam Model Mengajar 1. Konsep Dasar Strategi Belajar Mengajar Konsep dasar strategi belajar mengajar ini meliputi hal-hal: (1) menetapkan spesifikasi dan kualifikasi perubahan perilaku belajar; (2) menentukan pilihan berkenaan dengan pendekatan terhadap masalah belajar mengajar, memilih prosedur, metode dan teknik belajar mengajar: dan (3) norma dan kriteria keberhasilan kegiatan belajar mengajar. Strategi dapat diartikan sebagai suatu garis-garis besar haluan untuk bertindak dalam rangka mencapai sasaran yang telah ditentukan. Dikaitkan dengan belajar mengajar. strategi bisa diartikan sebagai pola-pola umum kegiatan guru, murid dalam perwujudan kegiatan belajar mengajar untuk mencapai tujuan yang telah digariskan. Menurut Newman dan Mogan, strategi dasar setiap usaha meliputi empat masalah masing-masing. 1. Pengidentifikasian dan penetapan spesifiakasi dan kualifikasi hasil yang harus dicapai dan menjadi sasaran usaha tersebut. dengan mempertimbangkan aspirasi masyarakat yang memerlukannya. 2. Pertimbangan dan pemilihan pendekatan utama yang ampuh untuk mencapai sasaran. 3. Pertimbangan dan penetapan langkah-langkah yang ditempuh sejak awal sampai akhir. 4. Pertimbangan dan penetapan tolok ukur dan ukuran baku yang akan digunakan untuk menilai keberhasilan usaha yang dilakukan. Kalau diterapkan dalam konteks pendidikan, keempat strategi dasar tersebut bisa diterjemahkan menjadi: (1) mengidentifikasi dan menetapkan spesifikasi dan kualifikasi perubahan tingkah laku kepribadian peserta didik yang bagaimana yang diharapkan; (2) memilih sistem pendekatan belajar mengajar berdasarkan aspirasi dan pandangan hidup masyarakat; (3) memilih dan menetapkan prosedur, metode dan teknik belajar mengajar yang dianggap paling tepat, efektif, sehingga dapat dijadikan pegangan oleh para guru dalam menunaikan kegiatan mengajarnya; dan (4) menetapkan norma-norma dan batas minimal keberhasilan atau kriteria dan standar keberhasilan sehingga dapat dijadikan pedoman oleh guru dalam melakukan evaluasi hasil kegiatan belajar mengajar, yang selanjutnya akan dijadikan umpan balik buat penyempurnaan sistem instruksional yang bersangkutan secara keseluruhan. Dan uraian di atas tergambar bahwa ada empat masalah pokok yang sangat penting yang dapat dan harus dijadikan pedoman buat pelaksanaan kegiatan belajar mengajar supaya sesuai dengan yang diharapkan. Pertama, spesifikasi dan kualifikasi perubahan tingkah laku yang bagaimana yang diinginkan sebagai hasil belajar mengajar yang dilakukan itu. Dengan kata lain apa yang harus dijadikan sasaran
dan kegiatan belajar mengajar tersebut. Sasaran ini harus dirumuskan secara jelas dan konkrit sehingga mudah dipahami oleh peserta didik. Perubahan perilaku dan kepribadian yang bagaimana yang kita inginkan terjadi setelah siswa mengikuti suatu kegiatan belajar mengajar itu harus jelas, misalnya dan tidak bisa membaca lembah menjadi dapat membaca. Suatu kegiatan belajar mengajar tanpa sasaran yang jelas, berarti kegiatan tersebut dilakukan tanpa arah atau tujuan yang pasti. Lebih jauh suatu usaha atau kegiatan yang tidak punya arah atau tujuan pasti, dapat menyebabkan terjadinya penyimpangan-penyimpangan dan tidak tercapainya hasil yang diharapkan. Kedua, memilih cara pendekatan belajar mengajar yang dianggap paling tepat dan efektif untuk mencapai sasaran. Bagaimana cara kita memandang suatu persoalan, konsep, pengertian dan teori apa yang kita gunakan dalam memecahkan suatu kasus akan mempengaruhi hasilnya. Suatu masalah yang dipelajari oleh dua orang dengan pendekatan berbeda, akan menghasilkan kesimpulankesimpulan yang tidak sama. Norma-norma sosial seperti baik, benar, adil, dan sebagainya akan melahirkan kesimpulan yang berbeda bahkan mungkin bertentangan kalau dalam cara pendekatannya menggunakan berbagai disiplin ilmu. Pengertian-pengertian, konsep, dan teori ekonomi tentang baik, benar, atau adil, tidak sama dengan baik, benar atau adil ini menurut pengertian konsep dan teori antropologi. Juga akan tidak sama apa yang dikatakan baik, benar atau adil kalau kita menggunakan pendekatan agama karena pengertian, konsep, dan teori agama mengenai baik, benar atau adil itu jelas berbeda dengan konsep ekonomi maupun antropologi. Begitu juga halnya dengan cara pendekatan terhadap kegiatan belajar mengajar dalam pembelajaran. Konsep belajar menurut teori asosiasi, tidak sama dengan konsep belajar menurut teori problem solving. Suatu topik tertentu dipelajari atau dibahas dengan cara menghafal akan berbeda hasilnya kalau dipelajari atau dibahas dengan teknik diskusi atau seminar. Juga akan lain hasilnya andaikata topik yang sama dibahas dengan menggunakan kombinasi berbagai teori. Ketiga, adalah memilih dan menetapkan prosedur, metode, dan teknik belajar mengajar yang dianggap paling tepat dan efektif Metode atau teknik penyajian untuk memotivasi siswa agar mampu menerapkan pengetahuan dan pengalamannya untuk memecahkan masalah, berbeda dengan cara atau supaya murid-murid terdorong dan mampu berpikir bebas dan cukup keberanian untuk mengemukakan pendapatnya sendiri. Perlu dipahami bahwa suatu metode mungkin hanya cocok dipakai untuk mencapai suatu tujuan tertentu. Jadi dengan sasaran yang berbeda hendaknya jangan menggunakan teknik penajian yang sama. Keempat. menetapkan norma-norma atau kriteria keberhasilan sehingga guru mempunyai pegangan yang dapat dijadikan ukuran untuk menilai sampai sejauh mana keberhasilan tugas-tugas yang telah dilakukannya. Suatu program bani bisa diketahui keberhasilannya setelah dilakukan
evaluasi. Sistem penilaian dalam kegiatan belajar mengajar merupakan salah satu strategi yang tidak bisa dipisahkan dengan strategi dasar lain. Apa yang harus dinilai dan bagaimana penilaian itu harus dilakukan termasuk kemampuan yang harus dimiliki oleh guru. Seorang siswa dapat dikategorikan sebagai murid yang berhasil bisa dilihat dan berbagai segi. Bisa dilihat dan segi kerajinannya mengikuti tatap muka dengan guru, perilaku sehari-hari di sekolah, hasil ulangan. hubungan sosial, kepemimpinan, prestasi olah raga, keterampilan dan sebagainya atau dilihat dan berbagai aspek. Keempat dasar strategi tersebut merupakan satu kesatuan yang utuh antara dasar yang satu dengan dasar yang lain saling menopang dan tidak bisa dipisahkan. 2. Sasaran Kegiatan Belajar Mengajar Setiap kegiatan belajar mengajar mempunyai sasaran atau tujuan. Tujuan itu bertahap dan berjenjang, mulai dan yang sangat operasional dan konkret yakni tujuan pembelajaran khusus, tujuan pembelajaran umum, tujuan kurikuler. tujuan nasional, sampai pada tujuan yang bersifat universal. Persepsi guru atau persepsi anak didik mengenai sasaran akhir kegiatan belajar mengajar akan mempengaruhi persepsi mereka terhadap sasaran antara serta sasaran kegiatan. Sasaran itu harus diterjemahkan ke dalam ciri-ciri perilaku kepribadian yang didambakan. Pada tingkat sasaran atau tujuan yang universal, manusia yang diidamkan tersebut harus memiliki kualifikasi: (1) pengembangan bakat secara optimal; (2) hubungan antar manusia; (3) efisiensi ekonomi; dan (4) tanggung jawab selaku warga negara. Sedangkan tujuan pendidikan Indonesia sejalan dengan dasar negara dan pandangan hidup kita, sasarannya adalah terbinanya warga negara yang cakap, memahami, menghayati, dan mengamalkan sila-sila (I) ke Tuhanan Yang Maha Esa; (2) kemanusiaan yang adil dan beradab; (3) persatuan Indonesia; (4) kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan perwakilan; dan (5) keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Pandangan hidup para guru maupun siswa turut mewarnai berkenaan dengan gambaran karakteristik sasaran manusia idaman. Konsekwensinya akan mempengaruhi juga kebijakan tentang perencanaan, pengorganisasian, pelaksanaan, serta penilaian terhadap kegiatan belajar mengajar. Belajar mengajar selaku suatu sistem instruksional mengacu kepada pengertian sebagai seperangkat komponen yang saling bergantung satu sama lain untuk mencapai tujuan. Selaku suatu sistem belajar mengajar meliputi sejumlah komponen antara lain tujuan pelajaran, bahan ajar. siswa yang menerima pelayanan belajar. guru, metode dan pendekatan, situasi. dan evaluasi kemajuan belajar. Agar tujuan itu dapat tercapai semua komponen yang ada harus diorganisasikan dengan baik sehingga sesama komponen itu terjadi kerja sama.
Karena itu guru tidak boleh hanya memperhatikan komponen-komponen tertentu saja misalnya metode, bahan dan evaluasi saja, tetapi ia harus mempertimbangkan komponen secara keseluruhan. Berbagai persoalan yang biasa dihadapi guru antara lain adalah: (1) tujuan-tujuan apa yang ingin dicapai; (2) materi pelajaran apa yang perlu diberikan; (3) metode alat mana yang harus dipakai; (4) prosedur apa yang akan ditempuh untuk melakukan evaluasi. Secara khusus dalam proses belajar mengajar guru berperan sebagai pengajar, pembimbing, perantara sekolah dengan masyarakat, administrator dan lain-lain. Untuk itu wajar bila guru memahami dengan segenap aspek pribadi anak didik seperti: (I) kecerdasan dan bakat khusus; (2) prestasi sejak permulaan sekolah; (3) perkembangan jasmani dan kesehatan; (4) kecenderungan emosi dan karakternya; (5) sikap dan minat belajar; (6) cita-cita; (7) kebiasaan belajar dan bekerja; (8) hobi dan penggunaan waktu senggang; (9) hubungan sosial di sekolah dan di rumah; (10) latar belakang keluarga; (11) lingkungan tempat tinggal; dan (12) sifat-sifat khusus dan kesulitan belajar anak didik. Usaha untuk memahami anak didik mi bisa dilakukan melalui evaluasi selain itu guru mempunyai keharusan melaporkan perkembangan hasil belajar para siswa kepada kepala sekolah, orang tua, serta instansi yang terkait. 3. Tahapan Mengajar Ada tiga hal pokok yang harus diperhatikan guru dalam melaksanakan strategi mengajar yalta: (1) tahapan mengajar; (2) penggunaan model atau pendekatan mengajar; dan (3) penggunaan prinsip mengajar. Secara umum ada tiga pokok dalam strategi mengajar. yakni tahap permulaan (prainstruksional). tahap pengajaran (instruksional). dan tahap penilaian dan tindak lanjut.
Ketiga tahapan mi harus ditempuh pada setiap saat melaksanakan pengajaran. Jika, satu tahapan tersebut ditinggalkan, maka sebenarnya tidak dapat dikatakan telah terjadi proses pengajaran. a. Tahap Prainstruksional Tahap prainstruksional adalah tahapan yang ditempuh guru pada saat ia memulai proses belajar dan mengajar. Beberapa kegiatan yang dapat dilakukan oleh guru atau oleh siswa pada tahapan ini:
1. Guru menanyakan kehadiran siswa, dan mencatat siapa yang tidak hadir. Kiranya tidak perlu diabsensi satu persatu, cukup ditanya yang tidak hadir saja, dengan alasannya. Kehadiran siswa dalam pengajaran, dapat dijadikan salah satu tolok ukur kemampuan guru mengajar. Tidak selalu ketidak hadiran siswa, disebabkan kondisi siswa yang bersangkutan (sakit, malas, bolos, dan lainlain), tetapi bisa juga terjadi karena pengajaran dan guru tidak menyenangkan, sikapnya tidak disukai oleh siswa, atau karena tindakan guru pada waktu mengajar sebelumnya dianggap merugikan siswa (penilaian tidak adil, memberi hukuman yang menyebabkan frustasi, rendah diri dan lain-lain). 2. Bertanya kepada siswa, sampai dimana pembahasan pelajaran sebelumnya. Hal ini bukan soal guru sudah lupa, tapi menguji dan mengecek kembali ingatan siswa terhadap bahan yang telah dipelajarinya. Dengan demikian guru mengetahui ada tidaknya kebiasaan belajar siswa di rumahnya sendiri. setidak-tidaknya kesiapan siswa menghadapi pelajaran hari itu. 3. Mengajukan pertanyaan kepada siswa di kelas, atau siswa tertentu tentang bahan pelajaran yang sudah diberikan sebelumnya. Hal ini dilakukan untuk mengetahui sampai di mana pemahaman materi yang telah diberikan. Apakah tahan lama diingat, atau tidak. Data dan informasi ini bukan hanya berguna bagi siswa, tapi juga bagi guru. Jika ternyata siswa dapat menjawabnya. sangat bijaksana bila guru memberi pujian dan penghargaan. 4. Memberi kesempatan kepada siswa untuk bertanya mengenai bahan pelajaran yang belum dikuasainya dan pengajaran yang telah dilaksanakan sebelumnya. 5. Mengulang kembali bahan pelajaran yang lalu (bahan pelajaran sebelumnya) secara singkat tapi mencakup semua bahan aspek yang telah dibahas sebelumnya. Hal mi dilakukan sebagai dasar bagi pelajaran yang akan dibahas hari berikutnya nanti, dan sebagai usaha dalam menciptakan kondisi belajar siswa. Tujuan tahapan ini, pada hakikatnya adalah mengungkapkan kembali tanggapan siswa terhadap bahan yang telah diterimanya, dan menumbuhkan kondisi belajar dalam hubungannya dengan pelajaran hari itu. Tahap prainstruksional dalam strategi mengajar mirip dengan kegiatan pemanasan dalam olah raga. Kegiatan ini akan mempengaruhi keberhasilan siswa. Seperti seorang pemain bulu tangkis, melakukan pukulan pemanasan, sebelum ia bermain yang sebenarnya. Oleh karena itu tak pernah terjadi seorang pemain langsung bertanding tanpa melakukan pukulan pemanasan. b. Tahap Instruksional
Tahap kedua adalah tahap pengajaran atau tahap inti. Yakni tahapan memberikan bahan pelajaran yang telah disusun guru sebelumnya. Secara umum dapat diidentifikasi beberapa kegiatan sebagai berikut. 1. Menjelaskan pada siswa tujuan pengajaran yang harus di capai siswa. Informasi tujuan penting diberikan kepada siswa, sebab tujuan tersebut untuk siswa dan harus dicapai setelah pengajaran selesai. Berdasarkan pengamatan, masih banyak guru yang tidak melaksanakan mi, sebaiknya tujuan tersebut ditulis secara ringkas di depan papan tulis sehingga dapat dibaca dan dapat dipahami oleh semua siswa. 2. Menuliskan pokok materi yang akan dibahas hari itu yang diambil dan buku sumber yang telah disiapkan sebelumnya. Sudah barang tentu materi tersebut sesuai silabus dan tujuan pengajaran, sebab materi bersumber dan tujuan. 3. Membahas pokok materi yang telah dituliskan tadi. Dalam pembahasan materi itu dapat ditempuh dua cara yakni: Pertama pembahasan dimulai dan gambaran umum materi pengajaran menuju kepada topik secara lebih khusus. Cam kedua dimulai dan topik khusus menuju topik umum. Mana cara yang paling baik untuk melakukannya, tentu bergantung pada guru masing-masing. Namun demikian, cara pertama diduga akan lebih efektif sebab siswa diberikan gambaran keseluruhan materi, sehingga siswa tahu arah bahan pengajaran yang akan dibahas selanjutnya. Pembahasan tidak harus oleh guru tapi lebih baik lagi dibahas oleh siswa. 4. Pada setiap pokok materi yang dibahas sebaiknya diberikan contoh-contoh konkret. Demikian pula siswa harus diberikan pertanyaan atau tugas, untuk mengetahui tingkat pemahaman dan setiap pokok materi yang telah dibahas. Dengan demikian nilai pengajaran tidak hanya pada akhir pelajaran saja, tetapi juga pada saat pengajaran berlangsung. Jika ternyata siswa belum memahaminya, maka guru mengulang kembali pokok materi tadi, sebelum melanjutkan pada pokok materi berikutnya. Demikian sistemnya sampai semua pokok materi yang telah di tulis tadi selesai dibahas. Harus diperhatikan bahwa siswa harus banyak terlibat dalam membahas pokok materi. 5. Penggunaan alat bantu pengajaran untuk memperjelas pembahasan setiap pokok materi sangat diperlukan. Alat bantu seperti alat peraga grafis, model atau alat peraga yang diproyeksikan (kalau ada) sudah barang tentu harus sudah disiapkan sebelumnya. Alat mi digunakan dalam empat fase kegiatan yakni: (a) pada waktu guru menjelaskan kepada siswa; (b) pada waktu guru menjawab pertanyaan siswa, sehingga jawaban lebih jelas; (c) pada waktu guru mengajukan pertanyaan kepada siswa atau pada waktu memberi tugas kepada siswa; dan (d) digunakan siswa
pada waktu ia mengerjakan tugas yang diberikan guru dan pada waktu siswa melakukan kegiatan belajar. Dengan demikian alat peraga tersebut dapat digunakan oleh guru dan oleh siswa. 6. Menyimpulkan hasil pembahasan dan pokok materi. Kesimpulan ini dibuat oleh guru dan sebaiknya pokok-pokoknya ditulis di papan tulis untuk dicatat siswa. Kesimpulan dapat pula dibuat guru bersama-sama siswa, bahkan kalau mungkin diserahkan sepenuhnya kepada siswa. Pada kegiatan ini siswa diberi waktu untuk mencatat kesimpulan pelajaran bertanya kepada teman-temannya, atau mendiskusikannya dalam kelompok. Harus diperhatikan bahwa kegiatan yang ditempuh dalam tahapan instruksional, sebaiknya dititikberatkan pada siswa yang harus lebih aktif melakukan kegiatan belajar. Untuk itu maka haruslah dipilih pendekatan mengajar yang berorientasi kepada cam belajar siswa aktif. c. Tahap Evaluasi dan Tindak Lanjut Tahapan yang ketiga atau yang terakhir dan strategi menggunakan model mengajar adalah tahap evaluasi atau penilaian dan tindak lanjut dalam kegiatan pembelajaran. Tujuan tahapan ini, ialah untuk mengetahui tingkat keberhasilan dan tahapan kedua (instruksional), kegiatan yang dilakukan pada tahapan ini antara lain: 1. Mengajukan pertanyaan kepada kelas, atau kepada beberapa siswa. mengenai semua pokok materi yang telah dibahas pada tahapan kedua. Pertanyaan yang diajukan bersumber dan bahan pengajaran. Pertanyaan dapat diajukan kepada siswa secara lisan maupun secara tertulis. Pertanyaan mi disebut posttest. Berhasil tidaknya tahapan kedua, dapat terlihat dan dapat tidaknya siswa menjawab pertanyaan yang diajukan guru, Salah satu patokan yang dapat digunakan adalah apabila kira-kira 70% dan jumlah siswa di kelas tersebut dapat menjawab setiap pertanyaan yang diajukan, maka proses pengajaran (tahapan kedua) dikatakan berhasil. 2. Apabila pertanyaan yang diajukan belum dapat dijawab oleh siswa kurang dan 70%, maka guru harus mengulang kembali materi yang belum dikuasai siswa. Teknik pembahasan bisa ditempuh dengan berbagai cara yakni: (1) menguasai untuk menjelaskannya pada kegiatan terjadwal; (2) diadakan diskusi kelompok membahas pokok materi yang belum dikuasai; dan (3) memberikan tugas pekerjaan rumah, yang berhubungan dengan pokok materi yang belum dikuasai melalui kegiatan mandiri. cara mana yang dipilih diserahkan sepenuhnya kepada guru. 3. Untuk memperkaya pengetahuan siswa, materi yang dibahas, guru dapat memberikan tugas/pekerjaan rumah yang ada hubungannya dengan topik atau pokok materi yang telah dibahas. Misalnya tugas memecahkan masalah, menulis karangan/makalah, membuat kliping dan koran dan lain- lain yang erat hubungannya dengan bahan yang telah dibahas.
4. Akhiri pelajaran dengan menjelaskan atau memberi tahu pokok materi yang akan dibahas pada pelajaran berikutnya. Informasi ini perlu agar siswa dapat mempelajari bahan tersebut dan sumber-sumber yang dimilikinya. Ketiga tahap yang telah dibahas di atas, merupakan satu rangkaian kegiatan yang terpadu, tidak terpisahkan satu sama lain. Guru dituntut untuk mampu dan dapat mengatur waktu dan kegiatan secara neksibel, sehingga ketiga rangkaian tersebut diterima oleh siswa secara utuh. Di sinilah letak keterampilan profesional dan seorang guru dalam melaksanakan strategi mengajar. Kemampuan mengajar seperti dilukiskan dalam uraian di atas secara teoritis mudah dikuasai, namun dalam prakteknya tidak semudah seperti digambarkan. Hanya dengan latihan dan kebiasaan yang terencana, kemampuan itu dapat diperoleh.
BAB VI PENGEMBANGAN KURIKULUM DALAM BELAJAR DAN PEMBELAJARAN 1. Pendahuluan Banyak ahli mengemukakan bahwa pembelajaran merupakan implementasi kurikulum, tetapi banyak juga yang mengemukakan bahwa pembelajaran itu sendiri merupakan kurikulum sebagai kegiatan. Pembangunan Nasional di bidang pendidikan adalah upaya mencerdaskan kehidupan bangsa dan meningkatkan kualitas manusia Indonesia melalui proses pendidikan. Dengan demikian pembangunan pendidikan diharapkan dapat mewujudkan masyarakat yang maju, adil dan makmur berdasarkan Pancasila dan UUD 1945 yang memungkinkan warganya mengembangkan diri mampu memenuhi kebutuhan hidupnya dan selanjutnya mengaktualisasikan dirinya sebagai manusia Indonesia seutuhnya. Untuk mewujudkan pembangunan nasional dibidang pendidikan tersebut diperlukan suatu peningkatan dan penyempurnaan penyelenggaraan pendidikan nasional yang disesuaikan dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi, perkembangan masyarakat, tantangan global, serta kebutuhan pembangunan. Untuk mewujudkan tujuan pendidikan nasional tersebut, maka disusunlah suatu kurikulum, dalam perjalanannya kurikulum ini senantiasa mengalami perkembangan dan penyesuaian sesuai dengan kemajuan. Seperti kita ketahui bahwa pendidikan sebagai suatu sistem adalah keseluruhan komponen pendidikan yang saling terkait secara terpadu untuk mencapai tujuan pendidikan nasional (UUSPN No. 20 tahun 2003 pasal 1 ayat 3). Hal ini merupakan serangkaian tindakan yang saling terkait antara satu dengan yang lain, dan merupakan suatu usaha sadar menyiapkan peserta didik melalui kegiatan bimbingan, pengajaran dan bahan latihan bagi peranannya terhadap kehidupan di masa akan datang. Dengan demikian kurikulum merupakan salah satu indikator yang menentukan berhasil tidaknya suatu pendidikan. oleh karena itu kurikulum harus dikelola secara baik dan profesional. Secara langsung maupun tidak, penyampaian kurikulum dalam program pendidikan menuntut adanya tanggung jawab guru sebagai pelaksana proses belajar mengajar di sekolah, tanggung jawab guru mi khusus dalam hubungannya dengan layanan belajar siswa. Karenanya dalam melaksanakan tugas guru dituntut memiliki keterampilan profesional yang tinggi dalam mengembangkan kurikulum. Permasalahannya sekarang, adalah bagaimanakah kita menyampaikan kurikulum melalui kegiatan mengajar anak-anak agar dapat menjadi anggota masyarakat yang baik, sehingga kualitas, lulusan/output pendidikan kita bertambah tinggi. Untuk menjawab permasalahan ini, seluruh sistem yang berkaitan dengan pendidikan dan guru sebagai
pendidik hendaknya memahami betul masalah-masalah yang berhubungan dengan kurikulum. Masalah yang harus diantisipasi adalah perubahan dan pengembangan kurikulum, karena kurikulum berkaitan erat dengan tinggi dan rendahnya mutu pendidikan. Dalam hal ini yang perlu diperhatikan ialah bagaimana mengelola dan mengembangkan kurikulum? sehingga bermanfaat bagi kehidupan sehari-hari. Bagaimana meningkatkan kualitas lulusan sehingga dapat diterima kualitasnya di masyarakat. Pertanyaan-pertanyaan tersebut memerlukan suatu pembahasan sehingga mencapai titik terang dalam melihat permasalahannya. Perlu diingat oleh para pendidik bahwa apabila terjadi perubahan kurikulum dengan alasan untuk meningkatkan kualitas pendidikan, maka hendaknya jangan hanya sekedar mengubah kurikulum secara parsial atau hanya harus dilihat dan berbagai aspek dalam suatu sistem yang menyeluruh, seperti segala sesuatu yang berhubungan dengannya seperti guru, kebutuhan siswa, persaingan global, biaya, sarana dan prasarana perlu disiapkan agar betul-betul dirasakan manfaatnya oleh semua pihak. Jadi dengan kata lain perubahan - kurikulum itu tidak bersifat parsial, atau tidak dirasakan manfaatnya, bahkan hanya dianggap menjadi beban bagi masyarakat ataupun bagi guru dan murid itu sendiri. UUSPN No. 20 tahun 2003 pasal 36 ayat 1 menegaskan bahwa pengembangan kurikulum dilakukan dengan mengacu pada standar nasional pendidikan untuk mewujudkan tujuan pendidikan nasional. Perubahan dan pengembangan kurikulum yang dilakukan pemerintah hendaknya mengacu kepada standar nasional yang ditujukan untuk memenuhi kepentingan pembelajaran dan perolehan mutu yang kompetitif dalam rangka meningkatkan kualitas SDM melalui proses pendidikan. Kemudian sejauh mana perubahan kurikulum membawa dampak positif terhadap peningkatan kualitas sumber daya manusia suatu bangsa. Apakah perubahan itu dapat direspons oleh sekolah dan kurikulum yang dikembangkan bisa diimplementasikan di sekolah atau tidak. Artinya jangan melakukan perubahan kurikulum hanya atas dasar kepentingan pemegang kebijakan atau karena perubahan suhu politik. Karena pendidikan dilaksanakan dalam rangka menyongsong masa depan anak bangsa yang lebih baik, jadi kurikulum harus disiapkan dan diterapkan melalui proses belajar mengajar yang berorientasi ke masa depan bukan berdasarkan kepentingan sesaat. 2. Konsep Pengembangan Kurikulum Kurikulum tidak hanya sekedar mempelajari mata pelajaran, tetapi lebih mengembangkan pikiran, menambah wawasan, serta mengembangkan pengetahuan yang dimilikinya. Ia lebih mempersiapkan peserta didik atau subjek belajar yang baik dalam memecahkan masalah individualnya maupun masalah yang dihadapi oleh lingkungannya. Karena itu kurikulum diberi
konotasi sebagai usaha sekolah untuk mempengaruhi anak agar mereka dapat belajar dengan baik di dalam kelas, di halaman sekolah, di luar lingkungan sekolah atau semua kegiatan untuk mempengaruhi subjek belajar sehingga menjadi pribadi yang diharapkan. Proses pengembangan kurikulum ialah kebutuhan untuk menspesifikasi peranan-peranan lulusan yang harus dilaksanakan dalam bidang pekerjaan tertentu. Pada dasarnya kurikulum dirancang dengan maksud mengembangkan siswa agar mampu melaksanakan peranan-peranan itu. Setelah diadakan spesifikasi peranan yang meletakkan batas-batas di sekitar keseluruhan domain dalam kurikulum tertentu, yang memungkinkan dilakukannya identifikasi tugas-tugas spesifik dalam lingkup peranan tersebut. Kurikulum yang baik adalah kurikulum yang sifatnya berkesinambungan. Kurikulum tersebut di desain sedemikian rupa sehingga tidak terjadi jurang yang memisahkan antara jenjang pendidikan dasar dengan jenjang pendidikan selanjutnya. Kata Kurikulum berasal dan bahasa latin curriculum semula berarti a running course, or race corse, especially a chariot race course yang berarti jalur pacu dan secara tradisional kurikulum disajikan seperti itu (ibarat jalan) bagi kebanyakan orang, terdapat pula dalam bahasa Perancis courier artinya to run atau berlari. Kemudian istilah itu digunakan untuk sejumlah courses atau mata pelajaran yang harus ditempuh untuk mencapai suatu gelar atau ijazah. Seperti halnya dengan istilah-istilah lain yang banyak digunakan, kurikulum juga mengalami perkembangan dan tafsiran yang berbagai ragam. Hampir setiap ahli kurikulum mempunyai rumusan sendiri, walaupun diantara berbagai definisi itu terdapat aspek-aspek persamaan. Secara tradisional kunikulum diartikan sebagai mata pelajaran yang diajarkan di sekolah. Dalam perkembangannya kurikulum sebagai suatu kegiatan pendidikan, timbul berbagai definisi yang menentukan apa yang termasuk dalam ruang lingkupnya. Berikut ini di kemukakan beberapa pengertian kurikulum yaitu: 1. Saylor dan Alexander (1956:3) merumuskan kurikulum sebagai the total effort of the school to going about desired outcomes in school and out of school situations yaitu kurikulum tidak sekedar mata pelajaran tetapi segala usaha sekolah untuk mencapai tujuan yang diinginkan. 2. Zais (1976) mengemukakan berbagai pengertian kurikulum, yakni: (1) kurikulum sebagai program pelajaran; (2) kurikulum sebagai isi pelajaran; (3) kurikulum sebagai pengalaman belajar yang direncanakan; (4) kurikulum sebagai pengalaman di bawah tanggung jawab sekolah (5) kurikulum sebagai rencana tertulis untuk dilaksanakan. 3. Dalam UU No. 20 tahun 2003 dikemukakan bahwa kurikulum adalah seperangkat rencana dan pengaturan mengenai tujuan, isi dan bahan pelajaran serta cara yang digunakan sebagai pedoman penyelenggaraan kegiatan pembelajaran untuk mencapai tujuan tertentu.
4. Pengertian kurikulum menurut pandangan lama: kurikulum adalah sejumlah mata pelajaran yang harus ditempuh oleh murid untuk memperoleh ijazah. Kurikulum lama berorientasi pengalaman masa lampau, tidak berdasarkan suatu filsafat pendidikan yang jelas, mengutamakan perkembangan pengetahuan akademik dan keterampilan, terpusat pada mata pelajaran, teks book, dan dikembangkan oleh guru secara perorangan. 5. Pendapat yang baru atau modem tentang kurikulum adalah: kurikulum diartikan bersifat luas bukan saja terdiri dan mata pelajaran (courses) tetapi meliputi semua kegiatan dan pengalaman yang menjadi tanggung jawab sekolah. 6. Konsep kurikulum menurut Tanner & Tanner (1980) adalah: (1) kurikulum sebagai modus mengajar; (2) kurikulum sebagai pengetahuan yang diorganisasikan; (3) kurikulum sebagai arena pengalaman; (4) kurikulum sebagai pengalaman belajar terbimbing all planned learning outcomes for which the school is responsible, semua rencana hasil belajar (learning outcomes) dan kurikulum sebagai hasil belajar merupakan tanggung jawab sekolah dan merupakan serangkaian hasil belajar yang diharapkan; (5) kurikulum sebagai suatu rencana kegiatan pembelajaran sudah selayaknya mencakup komponen-komponen kegiatan pembelajaran, namun demikian komponen-komponen kegiatan pembelajaran yang dirancang dalam kurikulum masih umum oleh karena itu perlu dielaborasi dan dikaji oleh guru; dan (6) kurikulum sebagai jalan meraih ijazah merupakan syarat mutlak dalam pendidikan formal. Dari pengertian tersebut dapat ditegaskan bahwa kurikulum adalah seperangkat rencana dan pengaturan mengenai sisi dan bahan pelajaran serta cam yang digunakan sebagai pedoman penyelenggaraan kegiatan belajar mengajar. Isi kurikulum pendidikan dasar merupakan susunan bahan kajian dan pelajaran untuk mencapai tujuan pendidikan dasar. Menurut UUSPN No. 20 tahun 2003 isi kurikulum pendidikan dasar wajib memuat sekurang-kurangnya memuat bahan kajian dan pelajaran (1) pendidikan agama; (2) pendidikan kewarganegaraan; (3) bahasa; (4) matematika; (5) ilmu pengetahuan alam; (6) ilmu pengetahuan sosial; (7) seni dan budaya; (8) pendidikan jasmani dan olahraga; (9) keterampilan/kejuruan; dan (10) muatan lokal. Mata pelajaran pada hakikatnya adalah pengalaman nenek moyang masa lampau. Pengalaman-pengalaman itu dipilih, dianalisa, kemudian disusun secara sistematis dan logis, sehingga timbullah mata pelajaran seperti sejarah ilmu bumi, ilmu hayat dan sebagainya. Oleh karena itu mata pelajaran adalah sejumlah informasi pengetahuan sehingga penyampaian mata pelajaran kepada para siswa akan membentuk mereka menjadi intelektualitas. Pada jenjang pendidikan formal terdapat jenjang-jenjang pendidikan yang selalu berakhir dengan ijazah atau surat tanda tamat belajar
(STTB). Uraian tersebut menunjukkan kurikulum merupakan jalan yang berisi sejumlah mata pelajaran/bidang studi yang harus dilalui untuk meraih ijazah. UUSPN No. 20 tahun 2003 pasal 36 ayat I menyatakan pengembangan kurikulum dilakukan dengan mengacu pada standar nasional pendidikan untuk mewujudkan tujuan pendidikan nasional. Artinya kurikulum itu tidak boleh liar, tetapi harus mempedomani standar kurikulum nasional, adapun pengembangan melebihi standar nasional hal itu adalah sesuatu yang dianjurkan, tentu saja memperhatikan potensi daerah dan juga potensi peserta didik. Karena itu, kurikulum sebagai jalan untuk meraih izajah mengisyaratkan adanya sejumlah mata pelajaran/bidang studi dan isi pelajaran yang harus diselesaikan oleh siswa. Menurut Schubert penyebutan kurikulum sama dengan mata pelajaran. Kurikulum sebagai all the means employed by the school to provide the students with opportunities for desirable learning experiences menurut Zais (1976:8) menunjukkan bahwa semua yang dipakai oleh sekolah untuk menyediakan kesempatan bagi siswa untuk memperoleh pengalaman belajar yang diperlukan adalah kurikulum. Dengan demikian kurikulum sebagai pengalaman belajar mencakup pula tugas-tugas belajar yang diberikan oleh guru untuk dikerjakan siswa di rumah. Guru dapat memilih satu atau lebih konsep kurikulum yang dijadikan acuannya. kurikulum tidak terbatas pada intra dan ekstra kurikulum saja, tetapi secara luas yang dapat membentuk pribadi anak dan belajar cam hidup dalam masyarakat. Kurikulum baru berorientasi pada masa sekarang sebagai persiapan untuk menghadapi masa datang, berdasarkan pada filsafat pendidikan yang jelas yang dapat diajarkan ke dalam serangkaian tindakan yang nyata sehari-hari. Bertujuan untuk mengembangkan seluruh pribadi siswa, disusun berdasarkan masalah atau topik di mana siswa belajar dengan pengalaman sendiri. Kurikulum juga bertitik tolak dan masalah kehidupan yang disesuaikan dengan tingkat perkembangan dan minat serta kebutuhan individu, dan dikembangkan oleh tim guru bersama-sama atau suatu departemen tertentu. Kurikulum sebagai program pendidikan yang telah direncanakan secara sistematis mengemban peranan yang sangat penting bagi pendidikan para siswa. Paling tidak ada tiga peranan kurikulum yakni: (1) peranan konservatif yaitu mentransmisikan dan menafsirkan warisan sosial kepada generasi muda; (2) peranan kritis atau evaluatif yaitu aktif berpartisipasi dalam kontrol sosial dan menekankan pada unsur berpikir kritis; dan (3) peranan kreatif yaitu mencipta dan menyusun suatu yang baru sesuai dengan kebutuhan masa sekarang dan masa mendatang dalam masyarakat. Ketiga peranan tersebut berjalan secara seimbang, dalam arti terdapat keharmonisan di antara ketiganya. Dengan demikian kurikulum akan dapat memenuhi tuntunan waktu dan keadaan dalam membawa para siswa menuju kepada kebudayaan masa depan.
Di samping memiliki peranan kurikulum juga memiliki fungsi yakni: (1) penyesuaian (the adjustive of adaptive function) yaitu kemampuan individu menyesuaikan din terhadap lingkungan secara keseluruhan; (2) pengintegrasian (the integrating function) yaitu mendidik pribadi yang terintegrasi dengan masyarakat; (3) deferensiasi (the defferensiating function) yaitu memberikan pelayanan terhadap perbedaan-perbedaan perorangan dalam masyarakat; (4) persiapan (the propaedeutic function) yaitu mempersiapkan siswa untuk dapat melanjutkan studi kejenjang yang lebih tinggi untuk suatu jangkauan yang lebih jauh; (5) pemilihan (the selective function) yaitu memberikan kesempatan kepada seseorang untuk memilih apa yang diinginkannya dan menarik perhatiannya; dan (6) diagnostik (the diagnostic function) yaitu membantu siswa memahami dan menerima dirinya sehingga dapat mengembangkan semua potensi yang dimilikinya. Pendekatan dalam pengembangan kurikulum terdiri dan: (1) pendekatan mata pelajaran yaitu bertitik tolak dan mata pelajaran (subjeck matter) yang masing-masingnya berdiri sendiri; (2) interdisipliner yaitu suatu gejala sosial yang saling tali temali baik dan segi sosial, politik, ekonomi, budaya, dan sebagainya; (3) integratif atau terpadu yaitu bertitik tolak dan suatu keseluruhan atau suatu kesatuan yang bermakna dan berstruktur; dan (4) sistem yaitu suatu totalitas yang terdiri dan sejumlah komponen atau bagian-bagian. Sebagai upaya pengembangan kurikulum untuk memperoleh mutu yang bersaing oleh institusi satuan pendidikan dapat melakukan perampingan dan dapat juga melakukan perluasan. Dalam hal mi seperti, institusi satuan pendidikan dasar dapat menambah mata pelajaran sesuai dengan keadaan lingkungan dan ciri khas satuan pendidikan yang bersangkutan. Upaya pengembangan mi, dengan tidak mengurangi kurikulum yang berlaku secara nasional dan tidak menyimpang dan tujuan pendidikan nasional. Dengan demikian satuan pendidikan dasar dapat menjabarkan dan menambah bahan kajian dani pelajaran sesuai dengan kebutuhan setempat. Pengembangan kurikulum menurut UUSPN No. 20 tahun 2003 dilakukan dengan mengacu pada standar nasional pendidikan untuk mewujudkan pendidikan nasional. Sejalan dengan hal itu, langkah pengembangan kurikulum menurut Tyler (1949) mencakup aspek (1) tujuan sekolah: (2) pengalaman belajar sesuai dengan tujuan; (3) pengelolaan pengalaman belajar dan penilaian tujuan belajar sebagai komponen yang dijadikan perhatian utama. Pada perkembangan selanjutnya, Taba (1962) mengembangkan model pengembangan kurikulum yang dapat dikatakan sebagai reneksi dani tradisi pengembangan kurikulum modern. Hankins and Hammull (1995:19) mengemukakan langkah pengembangan kurikulum akan banyak bergantung pada peranan guru sebagai pengembang kurikulum. Lebih lanjut ditegaskan bahwa ada 7 langkah pengembangan kurkulum sebagai pengembangan lebih lanjut yaitu (1) mengembangkan langkah diagnosa kebutuhan (diagnosis of
needs); (2) merumuskan tujuan (formulation of objectives); (3) menyeleksi konten (selection of content); (4) mengorganisasikan konten (organization of content); (5) menyeleksi pengalaman belajar (selection of learning experiences); (6) mengorganisasikan pengalaman belajar (organization of learning experiences); dan (7) mengevaluasi dan makna evaluasi (evaluation and means of evaluation). Pada model pendekatan teknik scieitific, pengembangan kurikulum mencakup langkah dalam menyusun perencanaan, menyusun struktur lingkungan belajar, mengordinasikan sumber daya manusia, bahan dan peralatan sehingga memiliki derajat objektifitas, universalitas dan logika yang tinggi, dapat menjelaskan kenyataan secara simbolis, percaya pada efisiensi dan efektintas sistem. Sedangkan pada model non teknik/non scientific, pengembangan kurikulum diorientasikan pada hal yang subjektif, pribadi, penalaran, transaksi dan keindahan, diorientasikan pada peserta didik dengan belajar secara aktif. Adanya rencana diberlakukan kurikulum sekolah dengan berbasis pada kemampuan dasar, pada hakikatnya mendasarkan. pada pemikiran sebagai upaya memberdayakan peserta didik dalam kedudukannya sebagai subjek belajar agar siap menghadapi tantangan kehidupan kini dan masa depan. Oleh karena itu adanya hasil belajar yang diharapkan dalam proses pembelajaran layak dimuat dalam kurikulum. Memang harus diakui bahwa titik lemah pendidikan di sekolah selama mi, terletak pada proses pembelajarannya (learning process). Arah dan pengembangan kurikulum masa depan, selayaknya mampu dipersepsi secara mudah dan luwes oleh para guru maupun peserta didik serta mudah disesuaikan dengan kondisi lingkungan belajar. Artinya kepentingan dan kebutuhan peserta didik memperoleh mutu layanan belajar menjadi dasar pertimbangan utama dalam pengembangan kurikulum sekolah. Dengan adanya pengembangan kurikulum yang mengacu pada kemampuan dasar siswa yang diimplementasikan dalam proses pembelajaran yang dilaksanakan di sekolah. Pada dasarnya pengembangan kurikulum mi akan berdampak pada perlunya langkah pembaharuan dalam proses pembelajaran pada setiap mata pelajaran di setiap jenjang sekolah. Arah penyusunan dan pengembangan kurikulum berbasis kemampuan dasar yang akan diberlakukan di sekolah di Indonesia, disusun dengan pendekatan efektif. Langkah penyusunan dan pengembangan perangkat kurikulum tersebut dilakukan dengan mengambil semua hal yang baik dan pandangan pengembangan kurikulum yang dikenal. Hasan (2002:3) mengemukakan model proses pengembangan kurikulum masa depan seperti terlihat dalam gambar 6.1. Diagram ini menggambarkan bahwa pengembangan kurikulum berangkat dan penetapan visi masa depan pendidikan yang akan melahirkan manusia yang diharapkan sesuai kualitas yang dibutuhkan oleh masyarakat.
Untuk penetapan visi masa depan tersebut disesuaikan dengan filsafat kurikulum, sehingga pada gilirannya standar kurikulum yang dikembangkan tersebut difokuskan pada kualitas pendidikan yang harus dikembangkan. Kerangka pengembangan kurikulum tersebut memuat tujuan sebagai sasaran kualitas peserta didik yang diharapkan, materi yang tertuang dalam silabus maupun bahan ajar, proses dalam kegiatan belajar dan mengajar, evaluasi untuk mengukur kemajuan belajar, dan pedoman pelaksanaan yang dipandang dapat diimplementasikan dengan baik dan benar sesuai standar yang ditentukan. Langkah pengembangan kurikulum dalam rangka mewujudkan kurikulum berbasis kemampuan dasar yang akan menjadi arah kurikulum sekolah di Indonesia masa depan, pada hakekatnya mendasarkan pada standar tertentu sesuai yang diharapkan. Standar ini dapat berlaku secara nasional. serta dapat berlaku di daerah masing-masing.
Standar dalam konteks ini dimaksudkan sebagai kriteria keberhasilan dan aspek kualitas dalam hal antara lain: (a) apa yang diketahui dan yang dapat dilakukan oleh peserta didik, (b) program pembelajaran yang mengembangkan cara-cara belajar, (c) program pengajaran ilmu-ilmu dasar dan budi pekerti, serta (d) indikator penilaian (Bodiono, at al. 2000:2). Standar dalam konteks ini dapat bermakna sebagai kemampuan minimum yang dapat ditujukan peserta didik sebagai hasil belajarnya sehingga dapat diterima oleh masyarakat atau dunia kerja. Selanjutnya standar atau kemampuan dasar ini dikembangkan lebih lanjut dengan melakukan penetapan dan pengembangan kompetensi keilmuan dalam proses pendidikan di sekolah yang diuraikan ke dalam beragam rumpun bidang keilmuan. Kompetensi yang dikembangkan dalam
rumpun bidang keilmuan di sekolah disebut dengan kompetensi umum, yang harus dikuasai peserta didik di setiap jenjang sekolah. Berdasarkan pengembangan kompetensi umum yang telah disepakati, selanjutnya dikategorisasikan menjadi kompetensi tiap jenjang dan kompetensi umum mata pelajaran pada tiap jenjang dan tiap pelajaran. 3. Diversifikasi Kurikulum Kurikulum pendidikan merupakan aspek yang penting untuk menjaga kepentingan nasional maupun untuk memberikan kesempatan kreativitas dan menampung kepentingan daerah. Untuk itu, pemerintah pusat mempunyai tugas dan kewenangan untuk menetapkan visi dan misi pendidikan nasional (outputs) setiap jenjang pendidikan yang indikator keberhasilnya jelas (key. resuli areas), sebagai kurikulum nasional. UUSPN No. 20 tahun 2003 pasal 36 ayat 2 menyatakan bahwa kurikuluni pada semua jenjang dan jenis pendidikan dikembangkan dengan prinsip diversifikasi sesuai dengan. satuan pendidikan. potensi daerah, dan peserta didik. UUSPN memberi petunjuk bahwa dalam pengembangan kurikulum perlu diperhatikan potensi daerah, hal ini menunjukkan bahwa kurikulum itu tidak sentralistik tetapi lebih lugas dan dapat menyesuaikan diri dan dapat berkembang melebihi standar yang ditentukan pemerintah. Di lain pihak kurikulum juga harus memperhatikan potensi peserta didik, artinya diberikan peluang yang sebesar-besarnya bagi anak. didik untuk berkembang melebihi standar yang ditentukan Jika anak itu memiliki kemampuan dan kecerdasan yang sesuai dengan perkembangan itu. Sejalan dengan hal itu dalam Pasal 2 butir 3 PP No. 25 tahun 2000 ditegaskan bahwa kewenangan pemerintahan pusat bidang kurikulum menyangkut empat hal yaitu: (1) penetapan standar kompetensi siswa dan warga belajar; (2. pengaturan kurikulum nasional; (3) pengaturan penilaian hasil belajar secara nasional; dan (4) pedoman pelaksanaan kegiatannya. Daerah kabupaten/kota yang selama ini kurang berperan dalam pengembangan kurikulum yang ditetapkan pusat, sekarang harus menerjemahkan kurikulum nasional tersebut kedalam visi, misi, tujuan, dan pokok-pokok bahasan utama yang diperlukan untuk mencapai tujuan pendidikan. Visi dan misi tingkat lokal dan kurikulum berisi garis-garis besar program pengajaran menjadi kewenangan masing-masing sekolah untuk dikembangkan dan diimplementasikan sesuai kebutuhan dan kemampuannya memaknai kurikulum dimaksud. Rancangan yang dikembangkan pada tingkat sekolah mencakup seluruh komponen intrakurikuler, ekstrakurikuler, kurikulum yang tampak secara jelas maupun kurikulum tersembunyi (hidden curricullum) dalam rangka pengembangan potensi peserta didik secara utuh. Sedangkan penterjemahannya dalam bentuk satuan pelajaran (satpel) dan bimbingan menjadi tugas dan kewenangan masing-masing guru didampingi Kepala Sekolah dan pengawas sekolah.
Guru karena alasan profesinya sering terlibat dalam kegiatan pengembangan kurikulum menurut Sergiovanni dan Starratt (1983) yaitu dengan merubah, mempenluas, mengorganisasi ulang, dan menginterpretasikan apa yang telah disusun oleh pengembang kurikulum di luar kelas. Dalam mengembangkan kurikulum dikelompokkan dalam sejunilah model yaitu model memproses informasi, pengembangan personil yang menekankan pada pengembangan diri dan kesadaran interpersonal, interaksi sosial yang menekankan pengembangan keterampilan dinamika kelompok, dan perubahan perilaku yang menekankan pada prinsip kontrol stimulus dan penguatan. Dalam implementasi kebijakan otonomi daerah kewenangan pemerintah menurut PP No.25 Tahun 2000 tentang kebijakan kurikulum adalah menetapkan standar nasional, kemudian dijelaskan GBHN 1999 pemerintah melakukan pembaharuan sistem pendidikan termasuk pembaharuan kurikulum, berupa diversifikasi kurikulum untuk melayani keberagaman peserta didik, penyusunan kurikulum yang berlaku nasional dan lokal sesuai dengan kepentingan setempat, serta diversifikasi jenis pendidikan secara profesional. Untuk itu dapat di kemukakan diversifikasi kurikulum berikut ini. a. Kurikulum Nasional UUSPN No. 20 tahun 2003 pasal 1 ayat 19 menyatakan bahwa kurikulum adalah seperangkat rencana dan pengaturan mengenai tujuan, isi, dan bahan pelajaran serta cara yang digunakan sebagai pedoman penyelenggaraan kegiatan pembelajaran untuk mencapai tujuan pendidikan tertentu. Prinsip-prinsip umum kurikulum dan pengajaran adalah siswa diberi kesempatan mempraktekkan perilaku menurut tujuan, pengalaman belajar memberikan kesempatan bagi siswa menghadapi isi pelajaran, siswa memperoleh kepuasan menerima pelajaran, level pelajaran dalam rentang yang dimungkinkan bagi siswa untuk dilibatkan, pengalaman belajar memberikan hasil yang nyata, dan pembelajaran siswa akan diperkuat, diperdalam, dan diperluas. Dengan demikian pada prinsipnya kurikulum didesain untuk dapat diterima siswa dengan baik, karena jika siswa tidak mampu mengikuti kurikulum yang disampaikan maka kurikulum tersebut tidak akseptabel. Untuk memenuhi kurikulum yang bermutu dalam rangka pemberdayaan pendidikan kebijakan kurikulum haruslah memberi ruang kreativitas tingkat tinggi kepada instansi yang berkaitan dengan pendidikan di daerah, sekolah-sekolah, maupun LPTK sebagai implementasi desentralisasi mengacu pada standar kompetensi. Kreatifitas meliputi pengaturan kurikulum dan mengelaborasinya menjadi bahan ajar, evaluasi belajar mengacu pada standar yang dipersyaratkan, penyelesaian studi semua jenjang sekolah tepat waktu, standar materi buku pelajaran pokok pada semua bidang studi, dan pengembangan teknologi komunikasi serta informasi memenuhi kebutuhan kurikulum.
Kurikulum nasional akan memberi arti yang penting bagi sekolah pada suatu daerah, jika daerah itu mampu memberi ruang kreativitas tingkat tinggi pada tim ahli yang dimilikinya bersama sekolah. Para siswa diberi kesempatan mempraktekkan perilaku menurut tujuan yang tertuang dalam kurikulum, siswa mampu memahami isi pelajaran dan memperoleh kepuasan menerima pelajaran, level pelajaran dapat disesuaikan menurut tingkat kecerdasan siswa dengan rentang yang dimungkinkan bagi siswa untuk dilibatkan. Tegasnya desain kurikulum nasional diadaptasi oleh daerah untuk memberikan pengalaman belajar dengan basil yang nyata, dan pembelajaran siswa dapat diperkuat, diperdalam, dan diperluas. b. Muatan lokal Kewenangan pemerintah dalam kebijakan kesiswaan disesuaikan dengan keadaan di setiap daerah, secara kualitas setiap daerah dapat melampaui standar nasional. Penetapan kebijakan persyaratan penerimaan, perpindahan, sertifikasi siswa, warga belajar dan mahasiswa, serta penerimaan siswa SD, SLTP, SLTA, dan SLB yang standar penting bagi setiap .institusi sekolah. Kewenangan pemerintah provinsi menurut PP No. 25 Tahun 2000 tentang pengembangan kurikulum diarahkan untuk menggali potensi andalan daerah secara optimal. Cara yang efektif untuk pengembangannya adalah dengan menyusun menjadi mata pelajaran muatan lokal (mulok) di sekolah. Kantor pendidikan tingkat provinsi perlu membentuk tim ahli profesional menyusun kurikulum muatan lokal yang siap diajarkan dan ada manfaatnya di semua daerah lingkungan provinsi dimana satuan pendidikan itu berada. Secara teoritik maupun konsep desentralisasi pemerintahan, maka pemerintah provinsi sebagai daerah otonom lintas kabupaten/kota dapat menyusun kurikulum muatan lokal untuk diterapkan di daerah yang menjadi wilayahnya. Pemerintah provinsi bersama Kabupaten/Kota menyediakan tenaga ahli kurikulum untuk mempermudah desain pengembangan kurikulum yang sesuai dengan potensi lokal, terlebih lagi kurikulum muatan lokal. Karena pengembangan kurikulum yang asal jadi atau tidak sesuai dengan kebutuhan riil masyarakat akan menjadi sia-sia yaitu rugi waktu dan material. Dengan demikian dapat ditegaskan bahwa, untuk mendapat kualitas yang dipersyaratkan dalam pengembangan kurikulum perlu diatur sistem kontrol, evaluasi pelaksanaan, dan monitoring kurikulum sehingga pada waktu yang ditentukan dapat diperbaiki baik kurikulum muatan lokal maupun kurikulum nasional pada semua jenis dan jenjang pendidikan. Model ini mengacu pada aspek kognitif, afektif, dan psikomotorik dalam upaya mencapai tujuan pendidikan. c. Kurikulum Berbasis Kompetensi Dalam perkembangannya untuk mempersiapkan para peserta didik menghadapi tantangan masa depan, Depdiknas menerbitkan model kurikulum berbasis kompetensi yang merupakan reaksi
pemikiran atau pengkajian ulang penilaian terhadap kurikulum pendidikan dasar 1994 beserta pelaksanaannya. Kurikulum berbasis kompetensi adalah kurikulum yang ditujukan untuk menciptakan tamatan yang kompeten dan cerdas dalam membangun identitas budaya dan bangsanya. Kurikulum berbasis kompetensi pada pendidikan kejuruan oleh Suderadjat (2004::41) adalah sebagai pengembangan program pendidikan dan latihan berdasarkan analisis jabatan, pekerjaan, tugas, dan kegiatan di dunia kerja, baik di dunia usaha maupun dunia industri. Hasil pendidikan baik pendidikan kejuruan, akademik, maupun keagamaan adalah kemampuan atau kompetensi yang bermanfaat bagi kehidupan. Semua hasil pendidikan merupakan pemilikan pengetahuan dan konsep-konsep keilmuan, nilai, sikap, dan keterampilan yang terintegrasi, yang dapat digunakan dalam kehidupan bermasyarakat. Oleh karena semua bidang ilmu yang dipelajari di sekolah untuk digunakan dalam kehidupan bermasyarakat, maka kurikulum berbasis kompetensi dapat diterapkan untuk semua jenjang dan jenis-satuan pendidikan sesuai kadar dan bobotnya masing-masing. Semua bidang studi mempunyai nilai yang menggambarkan kecakapan, kemampuan dan kompetensi bagi para siswa yang menuntutnya. Karena itu, penggunaan kurikulum berbasis kompetensi, selain agar meningkatkan mute pendidikan di Indonesia, juga untuk menciptakan dasar yang sama bagi semua peserta didik. Sehingga mereka mampu melakukan lompatan yang sama ke depan. McAshan (1981:45) mengartikan bahwa kompetensi adalah sebagai pengetahuan, keterampilan dan kemampuan yang dikuasai oleh seseorang yang telah menjadi bagian dan dirinya, sehingga ia dapat melakukan perilaku-perilaku kognitif, afektif, dan psikomotorik dengan sebaikbaiknya. Kurikulum berbasis kompetensi memberi gambaran bahwa para siswa yang telah mengikuti kegiatan belajar menguasai konsep pengetahuan, dan mampu menganalisis kebutuhan menggunakan pengetahuan dan keterampilan yang diperolehnya di sekolah setelah mengikuti berbagai materi pelajaran. Kompetensi mi memiliki tiga dimensi yakni: (1) pemilikan nilai dan sikap dengan menghargai dan menyenangi materi pelajaran itu; (2) penguasaan konsep dengan menguasai ilmu pengetahuan sehingga mampu berpikir secara rasional, kemampuan dan kecakapan berkomunikasi, serta mampu memecahkan masalah secara sistematis dalam hidupnya; dan (3) kecakapan mengaplikasikannya dengan menggunakan teknologi dan pengukuran yang tepat dalam kehidupan. Adapun hal-hal yang dikembangkan dalam konsep kurikulum berbasis kompetensi terdiri atas kompetensi akademik, keterampilan hidup, pengembangan moral, pembentukan karakter yang kuat, kebiasaan hidup sehat, semangat bekerja sama, dan aspirasi estetika terhadap dunia sekitarnya. Dengan konsep ini menunjukkan bahwa kurikulum berbasis kompetensi menuntut kualitas guru yang memadai. Kurikulum berbasis kompetensi ini menekankan pada pengembangan kemampuan
melakukan (kompetensi) tugas-tugas dengan standar performansi tertentu, sehingga hasilnya dapat dirasakan oleh peserta didik, berupa penguasaan terhadap seperangkat kompetensi tertentu. Model kurikulum berbasis kompetensi ini sudah disosialisasikan mulai tahun ajaran 2002-2003 oleh sekolah yang ditunjuk pemerintah sebagai uji coba. Kebijaksanaan ini sesuai dengan Pasal 36 UUSPN No 20 tahun 2003 Kurikulum disusun sesuai dengan jenjang pendidikan dalam kerangka Negara Kesatuan Republik Indonesia dengan memperhatikan: (1) peningkatan iman dan takwa; (2) peningkatan akhlak mulia; (3) peningkatan potensi, kecerdasan, dan minat peserta didik; (4) keragaman potensi daerah dan lingkungan; (5) tuntutan pembangunan daerah dan nasional; (6) tuntutan dunia kerja; (7) perkembangan ilmu pengetahuan, teknologi, dan seni; (8) agama; (9) dinamika perkembangan global; dan (10) persatuan nasional dan nilai-nilai kebangsaan. Dengan demikian jelas bahwa pengembangan kurikulum mi sangat memperhatikan tahap perkembangan peserta didik dan kesesuaiannya dengan lingkungan, kebutuhan pembangunan, pengetahuan teknologi, kesenian, sesuai jenis dan jenjang masing-masing satuan pendidikan.
Dalam kurikulum berbasis kompetensi terjadi pergeseran penekanan dan sisi apa yang tertuang ke kompetensi bagaimana harus berpikir, belajar, dan melakukan. Guru dan siswa diharapkan mengetahui apa yang harus dicapai dan sejauh mana efektivitas belajar telah dicapai. Pendapat ml dipertegas oleh McAshan (1981) yang mengemukakan bahwa ada tiga hal yang perlu diperhatikan dalam pengembangan kurikulum berbasis kompetensi yaitu: (1) penetapan kompetensi yang akan dicapai; (2) pengembangan strategi untuk mencapai kompetensi; dan (3) evaluasi terhadap
kompetensi tersebut. Kurikulum berbasis kompetensi ini berupa platform nasional yang disusun untuk mengembangkan potensi peserta didik sesuai dengan bakat dan kemampuannya mencakup kemampuan intelektual, emosional, spiritual, dan sosial dengan memberikan pengalaman belajar yang dapat membangun integritas sosial, membudayakan dan mewujudkan karakter nasional untuk tumbuh menjadi warga negara yang bertanggung jawab dan dapat dipercaya. Pemberlakuan kurikulum berbasis kompetensi menurut para ahli kurikulum pada pusat kurikulum Balitbang Depdiknas kelak memungkinkan setiap daerah atau sekolah mengembangkan atau menyusun silabus sendiri berdasarkan kompetensi 4isar yang telah dibuat oleh pemerintah pusat. Dengan sistem ini diharapkan kurikulum akan lebih relevan dengan kondisi dan kepentingan masing-masing daerah, sekaligus dalam sistem desentralisasi pemerintahan di daerah dapat memberdayakan stakeholders di daerah masing-masing. Pengembanan kurikulum berbasis kompetensi secara utuh dan menyeluruh mencakup pembentukan karakter, penguasaan ketrampilan hidup dan akademik, hidup sehat, dan mengapresiasi seni melalui kegiatan intra maupun ekstrakurikuler yang telah dirinci oleh sekolah. Namun. dalam perjalanan panjang kurkulum sejak tahun 1945 sampai sekarang belum membuktikan pendidikan di negara kita menjadi unggul dan berkualitas, hal ini terbukti dan berbagai hasil penelitian berbagai badan internasional dan nasional yang menunjukkan Indonesia selalu menempati urutan terakhir dalam berbagai hal mengenai mutu pendidikan. Jika dicermati sejak merdeka tahun 1945 Indonesia pernah mengalami perubahan kurikulum yang pertama 1947 (rencana pelajaran), kurikulum 1968, kurikulum 1975, kurikulum 1975 yang disempumakan, kurikulum 1994, kurikulum 1999, dan kurikulum 2004 yang disebut kurikulum berbasis kompetensi (KBK). Dalam perkembangannya, pendidikan di Indonesia belum sejajar dengan negara-negara maju di Asia Tenggara, apalagi pada tingkat dunia, mi artinya produk pendidikan Indonesia belum mampu bersaing di pasar bebas. Pada masa lalu proses belajar mengajar selalu berfokus pada guru atau pengajaran dan materi kurang berfokus pada kompetensi pembelajaran siswa. Oleh karena itu pola pikir pembelajaran perlu diubah dan sekedar memahami konsep dan prinsip keilmuan, menjadi siswa memiliki kemampuan berbuat sesuatu, dengan menggunakan konsep dan prinsip keilmuan yang telah dikuasai. Dalam rangka mempersiapkan para peserta didik menghadapi tantangan masa depan, Departemen Pendidikan Nasional menghadapi dengan menerbitkan Kurikulum berbasis kompetisi yang merupakan reneksi, pemikiran atau pengkajian ulang dan penilaian terhadap Kurikulum Pendidikan Dasar dan Menengah 1994 beserta pelaksananya. Hasil analisis yang mendalam terhadap keadaan peserta didik di masa sekarang dan yang akan datang memerlukan kualitas keterampilan dan intelektualitas yang kompetitif menunjukkan perlunya
Kurikulum Berbasis Kompetensi yang dapat membekali peserta didik untuk menghadapi tantangan kehidupan secara mandiri, cerdas, kritis, rasional dan kreatif. Pengertian, Prinsip-prinsip, struktur dan pelaksanaan kurikulum berbasis kompetensi mi mempunyai tujuan: (1) meningkatkan kualitas hidup anak didik pada tiap jenjang sekolah; (2) mendorong kehidupan aktual anak ke arah perkembangan hidup yang bulat dan menyeluruh (all round living) yang berkualitas tinggi; dan (3) mengembangkan aspek kehidupan kreatif pada anak didik sebagai pembuktian keberhasilan pendidikan di sekolah sehingga anak didik mampu berkembang secara aktif, yang secara aktual mampu memikirkan dan menciptakan hal-hal yang baru dan positif bagi kehidupannya. Dokumen kurikulum berbasis kompetensi ini disusun untuk memberikan kemudahan bagi para pembina dan pelaksana pendidikan dalam mengelola kurikulum sesuai dengan karakteristik pendidikan. Secara prinsip isi kurikulum harus dikaitkan dengan tujuan pendidikan yang menjadi pedoman proses kependidikan serta mengandung pengarahan kepada terciptanya suatu jenis metode yang tepat guna. Karena itu menurut Kilpatnick pada dasarnya isi kurikulum mencakup: (1) isi kurikulum harus bermanfaat untuk menafsirkan dan memahami makna lingkungan hidup anak didik dan memberi kemudahan bagi anak didik memanfaatkannya; (2) isi kurikulum harus dapat memenuhi tuntutan dan mengembangkan sikap, bakat, minat, dan kebutuhan murid; (3) isi kurikulum harus memiliki relevansi atau bercorak integrated dengan bidang studi lainnya dan lingkungannya; dan (4) isi kurikulum harus dapat mendorong murid lebih aktif dalam belajar dan dapat merangsang murid untuk lebih giat belajar serta menganalisis pengalaman belajar (Arifin, 1991:82). Dalam kurikulum berbasis kompetensi terjadi penekanan dan isi (apa yang tertuang) menjadi kompetensi (bagaimana harus berpikir, belajar, dan melakukan). Guru dan siswa diharapkan mengetahui apa yang harus dicapai dan sejauh mana keefektifan belajar telah dicapai. Dengan adanya perubahan fundamental ini persoalan-persoalan yang terjadi harus diselesaikan dengan cara-cara baru dan paradigma baru serta dengan wawasan baru. Kurikulum berbasis kompetensi harus sesuai dengan kebijakan otonomi daerah, termasuk otonomi di bidang pendidikan. Dalam hal mi kebijakan pengembangan kurikulum pada tingkat satuan pendidikan berubah dan sistem sentralistik menjadi desentralistik. Dalam otonomi daerah ini, daerah dan sekolah diberi kewenangan menentukan dan mengembangkan sistem pembelajaran yang akan digunakan dalam mencapai standar kompetensi. Namun ada beberapa hal yang oleh pusat yaitu kompetensi siswa, kurikulum, materi pokok, pedoman penilaian, dan kalender pendidikan (bagian II. PP No 25/2000) menjadi tanggung jawab pemerintah, agar mutu dan standar pendidikan secara nasional tetap terjaga. Pada prinsipnya perumusan materi kurikulum menurut beberapa ahli pendidikan harus mencerminkan tuntutan hidup baik anak didik maupun masyarakat serta lingkungannya. Herman H. Home menyarankan agar
substansi materi yang harus dimasukkan ke dalam kurikulum mencakup: (1) the ability and needs of children yaitu kecakapan yang diperoleh dan belajar dan kebutuhan-kebutuhan anak didik; (2) the legitimate demands of society yaitu tuntutan yang sah dan masyarakat sekitar; dan (3) the kind of universe in which we live yaitu jenis-jenis lingkungan jagad raya di mana kita hidup yaitu lingkungan alam yang dapat dikelola oleh manusia untuk kepentingan kesejahteraan hidup bersama (Arifin, 1991:80). 4. Landasan Pengembangan Kurikulum Kurikulum merupakan wahana belajar mengajar yang dinamis sehingga perlu dinilai dan dikembangkan secara terus menerus dan berkelanjutan sesuai dengan perkembangan yang ada dalam masyarakat. Pengembangan kurikulum adalah suatu proses yang menentukan bagaimana pembuatan kurikulum akan berjalan. Hal tersebut menurut Zais (1976:17) meliputi pertanyaan sebagai berikut: (1) siapa yang akan dilibatkan dalam pembuatan kurikulum dan (2) prosedur apa yang akan digunakan dalam pembuatan kurikulum. Pengembangan kurikulum yang terbaik menurut Hilda Taba (1962:6) adalah proses yang meliputi banyak hal yakni: (1) kemudahan suatu analisis tujuan; (2) rancangan suatu program; (3) penerapan serangkaian pengalaman yang berhubungan dan (4) peralatan dalam evaluasi proses ini. Singkatnya pengembangan kurikulum adalah suatu perbuatan kompleks yang mencakup berbagai jenis keputusan. Formulasi ini diimplementasikan dengan menegaskan tujuan yang akan dicapai, materi pelajaran yang terukur, waktu yang disediakan, media pendidikan yang diperlukan, kompetensi guru yang diperlukan, peralatan yang diperlukan, dan sarana belajar yang mendukung. Dilihat dan faktor filosofis, yaitu kebijakan pemerintah di bidang pendidikan nasional yang digariskan dalam GBHN menuntut implementasi yang sesuai dengan formulasi dan dapat di evaluasi. Kebijakan yang dimaksud adalah kebijakan yang dituangkan dalPan1 TAP MPR Republik Indonesia no. IV/MPRJI973. Tap tersebut direalisasikan dengan Repelita II Bab 22, tentang pendidikan dan pembinaan generasi muda. Dilihat dan faktor sosiologis dapat dijelaskan sebagai berikut: (1) adanya inovasi dan gagasan-gagasan baru yang memasuki dunia pendidikan mempengaruhi sistem pendidikan nasional sebagai dampak dan pembinaan dan pembaharuan pendidikan sejak Rcpelita I; (2) basil analisis dan penelitian pendidikan nasional telah mendorong Departemen Pendidikan Nasional untuk melakukan perubahan kurikulum dan (3) keluhan-keluhan masyarakat tentang mutu lulusan pendidikan mendorong lembaga pendidikan untuk melakukan perubahan dan pengembangan kurikulum yang diimplementasikan dalam proses pembelajaran. Dengan pemikiran yang demikian ini, maka praktek pelaksanaan pendidikan termasuk kurikulum perlu ditinjau kembali atau dilakukan perbaikan terus menerus.
Kemudian dilihat dan faktor psikologis, maka inovasi dalam proses pembelajaran yang efisien dan efektif telah langsung berpengaruh terhadap praktek pendidikan. Inovasi tersebut antara lain menggambarkan: (1) hasil proyek penulisan buku pelajaran; (2) hasil proyek perubahan kurikulum dan metode mengajar (PKMM). Perubahan dan pengembangan kurikulum kualitas lulusan pendidikan meningkat; (3) berlakunya jual sistem dalam pendidikan, yang diharapkan dapat meningkatkan kualitas output pendidikan: dan (4) inovasi di bidang metode mengajar terutama prosedur pengembangan sistem instruksional (PPSI) inovasi tersebut muncul dan peralihan persepsi mengenai psikologi belajar. Setelah kita mengetahui landasan pengembangan kurikulum yang menunjukkan beberapa faktor tentang penyebab perubahan kurikulum, maka selanjutnya kita harus mengetahui tentang strategi perubahan kurikulum dan hubungan antara perubahan kurikulum dengan sistem sosial. Ada beberapa hal yang harus diperhatikan dalam perubahan kurikulum tersebut, kita seharusnya berpegang teguh kepada prinsip-prinsip pengembangan kurikulum sebagai berikut: (1) berorientasi pada tujuan, yaitu kurikulum diarahkan untuk mencapai tujuan tertentu yang bertitik tolak dan tujuan pendidikan nasional; (2) relevansi (kesusaian), yaitu pengembangan kurikulum harus sesuai dengan kebutuhan dan keadaan masyarakat, pengembangan siswa dan IPTEKS; (3) efisiensi dan efektivitas, yaitu pengembangan kurikulum harus berorientasi kepada seberapa satu biaya yang dikeluarkan dengan hasil yang di capai dan seberapa lama waktu yang diperlukan dikaitkan dengan tujuan yang telah di capai; (4) fleksibilitas (keluwesan), yaitu mencakup fleksibilitas program bagi murid dalam menempuh program belajar dan guru dalam mengembangkan program pengajaran: (5) berkesinambungan, yaitu kesinambungan antara bidang studi yang satu dengan bidang studi yang lain. Kesinambungan antara kelas dengan kelas dan kesinambungan antara jenjang sekolah; (6) keseimbangan, yaitu program pengembangan kurikulum harus seimbang antara berbagai program dan sub program, antara semua mata pelajaran dan aspek-aspek perilaku yang ingin dikembangkan; (7) keterpaduan, yaitu pengembangan kurikulum harus terpadu. yaitu bertitik tolak dan masalah atau topik dan konsistensi antara unsur-unsurnya; dan (8) mutu, yaitu program pengembangan harus berorientasi kepada mutu, berarti pelaksanaan pembelajaran yang bermutu, sedang mutu pendidikan berorientasi pada hasil pendidikan yang berkualitas. Prinsip-prinsip pengembangan kurikulum ini telah mempertimbangkan berbagai aspek yang melingkupinya. Adapun faktor-faktor penentu pengembangan kurikulum adalah: a. Landasan filosofis: Pendidikan ada dan berada dalam kehidupan masyarakat, sehingga apa yang dikehendaki oleh masyarakat untuk dilestarikan diselenggarakan melalui pendidikan dalam arti seluas-luasnya (Raka Joni 1983;13) Segala kehendak yang dimiliki oleh masyarakat merupakan
sumber nilai yang memberikan arah pada pendidikan. Dengan demikian pandangan dan wawasan yang ada dalam masyarakat merupakan landasan filosofis penyelenggaraan pendidikan. Filsafat boleh jadi didefinisikan sebagai suatu studi tentang; hakekat realitas, hakekat ilmu pengetahuan, hakekat sistem nilai kebaikan hakekat keindahan dan hakekat pikiran. (Winecoff 1988; 13) b. Landasan sosial Budaya: Realita sosial budaya agama yang ada dalam masyarakat merupakan bahan kajian pengembangan kurikulum untuk digunakan sebagai landasan pengembangan kurikulum. Masyarakat adalah suatu kelompok individu yang diorganisasikan mereka sendiri kedalam kelompok-kelompok berbeda (Zais 1976). Masyarakat sebagai kelompok individu mempunyai pengaruh terhadap individu dan sebaliknya individu pada taraf tertentu juga mempunyai pengaruh terhadap masyarakat. (Raka Jom 1983;5). Nilai sosial budaya masyarakat bersumber pada basil karya akal budi manusia, sehingga dalam menerima, menyebarluaskan, melestarikan atau melepaskannya manusia menggunakan akalnya. Nilai keagamaan berhubungan erat dengan kepercayaan masyarakat terhadap ajaran dan nilai-nilai agama yang mereka anut. Oleh karena itu nilai sosial budaya lebih bersifat sementara bila dibandingkan dengan nilai keagamaan. Oleh karena itu jelas dalam pengembangan kurikulum kita harus berpijak pada nilai sosial budaya dan agama. c. Landasan Pengetahuan Teknologi dan Seni: Pendidikan merupakan usaha penyiapan subyek didik menghadapi lingkungan hidup yang mengalami perubahan yang semakin pesat. Perubahan masyarakat mencakup nilai yang disepakati oleh masyarakat tersebut. Sedangkan seluruh nilai yang telah disepakati oleh masyarakat dapat pula disebut sebagai kebudayaan. Oleh karena itu kebudayaan dapat dikatakan sebagai suatu konsep yang memiliki kompleksitas tinggi (Zais 1976; 157). ilmu pengetahuan dan teknologi adalah nilai-nilai bersumber pada pikiran atau logika, sedangkan seni bersumber pada perasaan atau estetika. Mengingat pendidikan merupakan upaya penyiapan siswa menghadapi perubahan yang semakin pesat, termasuk di dalamnya perubahan ilmu pengetahuan, teknologi, dan seni, maka pengembangan kurikulum haruslah berlandaskan ilmu pengetahuan, teknologi dan seni (IPTEKS) d. Landasaan Kebutuhan masyarakat; Pengembangan kurikulum juga harus ditekankan pada pengembangan individu yang mencakup keterkaitannya dengan lingkungan sosial setempat, .karena pada hakekatnya pengembangan kurikulum adalah kebutuhan masyarakat yang dilayani melalui kurikulum yang dikembangkan. e. Landasan Perkembangan Masyarakat: Ciri utama masyarakat adalah selalu berkembang. Perkembangan mi bisa lambat bisa juga cepat bahkan sangat cepat. Ipteks sangat mendukung perkembangan masyarakat dan kebutuhan masyarakat akan membantu menetapkan
perkembangan yang dilaksanakan. Perkembangan masyarakat akan menuntut tersedianya proses pendidikan yang sesuai dengan perkembangan masyarakat, maka diperlukan perancangan berupa kurikulum yang landasannya berupa perkembangan masyarakat itu sendiri. Pengembangan kurikulum dan landasan pengembangan kurikulum seperti telah diuraikan sebelumnya, akan merupakan dasar untuk mengkaji pembelajaran dan pengembangan kurikulum lebih lanjut. Berkaitan dengan kelugasan dan fleksibilitas kurikulum Duke L. Daniel (1999) mengutip pendapat Kirts dan Glattorns mengelompokkan kurikulum yaitu: (1) apa seharusnya diajarkan pada peserta didik; (2) pedoman pengajaran yang disepakati; (3) direfleksikan dan dibentuk oleh sumber daya yang dialokasikan; (4) mencakup isi dimana siswa akan menjalankan tes; dan (5) belajar mengungkap semua perubahan nilai maupun persepsi dan perilaku siswa sebagai hasil yang diajarkan di sekolah. Pedoman perencanaan kurikulum dapat merujuk pada pokok-pokok kebijaksanaan pendidikan tentang tujuan dan misi kurikulum lokal yang jelas, tawaran materi pelajaran, konsistensi kurikulum dan kurikulum yang responsif. Rancangan kurikulum dalam konteks desentralisasi bertujuan untuk memberi peluang pada peserta didik memperoleh keterampilan. pengetahuan, dan sikap yang dapat memberikan kontribusi pada masyarakat. 5. Prinsip-prinsip Pengembangan Kurikulum Berbagai prinsip pengembangan kurikulum tersebut di antaranya: prinsip berorientasi pada tujuan, prinsip relevansi, prinsip efisiensi, prinsip efektivitas. prinsip fleksibilitas. prinsip integritas, prinsip kontinuitas. prinsip sinkrouisasi, prinsip objektivitas, prinsip demokrasi dan prinsip praktis (Depdikbud, 1982: 27-28; Nana Sy. Sukmadinata. 1988: 167-168). a. Prinsip Relevansi Relevansi berarti sesuai antara komponen tujuan. Isi pengalaman belajar, organisasi dan evaluasi kurikulum, dan juga sesuai dengan kebutuhan masyarakat baik dalam pemenuhan tenaga kerja maupun warga masyarakat yang diidealkan. Proses penyampaian dan evaluasi. b. Prinsip kontinuitas. Evaluasi dikembangkan secara berkesinambungan. Prinsip Kontinuitas atau berkesinambungan menghendaki pengembangan kurikulum yang berkesinambungan secara vertikal dan berkesinambungan secara horizontal. Secara vertikal antara jenjang pendidikan yang satu dengan jenjang pendidikan yang lebih tinggi dikembangkan kurikulumnya secara berkesinambungan tanpa ada jarak di antara keduanya, dan tujuan pembelajaran sampai ke tujuan pendidikan nasional juga berkesinambungan, demikian pula komponen yang lain. Sedangkan
berkesinambungan horisontal dapat diartikan pengembangan kurikulum jenjang pendidikan dan tingkat/kelas yang sama tidak terputus-putus. c. Prinsip Fleksibilitas. Para pengembang kurikulum harus menyadari bahwa kurikulum harus mampu disesuaikan dengan situasi dan kondisi setempat dan waktu yang selalu berkembang tanpa merombak tujuan pendidikan yang harus dicapai (Depdikbud, 1982: 27). d. Prinsip Berorientasi pada Tujuan. Tujuan kurikulum mengandung aspek-aspek pengetahuan, keterampilan, sikap dan nilai; yang selanjutnya menumbuhkan perubahan tingkah laku peserta didik yang mencakup ketiga aspek tersebut dan bertalian dengan aspek-aspek yang terkandung dalam tujuan pendidikan. e. Prinsip Efisiensi dan efektivitas. Pengembangan Kurikulum harus mempertimbangkan segi efisien dalam pendayagunaan dana. waktu. tenaga dan sumber-sumber yang tersedia agar dapat mencapai hasil optimal. Dana yang terbatas harus digunakan sedemikian rupa dalam rangka mendukung pelaksanaan pembelajaran. Waktu yang tersedia bagi siswa belajar di sekolah juga terbatas harus dimanfaatkan secara tepat sesuai dengan mata ajaran dan bahan pembelajaran yang diperlukan. f. Prinsip Keseimbangan. Dengan keseimbangan tersebut diharapkan terjalin perpaduan yang lengkap dan menyeluruh. yang satu sama lainnya saling memberikan sumbangannya terhadap pengembangan pribadi. g. Prinsip Keterpaduan. Dengan keterpaduan ini diharapkan terbentuknya pribadi yang bulat dan utuh. Di samping itu juga dilaksanakan keterpaduan dalam proses pembelajaran, baik dalam interaksi antara siswa dan guru maupun antara teori dan praktik. h. Prinsip Mutu. Pendidikan yang bermutu ditentukan oleh derajat mutu guru, kegiatan belajar mengajar, peralatan/media yang bermutu.. 6. Strategi Perubahan Kurikulum. Strategi perubahan kurikulum merupakan suatu metode, teknik, siasat atau alat yang dipergunakan untuk melancarkan proses belajar mengajar (PBM), suatu perubahan kurikulum dalam konteks sosial. Dalam hal mi para pendidik dan tenaga kependidikan lainnya harus memahami apa yang dimaksud dengan perubahan kurikulum dan sejauh mana peran dalam perubahan tersebut berpengaruh terhadap pembelajaran pada satuan pendidikan seperti dijelaskan berikut ini. a. Perubahan Kurikulum Pengertian kurikulum meliputi objek kurikulum.. sasaran, substansi, metode dan cara menguji hasil belajar. Dalam konteks tersebut kasus perubahan kurikulum faktor yang perlu diperhatikan adalah mata pelajaran, dan faktor lingkungan serta tingkat pendidikan tertentu. Perubahan mata
pelajaran mencakup perubahan baik isi maupun cara mengorganisasi mata pelajaran. Dalam perubahan ini, masalah yang timbul adalah lingkup persoalan mana yang perlu disesuaikan dengan kenyataan yang ada. Salah satu contoh untuk memajukan dan mengembangkan kebudayaan pendidikan adalah bagaimana sekolah dibuat, sehingga murid lebih mengembangkan sendiri dibandingkan dengan mempelajari dan mengembangkan kebudayaan asing. Akibat perubahan kurikulum, terjadi perubahan yang menyangkut proses pembelajaran, hal yang perlu diperhatikan adalah apa yang ingin dicapai dengan kurikulum tersebut. Bagaimana mencapai tujuan kurikulum, serta ukuran/kriteria mana yang dapat digunakan untuk mengukur pencapaian tujuan kurikulum. Dengan adanya kemajuan jaman dan kepentingan dalam peningkatan sumber daya manusia yang merupakan tuntutan dalam Era globalisasi mi maka guru dihadapkan pada masalah dimana kenyataan banyaknya inovasi yang memasuki dunia pendidikan. Juga timbulnya kesenjangan yang mengakibatkan Kehausan pengetahuan, di satu pihak dan belum dikuasainya pengetahuan baru di pihak lain sebagai tuntutan pembaharuan tersebut. Dalam keadaan tersebut bila kita ingin memperkecil kesenjangan, karenanya kita harus siap menghadapi kenyataan itu, yang merupakan tantangan, sekaligus peluang untuk memperluas wawasan guru dalam bidang yang ditanganinya. Wawasan yang dimaksud yaitu wawasan tentang kesiapan terhadap kemungkinan perubahan yang ada. Kemungkinan tersebut kita tinjau dan segi filosofis, sosiologis dan psikologis., yang akan menjadi pedoman bagi kita dalam bertindak. Sebagai contoh kita ambil uraian kurikulum sekolah dasar tahun 1975. Prosedur pembaharuan kurikulum pada pokoknya ada dua prosedur utama untuk mengubah kurikulum yaitu pertama, apa yang disebut dengan Administrative Approach yaitu yang direncanakan oleh pihak atas untuk kemudian diturunkan kepada instansi-instansi bawahan sampai kepada guru-guru. Jadi dari atas ke bawah, atas inisiatif para administrator. Kedua, adalah grass roots approach yaitu yang dimulai dan bawah yakni dari pihak guru atau sekolah secara individual prosedur manakah yang dilaksanakan banyak bergantung pada sistem pendidikan serta organisasi dan struktur organisasinya. Di Indonesia pendekatan yang dipakai adalah pendekatan administratif. Pendekatan administratif banyak menggunakan panitia-panitia untuk merencanakan kurikulum baru, menyusun buku pelajaran, menyebarluaskan dan sebagainya. Partisipasi diusahakan seluas mungkin agar tercapai konsensus dan keterlibatan pribadi dan instansi dalam usaha pembaharuan kurikulum. Walaupun pendekatan administratif mempunyai banyak kebaikan namun ditinjau dan segi tertentu mempunyai kelemahan antara lain di kemukakan bahwa cara ini otoriter atau otokratis karena hanya merupakan keputusan atasan yang harus dilaksanakan oleh guru-guru, guru kurang dilibatkan dalam proses perencanaannya, karena itu guru-guru. kurang berusaha untuk
mendalaminya dan memahaminya, guru akan mudah kembali kepada praktek-praktek yang lama, oleh karena sulit melakukan perubahan, di lapangan perubahan kurikulum hanya bersifat teori saja. guru kurang berinisiatif (bersifat pasif). Perubahan kurikulum pada hakekatnya berarti mengubah manusia dan lembaga-lembaga. Perencanaan, perubahan kurikulum harus merupakan dialog antara pengambil kebijakan dan pelaksana dalam suasana saling menghargai pendapat. Perubahan kurikulum adalah sesuatu yang wajar dan harus dilakukan karena perubahan yang terus menerus dalam masyarakat dan kehidupan, serta sifat pendidikan sangat dinamis. Berbagai jalan praktis ditempuh untuk mengadakan pembaharuan kurikulum: (1) pilot project, yaitu seorang guru dapat mengadakan percobaan dengan suatu kurikulum baru dalam suatu bidang studi tertentu; (2) membina kader, dilaksanakan dengan mendidik kader yang menguasai seluk beluk pembaharuan kurikulum yang ditempatkan berbagai sekolah untuk mengadakan pembaharuanpembaharuan, (3) memanfaatkan guru, yaitu guru dan sekolah yang telah menjalankan kurikulum baru dapat diminta bekerja pada sekolah yang belum melaksanakannya sehingga dapat disaksikan pelaksanaan pembaharuan itu; (4) menyediakan alat pengajaran, yaitu dengan adanya laboratorium akan mendorong guru untuk menggunakan metode dan bahan pelajaran baru; (5) memperbaharui buku pelajaran, yaitu buku pelajaran dapat memberikan informasi oleh karenanya buku memegang peranan yang penting dalam terjadinya perubahan kurikulum, cara mengajarnya bahkan metodenya; (6) kerja sama antara sekolah dan mahasiswa, yaitu Universitas dapat menyediakan tenaga ahli dan berbagai aspek kurikulum yaitu bertindak sebagai konsultan, sedangkan sekolah memberikan bahan tentang keadaan yang ini mengenai murid dan sekolah; (7) pembaharuan kurikulum guru, yaitu pendidikan guru dalam pembaharuan akan lebih efektif daripada penataran akan tetap diperlukan, karena pada suatu ketika setiap kurikulum akan memerlukan pembaharuan; (8) mendemonstrasikan serta pembaharuan, yaitu mencobakan suatu unit pelajaran dan sekolah ternyata berhasil lalu mendemonstrasikannya kerja ada guru-guru lain dengan harapan agar pembaharuan ini dapat diterima baik dan disebarluaskan; dan (9) memulai dan satuan pelajaran. Perubahan tak mungkin dilakukan dalam seluruh program jadi baru memulai dengan bagian yang kecil dan terbatas dan satuan pelajaran yang eksperimental ini kemudian dikembangkan suatu kerangka yang lebih luas berdasarkan prinsipprinsip dasar teoritis, cara menentukan bahan, mengevaluasi dsb. a. Tujuan. Tujuan sebagai komponen kurikulum merupakan kekuatan-kekuatan fundamental yang peka sekali, karena hasil kurikuler yang diinginkan tidak hanya sangat mempengaruhi bentuk kurikulum, memberikan arah dan fokus untuk seluruh program pendidikan. Hierarki vertikal tujuan kurikulum di Indonesia, paling tinggi adalah Tujuan Pendidikan Nasional, kemudian Tujuan Kelembagaan, diikuti Tujuan Kurikuler, dan Tujuan Pengajaran. Tujuan Pendidikan
Nasional merupakan tujuan kurikulum tertinggi bersumber pada falsafah bangsa (Pancasila) dan kebutuhan masyarakat tertuang pada falsafah bangsa (Pancasila) dan kebutuhan masyarakat tertuang dalam UUSPN. b. Materi/Pengalaman Belajar. Hal yang merupakan fungsi khusus dan kurikulum pendidikan formal untuk memilih dan menyusun isi (komponen dan kedua kurikulum) supaya keinginan tujuan kurikulum dapat dicapai dengan cara paling efektif dan supaya yang paling penting pengetahuan yang diinginkan pada jalurnya dapat disajikan secara efektif (Zais, 1976:322).
c. Organisasi. Jika kurikulum merupakan suatu rencana untuk belajar, maka isi dan pengalaman belajar membutuhkan pengorganisasian sedemikian rupa sehingga berguna bagi tujuan-tujuan pendidikan (Taba, 1962:290). Pengorganisasian kurikulum merupakan kegiatan yang sulit dan kompleks. Sukar dan kompleksnya pengorganisasian kurikulum dikarenakan kegiatan tersebut bertalian dengan aplikasi semua pengetahuan yang ada tentang pertumbuhan dan perkembangan peserta didik, dan masalah proses pembelajaran (Sumantni, 1988: 23). d. Evaluasi. Evaluasi ditunjukkan untuk melakukan evaluasi terhadap belajar siswa (hasil dan proses) maupun keefektifan kurikulum dan pembelajaran. Lebih lanjut Zais (1976:378) mengemukakan evaluasi kurikulum secara luas merupakan suatu usaha sangat besar yang kompleks yang mencoba menantang untuk mengkodifikasi proses salah satu dari istilah sekuensi atau komponen-kOmPonen Evaluasi kurikulum secara luas tidak hanya menilai dokumen tertulis, tetapi yang lebih penting adalah kurikulum yang diterapkan sebagai bahan-bahan fungsional dan kejadian-kejadian yang meliputi interaksi siswa, guru, material dan lingkungan. b. Sistem Sosial Dalam strategi perubahan dan pengembangan kurikulum, konteks sosial tidak dapat terlepas, artinya sistem sosial yang ada di masyarakat berpengaruh langsung dalam perubahan kurikulum. Sistem sosial tersebut mengandung konsep eksistensi individu di masyarakat dalam hubungannya dengan kehidupan masyarakat sekitarnya. Sejalan dengan hal itu John Dewey memandang
pendidikan sebagai alat rekonstruksi sosial yang paling efektif, dengan membentuk individu dapat membentuk masyarakat. Pendidikan merupakan badan yang konstruktif untuk memperbaiki masyarakat dan membina masa depan yang lebih baik. Jadi kurikulum sebagai rekonstruksi sosial mengutamakan kepentingan sosial di atas kepentingan individu. Tuannya menurut Nasution (1990:24) ialah perubahan sosial atas tanggung jawab tentang masa depan masyarakat. Tugas kurikulum yang demikian itu bukanlah sesuatu yang baru, akan tetapi selalu merupakan suatu bagian dan fungsi pendidikan, karena pendidikan selalu berkaitan tujuannya dengan masa mendatang. Sekolah biasanya dipandang sebagai agent of social change badan untuk mengadakan perubahan sosial. Sekolah merupakan jembatan antara masa kini dengan masa mendatang, antara realitas masa kini dengan ideal atau cita-cita masa mendatang. Perubahan kurikulum harus mempertimbangkan bagaimana peran serta subjek dalam lingkungannya, bagaimana supaya ia dapat diterima oleh masyarakat. Dengan demikian jelas baik individu maupun kelompok sebagai unit sistem sosial berpengaruh dalam perubahan kurikulum. Pengaruh tersebut kadang-kadang bersifat negatif atau juga positif Agar strategi perubahan kurikulum searah dengan harapan yang diinginkan, dibutuhkan pribadi pelaksana yang terampil. Pribadi tersebut ditugasi untuk melengkapi sarana dan prasarana bagi penyempurnaan sistem pendidikan. Sarana yang dimaksud adalah buku teks baru, sistem evaluasi yang bani, pengembangan guru-guru serta metode dan pendekatan baru dalam bentuk eksperimen dan adanya sumber penunjang lainnya seperti berupa insentif yang cukup untuk menunjang kelancaran perubahan, dan bagaimana implementasi kurikulum di lapangan. 7. Komponen Pelaksana Kurikulum. Untuk menetapkan semua tugas yang relevan dalam pengembangan kurikulum ada beberapa komponen pelaksana kurikulum yang memainkan peranan penting. Jika tidak ada pemahaman yang memadai mengenai peran dan masing-masing komponen pelaksana kurikulum ini, maka akan menemukan kesulitan yaitu peranan masing-masing menjadi kompleks, sehingga derajat pertimbangan menjadi meluas ketimbang pengetahuan mengenai prosedur, prilaku kognitif bertambah dalam hubungan perilaku psikomotorik, tugas generalisasi menjadi penting untuk perilaku. Sedangkan waktu untuk menserasikan antara ketiga komponen tersebut terbatas. Adapun komponen pelaksana kurikulum menurut Dewan Konsorsium Pendidikan Indonesia. a. Masyarakat adalah: (1) kehidupan bermasyarakat berlandaskan nilai-nilai keagamaan, sosial, budaya, sebagian nilai-nilai tersebut lestari. Sebagian lagi terus berubah sesuai dengan perkembangan IPTEK; (2) masyarakat merupakan sumber nilai yang memberikan arah normatif terhadap dunia pendidikan; dan (3) kehidupan bermasyarakat ditingkatkan mutunya oleh individu yang telah mampu mengembangkan dirinya melalui pendidikan.
b. Subjek Didik yaitu: (1) bertanggung jawab atas pendidikannya sendiri berdasarkan wawasan pendidikan seumur hidup; (2) subjek didik memiliki potensi (fisik/psikis) yang berbeda sehingga setiap subjek didik masing-masing merupakan insan yang unik; (3) subjek didik memelihara pembinaan secara individual dan perlakuan yang manusiawi; dan (4) subjek didik pada dasarnya adalah insan yang aktif menghadapi lingkungan hidupnya. c. Pendidik/guru yaitu: (1) guru adalah agen pembaharuan, karena itu diharapkan, guru jangan ketinggalan informasi; (2) guru berperan sebagai pemimpin dan pendukung nilai-nilai masyarakat; (3) guru sebagai fasilitator memungkinkan terciptanya kondisi yang baik untuk belajar para subjek didik; dan (4) Guru bertanggung jawab secara profesional untuk selalu meningkatkan dirinya. Ketiga komponen tersebut merupakan satu kesatuan yang saling berkaitan dimana dituntut adanya suatu kerja sama yang baik dalam mencapai suatu tujuan yang telah digariskan dalam kurikulum. Diharapkan dengan adanya usaha yang semaksimal mungkin ini dapat meningkatkan taraf pendidikan di negara kita, sehingga kualitas sumber daya manusianya pun dapat diandaikan dalam berbagai bidang. Di sisi lain dalam era reformasi maka informasi dalam bidang pendidikan menjadi hal yang sangat penting. Untuk itu pemberdayaan guru menjadi hal yang sangat urgent, terlebih-lebih dalam era globalisasi yang menuntut persaingan yang sangat ketat, sehingga harus dihasilkan sumber daya manusia yang siap bersaing. Dalam pemberdayaan guru harus diupayakan terjadi perubahan visi guru, dimana guru harus menjadi sosok intelektual yang cerdas, menguasai bidang ilmu yang digeluti dan menguasai metodologi pengajaran. Guru harus ditempatkan pada posisi utama bukan sekedar pelaksanaicunikulun1 tetapi harus dilibatkan dalam perancangan kurikulum itu sendiri khususnya pada tingkat satuan pendidikan. Penyelenggaraan kurikulum dalam pengajaran. guru harus mengutamakan rasio bukan dogma, mitos dan ketundukan absolut, sehingga output yang dihasilkan merupakan output yang mampu berpikir kritis, berwawasan luas menjadi sumber belajar terlebih pada kondisi sekarang di mana kadang-kadang siswa lebih banyak menyerap informasi karena sama yang dimiliki di rumah memungkinkan untuk itu. Pada prinsipnya pengembangan kurikulum menjadi kurikulum berbasis kompetensi dimaksudkan untuk membekali peserta didik dengan berbagai ilmu pengetahuan dan keterampilan melalui proses pembelajaran agar kelak mampu menghadapi dan mengatasi tantangan kehidupan secara mandiri, cerdas, kritis, rasional, kreatif, dan menjunjung tinggi akhlak mulia.
BAB VII PENUTUP Setiap pendidikan selalu berurusan dengan manusia, karena hanya manusia yang dapat dididik dan harus selalu dididik. Manusia adalah satu-satunya makhluk yang dikarunia potensi untuk selalu menyempurnakan diri melalui proses belajar. Tentu sangat logis bagi manusia memilih jalur pendidikan untuk meningkatkan potensi belajarnya. Karena itu, pendidikan di arahkan pada pembentukan manusia yang diidamkan, sosok manusia yang diharapkan adalah manusia yang mampu mandiri atau tanggung jawab sendiri. Sedangkan pengajaran yang tugasnya dilaksanakan oleh guru adalah salah satu alat atau usaha untuk membentuk manusia tersebut. Titik berat pendidikan masamasa mendatang adalah peningkatan mutu dan perluasan kesempatan belajar untuk semua jenjang dan jenis pendidikan. Pembelajaran yang menimbulkan interaksi belajar mengajar antara guru-siswa mendorong perilaku belajar siswa. Siswa merupakan kunci terjadinya pembelajaran atau perilaku belajar dan pencapaian sasaran belajar. Dengan demikian bagi siswa perilaku belajar merupakan proses belajar yang dialami dan dihayati sekaligus merupakan aktivitas belajar tentang bahan belajar dan sumber belajar di lingkungannya. Bagi siswa dalam kegiatan belajar tersebut melalui tahap sebelum belajar, kegiatan selama proses belajar, dan kegiatan sesudah belajar. Kegiatan pembelajaran yang dilakukan oleh guru berpangkal pada suatu kurikulum, dan dalam proses pembelajaran guru juga berorientasi pada tujuan kurikulum. Pada suatu sisi guru adalah pengembang kurikulum, sedangkan pada sisi lainnya guru adalah pembelajar siswa yang secara kreatif merbe1ajarican siswa sesuai dengan kurikulum sekolah. Untuk mengukur pencapaian tujuan pembelajaran sebagai ukuran daya serap kurikulum, guru perlu melakukan pengukuran. Pengukuran ini untuk melihat kemajuan belajar siswa materi ajar yang telah disampaikan, dalam mengukur kemajuan belajar ini guru menggunakan test-test yang standar yang dapat menggambarkan kemajuan belajar untuk semua materi pelajaran yang telah disajikan oleh guru. Oleh karena itu guru dalam melaksanakan tugas pembelajaran dipersyaratkan memahami kurikulum, kemudian mampu menyusun dan menguasai penggunaan test-test yang standar untuk mengukur kemajuan belajar siswa. Guru sebagai pembelajar memiliki kewajiban mencari, menemukan, dan diharapkan memecahkan masalah-masalah belajar siswa. Dalam pencarian dan penemuan masalah-masalah tersebut secara profesional guru dapat melakukan langkah-langkah berupa: (1) pengamatan perilaku belajar dalam kegiatan belajar mengajar; (2) ma1igis hasil belajar untuk memberi makna apakah pembelajaran berlangsung sesuai yang direncanakan dan (3) melakukan test basil belajar untuk
mengukur kemajuan belajar siswa. Dengan langkah-langkah tersebut guru memperoleh peluang menghimpun data siswa berkenaan dengan proses belajar dan basil belajar. Sebagai guru profesional, diharapkan guru memiliki kemampuan melakukan penelitian secara sederhana yang berkaitan dengan belajar dan pembelajaran agar dapat menemukan masalah-masalah belajar dan memecahkan masalahmasalah belajar. Mempelajari ilmu mendidik menurut M. J. L.angeveld berarti mengubah diri sendiri, artinya dengan mempelajari ilmu mendidik seseorang dapat membenahi tindakan-tindakannya, sehingga terhindar dan kesalahn-kesa1ahan mendidik. Pendidikan itu adalah suatu proses jangka panjang, lama baru terlihat hasilnya, sehingga jika terjadi salah didik hal itu tidak segera dapat diketahui. Karena itu teori pendidikan dan juga teori belajar yang digunakan harus benar-benar sesuatu yang diperhitungkan dengan cermat, teori tersebut dipakai sebagai pedoman yang memungkinkan dilakukannya antisipasi ke masa depan. M. J. Langeveld selanjutnya mengatakan bahwa membahas pendidikan berarti memahami bagaimana implementasi proses pengoperan nilai-nilai, dengan menggunakan metode dan pendekatan fenomenologis. Berkaitan dengan konsep belajar, dalam hal ini banyak orang beranggapan, bahwa yang dimaksud dengan belajar adalah semata-mata mencari ilmu atau menuntut ilmu saja. Ada lagi yang secara lebih khusus mengartikan belajar adalah tingkah laku menyerap ilmu pengetahuan. Pendapat yang demikian ini tentu tidak salah, karena memang belajar itu akan menghasilkan ilmu pengetahuan yang tampak pada kemampuan sebagai hasil belajar. Prinsip ini juga berlaku pada pendidikan prasekolah, karena bagi mereka yang mengikuti pendidikan prasekolah juga diharapkan akan tampak kemampuan yang berarti sebagai hasil belajarnya di prasekolah. Kemampuan yang diperoleh ini, tentu sesuai dengan pertumbuhan dan perkembangan anak-anak pada usia prasekolah. Untuk memperlancar proses belajar dan memperoleh mutu yang sesuai diharapkan diperlukan pengetahuan mengenai ciri-ciri, prinsip-prinsip, dan teori belajar, pengetahuan ini penting guna menentukan pendekatan yang sesuai baik dilihat dan bidang keilmuan maupun anak didik sebagal subjek belajar. Teori dan konsep-konsep belajar tersebut memberi kontribusi bagi para pendidik dalam melaksanakan tugas profesionalnya. Karena itu belajar yang teratur terarah sesuai prinsipprinsip belajar dapat dikatakan sebagai upaya menuntut ilmu untuk meningkatkan kemampuan sebagai hasil belajar. Guru sebagai satu komponen dalam proses belajar dan pembelajaran serta pelaksana kurikulum memiliki beberapa kemampuan yang dipersyaratkan seperti: (1) kemampuan meningkatkan kompetensi pribadi; (2) kompetensi profesional yang menyangkut kemampuan mengatasi landasan-landasan pendidikan, kemampuan menguai bahan pengajaran, kemampuan
merencanakan pengajaran, kemampuan melaksanakan KBM, dan kemampuan melaksanakan evaluasi dalam belajar dan pembelajaran; dan (3) kompetensi sosial. Dalam melaksanakan tugasnya, guru harus menyadari betul tentang peran yang harus dilakukan bahwa dia bukan hanya sekedar pengajar tetapi juga sebagai pendidik, jadi bukan hanya sekedar menyampaikan informasi, tetapi juga harus melihat sejauh mana terjadi perubahan sikap, agar terlihat adanya peningkatan kualitas pada diri setiap individu peserta didik. Perubahan dan pengembangan kurikulum, tidak hanya sekedar mengubah materi saja, tetapi ada hal yang lebih penting bagaimana mengubah perilaku guru-guru agar dapat berkiprah dalam merespon perubahan itu. Agar tujuan yang telah ditetapkan tercapai, jadi kalau terjadi perubahan kurikulum hendaknya terjadi perubahan secara komprehensif termasuk materi, metode, guru, sarana dan hal lain yang ada kaitannya dengan kurikulum, belajar, dan pembelajaran sehingga dampak positif dari perubahan akan dirasakan manfaatnya oleh semua pihak.
SEKOLAH DEMOKRATIS
A. Mengapa revormasi dalam Pendidikan MEMASUKI abad ke-21 isu tentang perbaikan sektor pendidkan di Indonesia mencuat ke permukaan, tidak hanya dalam jalur dan jenjang pendidikan, bahkan upaya advokasi untuk jalur pendidikan yang dikelola oleh beberapa departemen teknis, dengan tuntutan social equity sangat kuat yang tidak hanya disuarakan oleh departemen terkait sebagai otoritas pengelola jalur pendidikan tersebut, tapi juga oleh para praktisi dan pengambil kebijakan dalam pembangunan sektor pembinaan sumber daya manusia, karena semua jenis jalur, jalur dan jenjang pendidikan merupakan unsur-unsur yang memberikan kontribusi terhadap rata-rata hasil pendidikan secara nasional. Dengan demikian, kelemahan proses dan hasil pendidikan dari sebuah jalur pendidikan akan mempengaruhi indeks keberhasilan pendidikan secara keseluruhan. Bersamaan dengan itu, di awal abad ke-21 ini, prestasi pendidikan di Indonesia tertinggal jauh di bawah negara-negara asia lainnya, seperti Singapura, Jepang, dan Malaysia. Bahkan jika dilihat dari indeks sumber daya manusia, yang salah satu indikatornya adalah sektor pendidikan, posisi Indonesia kian menurun dari tahun ke tahun. Padahal Indonesia kini sudah menjadi bagian dari masyarakat dunia yang sudah tidak bisa dihindari. Indonesia kini sudah menjadi bagian dari kompetisi masyarakat dunia. Jika tidak bisa menjadi pemenagng, maka akan menjadi yang kalah serta tertinggal dari masyarakat yang lainnya, khususnya dalam meraih pasar dan peluang kesempatan kerja yang tidak dibatasi oleh garis wilayah kewarganegaraan, tapi bergerak kian meluas, dan ini dimulai dari wilayah Asia Tenggara yang akan terus bergerak menjadi wilayah dunia. Oleh sebab itu, penyiapan sumber daya manusia yang berkualitas, kompetitif serta memiliki berbagai keunggulan komparatif menjadi sebuah keharusan yang mesti menjadi perhatian dalam sektor pendidikan. Lemahnya SDM hasil pendidikan juga mengakibatkan lambannya Indonesia bangkit dari keterpurukan sektor ekonomi yang merosot secara signifikan di tahun 1998. Namun saat negaranegara ASEAN lainnya sudah pulih, Indonesia masih belum mampu melakukan recovery dengan baik. Dody Heriawan Priatmoko, dengan mengutip pernyataan Schutz dan Solow, menegaskan
bahwa pendidikan merupakan faktor penting dalam pertumbuhan ekonomi melalui peningkatan kualitas SDM. Hal ini dapat dilihat pada negara Jepang, dimana kemajuan ekonomi yang didapatnya sekarang tak lepas dari peranan pendidikan. Sistem pendidikan Jepang yang baik telah menghasilkan manusia-manusia yang berkualitas sehingga walaupun hancur setelah kekalahan dalam perang dunia II, mereka dapat cepat bangkit maju dan bahkan bersaing dengan negara yang mengalahkannya dalam perang. Negara asia lainnya seperti Korea Selatan, Taiwan, Hongkong, dan Singapura juga memperlihatkan fenomena yang tidak jauh berbeda dari negeri matahari terbit ini, dimana kemajuan ekonomi mereka yang dapatkan adalah karena tingginya kualitas SDM-nya. Keadaan di Indonesia berbeda jauh dengan negara-negara tersebut. Dengan kekayaan sumber daya alam (SDA) yang relatif lebih banyak, negara kita ternyata jauh tertinggal (Priatmoko, 2003:1). Semuanya itu merupakan akibat dari kekeliriuan dalam pembangunan yang berjalan cukup lama pada masa orde baru yang menekakan pada pembangunan fisik dan kurang serius dalam pembinaan sumber daya manusia. Masalah lain sebagaimana dikemukakan Dody Heriawan Priatmoko (Priatmoko,2003:3) adalah rendahnya mutu pendidikan. Indikator rendahnya mutu pendidikan nasional dapat dilihat pada prestasi siswa. Dalam skala internasional, menurut Laporan Bank Dunia tahun 1992, studi IEA (international association for evaluation of educational achivement) di asia timur menunjukkan bahwa keterampilan membaca siswa kelas IV SD berada pada peringakat terendah. Rata-rata skor tes membaca untuk siswa SD:75,5 (Hongkong),74,0 (Singapura), 65,1(Thailand), 52,6 (Filipina) dan 51,7 (Indonesia. Anaka-anak Indonesia ternyata hanya mampu menguasai 30 % dari materi bacaan dan ternyata mereka sulit sekali menjawab soal-soal berbentuk uraian yang memerlukan penalaran. Hal ini mungkin karena mereka sangat terbiasa menghafal dsn mengerjakan soal pilihan ganda. Selain itu hasil study The Third international Mathematic and science study-Repeat-TIMMS-R, tahun 1999 memperlihatkan bahwa, diantara 38 negara peserta, prestasi siswa SLTP kelas 2 di Indonesia berada pada urutan ke 32 untuk IPA dan ke-34 untuk matematika. Dalam dunia pendidikan tinggi menurut majalah Asia week dari 77 Universitas yang disurvei di asia pasifik ternyata 4 Universitas terbaik di Indonesia hanya mampu menempati peringkat ke-61, ke-68, ke-73, dan ke-75. Indikator lain yang menunjukkan betapa rendahnya mutu pendidikan di Indonesia dapat dilihat dari data UNESCO tahun 2000 tentang peringkat indeks pengembangan manusia (Human Development Index), yaitu komposisi dari peringkat pencapaian pendidikan, kesehatan dan penghasilan per kepala yang menunjukkkan bahwa index pengembnagan manusia Indonesia makin menurun, Diantara 174 negara didunia, Indonesia menempat urutan ke-102 pada tahun 1996, ke-99 tahun 1997, ke-105 pada tahun 1998, dan ke-109 tahun 1999, dan menurun ke urutan 112 pada tahun
2000. Menurut survei political and Economic Risk Consultant (PERC) kualitas pendidikan di Indonesia berada pada urutan ke-12 dari 12 negara di asia. Inilah kutipan dari tulisan yang dimuat dalam website-nya Balitbang Depdiknas tahun 2003. Dengan demikan, gagasan-gagasan tentang revormasi pendidikan di indonesia menjadi sangat relevan, terutama dalam konteks penyiapan SDM yang berkualitas yang harus dimulai dengan perbaikan pendidikan pada semua jenjang dan jalur, dengan perbaikan komprehensif meliputi perbaikan perencanaan, proses pembelajaran, dukungan alat dan sarana pembelajaran, serta perbaikan manajemen, yang semuanya itu perlu dilakukan untuk mencapai perbaikan pada hasil pendidikan. Keluaran pendidikan kedepan harus siap berkompetisi dalam memasuki pasar tenaga kerja dan tidak saja dalam negeri tapi juga di negara-negara lain di dunia. Mereka harus memiliki wawasan global, berpikir yang mendunia, memahami berbagai karakteristik kultur masyarakat dunia, memiliki penguasaan bahasa untuk komunikasi global, menguasai keterampilan dalam penggunaan alat-alat teknologi modern, serta memiliki basis keahlian yang sesuai serta relevan dengan kebutuhan pasar. Kemudian bila dilihat dalam kerangka perkembangan dunia, memasuki abad ke-21 ini, semua penduduk dunia menghadapi persoalan yang sama, yang mengkerucut pada tiga persoalan besar, yaitu persoalan kependudukan, interdependensi negara dan dunia usaha, serta kemajuan sain dan teknologi ( Bondel, 1998:3). Masalah kependudukan, walaupun disatu sisi merupakan keberhasilan pembangunan sektor kesehatan dengan menurunnya angka kematian, namun menjadi masalah bar, karena penetrasi kemajuan sub sektor kesehatan yang dapat menurunkan angka-angka kematian pada negara-negara berkembang dan negara-negara miskin, telah mengakibatkan ledakan penduduk dunia, dan secara dialektis telah menimbulkan persoalan baru yakni kemampuan sektor jasa dalam menyerap tenaga kerja, yang masing-masing negara sudah tidak bisa menutup pintu terhadap tenaga kerja dari negara lain. Daniel Blondel lebih jauh menegaskan, sasaran terbesar sekarang adalah negara-negara maju yang diserbu tenaga kerja asing dari negara-negara berkembang dan negaranegara miskin, sehingga persaingan tenaga kerja semakin menglobal, karena negara tidak bisa menutup sama sekali kedatangan tenaga-tenga asing tersebut, yang mereka tidak diserap semuanya di negara mereka masing-masing. Fenomena itu kini telah menimbulkan ketakutan dan senofobia di beberapa negara maju, yang perkembangannya menunjukan peningkatan (Blondel, 1998:15). Mereka khawatir dengan masuknya tenaga kerja imigran, bukan hanya dalam konteks mengancam peluang mereka dan menurunkan posisi bargaining-nya dihadapan para pemilik modal, namun lebih jauh dari itu, berupa efek samping dari latar belakang kultur yang berbeda, yang sering kali menimbulkan kekahwatiran-kekahwatiran dengan berbagai tindak kekerasan.
Kemudian ketergantungan negara dengan negara lain, atau pengusaha sebuah negara dengan pengusaha yang sama di negara lain, juga sangat kuat, terutama setelah berkembangnya keterbukaan ekonomi dunia dan berkembangnya sistem ekonomi liberal hampir di seluruh pelosok dunia, saling ketergantungan politik, ekonomi, dan berbagai aktivitas kultural sudah tidak bisa dielakkan, seperti, fenomena pasar uang dan pertukaran mata uang dunia, akan mebangkitkan solidaritas antar bangsa untuk menjaga stabilitas mata uangnya, atau sebaliknya, yang terkadang dipicu oleh persoalan politik dengan menggunakan stabilitas pasar uang sebagai senjatanya. Demikian pula dengan mengembangkan sektor-sektor industri multinasional, yang mendorong solidaritas politik antar bangsa, untuk menjaga stabilitas persaingan dalam perebutan pasar, serta pengembangan penggunaan teknologi komunikasi, atau infra struktur lainnya (Bondel, 1998:6). Persoalan lain adalah berkembangnya sains dan temuan-temuan teknologi baru, yang selalu menimbulkan paradoks, seperti temuan-temuan bahan kimiawi yang mampu meningkatkan dan mengembangkan berbagai model dan jenis industri manufaktur, yang sering menimbulkan pencemaran lingkungan, sehingga pihak industri selalu berhadapan dengan kelompok-kelopmpok humanis yang anti pencemaran dan perusakan lingkungan. Atau temuan-temuan alat baru dalam proses pelayanan dan industrialisasi telah mengakibatkan tergesernya tenaga manusia oleh daya kerja mesin yang lebih cepat, akurat dan dengan biaya yang lebih murah, sehingga perkembangan sains dan teknologi berhadapan dengan serikat tenaga kerja, atau dengan manusia sendiri, karena mengancam posisi tenaga kerja manusia (Blondel,1998:16). Gejala-gejala ini banyak terjadi di dunia, terutama di negara-negara maju dan berkembang. Inilah berbagai kemajuan dunia yang harus disikapi dan diresponi oleh pendidikan , walaupun secara teoritik berbagai kemajuan ekonomi yang didukung oleh berbagai kemajuan sains dan teknologi, juga akibat kemajuan dalam bidang pendidikan yang melahirkan sumberdaya manusia dengan kemampuan pengembangan sains dan teknologi tersebut, persoalannya, bagaimana pendidikan merancang perubahan-perubahan kedepan yang tetap ditandai dengan kemajuan sains dan teknologi, dengan peningkatan solidaritas internasional, dan keseimbangan komitmen antara prokduktuifitas, kemjuan sains dan teknologi, yang ada gilirannya dapat mengembangkan sektor perekonomian, namun tetap memperhatikan pemeliharaan lingkungan dan misi kemanusiaan, sehingga mampu menetrealisir keteganganketegangan sosial, dan mampu menjaga kelestarian alam yang tidak semata menjadi kubutuhan seluruh umat manusia dengan keseimbangan ekosisitemnya, tapi juga akan diwariskan pada generasi yang akan mendatang. Terkait dengan persoalan serta pandangan diatas, ada beberapa pemikiran tentang pengembangan konteks pendidikan kedepan dalam memasuki abad ke 21 yang membawa
problematika ekonomi, sosisal dan politik sebagaimana telah dikemukakan di atas. Pemikiranpemikiran tersebut adalah ( papadopoulos, 1998; 26-30 ) sebagai berikut : 1. Perkembangan ilmu pengetahuan dan teknoliogi serta informasi membuat bahan-bahan ajar yang harus disampaikan dalam proses pendidikan menjadi sangat banyak dan bisa dikahwatirkan akan membuat stagnasi pengembangan ilmu dan peradaban khususnya pada level pendidikan tinggi. Oleh sebab itu, struktur program pendidikan tinggi harus mampu memberikan jaminan pemberian reward dan insentif yang memadai untuk pengembangan ilmu dan teknologi pada level pendidikan tinggi tersebut, sehingga temuan-temuan baru dalam bidang sains dan teknologi bertambah, dan peradaban terus meningkat. 2. Perkembangan teknologi akan terjadi terus menerus dan bisa terjadi dalam percepatan yang tinggi diberbagai dinegara yang berbeda-beda, dan akan mempengaruhi perkembangan ekonomi melalui industri dan jasa. Oleh sebab itu , melalui updating skill dan keterampilan serta bebagai temuan baru yang dikuasai oleh pekerja yang terkait dengan kemajuan ilmu dan teknologi. 3. Perubahan demografis akan terjadi dimana-mana akan membawa implikasi pada distribusi penduduk berdasarkan usia. Di negara-negara tertinggal akan memiliki indeks kelahiran yang tinggi. Dengan demikian angka usia sekolah dasar juga tinggi, dan akan terus meminta perhatian untuk memperoleh perioritas. Sementara di negara-negara maju angka kelahiran menurun. Dengan demikian pada dekade-dekade awal diabad ke-21 ini, negara-negara maju akan kekurangan usia-usia angkatan kerja,angka pensiun konstan akan mungkin meningkat, dan membutuhkan jaminnan sosial dan kesehatan. Dengan demikian negara-negara maju akan terus meningkatkan pendapatan negaranya melalui sektor pajak dari sektor usaha jasa agar tetap memberikan jaminan bagi mereka yang pensiun, namun pada saat yang sama, negara maju akan sangat bergantung pada negara berkembang atau negara tertinggal, untuk memenuhi kebutuhan tenaga kerja. Oleh sebab itu, negara-negara berkembang harus merancang outcome pendidikan agar bisa memasuki pasar global untuk angkatan tenaga kerja, mereka harus memiliki skill dan keterampilan, menguasai bahasa komunikasi global, dan memahami kultur negara-negara yang dikunjunginya. 4. Negara-negara terus akan menjadi saling ketergantungan satu dengan yang lainnya, yang tidak saja dalam sektor ekonomi dengan dibukanya pasar uang disetiap negara, tapi juga sektor politik dan ilmu pengetahuan dan teknologi. Oleh sebab itu pendidikan harus mampu membuka cakrawala global tersebut, dan mampu mengarahkan sikap-sikap multikulturalisme,yang harus mereka miliki ketika akan memasuki pasar tenaga kerja di dalam maupun diluar negeri.
5. Kemajuan ilmu dan teknologi yang mendorong kemajuan sktor ekonomi dengan keterbukan pasar secara global, akan membawa implikasi terbentuknya masyarakat dunia baru. Pendidikan harus mampu mendesain masyarakat tersebut sebagai masyarakat humanis, cinta lingkungan, mnemelihara kestabilan ekosistem, anti drug, dan senantiasa hidup sehat. Pendidikan di Indonesia, memang menghadapi dua masalah besar sekaligus, yakni persoalan internal dan ekstrnal. Secara internal sedang dilakukan berbagai penataan restrukturisasi strategi pengembangan yang jauh lebih tepat, akkurat dan akselaratif, sementara secara eksternal, berbagai tantangan dan peluang justru menunggu peningkatan tersebut agar mereka kompetitif, karena pasar negar-negara utara akan diserbu ramai-ramai oleh tenaga muda energik dan berbakat dari belahan selatan, Amerika latin, Afrika yang sudah menunjukkan global worldview-nya secara agresif dan efektif, begitu juga tenaga muda energik dari beberapa negara di Timur jauh. Skill dan keterampilan adalah hak semua anak bangsa, semua siswa berhak memperoleh keterampilan, dan skill untuk memasuki pasar tenaga kerja, sebagaimana mereka juga berhak untuk memasuki perguruan tinggi.Dengan demikian, paradigma pemisahan program pendidikan. menengah sebagai persiapan untuk memasuki perguruan tinggi, sebagai pendidikan akademik, serta pendidikan keterampilan untuk memasuki pasar tenaga kerja, pada abad ke-21 ini sudah tidak. relevan lagi, karena semua outcome pendidikan akan memasuki pasar tenaga kerja, dan menuntut skill serta. keterampilan yang memadai (Haas, 1994: 21). Oleh sebab itu, semua siswa pada jenjang sekolah menengah harus memperoleh perlakuan yang sama, dengan memperoleh pendidikan akademik untuk bisa memasuki perguruan tinggi, serta memiliki keterampilan untuk memasuki pasar tenaga. kerja. Semua sekolah dan perguruan tinggi harus mempersiapkan para. siswa dan mahasiswanya dengan berbagai pengalaman, wawasan, keterampilan serta basis keilmuan yang memadai. Sekolah bukanlah sebuah formalitas untuk memiliki ijazah, tapi justru adalah proses penguatan kompetensi. Keluaran pendidikan harus memiliki kompetensi yang memadai sesuai jenjang dan basis keahlian atau keterampilannya. Untuk itulah, reformasi pendidikan di Indonesia merupakan sebuah keharusan, dengan perbaikan menyeluruh dalam semua. aspeknya, agar dapat menghasilkan. lulusan yang cerdas, kompetitif dan memiliki daya saing yang tinggi di pasar tenaga kerja, dalam level dan jenis apa pun profesinya. Pandangan dan analisis di atas setidaknya merefleksikan beberapa faktor penting yang mendasari pentingnya. reformasi pendidikan, yaitu: 1. Kegagalan pendidikan yang telah dilalui beberapa tahun silam. dengan. indikator rendahnya kualitas rata-rata hasil belajar siswa yang akan memasuki jenjang perguruan tinggi.
2. Perkembangan perekonomian dunia yang membuka akses pasar global, yang semuanya itu merupakan peluang sekaligus ancaman, yang harus dihadapi dengan kesiapan kualitas SDM kompetitif. Di samping itu ada beberapa analisis rational mengapa reformasi pendidikan itu mutlak dilakukan dalam menghadapi era globalisasi di abad ke-21, dengan mengadaptasi terhadap argumen-argumen, William J. Mathis dari Vermont University (Mathis, 1994:12-19), yaitu: 1. Perubahan pola pikir masyarakat akibat demokratisasi yang terus Perpenetrasi pada seluruh aspek kehidupan, sehingga sekolah harus mampu memberikan layanan kepada masyarakat konstituennya secara fair, karena mereka adalah stakeholder- nya, dan sekaligus client dari sekolah tersebut. Masyarakat adalah kontributor terhadap sekolah (tidak terkecuali sekolah negeri, karena budgeting sekolah negeri dari anggaran pemerintah, yang juga adalah uang dari rakyat), dan mereka.memiliki hak untuk dilayani. 2. Perubahan dunia yang sangat cepat, dan para siswa harus dipersiapkan untuk menghadapi berbagai perubahan tersebut, tidak hanya dalam aspek kemampuan komunikasi, tapi juga kecakapan dan kemampuan penyesuaian diri dengan perubahan-perubahan tersebut. Tantangan ke depan adalah keragaman permintaan pasar, dan sekolah harus mampu mempersiapkan orang-orang yang akan mengisi kebutuhan tersebut. Sumber daya manusia yang diserap sekolah juga membawa keragaman tersebut. Dengan demikian tidak fair kalau semua siswa harus memiliki hanya satu keterampilan yang sama, dan jika terjadi, itu merupakan tragedi dalam masyarakat demokratis, karena masyarakat demokratis menghargai keragaman. 3. Kemajuan teknologi dalam semua sektor industri dan pelayanan jasa akan kian menggeser posisi manusia. kecanggihan alat-alat teknologi semakin mengefisiensikan proses industri dan layanan jasa. Dengan demikian, pendidikan harus mempersiapkan SDM agar tidak tergeser oleh alat-alat modern itu, tapi justru menjadi bagian dari kemajuan-kemajuan tersebut. 4. Penurunan standar hidup, yakni bahwa pada generasi sebelum mereka, cadangan natural resource sangat kuat, dan seluruh umat manusia terpenuhi berbagai kebutuhan hidupnya oleh cadangan alam semesta. Pada generasi mereka, cadangan tersebut akan semakin menipis dan akan semakin habis. Dengan demikian akan terjadi penurunan standar hidup dan mereka harus diberitahu tentang kemungkinan-kemungkinan tersebut, yang bisa diatasi dengan penemuanpenemuan teknologi baru, serta dengan adanya kerjasama global antar satu bangsa dengan lainnya. Inilah intinya kehidupan demokratis dengan penguatan jaringan antar bangsa. 5. Perkembangan ekonomi akan semakin mengglobal, berbagai perusahaan yang berkantor pusat di Amerika atau Jepang misalnya, memiliki kantor-kantor perwakilan di berbagai negara melalui
kerjasama investasi bersama pengusaha lokalnya masing-masing. Ini adalah trend perkembangan ekonomi global ke depan, yang harus diketahui oleh para siswa sebagai sebuah kenyataan yang tidak mungkin dihindari. 6. Peranan wanita semakin kuat, posisi wanita tidak lagi marginal. dasar gender. 7. Pemahaman doktrin keagamaan kian terbuka dan inklusif. Agama tidak menjadi penghalang kemajuan, tapi justru mendorong perubahan-perubahan untuk perbaikan. 8. Peran media massa yang terus menguat, baik dalam mensosialisasikan berbagai perubahan sosial, mengkritik berbagai kebijakan maupun sebagai media untuk memperoleh berbagai hiburan alternatif atau sumber informasi tambahan, melalui berbagai program televisi, yang semuanya bisa merjadi kontributor pendidikan yang positif, dan bisa juga.menjadi kendala yang negatif bagi program-program pendidikan. Ini semua adalah perubahan yang tidak mungkin dihindari, tapi harus disikapi dalam merancang reformasi pendidikan, karena sekolah akan melahirkan keluaran yang tidak boleh gagal dalam penyesuaian diri dengan lingkungan sosialnya, dan sebaliknya harus mampu menyesuaikan diri, bahkan mampu menjadikan perubahan sebagai sebuah kekuatan untuk artikulasi diri mereka, sehingga diakui oleh publik sebagai SDM unggul yang mampu bersaing dan memiliki berbagai keungulan komparatif dengan lainnya. Mereka memiliki hak dan peluang yang sama dalam karir dan pekerjaan dengan pria. Tidak ada diskriminasi pekerjaan atas
B. APA REFORMASI PENDIDIKAN ISU reformasi pendidikan bukan sesuatu yang baru. Gagasan pembaharuan pendidikan sudah bergulir lama di Indonesia. Akan tetapi, reformasi di Indonesia merupakan sebuah gerakan yang memiliki perspektif sejarah politik monumental, karena era reformasi sebagai.sebuah era pemerintahan substitusi pemerintahan orde baru. Dengan demikian, gagasan reformasi pendidikan saat ini memiliki momentum yang amat mendasar, dan berbeda dengan gagasan yang sama pada era sebelumnya. Salah satu perubahan mendasar dari reformasi pendidikan dalam era reformasi ini adalah lahirnya UU No. 22 tahun 1999, serta Undang-Undang nomor 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional (Sisdiknas). Kedua undang-undang tersebut membawa perspektif baru. yang amat revolusioner dalam konteks perbaikan sektor pendidikan yang mendorong pendidikan sebagai urusan publik dan urusan masyarakat secara umum dengan mengurangi otoritas pemerintah baik dalam kebijakan kurikulum,
manajemen maupun berbagai kebijakan pengembangan institusi pendidikan itu sendiri. Arah refoimasi pendidikan di awal A'bad ke-21 ini adalah demokratisasi dalam pengembangan dan pengelolaan pendidikan, didukung oleh komunitasnya sebagai kontributor dalam penyelenggaraan pendidikan tersebut. Gagasan reformasi dalam pendidikan tidak mutlak hanyadilakukan negara-negara perkembang tapi juga berbagai negara maju, karena reformasi adalah refleksi pemikiran untuk melakukan berbagai pembaharuan dengan perubahan-perubahan komprehensif sebagai respon terhadap perubahan dunia yang sedang terjadi, dan atau hasil analisis prediktif yang dilakukan secara saksama dan cermat. Kemudian, reformasi juga adakalanya dilakukan dalam bentuk bagian-bagian partial dari keseluruhan aktivitas pendidikan, dan ada juga yang dilakukan dalam skala yang lebih besar atau bahkan mungkin perubahan yang holistik (Walker, 1997.77). Akan tetapi, reformasi pada umumnya menjadi isu besar jika dilakukan holistik menyentuh seluruh aspek dalam: kegiatan pendidikan dan didasari oleh sebuah argumentasi yang mendasar. Joseph Murphy umpamanya menyatakan bahwa reformasi pendidikan sangat dipengaruhi oleh faktor per,kembangan ekonomi negara. Menurutnya kemunduran ekonomi sebuah negara merupakan akibat langsung dari lemahnya sektor pendidikan. Oleh sebab itu, jika ekonomi negara ingin bangkit, maka sektor pendidikan harus diperbaiki, karena SDM yang akan diluluskannya dapat mempengaruhi maju mundurnya perkonomian bangsa. (Murphy, 1992:4). Terkait dengan teorinya itu, maka dia menegaskan, bahwa reformasi adalah gagasan awal yang mendasari restrukturisasi, karena reformasi menurutnya tiada lain adalah restrukturisasi pendidikan,.yakni memperbaharui pola hubungan sekolah dengan lingkungannya dan dengan pemerintah, pola pengembangan perencanaan serta pola pengelolaan manajerialnya, pemberdayaan guru dan restrukturisasi model-model pembalajaran (Murphy,1992: 10). Sejalan dengan Joseph Murphy, Decker F. Walker menegaskan bahwa reformasi pendidikan itu menjangkau semua. Orang kelompok dan unsur-unsur yang terkait dengan pelaksanaan pendidikan yakni siswa-siswa sekolah itu sendiri, para guru, orang tua siswa, pimpinan sekolah, kantor pemerintah, buku teks dan penerbit buku teks, serta unsur-unsur lainnya (Walker, 1997.80). Dengan demikian, reformasi pendidikan tidak cukup hanya perbaikan dan perubahan dalam sektor kurikulum, baik struktur maupun prosedur perumusannya, serta pola pengelolaan sekolah yang berbasis pada masyarakat, namun siswa-siswanya sendiri harus diberi arah pandangan tentang belajar itu sendiri bahwa bersekolah bukanlah sebuah formalitas sebagai warga negara yang baik, tapi mereka harus memperoleh kompetensi-kompetensi yang telah disepakati oleh kepala sekolah, guru, orang tua, serta user dari pendidikan itu sendiri. Mereka harus memiliki etos dan tanggung jawab belajar agar mencapai kompetensi minimal yang telah digariskan sehingga tidak ada lagi (umpamanya) siswa
yang keluar dari sekolah dengan skor E 6,9. Mereka bisa keluar dan lulus dengan skor minimal setiap mata pelajaran 7,00- atau 8,00. Dengan kata lain para siswa disadarkan bahwa reformasi ini menuju pada pola mastery learning, dan mereka harus memperbaiki kompetensi di saat liburan, jika skor mata pelajaran tertentu belum menjangkau angka minimal lulus yang ditetapkan sekolah, melalui program remedial atau reinforcement. Demikian pula dengan guru, mereka harus mengubah filosofi bekerja sebagai guru, karena tugas guru bukan selesai saat telah memenuhi tugas dan jam wajib untuk masuk kelas, tapi mengubah siswa dari tidak tahu menjadi tahu, dari tidak mengerti menjadi mengerti, dari tidak bisa menjadi bisa, dan tidak memiliki kompetensi menjadi memiliki kompetensi, dari tidak aktif belajar menjadi aktif belaJar, dari tidak terlibat dalam diskusi dan penyelesaian tugas sekolah menjadi terlibat dengan aktif dalam penyelesaian tugas-tugas tersebut. Dalam konteks ini, reformasi bukan menghadirkan pola baru, tapi menghidupkan doktrin klasik keguruan dan menghidupkannya dalam. kultur kerja keguruan. Namun bersamaan dengan itu, ada tugas-tugas. guru yang baru dalam konteks reformasi yang mendorong penyelenggaraan sekolah berbasis masyarakat adalah, keterlibatan guru dalam restrukturisasi kurikulum, bahkan perumusan, kurikulum operasional adalah mutlak kompetensi guru, setelah meng-assess permintaan-permintaan dari stakeholder dan user dari pendidikan tersebut. Demikian pula dengan pimpinan sekolah, masyarakat sebagai pengguna sekolah serta pemerintah daerah yang bertanggung jawab terhadap pengembangan dan kemajuan Sekolah harus mengubah paradigma berpikirnya dari menunggu petunjuk pelaksanaan pemerintah pusat menuju inisiasi yang dinamis, konstruktif, sehingga dapat melahirkan sekolah yang kompetitif, unggul, dengan mengoptimalkan potensi-potensi sumber daya yang dimiliki sekolah tersebut. Berbagai dari upaya-upaya reformasi ini adalah perubahan-perubahan yang tidak bisa dielakkan. Seperti menurunnya peran birokrasi dalam kebijakan kurikulum operasional karena lebih banyak ditentukan oleh sekolah bersama. komite sekolahnya sendiri. Demikian pula, bila suatu. saat mata pelajaran tertentu memperoleh posisi sangat kuat dan prestigious, mungkin suatu saat tergeser oleh mata pelajaran lain yang menjadi aksentuasi dan benchmark sekolah tersebut. Setiap perubahan membawa konsekuensi, dan konsekuensi itu harus dihadapi bukan ditakuti, karena pasti terjadi. C. APA DAN MENGAPA SEKOLAH DEMOKRATIS ISU tentang sekolah demokratis di Indonesia memang relatif baru. dan belum terbiasa dalam wacana akademik bidang kependidikan, walaupun pekerjaannya sudah dimulai sejak lama, bahkan mungkin sejak zaman orde baru, walaupun belum spesifik. Istilah, demokratis, sebagaimana dalam literatur
pofitik diambil dari bahasa Yunani kuno, yang terdiri dari dua kata yaitu demos yang bermakna rakyat dan kratos yang berarti kekuasaan, dan apabila digabungkan menjadi bermakna. kekuasaan di tangan rakyat (Tarcov, 1996: 2). Istilah demokrasi memang muncul dan dipakai dalam kajian politik, yang bermakna. kekuasaan negara berada di tangan rakyat melalui undang-undang yang diputuskan rakyat, bukan oleh kekuasaan raja atau sultan. Kemudian, presiden diangkat oleh rakyat dan harus bertanggung jawab terhadap rakyat melalui mekanisme perwakilan. Mekanisme berdemokrasi dalam politik tidak sepenuhnya sesuai dengan mekanisme dalam kepemimpinan lembaga pendidikan, namun secara substantif, sekolah demokratis adalah membawa semangat demokrasi tersebut dalam perencanaan, pengelolaan dan evaluasi penyelenggaraan pendidikan di sekolah. Dalam konteks ini James A. Beane dan Michael W Apple, menjelaskan, berbagai kondisi yang sangat perlu. dikembangkan, dalam upaya membangun sekolah demokratis (Beane dan Apple,1995: 7) adalah: I. Keterbukaan saluran ide dan gagasan, sehingga semua orang bisa menerima informasi seoptimal mungkin. 2. Memberikan kepercayaan kepada individu-individu dan kelompok dengan kapasitas yang mereka miliki untuk menyelesaikan berbagai persoalan-sekolah. 3. Menyampaikan kritik sebagai hasil analisis dalam proses penyampaian evaluasi terhadap ide-ide, problem-problem dan berbagai kebijakan yang dikeluarkan sekolah. 4. Memperlihatkan kepedulian terhadap Kesejahteraan orang lain dan terhadap persoalan-persoalan publik. 5. Ada kepedulian terhadap harga diri, hak-hak individu dan hak-hak minoritas. 6. Pemahaman bahwa demokrasi yang dikembangkan belumlah mencerminkan demokrasi yang diidealkan, sehingga demokrasi harus terus dikembangkan dan bisa. membimbing keseluruhan hidup manusia. 7. Terdapat sebuah institusi yang dapat terus mempromosikan dan mengembangkan cara-cara hidup demokratis. Inti dari teori James A. Beane dan Michael W. Apple di atas adalah, bahwa Sekolah demokratis itu akan terwujud jika semua informasi penting dapat dijangkau semua stakeholder sekolah, sehingga semua unsur tersebut memahami arah Pengembangan sekolah, berbagai problem yang dihadapinya, serta-langkah-langkah yang sedang dan akan ditempuh. Dengan demikiaq, mereka akan bisa menganalisis relevansi kebijakan-kebijakan tersebut, memahami, mengkritisi dan memberi masukan, serta menentukan kontribusi serta partisipasi yang akan diberikannya untuk kesuksesan pelaksanaan program-program sekolah tersebut. Kemudian tidak cukup hanya sampai di situ sekolah
demokratis juga harus dikembangkan dengan sikap trust atau kepercayaan, yakni orang tua percaya pada kepala sekolah untuk mengembangkan program-program sekolah menuju idealitas yang diinginkan, kemudian, kepala sekolah juga percaya pada guru untuk mengembangkan program-program kurikulernya serta mengorganisir pelaksanaan program-programnya itu. Kemudian, sekolah demokratis juga harus diimbanngi dengan perhatian yang kuat terhadap hak-hak asasi manusia. Oleh sebab itu, persoalan kesejahteraan para guru, serta semua yang terkait dengan pengelolaan sekolah harus; menjadi perhatian serius, dan manajemen harus dilakukan secara terbuka khususnya dalam aspek-aspek yang termasuk wilayah publik harus dikelola secara transparan, sehingga semua ikut terlibat dalam menentukan dan memutuskannya. Dan bagian yang amat sensitif serta selalu menjadi persoalan universal, adalah hak-hak minoritas dalam komunitas sekolah yang harus diperhatikar sama, tidak boleh ada diskriminasi atas dasar perbedaan ras agama atau warna kulit. Sejalan dengan itu, James A. Beane dan Michael W. Apple mendefinisikan, bahwa sekolah demokratis tiada lain adalah mengimplementasikan pola-pola demokratis dalam pengelolaan sekolah, yang secara umum mencakup dua aspek yakni struktur organisasi dan prosedur kerja dalam struktur tersebut, serta merancang kurikulum yang bisa mengantarkan anak-anak didik memiliki berbagai pengalaman tentang praktik-praktik demokratis (Beane and Michael W. Apple, 1995: 9). Dengan kata lain, sekolah demokratis adalah sekolah yang dikelola dengan sruktur yang memungkinkan praktik-praktik demokratis itu terlaksana, seperti pelibatan masyarakat (stakeholder dan user sekolah) dalam membahas program-program sekolah,dan prosedur pengambilan keputusan juga memperhatikan berbagai aspirasi publik, serta dapat dipertanggungjawabkan implementasinya kepada publik. Demikian pula dengan pola pembinaan siswa, bahwa pendidikan itu untuk semuanya, guru harus mampu memberikan perhatian yang sama pada semua siswa, tanpa membedakan antara yang sudah pintar den gan yang belum pintar, tidak membedakan antara yang rajin dan yang belum rajin, semuanya memperoleh perlakuan, walaupun bentuknya mungkin berbeda. Mereka yang belum pintar diberi waktu untuk memperbaiki dan meningkatkan kemampuannya di saat liburan. umum, sehingga kompetensinya meningkat. Pola-pola pembinaan seperti ini, telah memberi pengalaman-pengalaman praktik demokrasi bagi anak-anak, yakni perhatian yang seimbang terhadap semua siswa, tanpa membedakan antara mayoritas dengan minoritas dalam sekolahnya. Pengembangan sekolah menuju model sekolah demokratis ini relevan untuk dilakukan karena berbagai argumentasi, yang secara garis besar dapat dikategorisasi menjadi dua, yaitu tipologi sekolah abad ke-21, dan model pembelajaran yang sesuai. Dalam konteks pertama, Lyn Haas (Haas,
1994: 21) menjelaskan, bahwa sekolah-sekolah sekarang harus dapat memenuhi beberapa kualifikasi ideal, yaitu: I . Pendidikan untuk semua yakni semua siswa harus memperoleh perlakuan yang sama, memperoleh pelajaran sehingga. memperoleh Peluang untuk mencapai kompetensi keilmuan sesuai batas-batas kurikuler, serta memiliki basis skill dan keterampilan yang sesuai dengan minat mereka, serta. sesuai Pula dengan kebutuhan pasar tenaga kerja. Paradigma yang memisahkan Pendidikan akademik sebagai calon untuk memasuki perguruan tinggi, dan pendidikan keterampilan untuk memasuki pasar tenaga kerja, sudah tidak relevan lagi, karena perubahan yang menuntut masyarakat untuk menjadi bagian dari kontribusi untuk kemajuan. 2. Memberikan skill dan keterampilan yang Sesuai dengan kemajuan teknologi terkini karena pasar menuntut setiap tenaga kerjanya memiliki keterampilan pengunaan alat-alat teknologi termodern, kemampuan komunikasi globa matematika, serta kemampuan akses pada pengetahuan. 3. Penekanan pada kerjasama, yakni menekankan pada pengalaman para siswa dalam melakukan kerjasama dengan yang lain, melalui penugasan-penugasan kelompok dalam proses pembelajaran, sehingga mereka memiliki pengalaman mengembangkan kerjasama, karena trend pasar kedepan adalah pengembangan kerjasama, baik antara perusahaan, atau antara perusahaan dengan masyarakat dan yang lainnya, sehingga pengalaman mereka belajar akan sangat bermanfaat dalam artikulasi diri di lapangan profesi mereka. 4. Pengembangan kecerdasan ganda yakni bahwa para siswa harus diberi kesempatan untuk mengembangkan multiple intelligence mereka, dengan memberi peluang untuk mengembangkan skill dan keterampilan yang beragam, sehingga mudah melakukan penyesuaian di pasar tenaga kerja. 5. Integrasi program, pendidikan dengan kegiatan pengabdian pada masyarakat, agar mereka memiliki kepekaan sosial. Kelima point di atas memperlihatkan adanya tuntutan kurikulum yang dinamis, progresif dan peka terhadap berbagai kemajuan dan perkembangan. teknologi di luar sekolah sehingga jika kurikulum dan perencanaan sekolah itu sangat ditentukan oleh struktur birokrasi yang kaku, sekolah bisa. tertinggal oleh kemajuan, dan sekolah akan kehilangan relevansinya dengan berbagai perubahan, yang pada akhimya akan ditinggalkan oleh stakeholder-nya sendiri. Oleh sebab itu, argumen-argumen di atas memperkuat bahwa model sekolah demokratis itu amat relevan untuk dikembangkan Demikian Pula. dalam. aspek pelaksanaan proses Pembelajaran, sebagaimana dikemukakan oleh John I. Goodlad, bahwa terpenuhinya. misi pendidikan sangat tergantung pada kemampuan guru
untuk menanamkan seting demokrasi pada siswa, dengan memberi kesempatan seluas-luasnya pada siswa untuk belajar (Goodlad, 1996: 113), yakni bahwa sekolah menjadi tempat yang nyaman bagi siswa untuk semaksimal mungkin mereka belajar. Sekolah bukan tempat pertunjukan bagi guru, tapi tempat siswa. untuk menambah dan memperkaya pengalaman belajarnya. Oleh sebab itu, guru harus mampu mengembangkan strategi pembelajaran yang memberi peluang lebih besar bagi siswa untuk belajar. Inilah makna lain dari sekolah demokratis, yakni sekolah itu untuk siswa bukan untuk guru dan kepala sekolahnya. Sekolah harus menjadi second home bagi para siswa, mereka betah menghabiskan waktunya di sekolah, dengan belajar, berdiskusi menyelesaikan tugas-tugas kelompok, membaca dan aktivitas, Pembelajaran lainnya. Tesis Goodlad ini sejalan dengan pandangan yang dikemukakan Jerry Aldridge dan Renitta Goldman, yang menurutnya, belajar itu harus memberi peluang besar bagi anak untuk berpikir, bekerja dan biarkan mereka bergerak, terutama bagi anak-anak yang membangun keilmuannya melalui interaksi dengan lingkungan. Pengetahuan apa saja, matematika sosial atau lainnya, akan lebih efektif dengan pendekatan ativitas (Aldirdge and Renitta, Goldman, 2002:103). Model pembelajaran humanis ini terwadahi hanya dalam model sekolah demokratis, yakni pendidikan dengan konsep bahwa sekolah itu utuk siswa atau anak-anak belajar, bukan untuk guru mempertontonkan kepintarannya di hadapan siswa yang dibiarkannya menjadi penonton. Berbagai keunggulan model sekolah demokratis ini, sebagaimana dikemukakan oleh Dwight W. Allen ketika menjelaskan sekolah untuk abad mendatang (ke-21), dalam kerangka penguatan model sekolah demokratis (Allen, 1992:86),. antara lain adalah: 1. Akuntabilitas; yakni bahwa kebijakan-kebijakan sekolah di pertanggungawabkan pada publik, yang meliputi pengangkatan guru sesuai dengan kategori kebutuhan dan keahlian, yang kemudian teruji loyalitasnya terhadap proses pendidikan dan Pegajaran di sekolah. Guru yang diangkat harus; yang memiliki keahlian dalam bidang ilmu yang akan diajarkannya, memiliki keterampilan mengajar yang memadai, serta memiliki loyalitas keguruan yang teruji. Kemudian manajemen sekolah juga dapat dipertanggungjawabkan pada publik, dapat meminimalisir bias individual dalam berbagai keputusan, dan promosi seseorang benar-benar didasarkan pada keahlian dan pengalaman yang memadai. Dan dalam konteks akuntabilitas juga, sekolah demokratis selalu menjunjung tinggi collective judgement, yakni keputusan diambil bersama-sama. 2. Pelaksanaan tugas guru senantiasa berorientasi pada siswa, guru akan memberikan pelayanan pada siswa secara individual. Berbagai kesulitan siswa akan menjadi perhatian guru, dan dengan senang hati guru akan terus membantu. sehingga siswa dapat menyelesaikan berbagai kesulitannya.
3. Keterlibatan masyarakat dalam sekolah; yakni dalam sekolah demokratis, sistem pendidikan merupakan refleksi dari keinginan masyarakat. Masyarakat akan berpartisipasi dalam pendidikan, akan mempunyai rasa memiliki terhadap sekolah, dan akan responsif dengan berbagai persoalan sekolah. Dengan demikian, para guru bekerja juga akan merasa tenang karena senantiasa bersama-sama dengan masyarakatnya, keputusan pimpinan sekolah juga akan menjadi keputusan yang bulat, karena disepakati bersama.Terkontrol oleh oleh masyarakatnya, dan sekolah akan selalu mekanisme yang diatur dalam sistem penyelenggaraan sekolah tersebut. Berbagai keuntungan tersebut bisa menjadi sebuah perspektif positif untuk pengembangan sekolah ke depan, karena jika pendidikan di Indonesia itu berkualitas rendah, penyelesaiannya adalah perbaikan mendasar, yakni kurikulum, bahan ajar dan guru sebagai pengajar. Dalam kerangka sekolah demokratis, guru dan pimpinan sekolah harus menginformasikan pada orang tua tentang besaran kurikulum yang akan, diajarkan pada siswa, setidaknya berbagai kompetensi yang akan diberikan, serta berbagai perlakuan dalam pengembangan pengalaman belajar siswa dalam upaya mencapai kompetensi-kompetensi tersebut. Setiap guru harus siap untuk dievaluasi, diberi masukan dan dikritisi secara positif baik oleh siswa maupun orang tua siswa, sehingga mereka benarbenar menjadi profesional, dan bukan seorang tokoh penguasa feodal. Memang ini gagasan reformasi radikal, namun Indonesia harus memulai, dan kini gagasan reformasi tersebut memperoleh tempat yang ideal di Indonesia, terutama setelah lahirnya UU No. 22 tahun 1999 tentang otonomi daerah yang meletakkan sektor pendidikan sebagai salah satu yang diotonomisasikan, pendidikan memasuki era baru dengan semangat demokratis, karena undang-undang tersebut disambut oleh daerah dengan memberi peluang pada sekolah untuk mengembangkan networking horizon tal-nya dengan stakeholder dari user sekolah, dalam proses mengembangkan perencanaan sekolah, pengembangan kurikulum maupun penetapan berbagai kebijakan mendasar dari sekolah, tidak terkecuali sekolah negeri. Persoalan besar dalam UU No. 22 tahun 1999 adalah perubahan radikal dalam otoritas Pengembangan pendidikan yang semula berada dalam kekuasaan pemerintah Pusat melalui Depdiknasnya, kini terdelegasikan pada pemerintah daerah. Dan kini perubahan radikal tersebut memperoleh penguatan dengan diundangkannya UU No. 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional (Sisdiknas), yang menegaskan dalam pasal 4 ayat 1 bahwa pendidikan diselenggarakan secara demokratis dan berkeadilan serta tidak diskriminatif dengan menjunjung tinggi hak asasi manusia, nilai keagamaan, nilai kultural, dan kemajemukan bangsa. Poin penting dalam ayat ini adalah Penegasan bahwa pendidikan diselenggarakan secara demokratis, artinya, bahwa keterlibatan masyarakat dan otoritas pengelola serta institusi-institusi pendukungnya akan lebih besar
daripada Pemerintah pusat. Bersamaan dengan itu pula dalam pasal 9 dinyatakan bahwa masyarakat berhak berperan serta dalam perencanan, pelaksanaan, Pengawasan, dan evaluasi program pendidikan. Keikutsertaan masyarakat dapat diwujudkan dalam bentuk keterlibatan mereka dalam komite Sekolah atau dewan pendidikan daerah. Komite sekolah berhak ikut serta dalam merumuskan perencanaan pendidikan, tidak saja dalam perencanaan makro tapi sampai pada kebijakan restrukturisasi kurikulum, walaupun dalam batas-batas gagasan besar dan tidak harus memasuki wilayah teknis, karena itu sudah menjadi otoritas guru dan kepala sekolahnya. Demikian pula dengan evaluasi keberhasilan sekolah. Menurut pasal 9 di atas, masyarakat berhak untuk melakukan evaluasi terhadap sekolah, tidak saja dalam kerangka program pendidikan secara, makro, tapi pada wilayah mikro, kebijakan pengembangan sekolah dalam semua aspeknya. Kemudian pemerintah daerah juga diberi kewenangan oleh undang-undang sebagaimana dicantumkan dalam pasal 10 dinyatakan bahwa pemerintah dan pemerintah daerah berhak mengarahkan, membimbing, membantu, dan mengawasi penyelenggaraan pendidikan sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Sedangkan pada pasal 11 ayat I dan 2 dinyatakan bahwa pemerintah dan pemerintah daerah wajib memberikan layanan dan kemudahan, serta menjamin terselenggaranya pendidikan yang bermutu bagi setiap, warga negara tanpa diskriminasi. Kemudian pemerintah tahun. Dengan demikian, peraturan perundang-undangan yang berlaku sudah memberi arah dan wadah pengembangan sekolah yang lebih demokratis, bahkan dalam rumusan tujuan pendidikan dinyatakan secara tegas pada pasal 3, bahwa pendidikan nasional berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada. Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab. Undang-undang sudah mengamanatkan agar pendidikan mampu mengarahkan peserta didik menjadi warga negara yang demokratis. Oleh sebab itu, selain diberi pengetahuan tentang life skill sebagai warga. negara demokratis melalui pendidikan kewarganegaraan, juga mereka harus mengalami langsung bagaimana watak dan kultur demokrasi itu mewujud dalam kenyataan sekolah, yang mereka alami sehari-hari. Mereka harus memiliki pengetahuan dan pengalaman bahwa masyarakat ikut terlibat dalam penyelenggaraan sekolah, baik dalam konteks sebagai kontributor dan pemerintah daerah wajib menjamin tersedianya dana guna terselenggaranya pendidikan bagi setiap, warga negara yang berusia tujuh sampai dengan lima belas
pemikiran, konsep dan gagasan, maupun sebagai kontributor fasilitas dan yang lainnya. Masyarakat juga terlibat dalam pembahasan program-program sekolah, dan masyarakat juga terlibat dalam evaluasi keberhasilan sekolah menyelenggarakan pendidikan untuk siswa dan siswinya. SOAL JAWAB 1. Mengapa pendidikan di Indonesia perlu direformasi ? Jawab: Pendidikan perlu di revormasi untuk perbaikan disemua aspek agar dapat menghasilkan lulusan yang cerdas, kompetitif dan memiliki daya saing yang tinggi di pasart tenaga kerja, dalam level dan jenis apapun profesinya. 2. Faktor-faktor penting apakah yang mendasari pentingnya revormasi? Jawab: Kegagalan pendidikan yang telah dilalui beberapa tahun silam dengan indikator rendahnya kualitas rata-rata hasil belajar siswa yang akan memasuki jenjang perguruan tinggi. Dan perkembangan perekonomian dunia yang membuka akses pasar global yang semuanya itu merupakan peluang sekaligus ancaman yang harus dihadapi dengan kesiapan SDM kompetitif. 3. Apakah yang dimaksud dengan sekolah demokratis? Jawab: Sekolah demokratis adalah sekolah yang dikelola dengan struktur yang memungkinkan prktekpraktek demokratis itu terlaksana seperti pelibatan masyarakat dalam membahas programprogram sekolah dan prosedur pengambilan keputusan juga memperhatikan berbagai aspirasi publik, serta dapat dipertanggungjawabkan implementasinya kepada publik. Demikian pula dengan pembinaan siswa, bahwa pendidikan itu untuk semuanya, guru harus mampu memberikan perhatian yang sama pada semua siswa, semuanya memperoleh perlakuan walaupun bentuknya mungkin berbeda. 4. Sebutkan bebrapa kondisi yang perlu dikembangkan dalam upaya membangun sekolah demokratis Jawab: 1. 2. Keterbukaan saluran ide dan gagasan, sehingga semua orang bisa menerima informasi seoptimal mungkin. Memberikan kepercayaan kepada individu-individu dan kelompok dengan kapasitas yang mereka miliki untuk menyelesaikan berbagai persoalan-sekolah.
3. 4. 5. 6.
Menyampaikan kritik sebagai hasil analisis dalam proses penyampaian evaluasi terhadap ide-ide, problem-problem dan berbagai kebijakan yang dikeluarkan sekolah. Memperlihatkan kepedulian terhadap Kesejahteraan orang lain dan terhadap persoalan-persoalan publik. Ada kepedulian terhadap harga diri, hak-hak individu dan hak-hak minoritas. Pemahaman bahwa demokrasi yang dikembangkan belumlah mencerminkan demokrasi yang diidealkan, sehingga demokrasi harus terus dikembangkan dan bisa. membimbing keseluruhan hidup manusia.
7. Terdapat sebuah institusi yang dapat terus mempromosikan dan mengembangkan cara-cara hidup demokratis.
DEMOKRATISASI PENGEMBANGAN KURIKULUM A. KURIKULUM; PENGERTIAN DAN MACAM-MACAMNYA MAU dibawa ke mana anak-anak oleh sekolah, siapa yang paling berhak menentukan arah dan kebijakan sekolah. Ini merupakan pertanyan-pertanyaan mendasar dalam penyelenggaraan sekolah, dalam sistem atau pendekatan apa pun. Semangat demokratis dalam penyelenggaraan sekolah akan menginspirasi bahwa publik sekolah memiliki hak yang sangat kuat dan sangat besar dalam penetapan arah kebijakan kurikulum sekolah, barangkali sama kuatnya" dengan pemerintah sendiri karena client sekolah adalah publiknya dan pemerintah yang juga dalam konteks lain sebagai user, bukan terbatas dalam aspek penerimaan tenaga kerja pada instansi pemerintah saja, tapi lapangan kerja secara lebih luas di semua sektor, pertanian, industri, jasa atau lainnya, di dalam negeri maupun di luar negeri. Semakin kompetitif SDM bangsa, maka akan semakin meningkat dignity bangsa tersebut di hadapan bangsa-bangsa lainnya. Sebaliknya semakin merosot daya saingnya, maka akan semakin menurun pula nation dignity-nya. Dengan demikian, publik sekolah dan pemerintah sama-sama memiliki kepentingan dalam penetapan arah dan pendidikan anak-anak di sebuah sekolah. Kurikulum merupakan inti dari sebuah sekolah, karena kurikulumlah yang mereka tawarkan pada publiknya, dengan dukungan SDM guru berkualitas, serta sarana sumber belajar lainnya yang memadai. Diskursus tentang kurikulum masih terus berjalan, apakah kurikulum itu hanya bermakna Course Out Line atau GBPP, atau mencakup seluruh pengalaman yang diberikan pada anak dalam
proses pendidikannya oleh guru. Dalam konteks ini Ronald C. Doll menjelaskan bahwa kurikulum sudah tidak lagi bermakna sebagai rangkaian bahan yang akan dipelajari Serta urutan pelajaran yang akan dipelajari siswa, tapi seluruh pengalaman yang ditawarkan pada anak-anak peserta didik di bawah arahan dan bimbingan:sekolah (Doll, 1964:15). Pengalaman yang diperoleh siswa dari program-program yang ditawarkan sekolah amat variatif, tidak sebatas hanya pembelajaran di dalam"Kelas, tapi juga lapangan tempat mereka. bermain di sekolah, kantin, dan bahkan bis sekolah. Semua itu memberikan kontribusi pengembangan pengalaman siswa, yang mempengaruhi perubahan-perubahan pada mereka. Melalui kesimpulannya ini, Doll hendak menegaskan bahwa kurikulum itu adalah perencanaan yang ditawarkan, bukan yang diberikan, karena. pengaIaman yang diberikan guru belum tentu. ditawarkan. Dengan demikian seluruh konsep pendidikan di sekolah itu bisa dan harus ideal. Kurikulum harus bicara keharusan, dan bukan kemungkinan. Kemudian bimbingan dan arahan tidak saja tugas dan kewajiban guru, tapi menjadi tugas dan kewajiban sekolah, yang komponennya tidak Sekadar guru, tapi juga kepala sekolah, karyawan sekolah dan juga unsur lain yang terkait langsun dengan proses pendidikan. Sesuai pengertian di atas, maka. kurikulum, sebagaimana dikemukakan Sukznadinata memiliki beberapa karakteristik (SukMadinata, 1997.27) yaitu: 1. Kurikulum sebagai suatu substansi, yakni bahwa kurikulum adalah Sebuah rencana kegiatan belajar para siswa di sekolah, yang mencakup rumusan-rumusan tujuan, bahan ajar, proses kegiatan pembelajaran, jadwal dan evaluasi hasil belajar. Kurikulum. tersebut merupakan sebuah konsep yang telah disusun oleh para ahli dan disetujui oleh para pengambil kebijakan pendidikan serta oleh masyarakat sebagai user dari hasil pendidikan. 2. Kurikulum sebagai sebuah sistem, yakni bahwa kurikulum merupakan rangkaian konsep tentang berbagai kegiatan pembelajaran yang masing-masing unit kegiatan memiliki keterkaitan secara koheren dengan lainnya, dan bahwa kurikulum itu sendiri memiliki keterkaitan dengan semua unsur dalam sistem pendidikan secara keseluruhan. 3. Kurikulum merupakan sebuah konsep yang dinamis, yakni bahwa kurikulum merupakan konsep yang terbuka dengan berbagai gagasan perubahan serta penyesuaian-penyesuaian dengan tuntutan pasar atau. tuntutan idealisme pengembangan peradaban umat manusia. Akan tetapi, bukan menghindari diskursus tentang apa itu kurikulum, namun dengan menyerap pemahaman publik terhadap kurikulum, tampaknya definisi-definisi yang dikemukakan oleh Hilda Taba dan Robert Gagne, yang dikemukakan oleh Allan A. Glathorn dalam bukunya berjudul Curiculum Leadersip, (Glatthorn, 1987: 2) lebih mendekati pemahaman fragmatis tentang kurikulum. Menurut Taba Kurikulum. biasanya terdiri dari pernyataan-pernyataan tentang tujuan
umum, tujuan khusus, yang mengindikasikan kelompok bahan-bahan ajar terpilih, yang juga menyatakan tentang model-model pelaksanaan proses pembelajaran, dan juga mencakup program evaluasi hasil belajar. Sementara Robert Gagne menegaskan, bahwa kurikulum adalah sekwensi isi dan bahan pelajaran yang dideskripsikan sedemikan rupa sehingga pembelajaran setiap unitnya itu dapat diselesaikan sebagai sebuah satuan utuh, dan masing-masing unit tersebut juga mendeskripsikan kapabilitas (kompetensi) siswa yang harus dikuasai mereka. Kedua tokoh amat berpengaruh dalam kajian pendidikan ini memberikan sebuah gambaran bahwa kurikulum berkaitan langsung dengan proses pembelajaran dalam kelas, hanya saja, Taba lebih menekankan pada struktur kurikulumnya itu sendiri yang diawali dengan perumusan tujuan dan diikuti dengan perumusan bahan-bahan ajar, model pembelajaran, serta evaluasi hasil belajar. Sementara. Gagne lebih menekankan pada sekwensinya, yakni bahwa bahan ajar itu harus disusun. dalam sebuah sekwensi yang sistematis, dan masing-masing unit pembelajaran harus mampu mendeskripsikan kompetensi yang bisa diperoleh siswa, sehingga jelas dan rasional, dan siswa harus menyelesaikannya dengan baik sampai menguasai benar dan mencapai kompetensi yang dirumuskannya itu. Walaupun berbeda dalam membuat rumusan, namun Doll, Taba dan, Gagne memiliki pandangan. yang sama, bahwa kurikulum adalah pengalaman-pengalaman belajar yang ditawarkan sekolah pada siswa, kemudian Doll juga sebagaimana Taba dan Gagne, wenyampaikan sebuah teori kurikulum. yang standar bahwa program pembelajaran siswa itu. harus dimulai dengan perumusan tujuan, bahkan. menurutnya, kurikulum tersebut harus dianalisis benar, apakah tujuannya itu bisa tercapai oleh sekolah, berapa. lama bisa dicapai dan bagaimana. susunan sekwensi bahan-bahannya (Doll, 1964: 22). Pandangan tersebut nampak sejalan dengan. rumusan yang dikemukakan Taba dan Gagne, hanya saja, Doll melihat bahwa lingkungan sekolah, serta pengalaman-pengalaman lain yang ditawarkan sekolah pada siswa termasuk dalam kategori kurikulum yang harus menjadi wilayah kajian evaluatif dalam perbaikan dan pengembangan sekolah. Akan tetapi, lingkungan, kultur dan berbagai kebijakan sekolah, walaupun diakui memiliki pengaruh terhadap perubahan siswa, namun proses mempengaruhi perkembangan kepribadian siswanya terjadi secara tidak langsung, dan dikembangkan bukan sebagai bahan ajar untuk membentuk perilaku siswa, tapi semata sebagai sebuah pekerjaan, sikap, kebijakan dan penataan lingkungan dengan kepentingan rnasing-masing, namun. memiliki pengaruh bermakna terhadap perkembangan siswa. Oleh sebab itulah, Allan A. Glatthorn menyebutnya sebagai The Hidden Curriculum (kurikulum terselubung), yakni kurikulum yang tidak menjadi bagian untuk dipelajari, yang secara lebih definitif digambarkan sebagai berbagai aspek dari sekolah di luar kurikulum yang
dipelajari, namun mampu memberikan pengaruh dalam perubahan nilai, persepsi dan perilaku siswa (Glatthorn, 1987: 2,0). Kebiasaan sekolah menerapkan disiplin terhadap siswanya, seperti ketepatan guru memulai pelajaran, kemampuan dan cara-cara guru menguasai kelas, kebiasaan guru meperlakukan mereka yang melakukan kenakalan di dalam kelas, semuanya itu merupakan pengalarnan-pengalaman yang dapat mengubah cara berpikir dan perilaku siswa. Demikian pula dengan lingkungan sekolah yang teratur, rapi, tertib dan mampu menjaga lingkungan yang bersih serta asri, merupakan pengalaman. yang dapat mempengaruhi kultur siswa. Itulah intinya hidden curriculum sebagaimana dikemukakan. di atas. Tampaknya Glatthorn mencoba membuat rumusan bijak dengan memperkuat formulasi dan cara pandang Taba yang menekankan tentang perencanaan pembelajaran, namun tetap, memberi tempat pada. Doll yang menganggap penting berbagai pengalaman di luar proses pembelajaran dalam kelas.,Glatthorn mengangkat hidden curriculum, sebagai formulasi lain tentang berbagai pengalaman. yang ditawarkan sekolah pada. siswa di luar pernbelajaran. dalam kelas, dan memiliki kontribusi signifikan terhadap berbagai perubahan. perilaku. siswa, dalam konotasi perilaku yang lebih luas. Oleh sebab itu., rencana perlakuan siswa di luar kelas tersebut harus sejalan. dengan rencana. pembelajaran formal dalam kelas, sehingga. tidak terjadi kontradiksi yang Pontra produktif terhadap hasil pendidikan. Bersamaan dengan itu, Allan A. Glatthorn juga menjelaskan tiga variabel penting dalam pengelolaan dan pengembangan sekolah, dan menjadi bagian integral dari hidden curriculum (Glatthorn, 1987:22), yaitu: 1. Variabel organisasi; yakni kebiajkan penugasan guru dan pengelompokan siswa untuk proses pembelajaran, yang dalam konteks ini ada empat isu yang pantas menjadi perhatian, yakni team teaching, kebijakan promosi (kenaikan kelas), pengelompokan siswa berdasarkan kemampuan, dan pemfokusan kurikulum. Team teaching merupakan salah satu kebijakan dalam penugasan guru (dengan pemberian tugas pada beberapa prang guru dalam satu mata pelajaran tertentu dalam kelas yang sama). Kendati belum terbukti bahwa hasil belajar siswa dengan team teaching itu lebih baik, namun kebijakan ini rasional dan dapat diterima, karena akan memberikan pelayanan akademik terbaik untuk siswa, dan guru. mengajarkan dalam pokok-pokok bahasan yang benar-benar menjadi keahliannya. Kemudian kebijakan dalam promosi (kenaikan kelas) untuk siswa, sekolah bisa menerapkan kebijakan promosi didasarkan pada pencapaian individual siswa, namun kebijakan tersebut belum terbukti lebih baik dilihat dari outcome pendidikan yang diharapkan, tapi justru promosi didasarkan pada indikator-indikator sosial, seperti sikap siswa terhadap; sekolah self image yang baik
merupakan bagian-bagian penting dalam perubahan perilaku, di samping pencapaian prestasi akademik itu sendiri. Kemudian, pangelompokan siswa berdasarkan kemampuan juga tidak memiliki perbedaan-perbedaan hasil yang significant daripada pengelompokan secara acak, walaupun ada indikasi mereka yang dikelompokan dalam tingkat kemampuan dan talenta yang sama, memiliki efek positif terhadap sikap mereka pada pelarannya yang diajarkan.Demikian pula efeknya terhadap sekolah itu sendiri, dan juga konsep diri mereka, walaupun perbedaannya tidak significant. Sedangkan pemokusan kurikulum sebagai implikasi dari pengelompokan berdasarkan kemampuan dan kecenderungan, masih merupakan sesuatu yang problematik, karena siswa yang berdasarkan temuan konselor memiliki talenta dan kemampuan tertentu, belum tentu menjadi besar dalam karir profesional sesuai dengan temuan konselor tersebut. Kendatipun demikian, pemfokusan kurikulum tetap menjadi bagian penting, karena kelompok dengan tingkat kemampuan tinggi akan menuntut perlakuan yang lebih intensif daripada kelompok dengan kemampuan di bawahnya. 2. Variabel sistem sosial; yakni suasana sekolah yang tergambar dari pola-pola hubungan semua komponen sekolah. Banyak faktor sistem sosial di sekolah yang dapat membentuk sikap dan perilaku siswa, yakni pola hubungan guru dengan tenaga administrasi, keterlibatan kepala sekolah dalam pembelajaran, keterlibatan guru dalam proses pengambilan keputusan, hubungan yang baik antar sesama guru, hubungan guru dengan siswa, interaksi guru dengan siswa, keterlibatan siswa dalam proses pengambilan keputusan, dan keterbukaan kesempatan bagi siswa untuk melakukan berbagai aktivitas, yang semuanya ini sangat dipengaruhi oleh efektivitas kepemimpinan sekolah. 3. Variabel budaya; yakni dimensi sosial yang terkait dengan sistem kepercayaan, nilai-nilai dan struktur kognitif. Berbagai faktor yang terkait dengan variabel kultur dan menjadi bagian penting dalam hidden curriculum tersebut adalah sebagai berikut: a. Rumusan tujuan sekolah yang jelas dan dapat dipahami oleh semua unsurnya, sebagai hasil konsensus antara pengelola. administrasi dan guru. b. Pengelola administrasi memiliki ekspektasi yang tinggi terhadap guru dan begitu juga sebaliknya, guru memiliki ekspektasi yang tinggi terhadap tenaga administrasi. c. Pengelola administrasi dan guru memiliki ekspektasi yang baik terhadap para siswa yang diartikulasikan dengan penguatan pelayanan akademik pada mereka. Pernberian hadiah terhadap mereka yang mencapai prestasi terbaik, dan pemberian hadiah serta hukuman yang dilakukan secara fair dan konsisten kepada para siswa.
Tiga variabel di atas merupakan bagian-bagian penting hidden curriculum yang secara teoretik akan sangat mempengaruhi perkembangan sikap dan perilaku siswa. Semakin konsisten tiga variabel tersebut terpelihara dalam konsep-konsep idealnya, maka akan semakin besar peluang sekolah melahirkan siswa-siswa sesuai ekspektasi masyarakat penggunanya. Dengan demikian, kurikulum yang mengantarkan siswa sesuai harapan idealnya, tidak cukup hanya kurikulum yang dipelajari saja (written curriculum), tapi juga hidden curriculum yang secara teoretik sangat rasional mempengaruhi siswa, baik menyangkut lingkungan sekolah, suasana. kelas, pola interaksi guru dengan siswa dalam kelas, bahkan pada kebijakan serta manajemen pengelolaan sekolah secara lebih luas dan perilaku dari semua komponen sekolah. dalam hubungan interaksi vertikal dan horizontal mereka. Sedangkan. kurikulum yang dipelajari terbatas pada kurikulum; tertulis yang disusun sedemikian rupa secara sistematis, dengan rumusan-rumusan kompetensi standar serta indikator-indikator kompetensi yang terukur, dan materi belajar yang sesuai untuk mencapai indikator-indikator kompetensi tersebut Dua kelompok kurikulum ini merupakan bagian-bagian integral yang tidak terpisahkan dalam proses pendidikan, karena kurikulum tertulis yang pada umumnya menjabarkan berbagai kompetensi akademik, skill, dan keterampilan yang diawali dengan. Pengetahuan, dan penguasaan bidang-bidang keilmuan, memberikan arah pada penguasaan ilmu. Akan tetapi, ketika tujuan, pembelajaran itu. untuk pembentukan sikap dan kebiasaan, memerlukan dukungan kultur lingkungan di mana para siswa itu. menghabiskan banyak waktu-waktunya. Interaksi siswa dengan guru dan para pegawai adminsitrasi serta dengan para pimpinan sekolah, sangat potensial untuk mendukung pembentukan sikap dan kebiasaan tersebut karena banyak waktu potensial. mereka dihabiskan di sekolah dengan para guru dan pegawai sekolah, sehingga jika teradi akulturasi dari lingkungan sekolah terhadap para. siswanya, itu merupakan implikasi .rasional. Jika kultur yang mereka alami itu negatif, maka akulturasinya pun akan menghasilkan nilai-nilai negatif. Sementara jika kultur positif yang mereka alami, maka akan terjadi akulturasi nilai-nilai positif. Aspek-aspek keilmuan dan keterampilan yang selayaknya dikembangkan untuk anak-anak, harus sesuai dengan basis psikologisnya, artinya kesesuaian antara kebutuhan dan kemampuan psikologis anak untuk menerima dan memahami pelajaran, sesuai usia kronologisnya, dan disesuaikan pula dengan kebutuhan kemajuan ilmu dan teknologi. dalam konteks ini Paul Westmeyer menggambarkan bahwa yang harus menjadi pertimbangan utama dalam penyusunan kurikulum adalah perkembangan psikologis anak, baik dalam mempertimbangkan materi pelajaran. yang akan disampaikan, maupun dalam mengembangkan aktivitas belajar mereka. bersamaan dengan itu, kurikulum juga. harus disusun setelah melakukan analisis kebutuhan. Dalam konteks ini, analisis juga
mempertimbangkan aspek-aspek psikologis anak dan permintaan client (Westmeyer, 1981: 5), yang terartikulasikan dengan mempertimbangkan kebutuhan-kebutuhan pemakai baik sektor swasta maupun pemerintah dengan berbagai pertimbangannya, termasuk peningkatan rating SDM national dignity dan yang sebangsanya. Bila dikaitkan dengan analisis awal tentang tipologi sekolah. abad. ke-21 ini, maka analisis kebutuhan client itu harus mempertimbangkan berbagai kemajuan teknologi yang ada. di pasar tenaga kerja. Dengan demikian, pengembangan kurikulum, selain harus mempertimbangkan perkembangan psikologis anak, juga harus mempertimbangkan kemajuakemajuan i1mu dan teknologi, sehingga anak tidak mengalami kegagalan penyesuaian diri di luar sekolah. Dengan mempertimbangkan kebutuhan-kebutuhan psikologis anak tersebut, serta diperkuat dengan analisis terhadap kebutuhan client dan pemakai, maka rancangan kurikulum sudah bisa dikembangkan dengan merumuskan berbagai standar kompetensi yang diawali pada identifikasi kompetensi untuk setiap jenjang pendidikan, yang akan menjadi rujukan untuk menyusun standar kompetensi pada setiap level dan pada setiap mata pelajaran. Dan dengan standar kompetensi tersebut juga bisa disusun indikator-indikator kompetensi serta materi-materi pokok yang bisa dikembangkan oleh para guru, baik pada aspek indikator kompetensinya, maupun pengembangan materi bahan ajarnya. Untuk bisa lebih mengaksentuasi kompetensi yang bisa dikembangkan pada siswa melalui proses pembelajaran, maka kini Indonesia mengembangkan model kurikulum baru yang populer dengan nama kurikulum berbasis kompetensi, karena model ini amat jelas memberikan gambaran kompetensi siswa setelah mempelajari berbagai materi pelajaran, dan. dapat dengan mudah dikritisi oleh stakeholder dan bahkan oleh siswa sendiri. Kemudian, bahwa pendidikan juga menekankan pembinaan sikap dan kebiasaan. Oleh sebab itu, kurikulum ideal adalah yang mengintegrasikan antara kurikulum tertulis untuk dipelajari serta hidden curriculum yang mendukung perkembangan sikap, dan kebiasaan-kebiasaan siswa tersebut. Pergeseran kurikulum berbasis tujuan pada kurikulum berbasis kompetensi, tidak membawa implikasi filosofis yang signifikan, karena outcome dari kurikulum berbasis tujuan juga adalah rangkaian kompetensi siswa, dan rumusan-rumusan tujuan yang dikemukakan dalam kurikulum tersebut menggambarkan. kompetensi yang terukur. Dengan demikian, kurikulum berbasis kompetensi sebenamya adalah penegasan terhadap berbagai tujuan yang lazim. dalam kurikulum berbasis tujuan. Hanya saja, kompetensi siswa lebih tampak dalam pemetaan konsep hasil. belajar Akan tetapi kurikulum berbasis kompetensi menjadi sangat signifikan, karena dikembangkan bersamaan dengan perubahan paradigma dari kurikulum top- down menjadi pola perumusan yang
demokratis. Berbagai kompetensi yang harus dibelajarkan pada siswa disiapkan secara komprehensif dari pemerintah sendiri yang mewakili cita-cita bangsa, para pemakai lulusan, serta dengan orang tua siswa sebagai client sekolah. Hanya saja idealisme tersebut harus disusun dengan bijak sehingga tidak mengabaikan aspek psikologis dari siswa-siswa sendiri, karena tingkat kematangan kejiwaan mereka juga berkorelasi dengan kesiapannya untuk mernperoleh pelajaran pada level-level. tertentu.
Gambar 1 Tentang Model perumusan kurikulum yang relevan untuk dikembangkan adaptasi dari westmeyer
PSYCHOLOGYCAL BASED FOR CURRICULUM ANALYSIS OF NEEDS OF CLIENTE, AND USERS
MATERI DASAR
IDENTIFIKASI MASALAH
INDIKATOR KOMPETENSI
MATERI PELAJARAN
PILIHAN STRATEGI
PILIHAN ALAT
PILIHAN EVALUASI
Gambar di atas menunjukkan tentang model kurikulukm yang relevan untuk dikembangkan sebagai wujud gagasan penyelenggaraan sekolah yang demokratis, dengan memberi posisi yang seimbang antara otoritas pemerintah dengan masyarakat sebagai client dari sekolah. Akan tetapi, gambat\ran di atas terbatas hanya pada kurikulum tertulis untuk di pelajari yang dapat mengantarkan siswa untuk mencapai berbagai kompetensi keilmuwan dan atau keterampilan. Kemudian gambar di atas juga memberikan aksentuasi pada pertimbangan-pertimbangan demokratis untuk memperhatiakan permintaan client serta perkembangan psikologis siswa, sementara filosofinya tidak menjadi perhatian, karena pendidikan harus selalu berbasis filosofi (philosofical base),
PENGEMBANGA N MATERI
MANAJEMEN PEMBELAJARAN
Inti dari putaran ranah-ranah pendidikan dalam. gambar di atas adalah "concerns", yakni kurikulum yang menjadi kepedulian. dan perhatian, dan proses penetapan keputusannya akan sangat dipengaruhi oleh faktor-faktor acuan filosofis, rumusan. berbagai tujuan dalam pendidikan, perkembangan. sistem pembelajaran, yakni semakin maju sistem pembelajaran yang dapat dikembangkan, maka akan semakin baik kurikulum yang disusun, karena penyusunannya akan sangat memperhatikan. perkembangan sistem pembelajaran yang dapat dikembangkan saat itu. Demikian pula dengan unsur-unsur lainnya, seperti pendidikan guru, semakin baik pendidikan guru, maka akan. semakin baik kurikulum yang disusun karena guru adalah arsitek penyusunan kurikulum dan gurulah yang mengontrol kurikulum. operasional dalam kelas. Demikian pula dengan manajemen pembelajaran, serta kemajuan i1mu dan teknologi, keduanya sam a-sama mempengaruhi perubahan dan pengembangan kurikulum tersebut. Dari lima ranah di atas, tampaknya hanya ranah filosofi yang lebih eternal, konstan dan tidak banyak perubahan, sementara lainnya senantiasa mengalami perubahan dan kemajuan, yang karenanya pula kurikulum harus terus dievaluasi dan dikembangkan. Perumusan filsafat pendidikan, yaitu pada hakikatnya adalah menjawab tiga pertanyaan what is good? What is true? Dan what is real? Atau. pertanyaan tentang aksiologi, epistimologi dan. ontologi (Wiles, 1989: 46). Pertanyaan-pertanyaan tersebut tidak sederhana, baik dalam konteks merumuskan jawaban-jawabannya maupun mengimplementasikan jawaban tersebut dalam aktivitas pendidikan, yakni penyusunan kurikulum dan pelaksanaan proses pembelajaran. Sebelum kurikulum. disusun, pertanyaan-pertanyaan tentang kenapa sekolah ini ada? Apa yang akan diajarkan? Apa peran guru dan siswa? Bagaimana sekolah memperhatikan. berbagai perubahan? semuanya harus mampu dijawab dalam konteks penyusunan kurikulum. Setidaknya ada lima aliran filsafat yang mempengaruhi pendidikan. di dunia ini, baik dalam konteks kini maupun waktu lalu, yaitu perenialisme, idealisme, realisme, eksperimentalisme, dan eksistensialisme. Kelima aliran ini digambarkan secara simpel oleh Wiles dan Bondi (Wiles, 1989: 47-48), dalam konteks kepentingan penyusunan dan penetapan kurikulum. Aliran perenialisme berprinsip bahwa pendidikan adalah persiapan. untuk hidup, dan hidup harus dihadapi dengan kemampuan rasional, karena kebaikan atau keburukan ditentukan oleh logika manusia, dan juga oleh Tuhan melalui proses pewahyuan. Kebenaran ditransformasikan lewat pendidikan dan terkadang lewat kegiatan suci. Sedangkan aliran idealisme berpandangan. bahwa pendidikan harus dilakukan
untuk mempertajam kemampuan. proses intelektual setiap anak untuk mewujudkan kebijakan pada. zamannya dan untuk mewujudkan. perilaku yang patut dicontoh, karena aliran ini berpandangan bahwa kebaikan adalah pernyataan ideal yang ada dalam otak dan harus diperjuangkan untuk dicapai melalui transfonnasi nilai-nilai dalam proses pembelajaran disertai dengan contoh-contoh yang diperlihatkan guru di sekolah. Sementara aliran realisme berpandangan bahwa kebenaran terdapat di alam semesta dan alam. adalah sebagaimana adanya. Untuk mengetahui kebenaran diperlukan kajian. dan penelitian terhadap alam. semesta tersebut, karena ilmu. terdapat dalam hukum alam itu sendiri. Oleh sebab itu, aliran realisme ini menekankan pada pengembangan sains yang merupakan. rumusan ilmiah tentang hukum alam, dan sekolah diharapkan akan menjadi pusat penyampaian sains tersebut pada siswa-siswa agar mereka tidak hanya menguasai rumusan-rumusan sains yang telah ada, tapi juga dapat melakukan studi dan penelitian tentang kehidupan alam. semesta ini. Lain halnya dengan eksperimentalisme yang memiliki pandangan bahwa. alam ini terus dalam, perubahan, akan tetapi perubahan itu sebenarnya merupakan hasil eksperimen, dan kebenaran adalah apa yang benar-benar berfungsi saat itu, dan kebalikan adalah apa yang benar-benar diterima oleh publik. Sekolah bagi aliran ini diharapkan mengajarkan ilmu-ilmu sosial serta. berbagai pengalaman yang telah diterima. sebagai kebenaran. Sementara alifan ekststensialisme memandang bahwa kebenaran, kebaikan serta alam semesta. merupakan definisi-definisi personal, setiap orang memiliki kebebasan untuk menentukan ukuran-ukuran kebenaran dan kebaikannya. Dengan demikian. sekolah diharapkan untuk mendidik siswa untuk dapat menentukan dirinya sendiri, menganut kebenaran yang dipercayainya Sementara. itu Glenys G. Unruh dan Adolph Unruh mengedepankan empat aliran filsafat yang mempengaruhi penyusunan dan penetapan kurikulum, yaitu perenialisme, essensialisme, progresifisme, dan rekonstruksionisme. Perenialisme memiliki ciri rasionalistik dan akademis, esensialisme lebih memiliki ciri pengembangan proses kognitif, Trogresifisme menekankan pada pengembangan teknologi sedangkan rekonstruksionisme menekankan rekonstruksi sosial dan aktualisasi diri (Unruh, 1984: 99). Perbedaan mendasar dari keempat aliran tersebut digambarkan oleh Unruh dalam diagram Taksonomi pilihan kurikulum sebagaimana berikut:
PERENIALISME PROGESIFISME
ESENSIALISME REKIONSTRUKSIONISME
Regresif
Konserfatif
Liberal
Eksperimenatsi
Regeneratif
RASIONALISME PERKEMBANGAN KURIKULUM REKONSTRUKSI AKTUALISASI AKADEMIS PROSES KOGNITIF SBG TEKNOLOGI SOSIAL DIRI
BERCORAK BERCORAK BERCORAK BERCORAK BERCORAK KLASIKAL DISIPLIN ANALITIS FUTURISTIK PSYCHOLOGYCAL HUMANISTIK
Gambar 3
Diagram Unruh ini dikembangkan dengan mengutip distingsi antara satu aliran dengan lainnya yang dikembangkan oleh Elliot Eisner dan Ellizabeth Vallance, yang keduanya membedakan antara empat aliran, yakni perenialisme lebih menekankan pada pembinaan kemampuan berpikir rasionalisme akademik, esensialisme pengembangan proses kognitif, progresfiisme pada pengembangan teknologi, sementara rekonstruksionisme pada rekonstruksi sosial dan aktualisasi diri. Walaupun tidak terjabarkan dengan baik tentang aliran-aliran tersebut, khususnya lima aliran yang diintrodusir Willes dan Bondi dan empat yang diintrodusir Unruh, yang keduanya mengangkat aliran-aliran tersebut dalam konteks perancangan kurikulum, namun setidaknya ide-ide pokok dari aliran-aliran tersebut memperlihatkan sebuah garis pemikiran yang bisa bertemu satu sama lain. Keempat aliran tersebut mengedepanken beberapa pilihan yang bisa dijadikan landasan filosofi dalam penyusunan kurikulum. Piihan-pilihan tersebut berada pada ranah filsafat yang lebih cenderung substantif dan menjadi nilai spirit yang eternal dari sebuah kurikulum. Keempat aliran tersebut, menurut Unruh (Unruh, 1984: 98-104), menawarkan beberapa landasan konseptual dalam penyusunan kurikulum, yaitu pengembangan proses kognitif, pengembangan teknologi, aktualisasi diri, rekonstruksi sosial, dan rasionalisme akademik. Pembinaan Proses kognitif ini diangkat aliran esensialisme yang Cenderung konservatif dan menekankan bahwa pendidikan adalah proses pembinaan skill dan kemampuan kognitif, seperti John Dewey yang menekankan bahwa siswa-siswa harus dilatih untuk berpikir reflektif, yakni mencoba melatih mereka untuk mengaplikasikan teori pada kasus dan situasi yang baru. Konsep tersebut juga diangkat oleh Bloom dengan taksonominya yang masih populer sampai sekarang. Bloom mengangkat teori kognitifnya dalam gradasi knowledge, comprehension, aplikasi, analisis, sintesis, dan evaluasi
Kemudian aliran progresif yang cenderung liberal menekankan bahwa. kurikulum. itu. harus mampu mengembangkan Demokratis Paradigma Pendidikan teknologi. Aliran ini berkembang setelah terbukti bahwa perkembangan sains dan teknologi yang digunakan oleh bisnis dan industri mempengaruhi orientasi praktis dan teori-teori dalam pendidikan. aliran ini dikembangkan terutama oleh Ralph Tyler dalam bukunya Basic Principles OfCurriculum and Instructions, yang mengembangkan empat pertanyaan dalam penyusunan kurikulum, yaitu: 1. Apa tujuan pendidikan yang hendak dicapai sekolah? 2. Bagaimana mengembangkan pengalaman belajar untuk mencapai tujuan? 3. Bagaimana mengembangkan pengalaman belaiar Yang efektif dalam proses pembelajaran? 4. Bagaimana proses pembelajaran efektif itu. bisa dievaluasi? Ini adalah pertanyaan-pertanyaan Tyler yang sampai kini masih dijadikan acuan dalam pengembangan kurikulum, sebagai artikulasi dari semangat dan gagasan pokok aliran progresif yang cenderung liberal, dengan melihat keterkaitan kurikulum pada perkembangan teknologi yang dibutuhkan dunia bisnis dan industri. Kemudian Unruh juga menjelaskan bahwa aliran lain menawarkan landasan self actualization, atau aktualisasi diri, yakni bahwa pendidilkan itu harus memberikan peluang bagi setiap siswa untuk bisa menemukan talenta dan identitasnya. Untuk kepentingan tersebut, kurikulum harus learner-centered, dan Activity Oriented approach, dan bahkan kurikulum untuk konteks kurikulum operasional yang akan dijalankan dalam proses pembelajaran dalam kelas bisa disusun secara bersama antara guru dengan siswa-siswanya. karena kurikulum tersebut disediakan agar siswa dapat menemukan minat, bakat, dan kemampuan serta kecenderungannya. Landasan teoretik tersebut dikembangkan oleh William Kilpatrik melalui aliran filsafat rekonstruksionalisme. Aliran ini juga mengusung landasan konsepsional, bahwa kurikulum harus mampu mengantarkan siswa-siswanya untuk bisa hidup sesuai dengan perkembangan nilai, dan kultur yang berkembang di tengah-tengah masyarakatnya. Pendidikan adalah sebuah aktivitas dari sebuah pembebasan, yakni pembebasan dari ketertinggalan, ketakutan, alienasi serta berbagai social desease lainnya. Bahkan lebih jauh, bahwa pendidikan. harus mampu mempengaruhi proses perubahan sosial, dengan pengembangan nilai serta kultur yang dikehendaki untuk dikembangkan dalam bentuk berbagai perilaku sosial oleh para siswanya. Tampaknya sangat ragam aliran filsafat yang diadopsi dalam pengembangan kurikulum pendidikan, namun pada hakikatnya landasan teoretik filosofis yang ditawarkannya sama, yaitu kemampuan berpikir kognitif, intelektualistik dan. akademik agar mampu melahirkan pemikiran-pemikiran bijak bagi masyarakat zamannya. Atau pendidikan itu dikembangkan untuk
mengembangkan sains dan teknologi yang sesuai dengan perkembangan bisnis dan industri, atau kurikulum itu dikembangkan denggri memberi peluang bagi siswa untuk mengartikulasikan diri sehingga, mampu menjadi dirinya sendiri. Inilah pokok-pokok landasan teoritik filosofis yang hendak dikemukakan Unruh dan Willes-Bondi melalui berbagai aliran filsafat yang mereka kutip. Landasan teoretik filosofis tersebut memang diperlukan untuk menentukan kebijakan arah kurikulum sekolah, dan biasanya landasan filsafat tersebut menjadi nilai substantif, cenderung eternal, dan tidak dikritik atau dievaluasi setiap saat karena akan memiliki ciri-ciri konstan. Berbeda dengan permintaan pasar umpamanya, atau permintaan user dan stakeholder yang akselarasi perubahannya bisa lebih cepat. Oleh sebab itu, variabel-variabel tersebut biasa menjadi variabel. inti yang, dianalisis dalam aktivitas rutin evaluasi dan pengembangan kurikulum. Aliran-aliran filsafat yang berkembang dalam wacana pendidikan ini bisa dijadikan titik tolak dalam pengembangan kurikulum., apakah berpijak pada realisme, eksperimentalisme, eksistensialisme atau mengkombinasikan beberapa aliran dalam satu konsep yang dapat menginspirasi penyusunan program kurikulum sebagai aliran konvergensi. kebijakan tersebut diperlukan tidak hanya untuk penyusunan kompetensi, indikator kompetensi dan. sekwensi materi pelajaran, tapi juga selanjutnya untuk pengembangan kebijakan dalam proses pembelajaran, apakah pengembangan strategi, penyiapan alat maupun berbagai penugasan dalam proses pembelajaran siswa. Kurikulum memang merupakan. jantungnya pendidikan, dengan kurikulumlah sekolah dapat menggambarkan dan merumuskan kualifikasi dan kompetensi outcome dari program pendidikannya, dan dengan kurikulum pulalah, sekolah merancang upaya-upaya untuk mencapai kompetensi tersebut (Wiles, 1989: 13). Kurikulum. merupakan salah satu yang dijual sekolah pada pelanggannya, semakin baik kurikulum yang dirancang sekolah, maka akan semakin tinggi daya tarik sekolah tersebut bagi masyarakat. Kemudian. kurikulum. pulalah yang menjadi salah satu quality assurance dari sekolah, dan dikontrol dengan efektif oleh guru dengan kepala sekolahnya, Sehingga bisa mencapai harapan-harapan sebagaimana dikehendaki dan dirumuskan bersama antara manajemen sekolah, stakeholder serta unsur-unsur masyarakat lain yang memberikan dukungan pada sekolah tersebut. B. KURIKULUM BERBASIS KOMPETENSI, APA, MENGAPA, DAN BAGAIMANA Bergulirnya UU No. 22 tahun 1999 membawa perubahan banyak pada kebijakan berbagai sektor pembangunan, dan salah satunya adalah sektor pendidikan. yang menjadi bagian dari sektor-sektor yang diotonomisasikan pada daerah. Kajian dan pembahasan tentang otonomisasi sektor pendidikan
kemudian memunculkan sebuah paradigma baru, karena. jika pengalihan otoritas ppmerintah pusat pada daerah, maka pemerintah daerah akan menjadi kekuatan birokrasi baru yang membelenggu dinamika serta kinerja para pelaksanaan dan pengelola pendidikan di tingkat sekolah. Oleh sebab itu, kebijakan yang cukup, cerdas dan kini telah bergulir di daerah-daerah dalam rangka implementasi otonomi dalam, pengelolaan Pendidikan adalah, menugaskan pemerintah daerah untuk memfasilitasi program perluasan serta pengembangan dan peningkatan kualitas pendidikan, sementara berbagai kebijakan akademisnya, baik dimensi pengembangan kurikulum. maupun pengelolaan berbegai aspek operasional. pendidikan, menjadi tugas dari setiap unit ssekolah. Dengan demikian, otonomi pendidikan, pada aspek-aspek, akademik, inisiasi pengembangan networking horizontal, serta peningkatan kinerja tenaga kependidikan dan layanan administrasi pendidikan, berada pada tingkat sekolah yang difasilitasi oleh pemerintah daerah. Semangat otonomisasi sektor pendidikan, sebagaimana telah dikemukakan di atas, didasari oleh kegagalan sentralisasi hanya menimbulkan formalisme dalam pendidikan,yang kurang menghargai pluralitas, dan kebenaran hanya ada pada pemerintah pusat, top down dan telah menimbulkan arogansi sekolah negeri. terhadap, sekolah swasta, sementara kualitas proses dan hasil pendidikan tidak terdongkrak dan tidak terangkat (Rahim, 2003), bahkan dengan ketatnya kualifikasi kelulusan sesuai standar nasional yang telah dirumuskan dan ditetatpkan oleh Departemen Pendidikan Nasional, serta indikator kineja guru pada pencapaian target kurikuler, akhirnya ijazah itu diberikan. kepada setiap siswa yang telah menamatkan belajarnya di setiap jenis dan jenjang pendidikan, dan kelulusan menjadi tidak penting, karena kalau sudah selesai, kendati rata-rata nilainya 2,5 tetap diberi ijazah. Kebijakan inilah yang kemudian menjadi salah satu. faktor yang menurunkan posisi Indeks SDM Indonesia, yang secara kualitatif memang tidak kompetitif, baik karena kemampuan ilmu dan keterampilannya, maupun basis, pengetahuan kultur dan kemampuan komunikasi globalnya. Kini sedang terus ditingkatkan dengan penetapan indeks angka kelulusan ujian akhir nasional, yang setiap tahun. terus ditingkatkan standar minimalnya. Kebijakan sentralisasi sektor pendidikan, memang secara teoritik memudahkan untuk melakukan kontrol terutama pencapaian standar mutu. yang diharapkan. Akan tetapi pada kenyataannya, etos guru dalam. mengajar tidak semuanya sesuai dengan harapan, karena mereka mengejar pencapaian target kurikulum, bukan penguasaan siswa terhadap materi pelajaran. Demikian pula dengan relevansi program pendidikan dengan kebutuhan. dasar. Oleh sebab itu, paradigma baru. dalam reformasi pendidikan adalah otonomi pada tingkat sekolah. Kepala sekolah bersama para guru diberi kewenangan yang besar untuk mengembangkan berbagai kebijakan dalam upaya preningkatan
kualitas hasil. belajar. End-product pendidikan adalah para siswa yang memiliki kompetensi sesuai harapan ideal yang diminta stakeholder, pengguna lulusan serta pemerintah sendiri. Untuk kepentingan itulah, pemerintah menggulirkan berbagai paket kebijakan pendidikan yang secara keseluruhan merupakan rangkaian utuh, simbiotik dan memiliki keterkaitan sistemik antara satu. dengan lainnya. Salah satu. kebijakan tersebut adalah Kurikutum Berbasis Kompetensi (KBK), yang pada hakikatnya merupakan penguatan terhadap kebijakan kurikulum. sebelumnya yang berbasis tujuan dan juga menekankan pencapaian. kompetensi-kompetensi dengan rumusan-rumusan tujuan instruksional atau pembelajaran pada setiap pokok bahasan, tujuan kurikuler untuk setiap mata pelajaran dan rumpun. mata pelajaran, serta tujuan institutional untuk setiap jenis; dan jenjang sekolah. 1. APA ITU KURIKULUM BERBASIS KOMPETENSI Kalau Doll mendefinisikan. bahwa kurikulum itu adalah seluruh pengalaman yang ditawarkan pada peserta didik di bawah arahan dan bimbingan sekolah, lalu apakah KBK juga mempunyai definisi yang sama, karena intinya juga kurikulum., hanya aksentuasinya saja yang berbeda. Siskandar kepala pusat kurikulum Depdiknas mengemukakan, bahwa kurikulum berbasis kompetensi tiada lain adalah pengembangan kurikulum yang bertitik tolak dari kompetensi yang seharusnya dimiliki siswa setelah menyelesaikan pendidikan, yang meliputi pengetahuan, keterampilan, nilai dan. pola berpikir serta bertindak sebagai refleksi dari pemahaman. dan pengbayatan dari apa yang telah dipelajari siswa (Siskandar, 2003). Demikian pula dengan Abdurrahman Saleh, dia menyatakan bahwa kurikulum berbasis kompetensi adalah perangkat standar program pendidikan yang dapat mengantarkan siswa untuk menjadi kompeten dalam berbagai bidang kehidupan yang dipelajarinya (Shalek 2003). Dengan demikian fokus perhatian KBK adalah pada kurikulum dalam. aspek penyusunan rangkaian course outline yang akan diajarkan pada siswa dengan merumuskan secara detail kompetensi-kompetensi yang akan diberikan sesuai kebutuhan yang diminta oleh client, user, stakeholder serta arah dan kebijakan, pembinaan dan pengembangan SDM yang dibutuhkan oleh bangsa dan negara, yang memiliki cita-cita peningkatan produktivitas dan daya saing baik secara regional maupun global. Berbagai mata pelajaran yang tidak memiliki relevansi dengan kebutuban-kebutuhan kompetensi tersebut, bisa ditinggalkan dan diabaikan dalam penyusunan struktur kurikulum dalam kerangka KBK ini, dengan kebijakan semakin ramping sebuah kurikulum, semakin efektif untuk meningkatkan kemampuan siswa.
Bertitik tolak dari pandangan tersebut, maka pembahasan KBK terbatas pada pertimbangan penyusunan struktur kurikulum serta silabus dari setiap, subjek mata pelajaran, termasuk berbagai kegiatan pembelajaran yang merupakan implikasi dari penekanan KBK tersebut. Dengan demikian, kompetensi merupakan pusat perhatian dalam perarcangan kurikulum, berbagai kebijakan untuk perancangan berbagai aktivitas belajar lainnya, mengikuti arah dan tujuan dari pembinaan kompetensi-kompetensi yang diharapkan. Lalu apa sebenarnya kompetesi itu. Siskandar rnengemukakan, bahwa kompetensi itu adalah pengetahuan, keterampilan dan nilai-nilai yang direfleksikan dalam. kebiasaan berpikir dan bertindak (Siskandar, 2003). Demikian pula dengan rumusan yang dikemukakan dalam buku standar kurikulum nasional, pendidikan keagamaan, bahwa-kompetensi adalah pengetahuan, keterampilan, dan nilai-nilai yang direfleksi kan dalam kebiasaan berpikir dan bertindak. Dan kebiasaan-kebiasaan itu harus mampu dilaksanakan secara konsisten dan terus-menerus, serta mampu untuk melakukan penyesuaian-penyesuaian dengan berbagai perubahan yang terjadi dalam kehidupan, baik profesi, keahlian, maupun lainnya (Mapenda, 2003: 7). Kemudian, perumusan kompetensi dalam kurikulum juga harus memenuhi beberapa aspek penting (Mapenda, 2,003:7), yaitu: 1. Kompetensi tersebut harus dapat didefinisikan secara jelas dalam standar yang dapat dicapai serta performance yang terukur. 2. Kompetensi itu harus memiliki konteks, apakah konteks profesionalisme yang memerlukan keahlian-keahlian tertentu, keterampilan yang digunakan dalam lapangan pekerjaan, kompetensi komunikasi global, atau kompetensi akademik untuk studi lanjut. 3. Kompetensi merupakan learning outcome yang mendeskripsikan apa yang dapat dibuat seseorang setelah melalui pembelajaran. 4. Terkait dengan itu, rraka kompetensi juga harus mendeskripsikan proses pernbelajaran yang harus dilalui siswa untuk mencapai kompetensi harapan. Secara umum kompetensi vang harus dimiliki dan atau dapat dikembangkan untuk para siswa, serta warga belajar lainnya bisa diklasifikasi menjadi empat, yakni kompetensi tamatan, kompetensi mata pelajaran,kompetensi rumpun mata pelajaran, dan kompetensi lintas kurikulum. Kompetensi tamatan adalah pengetahuan, keterampilan, sikap dan nilai-nilai yang direfleksikan dalam kebiasaan berpikir dan bertindak setelah siswa menyelesaikan belajar pada suatu jenjang tertentu. Sedangkan kompetensi mata pelajaran, adalah rumusan kompetensi siswa dalam berpikir, bersikap, dan
bertindak
setelah
menyelesaikan
mata
pelajaran
tertentu
(Yulaelawati,
2003).
Kompetensi-kompetensi yang dihasilkan dari setiap mata pelajaran itu akan menghasilkan kompetensi rumpun mata pelajaran, dan kumpulan kompetensi rumpun mata pelajarant, akan menghasilkan kompetensi lulusan, dan kompetensi yang dapat dilatihkan untuk beberapa rumpun mata pelajaran, lazim disebut dengan kompetensi lintas kurikulum (Karhami, 2003). Dalam perspektif praksis, perumusan berbagai kompetensi tersebut bisa dilakukan dalam batas wilayah kewenangan, umpamanya kompetensi tamatan harus dirumuskan oleh kepala sekolah bersama-sama komite sekolah, stakeholder dan shareholder dari sekolah tersebut, dan amat terkait dengan pengembangan benchmark dari sekolah. itu, serta kebijakan-kebijakan pemerintah pusat dan pemerintah daerah yang telah merumuskan kompetensi dasar untuk setiap jenjang dan jenis pendidikan. Sedangkan kompetensi mata pelajaran. dirumuskan oleh guru yang bersangkutan setelah. menelaah kompetensi dasar yang ditetapkan oleh pengelola pendidikan di tingkat pusat dan daerah, serta disesuaikan dengan kondisi siswa dan benchmark sekolah. Sementara kompetensi rumpun mata pelajaran dirumuskan oleh konsorsium mata pelajaran, dan kompetensi lintas kurikulum dirumuskan bersama-sama antar berbagai konsorsium. Bila kompetensi-kompetensi itu dapat diidentifikasi dan didefinisikan dengan baik, maka sekolah akan mengajarkan mata pelajaran yang benar-benar relevan dengan kebutuhan. dinamika vertikal, diagonal, dan horizontal pengguna lulusan, serta disesuaikan pula dengan kondisi siswa dengan penguatan implementasi paradigma mastery learning sebagai pasangan seharusya dari kurikulum berbasis kompetensi. 2. MENGAPA KURIKULUM BERBASIS KOMPETENSI Setiap kurikulum disusun dengan end-product berbagai kompetensi, termasuk kurikulum 1994, dan kurikulum-kurikulum sebelumnya, hanya saja, pada kurikulum-kurikulum tersebut rumusan kompetensi diformat dalam bentuk rumusan tujuan, yang disusun secara hirarkis dari tujuan nasional, institusional, tujuan kurikuler, tujuan pembelajaran umum dan khusus. Kompetensi terlihat dalam rumusan tujuan pembelajaran khusus yang akan terakumulasi menjadi tujuan pembelajaran umum, dan seterusnya sampai tujuan nasional. Rangkaian isi tujuan pada masing-masing tahap itu berisi berbagai rumusan kompetensi yang diharapkan sebagai hasil pembelajaran. Kendati demikian, ada beberapa perbedaan distingtif antara kurikulum 94 dengan kurikalum berbasis kompetensi, yaitu: 1. Kurikulum 94 disusun oleh pemerintah pusat melalui departemen pendidikan nasional (dulu Departemen Pendidikan dan Kebudayaan), dan daerah hanya diberi kewenangan menyusun
kurikulum muatan. lokal maksimal 20 %. Sedangkan dalam KBK, pemerintah hanya menyusun kompetensi standar, sementara elaborasi sylabus-nya diserahkan pada daerah, yang selanjutnya diserahkan pada sekolah dengan para gurunya. Dan pada KBK sekolah dengan para gurunya juga memiliki otoritas, tidak hanya menyusun sekwensi kurikulum tersebut yang lebih sistematis dan sistemik, namun mereka juga memiliki otoritas untuk memberikan penguatan-penguatan content of learning, baik atas dasar pertimbangan penguasaan siswa, maupun dalam upay a mengejar benchmark sekolahnya. 2. Kurikulum 94 pendekatan pembelajaran dan pengembangan kurikulum berbasis tujuan dan content, sedangkan pada KBK pengembangan kurikulum berbasis pada. pengembangan kompetensi (Karhami, 2003: 1). Aspek-aspek lain yang juga menjadi ciri KBK dibandingkan dengan kuaulum 94 adalah: 1. Sebagai konsekuensi perumusan kurikulum oleh pemerintah pusat, maka guru harus mampu memahami strukturnya dengan baik, serta merancang penyampaiannya pada siswa. Untuk itu semua, guru harus melakukan analisis materi pelajaran (AMP) untuk melakukan penyesuaian metode, alat dan waktu yang diperlukan untuk melakukan proses pembelajaran, serta diikuti dengan penyusunan Program Satuan Pelajaran (PSP) dan Rencana Pembelajaran (RP). Sedangkan dalam kurikulum berbasis kompetensi, guru harus merancang silabus yang relevan dengan kompetensi yang diharapkan, serta menetapkan strategi pembelajaran dan penugasan-penugasan pada siswa. 2. Dalam proses pembelajaran, kurikulum 94 juga pada hakikatnya menuntut siswa lebih aktif untuk melakukan proses pembelajaran dan menjadikan sekolah sebagai center for lecarning bukan centerfor teaching. Akan tetapi, implementasi active learning yang semata bertumpu pada lembar kerja siswa (LKS ), proses pembelajaran menjadi sangat monoton dan kurang menyenangkan, serta kurang memberi ruang bagi siswa untuk rnengartikulasikan diri sehingga memperoleh pengakuan lingkungannya. Oleh sebab itu, dalam KBK active learning akan menjadi aksentuasi dengan perluasan pada model cooperative dan colaborative leaming yang perancangan strategi serta sistem penilaiannya dibicarakan dengan siswa yang dituangkan dalam bentuk kontrak belajar, sehingga proses pembe!ajaran berjalan secara demokratis, dan menjangkau seluruh ranah yang diharapkan dalam proses pembelajaran. 3. Demikian Pula dengan penilaian; pada periode keberlakuan kurikrulum 94, penilaian lebih menekankan aspek kognitif dengan akumulasi antara nilai formatif, sumatif, sub-sumatif, serta prosedur tes lainnya. Sementara pada kurikulum berbasis kompetensi penilaian harus dilakukan secara variatif dan holistik tergantung kompetensi yang harus dicapainya. Untuk kompetensi
kognitif penilaian kognitif dengan mengagunakan instrumen tes, sedangkan kompetensi afektif harus diukur dengan instrumen pengukuran sikap yang diassess dengan instrumen non-tes, sementara adaptasi pengetahuan pada kebiasaan dinilai dengan instrumen-instrumen observasi, portofolio, serta model penilaian lainnya Sebenarnya, kurikuIum berbasis tujuan juga mengkonsepsionalisasikan berbagai prosedur yang hendak dikembangkan dalam KBK, hanya saja, kurikulum 94 disusun dalam suasana kebijakan politik pendidikan yang masih sentralistik dan kurang melibatkan masyarakat akar rumput. Sementara. dalam KBK, masyarakat menjadi mitra. dan bersama-sama dengan pemerintah sebagai stakeholder dalam pendidikan (sekolah). Mereka memiliki posisi yang sama kuatnya dengan pemerintah dalam merancang perencanaan kurikulum, khususnya kurikulum. operasional di sekolah masing-masing. Pelibatan itu, dihipotesiskan sebagai sebuah langkah untuk mendongkrak kualitas hasil pendidikan, dengan melibatkan masyarakat secara luas, baik dalam perumusan program-program sekolah secara umum, kurikulum, maupun dalam evaluasinya, sehingga sekolah terus memperoleh kontrol yang kuat dari masyarakatnya sendiri. Pelibatan masyarakat dalam proses perancangan kurikulum, dan memberi kepercayaan pada guru yang sangat besar dalam perumusan kurikulum operasional tersebut, menjadi sangat signifikan untuk peningkatan kualitas proses pembelajaran menuju pencapaian kuafitas hasil belajar yang optimal, karena sekolah akan memperoleh masukan obyektif dari pelanggannya serta dari para pemakainya, dan kemudian distrukturisasi olel, mereka yang memiliki pengalaman lapangan dengan baik, sehingga susunan bahan ajar akan terstruktur dengan baik sesuai dengan perkembangan psikologis siswa yang didukung oleh pengalaman lapangan Para guru berinteraksi dengan para siswanya. Bersamaan dengan itu, guru juga harus benar-benar memiliki kompetensi untuk melaksanakan tugas-tugas keguruannya itu., termasuk dalam menyelenggarakan tes pengukuran, baik dalam konteks entry level assessment untuk mengukur input behavior dalam rangka penetapan starting point silabus yang akan disampaikan pada siswa untuk semester yang akan berjalan, serta melakukan evaluasi hasil belajar, untuk mengukur pencapaian penguasaan siswa terhadap bahan ajar yang mereka pelajari, serta berbagai perubahan sikap dan perilaku sebagai dampak dari perubahan pengetahuan dan pengalamannya itu. Terkait dengan itu, pemerintah, khususnya pemerintah daerah harus bisa merancang program pembinaan SDM guru secara terencana sesuai kebutuhan nyata di lapangan. Guru tidak bisa. menyalahkan pemerintah pusat, atau pemerintah daerah, jika Ada kelemahan kurikulum atau hasil belajar siswa, karena semuanya itu merupakan tanggung jawab guru di lapangan. Pemerintah sebagai penanggung jawab pembinaan SDM bangsa hanya menyampaikan kompetensi standar yang harus
dicapai setiap lulusan sekolah di bangsa ini, yang kemudian berusaha memfasilitasi berbagai kegiatan yangdapat memenuhi harapan kompetensi yang diidealkannya itu.
3. KERANGKA DASAR KURIKULUM BERBASIS KOMPETENSI Dengan mengadaptasi Pernyataan-pernyataan Yulaelawati dan Karhami sebagaimana. telah disinggung di muka, bahwa struktur kompetensi yang diharapkan.adalah, setiap siswa memiliki kompetensi lulusan dari jenjang dan jenis sekolah tertentu, yang kompetensi lulusan tersebut diperoleh dengan memiliki kompetensi berbagai rumpun bidang studi yang didukung oleh kompetensi bidang studi. Kemudian, dengan memperhatikan perbedaan signifikan dan prinsipil dalam KBK yang memberikan. aksentuasi pada kompetensi sebagai substitusi dari perumusan tujuan dalam kurikulum sebelumnya, serta pelibatan client dan stakeholder dalam. perumusan berbagai kompetensi. Kemudian diilhami pula dengan distribusi kewenangan yang ditawarkan Wiles dan Bondi, bahwa pemerintah pusat hanya memberi guideline terhadap model dan pola penyusunan kurikulum, pemerintah daerah memfasilitasi, sementara kurikulumnya sendiri disusun oleh sekolah, dan pada level terakhir sebagai kurikulum operasional disusun oleh guru (Wiles, 1989: 17), maka bayangan struktur sebagai kerangka dasar KBK adalah sebagai berikut.
GAMBAR 4 STRUKTUR KOMPETENSI DALAM KBK (ADAPTASI DARI YULAELAWATI DAN KARHAMI, 2003)
KOMPETENSI LULUSAN
KMP I
KMP II
KMP I
KMP II
KMP I
KMP II
Pada level pertama (1) kompetensi lulusan, yang dalam term Yulaelawati disebut sebagai kurikulum. dan hasil belajar, disusun dengan input gagasan, pandangan serta harapan dari pemerintah baik sebagai shareholder, stakeholder, maupun. User dari pendidikan, yang harus dilengkapi dengan permintaan client yaitu orang tua siswa, serta user di luar pemerintah, yang meliputi unsur-unsur dunia usaha dan studi lanjut, yakni institusi pendidikan pada jenjang berikutnya, tempat para lulusan akan melanjutkan studinya. Dengan pelibatan mereka, maka gagasan-gagasan kurikulum akan semakin komprehensif dan. memiliki keterwakilan ide dan. permintaan, sehingga para pelanggan. tersebut merasa terwakili aspirasinya. Akumulasi berbagai ide, gagasan, pandangan dan permintan tersebut dilakukan di tingkat sekolah, dipimpin oleh kepala sekolah yang diikuti oleh semua unsur. kemudian pada level kedua (11) penyusunan kurikulum sudah memerlukan pengetahuan. teknis, karena sudah menggambarkan kompetensi secara elaboratif yang diinspirasi dari kompetensi lulusan, serta analisis keperluan alat, strategi, dan Oleh bahkan waktu untuk menjangkau kompetensi harapan. Oleh sebab itu, pada level ini, kurikulum disusun dan dikembangkan oleh kelompok guru sejenis. Pada level ketiga (111) kompetensi mata pelajaran dilakukan oleh masing-masing guru yang tidak sekadar menurunkan berbagai kompetensi dari rumpun mata pelajaran, tapi juga disesuaikan dengan kompetensi input. Oleh sebab itu, ada baiknya sebelum kurikulum operasional yang akan melahirkan silabus itu disusun dan dikembangkan oleh guru, dia harus melakukan pengukuran kompetensi siswanya terlebih dahulu, dan melakukan restrukturisasi bahan ajar secara sekwentif sesuai kebutuhan input. Kemudian mereka juga harus sudah merencanakan strategi yang akan digunakan serta alat-alat dan waktu. yang dibutuhkan, penggunaan strategi yang fleksibel dan dibicarakan dengan sering melibatkan siswa dalam penetapan kegiatan pembelajaran, yang dikembangkan di atas prinsip belajar tuntas, dan tidak membiarkan ada anak yang tertinggal. Kerangka kerja inti dalam penyusunan kurikulum berbasis kompetensi pada level ketiga ini dikembangkan dengan memuat perencanaan pengembangan kompetensi siswa berupa performance dari learning outcome yang teridentifikasi dan dapat diukur, kemudian Penilaian berbasis kelas, yang memuat prinsip, sasaran dan pelaksanaan penilaian secara. terpadu dengan kegiatan pembelajaran.
Kegiatan pembelajaran yang memuat gagasan-gagasan pokok tentang pembelajaran untuk mencapai kompetensi, serta pengelolaan kurikulum berbasis sekolah (Yulaelawati,.2003), yakni kurikulum yang disusun sesuai kebutuhan dan permintaan stakehokler sekolah serta realitas siswa sebagai input sekolah yang bersangkutan. Kerangka kerja pada level ketiga yang dikembangkan oleh guru mata pelajaran didasarkan pada konsep kurikulum dan hasil belajar sebagai rumusan kompetensi lulusan yang kemudian dielaborasi dalam bentuk uraian tentang kompetensi rumpun mata pelajaran. Guru menderivasi kompetensi-kompetensi tersebut, lalu mengukur input siswa yang akan mereka ajar, dan berbasis penilaian kelas itulah, strukturisasi kurikulum operasional dan silabusnya dikembangkan guru, yang harus disusun dalam prinsip otonomi, fleksibilitas dalam penggunaan waktu, dan demokratis dalam pengembangan strategi serta berbagai penugasan yang terkait dengan peningkatan kompetensi siswa-siswanya. Pola hubungan kerja antara satu aspek dengan lainnya dalam pengembangan program pembelajaran dalam kelas dalam konteks KBK adalah sebagaimana terlihat dalam gambar berikut ini. GAMBAR 5 POLA HUBUNGAN KERJA UNSUR-UNSUR PENDUKUNG KURIKULUM BERBASIS KOMPETENSI ANTARA SATU DENGAN LAINNYA.
KURIKULUM DAN HASIL BELAJAR
KEGIATAN PEMBELAJARAN
Dalam kerangka KBK,otoritas penyusunan kurikulum diberikan seluas-luasnya pada sekolah melalui para gurunya, dengan rnengacu pada kompetensi standar yang telah disusun oleh pemerintah melalui departemen, pendidikan nasional. Otoritas standarisasi kurikuler diberikan pada pemerintah tersebut dengan pertimbangan masih perlunya rekayasa perubahan dan kemajuan dari pemerintah melalui pembinaan sumber daya manusianya lewat jalur pendidikan. Akan tetapi, kapasitas pemerintah pusat juga amat terbatas untuk mempertimbangkan berbagai variabel yang mempengaruhi kualitas proses dan hasil belajar. Oleh sebab itu, otoritas penyusunan sekwensi silabus dari kompetensi standar tersebut sepenuhnya dipercayakan pada sekolah, bahkan para guru boleh menambah scope materi pelajaran jika diperjukan pengulangan dan penguatan, serta penambahan keunggulan untuk penguatan benchmark sekolahnya Sejalan dengan itu, KBK dimulai dengan penyusunan sekwensi silabus oleh guru dan diawah perumusan berbagai kompetensi harapan yang harus dicapai dari proses; pembelajaran siswa. Atas dasar kompetensi-kompetensi itulah disusun berbagai topik bahasan, strategi pembelajaran serta berbagai penugasan yang akan diberikan pada siswa, dan juga prosedur evaluasi dan penilaian prestasi hasil belajamya, dengan paradigma menggeser penekanan terhadap isi ke kompetensi, yakni bagaimana siswa harus berpikir, belajar, bersikap dan melakukan. Oleh sebab itu, guru harus mengetahui apa yang harus dicapai dan sejauh mana efektivitas belajar telah dicapai. Sedangkan penilaian berbasis kelas adalah penilaian yang dilakukan guru terhadap kemajuan siswa dalam mencapai kompetensi yang diharapkan dan telah ditetapkan dalam kurikulum. Penilaian tersebut perlu dilakukan untuk memastikan bahwa siswa telah mengalami banyak perubahan sebagai hasil dari proses pembelajarannya (Yulaelawati, 2003). Penilaian dilakukan secara individual dengan signifikansi sebagai berikut: 1. Untuk mendiagnosis kekuatan dan kelemahan dari masing-masing siswa. 2. Untuk memonitor kemajuan siswa 3. Untuk memberikan kualifikasi dan nilai kemajuan prestasi siswa. 4. Menilai efektivitas proses pembelajaran. Tidak hanya itu, penilaian berbaisis kelas juga diperlukan untuk mengetahui posisi input dalam setiap proses pernbelajaran, sehingga diketahui siapa yang harus memperoleh pemulihan dan siapa yang perlu memperoleh pengayaan. Dengan demikian, setiap perencanaan pembelajaran harus senantiasa didasarkan pada pencapaian hasil belajar. jika hasil penilaian itu menunjukkan bahwa para
siswa belum menguasai bahan ajar, yakni indeks penguasaan mereka belum mencapai minimal 80% atau 70% atau batas penguasaan minimal dalam kerangka mastery learning yang telah disepakati bersama, maka aktivitas belajar berikutnya adalah pemulihan. Sedangkan jika para siswa sudah menguasai dengan baik, yakni penguasaan dalam. batas indeks di atas, siswa cukup diberi pengayaan, dan kemudian bisa melanjutkan pada unit pembelajaran berikutnya. Pola ini akan terlihat dalam gambar pada pembahasan berikut tentang kurikulum berbasis kompetensi dan prinsip, mastery learning. Kegiatan pembelajaran harus berpusat pada siswa, berlangsung dalam suasana yang mendidik, menyenangkan dan menantang dengan berbasis pada prinsip paedagogis dan andragogis. Dengan pendekatan tersebut siswa diharapkan secara aktif dapat berkembang menjadi pribadi yang berwatak matang dan utuh serta memiliki kompetensi yang selaras dengan perkembangan kejiwaannya (Siskandar, 2003). Suasana belajar harus dirancang sedemikian rupa sehingga anak mampu menggunakan seluruh. potensinya secara optimal, buat suasana yang menyenangkan, dan beri kesempatan, Para siswa untuk memperbanyak belajar mengembangkan pengetahuan, sikap dan pengalamannya, di bawah bimbingan serta arahan guru. Kemudian, pengelolaan kurikulum harus berbasis sekolah.Otoritas pengembangan kurikulum bukan pada pemerhitah pusat atau pemerintah daerah, tapi sekolah. pemerintah daerah hanya bertugas memfasilitasi perluasan dan pengembangan sekolah. Keterlibatan substantif dalam pelaksanaan proses pendidikan hanyalah pada eskalasi kompetensi standar serta berbagai masukan dari dewan pendidikan daerah, pembinaan SDK serta supervising melalui tenaga supervisor yang diangkat dari kalangan tenaga guru itu sendiri. Sedangkan penyusunan design kurikulum operasional dan silabus untuk setiap mata pelajaran, menjadi otoritas sekolah dengan para gurunya. Oleh sebab itu, guru melalui kepala sekolahnya, harus bertanya pada stakeholder tentang apa harapan mereka terhadap sekolahnya, dan bertanya juga pada user tentang kualitas end-product dari SDM yang akan dihasilkan dari proses pendidikan tersebut. Dengan demikian dalam KBK akan terjadi perubahan dalam pola pemberdayaan tenaga kependidikan, baik dalam konteks menyusun sekwensi dan scope sylabus, menyusun kebijakan untuk pemantapan pelaksanaan mastery learning, karena. kunkulum. berbasis kompetensi dikembangkan untuk peningkatan pencapaian konsep dan gagasan belajar tuntas, yakni belajar sampai semua pembelajar itu. memahami secara keseluruhan. bahan-bahan yang mereka ihh untuk dipelari. Kemudian, kurikulum berbasis kompetensi memiliki hubungan yang kuat dengan perubahan pola penugasan guru dalaw. pelaksanaan. tugas dari mengajar untuk mengejar target pencapaian. kurikulum. pada pencapaian target penguasaan. Perubahan tersebut berimplikasi pada soal
pengaturan waktu. yang harus dirancang secara fleksibel, karena ada peluang dan tuntutan bagi guru untuk melakukan reteaching bagi siswa-siswa yang belum mencapai target penguasaan kompetensi bahan ajar sesuai rencana, sebagai program penguatan. Sementara mereka yang telah menguasai dengan baik, harus menunggu temannya mencapai penguasaan ideal dengan melakukan berbagai pengayaan kompetensi, baik dalam. bidang yang sama, atau bidang lain yang relevan sehingga terjadi pengayaan yang positif bagi siswa sendiri, atau menyelesaikan tugas-tugas individual siswa, atau., diberdayakan oleh guru sendiri untuk melakukan peer teaching dalam. bentuk tutorial sebaya, sehingga. mereka tidak dirugikan dengan proses penungguan tersebut, tapi ada proses pengayaan kompetensi. Itulah kerangka dasar pelaksanaan kurikulum berbasis kompetensi, dengan pemberian otoritas yang sangat besar pada sekolah untuk perancangan, pelaksanaan, evaluasi dan pengelolaannya. Oleh sebab itu, setiap jenjang dari setiap satuan pendidikan, harus melakukan komunikasi secara horizontal dengan komite sekolah atau majelis madrasah, serta pasar tenaga. kerja untuk jenjang SLTA yang akan melahirkan lulusan siap kerja, serta komunikasi vertikal dan diagonal untuk kepentingan studi lanjut. 4. KURIKULUM BERBASIS KOMPETESI DAN BELAJAR TUNTAS Belajar tuntas adalah sebuah pola pembelajaran yang mengharuskan pencapaian penguasaan. siswa secara tuntas, terhadap setiap unit pembahasan dengan. pemberian tes formatif pada setiap pembelajaran baik sebelum maupun. sesudahnya untuk mengukur tingkat penguasaan siswa terhadap bahan ajar yang telah mereka pelajari, serta. penguasaan. minimal 80% dari isi kurikulum. (Ellis, 1993:108). Belajar tuntas ada dua. model, yaitu. model individual dan model kelompok. Model individual memperbolehkan siswa untuk melakukan proses pembelajaran dalam rate-nya, tanpa terganggu oleh. yang lain, dan mengikuti tes untuk setiap unit bahasan yang telah dia pelajari dan terus maju sesuai kemampuannya dengan bantuan dan arahan guru, atau mengulang proses pembelajaran pada unit yang sama. sampai mencapai penguasaan minimal 80%. Angka 80% adalah angka yang diterapkan di sakolah-sekolah di Amerika, sementara negara-negara lain ada yang menetapkan angka 70%, dan ada juga yang 65 %. Semuanya tergantung kesepakatan bersama tentang target idealisasi standar kelulusan tersebut, yang diputuskan oleh mereka yang memiliki otoritas, apakah melalui pemerintah pusat atau daerah, atau. kesepakatan yang dibuat di sekolah antara manajemen. sekolah dengan para. stakeholder dan user-nya, walaupun harus dibatasi jangan sampai 65%.
Sedangkan belajar tuntas model kelompok adalah proses pembelajaran yang dilakukan berkelompok oleh siswa yang berada dalam taraf kemampuan yang sama, dan mereka tetap memiliki peluang untuk terus melakukan mutasi kelompok secara, dinamis, sampai mencapai skor penguasaan bahan ajar minimal 80%, atau. batas minimal yang telah ditetapkan sebagai hasil kesepakatan. Kegiatan dalam kelompok bisa berbentuk cooperative learning (b~lajar bersama dan saling membantu satu sama lain) atau. peer teaching (pengajaran sebaya, yakni satu di ,antara mereka melakukan tugas pengajaran sebagaimana gurunya). Sebagaimana. dalam model individual, dalam. belajar tuntas model kelompok juga ditetapkan tujuan atau batas-batas kompetensi yang harus tereapai, lalu dilakukan tes formatif, lalu penguatan jika perlu, atau terus pengayaan jika telah mencapai penguasaan, penuh, yang terakhir dilakukan tes sumatif untuk semua pokok bahasian dari sebuah mata pelajaran. Akhir sumatif harus memiliki indeks penguasaan minimal sesuai ketetapan yang disepakati. Kemudian dari itu, dalam konteks pelaksanaan belajar tuntas model kelompok, ada beberapa prinsip harus diperhatikan oleh setiap anggota, dan komponen yang harus dilalui dalam. proses pembelajaran sampai mencapai kompetensi yang diharapkan, yaitu (Ellis, 1993:109): 1. Prinsip-prinsip Belajar tuntas model kelompok: a. Semua siswa memiliki kemampuan sama dalam belajar b. Bahan pelajaran yang dipelajari dapat di- breakdown pada sub-sub pokok bahasan, unit-unit materi pelajaran yang tersusun dan sistematis. c. Proses pembelajarannya harus sekwensial, yakni berurutan sesuai urutan silabus. 2. Komponen-komponen Belajar Tuntas model kelompok a. Perencanaan, yakni rangkaian bahan ajar atau berbagai keterampilan yang harus dipelajari, yang telah diurai dan dibagi-bagi secara sistematis pada unit-unit bahasan terkecil, yang memiliki keterkaitan satu sama lain dalam membentuk kriteria umum yang dikehendaki. Sebelum pernbelajaran dimulai, sebaiknya dilakukan pengukuran tingkat kemampuan kelompok, untuk menentukan titik awal mulai pembelajaran. b. Proses pembelajaran; yakni guru menggunakan strategi yang tepat untuk membelajarkan mereka, yang disesuaikan dengan sekwensi bahan ajar yang akan mereka pelajari. Dan untuk pengembangan proses pembelajaran guru harus mengarahkan mereka agar efektif c. Evaluasi formatif, yakni guru melakukan tes untuk setiap unit pembahasan yang telah mereka pelajari untuk mengetahui kesiapan mereka memasuki sekwensi kurikulum. berikutnya. atau
d. pengajaran kembali, yakni pemberian perlakuan belajar dalam unit-unit yang perlu memperoleh pemulihan dan Penguatan, dengan strategi dan penugasan, yang berbeda, serta dengan contoh-contoh yang berbeda. e. Evaluasi akhir, yakni evaluasi yang dilakukan setelah semua sekwensi unit-unit pembahasan telah terlalui, yang hasilnya digunakan sebagai indeks akhir hasil belajar, atau sebagai prerequisit untuk memasuki materi pelajaran lain. Rangkaian prosedur pelaksanaan pola belajar tuntas atau mastery learning adalah sebagaimana terlihat dalam gambar berikut ini. . GAMBAR 6 RANGKAIAN KEGiATAN MENUJU POLA BELAJAR TUNTAS DIKUTIP DARI YULAELAWATI (YULAELAWATI, 2003)
HASIL BELAJAR
PEMBELAJARAN
PENILAIAN
AKTIVITAS PENGAYAAN
AKTIVITAS PEMULIHAN
Pelaksanaan kurikulum berbasis kompetensi harus seiring dengan penetapan standar kelulusan dari sekolah yang mengacu pada kualifikasi belajar tuntas, yakni penguasaan minimal bahan ajar 80%, sebagaimana didefinisikan Ellis, atau sesuai dengan kebijakan yang telah diputuskan oleh otoritas sekolah. Implikasi belajar tuntas, akan ada siswa-siswa dalam kelas yang sama, dari grup belajar yang sama memperoleh indeks hasil tes yang berbeda dengan penguasaan di bawah standar minimal. Mereka yang belum. mencapai penguasaan tersebut, harus diberi pengajaran ulang, dengan strategi dan penugasan yang berbeda, serta contoh-contoh yang berbeda pula, sehingga mereka mengerti dan memahami pelajaran serta memperoleh kompetensi sesuai harapan Untuk pelaksanaan penguatan-penguatan tersebut, guru harus membicarakannya dengan kepala sokolah, dan kepala sekolah membicarakannya dengan komite sekolah, bukan dengan pemerintah daerah, karena sumber dana untuk menunjang program-program penguatan tersebut adalah dari masyarakat sendiri,, baik sebagai client sekolah, maupun sebagai donasi peminat dan pemerhati pendidikan. 5. BERBAGAI PENDEKATAN DALAM PENYUSUNAN KBK Dalam konteks penyusunan kurikulum, ada beberapa prinsip yang harus diperhatikan dalam konteks pengembangan kurikulum, (Dimyati, 1998:278), yaitu: 1. Relevansi; yakni bahwa upaya pengembangan atau perubahan tujuan, bahan ajar, proses pembelajaran serta evaluasi itu, sesuai dengan kebutuhan publik, baik dalam konteks pasar tenaga kerja, maupun kualifikasi ideal dari warga dan anggota masyarakat. 2. Kontinuitas; yakni bahwa perubahan dan pengembangan kurikulum itu harus dilakukan secara berkesinambungan, baik dari segi isi dan muatan maupun dari segi waktu dan periodisasi evaluasinya. Dari segi substansi, kurikulum harus berkesinambungan antara satu jenjang dengan yang lainnya, sehingga tidak terjadi replikasi. Sedangkan dari segi waktu, bahwa perubahan sosial itu selalu terjadi secara dinamis. Oleh sebab itu, kurikulum juga harus terus dievaluasi secara dinamis, agar mampu melakukan rekayasa perubahan-perubahan sosial. 3. Fleksibel; yakni bahwa pengembangan kurikulum harus mampu menjabarkan respon perubahan yang terus dinamis, dan mampu pula melakukan proyeksi-proyeksi ke masa depan. Sementara. itu, untuk pengembangan kurikulum ini, dalam prinsip KBK dikemukakan, dalam buku kebijakan pengembangan kurikulum madrasah, bahwa pengembangan kurikulum itu harus
dilakukan secara. komprehensif dengan memperhatikan berbagai pendekatan sebagai berikut (Mapenda, 2003). 1. Sistematis dan sistemik;yakni kurikulum itu harus dikembangkan secara sistematis, berkaitan antara satu topik dengan lainnya, dan kemunculan setiap topik memiliki logika dialektika yang kuat sehingga dapat diterima secara rasional,baik oleh stakeholder, user maupun shareholder dari pendidikan tersebut. 2. Kemitraan; yakni bahwa penyusunan kurikulum itu harus semaksimal mungkin melibatkan berbagai unsur yar, terkait dengan sekolah, stakeholder, user, shareholder, para pakar setempat, kalangan profesi dan lainnya. 3. Pengembangan; yakni bahwa kurikulum merupakan instrumen bagi, perubahan mendasar dalam mewujudkan tujuan pembangunan nasional. Oleh karena itu, pengembangan kurikulum dilakukan secara dinamis dan berorientasi pada produk yang mampu meningkatkan keunggulan. 4. Relevansi; yakni bahwa kurikulum itu harus relevan dengan kebutuhan pembangunan dan potensi daerah serta kebutuhan siswa yang dituangkan dalam tujuan jenjang dan satuan pendidikan. Oleh karena itu, kurikulum harus; memberikan substansi belajar dan mengajar yang menyempurnakan visi dan misi sekolah dan atau madrasah. 5. Validasi; yakni bahwa kurikulum itu harus tervalidasi secara menyeluruh dan meluas dengan mengakomodasikan berbagai harapan dari siswa, orang tua, masyarakat, kalangan bisnis, wakil rakyat dan pemerintah. Oleh karena itu, dalam proses penyusunan kurikulum dilakukan melalui pemasaran gagasan sosialisasi konsep dan penyebaran informasi secara. terarah. Berbagai pendekatan yang dituntut dalam penyusunan KBK sebagaimana telah dikemukakan di atas adalah, bahwa kurikulum itu harus disusun secara sistematis dan sistemik, yakni antara satu urut pembahasan dengan lainnya memiliki keterkaitan dialektis dan gradual, sehingga memudahkan bagi siswa untuk memahaminya. Dan pemilihan berbagai kompetensi yang akan diberikan pada siswa harus dilakukan secara sistemik, yakni memiliki argumentasi rasional, mengapa kompetensi tersebut diberikan lalu dengan kompetensi itu seseorang akan mampu apa, dan bisa menambah kompetensi apa. Semuanya itu mampu terjabarkan dalam proses penyusunan kurikulum. Prosedur kerjanya agak kompleks, oleh sebab itu memerlukan kemitraan dengan unsur-unsur di luar sekolah. Guru sebagai tonggak utama tersusunnya kurikulum yang baik, harus berkomunikasi pertama dengan orang tua, lalu mencari second opinion dari orang yang memiliki pengalaman dan keahlian dalam bidang-bidang pendidikan dan pengajaran serta bidang keilmuan yang dirancangnya, dan menjadi komunitas sekolah, lalu dikomunikasikan dengan para pengguna lulusan, dalam hal ini tidak selalu pasar tenaga kerja, tapi juga perguruan tinggi bagi sekolah lanjutan tingkat atas, atau
SLTA bagi.,SLTP, dan seterusnya. Oleh sebab itulah ditekankan prinsip kemitraan dengan melibatkan banyak unsur dalam penyusunan kurikulum operasional, sehingga sesuai dengan harapan semua pihak, termasuk pemerintah yang amat berkepentingan dengan peningkatan kualitas sekolah. Inilah prinsip validasi dalam penyusunan dan perumusan kurikulum, yakni kurikulum tersebut sudah valid sesuai dengan harapan. Kemudian dalam KBK juga ditekankan kandungan unsur dinamika, yakni bahwa kurikulum itu. harus dinamis mengikuti berbagai perubahan dan kemajuan peradaban umat manusia, serta mampu membawa berbagai perubahan dalam kehidupan masyarakat, karena perubahan itu. setiap saat akan terjadi. jika tidak mengikuti kemajuan, maka output sekolah akan teralienasi oleh kemajuan-kemajuan. Bahkan lebih jauh, justru kurikulum didesain untuk membawa berbagai perubahan, jika tidak dirancang, maka perubahan akan memasuki arah yang tidak diharapkan. Melalui kurikulum sekolah, perubahan itu. didesain agar tetap dalam arah yang benar sesuai harapan masyarakat dengan basis kepercayaan dan kulturnya, direncanakan secara sistematis, dialektis, bertahap, dan harus tetap progresif untuk membawa kebaikan di masa. yang akan datang. 6. PROSEDUR PENGEMBANGAN KBK Di TINGKAT SEKOLAH Kendati sekolah diberi otoritas besar dalam pengembangan kurikulum, namun struktur dari kurikulum sudah disusun sedemikian rupa oleh departemen pendidikan nasional atau departemen teknis yang menyelenggarakan program pendidikan, seperti Departemen Agama dengan pendidikan madrasahnya. Akan tetapi, struktur kurikulum tersebut tidak diberi deskripsi secara kaku. Masing-masing mata pelajaran hanya diberi penjelasan tentang kompetensi-kompetensi standarnya, serta indikator-indikator pencapaiannya. Sementara penyusunan silabusnya menjadi otoritas penuh dari sekolah melalui para gurunya. Dan otoritas sekolah juga tidak sekadar menyusun silabus tersebut, tapi juga memberi penguatan pada bidang-bidang tertentu yang akan dijadikan benchmark- nya, dengan pengembangan dan penguatan kompetensi-kompetensi tertentu. Sejalan dengan itu semua, maka langkah-langkah pengembangan kurikulum. yang harus dilakukan sekolah adalah sebagai berikut (Shaleh, 2003): 1. Merumuskan kompetensi lulusan dengan menganalisis kompetensi yang dirumuskan oleh Depahemen Pendidikan Nasional atau. Departemen Teknis yang menyelenggarakan pendidikan, dikombinasikan dengan permintaan stakeholder, user serta. kalangan profesi dan para pakar yang mendukung lembaga pendidikannya itu. 2. Merumuskan kompetensi dan indikator kompetensi mata pelajaran dengan mempertimbangkan kompetensi standar serta permintaan stakeholder, user dan kalangan profesi, serta kemampuan
dasar anak sebagai input, sehingga seluruh aspirasi tertampung dengan baik tanpa membebani siswa di luar batas kemampuannya, kemudian merumuskan kompetensi rumpun mata pelajaran, dan lintas kurikululum 3. Penyusunan mata pelajaran, silabus sesuai kompetensi dan indikator kompetensi yang telah dirumuskan untuk setiap mata pelajaran, dan pengalokasian waktu sesuai dengan target kompetensi yang hendak dicapai melalui mata pelajaran, rumpun mata pelajaran, atau lintas kurikulum. 4. Melaksanakan pembelajaran; yakni pembelajaran berbasis siswa, memberi ruang dan kesempatan bagi siswa untuk belajar dalam suasana yang kondusif, menyenangkan dan memberi peluang bagi para siswa untuk mengartikulasikan kemampuan dan potensinya tanpa ada tekanan. Dengan demikian strategi pembelajaran harus menggunakan berbagai pilihan cerdas yang dapat menggerakan siswa untuk belajar, serta tidak membuat mereka jenuh. 5. Melakukan penilaian secara terus-menerus dengan tidak semata memperhatikan kemampuan kognitif siswa melalui evaluasi, tapi juga kemajuan afektif, kognitif serta berbagai pengalaman implementasi dari kompetensi yang telah dicapai siswa. Dengan demikian evaluasi tidak semata dilakukan dengan menggunakan instrumen tes, tapi juga non-tes. Penerjemahan kompetensi yang dirumuskan dari permintaan pemerintah, stakeholder, user dan client sekolah juga harus didasarkan pada teori, dan teori yang relevan sampai saat ini masih berbasis pada teori Benjamin S. Bloom yang populer dengan taksonomi bloom. Dengan mengadaptasi teori Bloom tentang tujuan-tujuan pendidikan, maka dapat diklasifikasi beprbagai kompetensi yang hendak dicapai oleh guru melalui prroses pembelajaran pada setiap unit. Bloom, sebagaimana dikemukakan oleh Wiles dan Bondi (Wiles, 1989: 96) membagi tujuan pembelajaran menjadi tiga, kognitif, afektif dan psikomotorik, yang masing-masing memiliki 6, 5, dan 4 level kompetensi. 1. Kompetensi Kognitif a. Knowledge; yakni kemampuan untuk mengingat, dan mengetehui sesuatu secara benar. b. Comprehension; yakni kemampuan untuk memahami apa yang sedang dikomunikasikan dan mampu mengimplementasikan ide tanpa harus mengaitkannya dengan ide lain, dan juga tanpa harus melihat ide itu secara mendalam. Untuk level ini, diperlukan dukungan knowledge. c. Application; yakni kemampuan untuk menggunakan sebuah ide, prinsip-prinsip dan teori-teori pada kasus baru pada situasi yang spesifik. Untuk level ini diperlukan dukungan knowledge, dan comprehension.
d.
Analysis; yakni kemampuan untuk menguraikan ide-ide pada bagian-bagian konstituen, agar semua unsur dalam organisasi itu menjadi jelas. Untuk level ini diperlukan dukungan knowledge, comprehension, dan application.
e.
Synthesis; yakni kemampuan untuk memosisikan seluruh bagian menjadi satu kesatuan yang. utuh. Untuk level ini diperlukan dukungan knowledge, comprehension, application, dan analysis.
f.
Evaluation; yakni kemampuan untuk menilai apakah ide, prosedur dan metode yang digunakan itu sudah sesuai dengan kriteria atau belum. Untuk level ini diperlukan dukungan knowledge, comprehension, application, dan synthesis. Secara lebih sederhana, kompetensi pada tingkat pertama. anak-anak itu tahu, mengenal, dan
dapat mengingat apa yang telah diketahuinya dengan baik. Kategori ini berlaku untuk mata pelajaran apa saja, dan pada setiap jenjang pendidikan, hanya pengembangannya berbeda-beda. Demikian juga dengan level kedua, yakni pemahaman, atau dengan kata lain, dia mengerti maknanya, dan mengerti pula kegunaannya. Sedangkan level ketiga. aplikasi adalah kemampuan menggunakan teori yang sudah diketahuinya pada kasus lain yang sama. Level keempat analysis adalah kemampuan menguraikan menjadi bagian-bagian dan unit-unit, beserta kegunaan dan pemakaiannya, dan diikuti kemudian dengan level kelima, sintesis yakni menyatukan kembali bagian-bagian yang terurai tersebut menjadi satu kesatuan yang utuh, baru kemudian dinilai, semua pekerjaannya itu sudah benar atau belum, apakah pada dasar teori, metode maupun prosedur pelaksanaannya. Guru harus mampu merumuskan level kompetensi yang akan diberikan pada anak pada setiap unit pembelajaran, pada kognitif level ke berapa, apakah pertama, kedua, ketiga, keempat dan seterusnya, serta keterkaitan antara kompetensi sebelumnya dan kompetensi berikutnya, sehingga sekwensinya menjadi rasional. Perumusan komptensi kognitif ini menjadi amat penting, karena akan berpengaruh dengan rancangan metode yang akan digunakan, alat yang dibutuhkan dan instrumen evaluasi untuk mengukur tingkat kompetensi yang telah dicapai siswa-siswanya. 2). KOMPETENSI AFEKTIF Dengan mengutip teori Bloom, Wiles dan Bondi menjelaskan bahwa perilaku atau kecakapan afektif terbagi lima level, yang secara graduatif yang lebih tinggi dipengaruhi oleh level-level di bawahnya (Wiles, 1989: 97), yang secara lebih detail dapat dilihat dalam uraian berikut: a. Receiving; yakni mendatangi, menjadi peduli terhadap sebuah ide, sebuah proses atau sesuatu yang lain, dan ada keinginan untuk memperhatikan sebuah fenomena yang khusus.
b. Responding; yakni memberikan respon pada tahap pertama dengan kerelaan, dan berikutnya dengan keinginan untuk menerima dengan penuh kepuasan. Untuk level responding diperlukan dukungan receiving c. Valuing; yakni menerima nilai dari sesuatu, ide, atau perilaku, memilih salah satu nilai yang menurutnya paling benar, selalu konsisten dalam menerimanya, dan bahkan terus berupaya untuk meningkatkan konsistensinya. Untuk pengembangan level valuing diperlukan dukungan receiving dan responding. d. Organization; yakni kemampuan mengorganisasikan nilai-nilai, menentukan pola-pola hubungan antara satu nilai dengan lainnya, dan mengadaptasikan perilaku pada sistem nilai. Untuk level ini diperlukan dukungan receiving dan responding, dan valuing. e. Characterization; yakni kemampuan mengeneralisasi nilai-nilai dalam tendensi kontrol, penekanan pada konsistensi, dan kemudian mengintegrasikan semua nilai menjadi filosofi hidup atau world view mereka. Untuk level ini diperlukan dukungan receiving dan responding, valuing dan organizing of values. Melalui unit-unit pembahasan, bisa dijangkau berbagai kompetensi tidak sekadar pengembangan kompetensi kognitif, tapi juga berkembang pula kompetensi afektif. Umpamanya penjelasan tentang demokrasi dalam mata pelajaran Pendidikan Kewarganegaraan, siswa tahu tentang demokrasi, tahu pula pola pelaksanaan demokrasi dalam praktik politik sekolah, dan memahami implementasi praktik demokrasi dalam politik ke-RT-an, atau yang sejenisnya, sampai memahami dengan baik tentang demokrasi secara holistik dan dapat menilai atau mengkritisi kesalahan-kesalahan dalam praktik berdemokrasi. Mereka tidak hanya peduli dengan praktik demokrasi tersebut, tapi juga mengikutinya, kemudian menjadikan nilai penting dalam dirinya, sehingga menjadi world view-nya, dan sikapnya menjadi demokratis. Inilah berbagai gambaran tentang kompetensi yang harus dikembangkan melalui proses pembelajaran dalam kelas, yang untuk aspek afektif tersebut tidak cukup hanya dengan proses pembelajaran yang lebih melibatkan mereka dalam pembahasannya, tapi juga contoh-contoh nyata sehingga mereka dapat memperlihatkan respon yang terukur. 3). KOMPETENSI PSIKOMOTORIK Sebagaimana dalam penjelasan ranah kognitif dan afektif, dengan mengutip teori Bloom, Wiles dan Bondi menjelaskan bahwa perilaku (kompetensi) psikomotorik terbagi empat level, dan
secara graduatif vang lebih tinggi dipengaruhi oleh level-level di bawahnya (Wiles, 1989: 98). Berbagai kompetensi pikomotorik tersebut lebih detail dapat dilihat dalam uraian berikut. 1. Observing; yakni mengamati proses, memberikan perhatian terhadap step-step dan teknik-teknik yang dilalui dan yang digunakan dalam menyelesaikan sebuah pekerjaan atau mengartikulasikan sebuah perilaku. 2. Imitating; yakni mengikuti semua arahan, tahap-tahap dan teknik-teknik yang diamatinya dalam menyelesaikan sesuatu, dengan penuh kesadaran dan dengan usaha yang sungguh-sungguh. Untuk level ini perlu dukungan observing. 3. Practicing; Mengulang tahap-tahap dan teknik-teknik yang dicoba diikutinya itu, sehingga menjadi kebiasaan. Untuk ini diperlukan kesungguhan upaya, dan memperlancar langkah-langkah tersebut melalui pembiasaan terus menerus. Untuk ini diperlukan dukungan obeserving dan imitating. 4. Adapting; yakki melakukan penyesuaian individual terhadap tahap-tahap dan teknik-teknik yang telah dibiasakannya, agar sesuai dengan kondisi dan situasi pelaku sendiri. Untuk level ini diperlukan dukungan observing, imitating dan practicing. Ada perbedaan mendasar antara afektif yang aksentuasinya pada penerimaan, penyerapan dan penguatan nilai pada setiap orang, sehingga nilai-nilai itu menjadi karakteristiknya, pada ranah psikomotorik lebih pada implementasi nilai dalam. bentuk tindakan dan perilaku, yang dimulai dari pengamatan, peniruan, pembiasaan dan penyesuaian. Kompetensi siswa yang dapat dicapai dari setiap unit sebaiknya sudah terbaca dan terlihat pada jabaran-jabaran indikator kompetensi, sehingga memudahkan untuk proses berikutnya, baik dalam. merancang strategi alat maupun instrumen evalua.si. Dengan itu pula, akuntabilitas kerja guru dapat dipertanggungjawabkan di hadapan client-nya. 7. SIAPA YANG HARUS TERLIBAT DALAM PENYUSUNAN KURIKULUM Pada masa lalu pemerintah memiliki otoritas yang sangat kuat dalam penentuan kurikulum, dan hampir tidak ada ruang bagi guru untuk melakukan inovasi-inovasi penyesuaian baik atas pertimbangan psikologis anak, ataupun tuntutan lokal dari daerah di mana sekolah berada, sehingga guru tidak memiliki keterlibatan emosional terhadap kurikulum yang diajarkannya, dan begitu pula sekolah yang hanya berada pada subordinasi untuk melaksanakan paket-paket pelajaran yang dirancang dari pusat. Lebih ironis lagi, adalah buku teks yang disusun berbasis kurikulum tersebut, karena disusun di ibukota, dengan ilustrasi ibukota pula, sehingga kehilangan konteksnya ketika buku itu didistribusikan dan dipakai serta dipelajari di daerah. Itulah sebabnya, semangat reformasi
sekarang ini mengubah paradigma dengan memperbesar formasi pemberdayaan potensi-potensi yang ada di sekolah dan masyarakat, serta memperbesar relevansi pendidikan terhadap kebutuhan komunitasnya. Untuk itu, pandangan progresif yang mengemuka di kalangan aliran-aliran progresif seperti yang dikemukakan Wiles-Bondi amat relevan untuk diangkat sebagai salah satu opsi pemikiran dalam memberlakukan UU No. 22 tahun 1999. Dalam teorinya itu Bondi menyebutkan, bahwa pengembangan kurikulum adalah pekerjaan dan usaha bersama-sama. Pengembangan kurikulum harus melibatkan banyak kelompok, agensi dan individu, baik dalam sekolah maupun di luar sekolah. Guru yang akan melaksanakan kurikulum akan lebih besar menentukan sukses dan tidaknya perubahan kurikulum. Demikian pula dengan siswa, dia harus menjadi bagian dari proses pengembangan kurikulum. Orang tua dan kelompok anggota masyarakat (komite sekolah) yang harus mendukung perubahan dan pengembangan kurikulum harus terlibat dalam perubahan dan, pengembangan kurikulum tersebut sejak dari awal. Demikian pula dengan para pengawas, pelaksana adminsitrasi kurikulum, juga harus terlibat (Wiles, 1989: 119). Semakin banyak orang yang terlibat dalam pengembangan kurikulum tersebut, maka akan semakin tinggi tingkat keberhasilan pendidikan, baik dilihat dari sudut psikologis, kebutuhan client maupun relevansinya dengan kebutuhan pemakai hasil pendidikan. Sejalan dengan Wiles, Walker menegaskan pula, bahwa guru pada hakikatnya memiliki kewenangan yang amat besar untuk melakukan inovasi kurikulum, mengujicobakannya dalam kelas, lalu mereka memiliki kurikulum operasional yang kuat untuk diterapkannya dalam proses pembelajaran. Mereka dapat melakukan itu, karena didukung dengan kepercayaan masyarakat pengguna sekolah, dan bahkan mereka diberi dukungan untuk melakukannya. Akan tetapi, guru juga tidak bisa bermain-main dalam pengembangan dan inovasi kurikulumnya itu, karena siswa, orang tua siswa, para pengguna juga memiliki hak untuk terlibat dalam mengkritisi kurikulumnya itu. Dalam sekolah demokratis, kekuasaan dan kewenangan, termasuk dalam strukturisasi kurikulum, harus didistribusi pada kelompok-kelompok yang memiliki ketertarikan dan keterlibatan dalam aspek kurikulum dan aspek-aspek pendidikan lainnya dalam sekolah bersangkutan. Orang tua memiliki ekspektasi terhadap anak-anaknya sehingga mereka harus diikutkan dalam perabahasan kurikulum di sekolah tersebut. Dengan demikian sekolah harus terbuka dengan orang tua tersebut. Demikian pula universitas yang akan menerima lulusan sekolah menengah, boleh menyampaikan berbagai kualifikasi yang diperlukannya, sebagaimana pasar tenaga kerja juga. punya hak untuk menyampaikan kualifikasi keilmuan, keterampilan dan keahlian yang dibutuhkannya. Bahkan siswa juga dapat mengontrol kurikulum sekolah dengan tidak mengikutif pelajaran yang menurut mereka
tidak relevan dengan kompetensi yang dibutuhkannya (Walker, 1997: 5). Dan distrik atau pemerintah daerah pada tingkat provinsi boleh menyampaikan usulan mengikat yang diputuskan lewat prosedur legal untuk memperkuat aspek-aspek tertentu dalam kurikulum sekolah, khususnya sekolah menengah sesuai dengan aspirasi rakyat mereka wakili. Inilah hakikat dari sekolah demokratis, yang otoritas kurikulum itu, secara ekstrem sudah tidak ada lagi pada pemerintah pusat, tapi lebih banyak ditentukan oleh sekolah yang didukung oleh komunitasnya, baik orang tua siswa, para praktisi, akademisi universitas maupun dunia usaha, dengan. memberi masukan tentang kualifikasi yang Mereka minta. Namun bersamaan dengan itu, Pemerintah daerah juga memiliki hak untuk berkontribusi dalam kurikulum penguatan daerahnya. Akan tetapi, dalam praktiknya saat ini,untuk penguatan organisasi Pemerintah masih sangat kuat, dan masih bermanfaat besar untuk memikirkan pengembangan kurikulum ini, karena sekolah juga membawa nama baik bangsa, semakin baik sekolahnya, maka akan semakin baik nama bangsanya. Oleh sebab itu, progresivitas pengembangan kurikulum di sekolah-sekolah di Indonesia, masih terlihat memiliki pemihakan pada paradigma strukturalisme fungsional, yakni memberi peran yang proporsional pada kekuatan struktur pemerintah, sambil terus memberdayakan kekuatan-kekuatan masyarakat. Oleh sebab itu, pemerintah pusat akan memberikan standarisasi nasional, dan sekolah mengembangkan benchmark- nya, sesuai dengan kekuatan yang dimilikinya. Akan tetapi, standarisasi nasional juga. perlu penerjemahan dan penjabaran lebih detail tentang indikator-indikator kompetensi, serta perlu pengembangan, baik untuk penguatan maupun dalam membangun benchmark sekolah. Untuk itulah sekolah harus berkomunikasi dengan stakeholder dan user-nya. Hasil komunikasi dengan semua unsur tersebut, tidak mungkin menghasilkan rumusan sistematis tentang sekwensi materi pelajaran, peta kompetensi yang akan dicapai melalui unit pembahasan, serta rumusan-rumusan strategi pembe!ajaran, alat yang dibutuhkan serta evaluasi yang akan digunakan. Komunikasi dengan client sekolah hanya sebatas menjaring ide, gagasan dan permintaan yang harus diolah lagi di tingkat sekolah sehingga menjadi kurikulum operasional. Pada fase ini sudah menjadi otoritas dan tugas guru bersama tim yang dibentuk oleh sekolah sendiri. Dengan demikian, posisi masing-masing otoritas, sesuai dengan arah pengembangan otonomisasi pendidikan adalah, kurikulum operasional serta rangkaian silabusnya merupakan otoritas guru yang disusun dengan mempertimbangkan kebutuhan-kebutuhan psikologis siswa, kemudian dikonsultasikan dengan stakeholder dan user pendidikan, lalu didiskusikan dengan tim kurikulum sekolah untuk diimplementasikan. Namun kurikulum operasional dan silabus tersebut disusun dengan mempertimbangkan standar kompetensi yang disusun oleh pemerintah. Sementara kewenangan
pemerintah daerah adalah fasilitasi. Urutan kewenangan tersebut dapat dilihat dalam gambar di bawah ini. GAMBAR 7 Kewenangan Masing-masing unit Adaptasi dari wiles (wiles, 1989:17)
PEMERINTAH PUSAT
PEMERINTAH PROPINSI
SEKOLAH
a. Rancangan kompetensi dan indikator kompetensi serta materi pelajaran b. Perencanaan pembelajaran c. Strategi pembelajran dan evaluasi
Sesuai gambaran di atas, lapisan yang memiliki kewenangan untuk mengatur dan menyusun kurikulum secara hierarkis adalah pemerintah pusat sebagai wujud dari cita-cita mencerdaskan kehidupan bangsa. Namun tuntutan fleksibilitasnya yang membuat Depdiknas memberi ruang Cukup besar pada daerah untuk mengembangkan. sektor pendidikannya agar menjadi yapg terbaik di bangsa ini, dan relevan dengan kebutuhan daerah, serta sesuai pula dengan benchmark yang hendak dikembangkannya. Oleh sebab itu, kewenangan berikutnya adalah pada daerah, yang dipercayakan penuh pada sekolah dengan membangun jaringan horizontal bersama akademisi, praktisi, birokrat, serta kelompok masyarakat peduli pendidikan, yang bergabung bersama orang tua siswa dalam komite sekolah. Sementara pemerintah daerah hanya memiliki tugas memfasilitasi berbagai kepentingan sekolah, dari mulai prasarana fisiknya, sarana pembelajaran, perpustakaan ' laboratorium dan pembinaan SDM, baik guru, kepala sekolah, maupun para pengelola yayasan, sehingga. mampu mengembangkan lembaga pendidikan yang dikelolanya menjadi yang terbaik, dapat melahirkan generasi bangsa yang cerdas, terampil. dan memiliki kemampuan daya saing yang unggul di era globalisasi. . Model proses perumusan kurikulum yang memberdayakan potensi-potensi horizontal sekolah, sudah menuju pada model sekolah demokratis, yakni sekolah yang lebih banyak ditentukan oleh komunitasnya sendiri, bukan oleh kekuasaan pusat yang jauh dari kenyataan lokal. Namun, sebagaimana telah dikemukakan dalam peta kompetensi, bahwa harapan masyarakat terhadap sekolah untuk anak-anaknya itu bukan semata pengetahuan, tapi juga sikap dan pembiasaan. Oleh sebab itu, peran hidden curriculum menjadi sangat signifikan, karena siswa akan melihat, mengalami, dan mengimitasi berbagai perilaku yang dikembangkan oleh semua unsur sekolah tersebut. Dan sekolah juga harus memberi kesempatan pada siswas-siswanya, khususnya untuk siswa-siswa SLTP dan SLTA untuk mencoba membahas persoalan-persoalan current event, seperti problem-problem law enforcement, lingkungan, konflik etnis, masa depan masyarakat, serta pajak dan kontrol masyarakat terhadap pemerintah (Apple, 1995: 16). Ini semua untuk memperkuat pembiasaan mereka menjadi bagian masyarakat demokratis, karena inti demokrasi adalah kekuasaan pada rakyat, dan untuk itu perlu keterbukaan. Mereka harus menjadi bagian dalam kultur keterbukaan tersebut. C. PENGEMBANGAN KURIKULUM PERADABAN umat manusia terus berubah dan berkembang, dan perubahan tersebut juga merupakan implikasi dari kemajuan ilmu dan teknologi, yang merupakan hasil dari sebuah penelitian, kajian dan pengembangan hasil-hasil kajian dalam perubahan dan pengembangan perilaku sosial dan
kehidupan. Semua orang akan terjun dalam kehidupan nyata tersebut, dan mereka harus mampu menyesuaikan diri dengan perubahan dan kemajuan. Jika tidak, mereka akan teralienasi, tersingkir dari kemajuan dan menjadi kelompok yang tertinggal. Oleh sebab itulah, sekolah harus terus dinamis, dan kurikulumnya harus terus dievaluasi, untuk dilakukan perubahan-perubahan dan pengembangan, pengembangan agar sesuai dengan harapan. masyarakat, baik pelanggan maupun. pemakai jasa hasil pendidikan. Paradigma inilah yang kemudian melahirkan kebijakan evaluasi kurikulum, yang harus dilakukan setidaknya setiap dua tahun, untuk kemudian dilakukan berbagai penyesuaian. Pengembangan kurikuluim sebagaimana Unruh katakan adalah proses yang kompleks terdiri dari berbagai kegiatan mengasses kebutuhan, mengidentifikasi harapan hasil belajar, mempersiapkan proses pembelajaran untuk mencapai harapan outcome hasil belajar, dan menyesuaikan program pernbelaiaran dengan budaya, sosial, dan berbagai kebutuhan orang-orang yang untuk merekalah. kurikulum tersebut disiapkan (Unruh, 1934: 97). Pengembangan kurikulum tersebut menjadi sangat signifikan dilihat dari sangat cepatnya perubahan sains dan teknologi yang digunakan dalam dunia usaha dan industri serta berbagai pasar tenaga kerja potensial lainnya, sehingga sekolah tidak tertinggal oleh berbagai kemajuan yang terjadi di luar sekolah. Kemudian Unruh juga mengemukakan aspek-aspek yang harus dianalisis dalam konteks pengembangan kurikulum tersebut antara lain adalah (Unruh, 1984: 178-179): 1 . Kebijakan, yakni kebijakan pokok tentang kurikulum itu sendiri yang meliputi tujuan (kini dalam term kurikulum Indonesia menjadi kompetensi-kompetensi), struktur kurikulumnya sendiri akan diubah atau tidak, dan kemudian prosedurnya. Dan untuk itu, kepala sekolah, guru, pegawai serta perwakilan orang tua siswa harus duduk bersama membicarakan perubahan-perubahan kebijakannya itu. 2. Standar kelulusan.yang diharapkan serta pencapaiannya hari itu, keduanya. harus dianalisis untuk mencari kesenjangan antara keduanya, dan kurikulum. disusun untuk menutup dan mempersempit gap tersebut. 3. Meng-assess berbagai opsi rumusan tujuan (kompetensi) dengan orang-orang terkait dengan kepentingan kurikulum tersebut untuk menetapkan prioritas yang akan dijadikan rumusan akhir untuk kurikulum hasil perbaikan dan pengembangan. Sejalan dengan pandangan Unruh tersebut, Ralph Tyler sebagaimana dikutip oleh Decker F. Walker mengedepankan empat pertanyaan pokok dalam konteks evaluasi dan perubahan kurikulum (Walker, 1.997:56), yaitu:
1. Apa tujuan-tujuan yang sekolah hendak capai? 2. Pengalaman-pengalaman pendidikan apa yang hendak disiapkan sekolah pada siswa-siswanya untuk mencapai tujuan-tuju an tersebut? 3. Bagalimana pengalaman-pengalaman.tersebut bisa secara efektif diorganisasi dengan baik? .4. Apa yang harus dilakukan agar semua tujuan tersebut tercapai? Sementara itu, John C. Hill dalam bukunya CurriculumEvaluation for School Improvement, menginventarisir beberapa pertanyaan pokok yang harus dikembangkan dalam. evaluasi dan pengembangan kurikulum (Hill, 1986: 89), yaitu: 1. Tujuan-tujuan apa yang hendak dicapai dengan kurikulum tersebut? 2. Tujuan mana yang akan menjadi prioritas? 3. Apa kebutuhan masyarakat, dan para pembelajar yang harus dilayani dengan kurikulum? 4. Pengetahuan apa yang penting untuk dipelajari? 5. Outcome seperti apa yang seharusnya dihasilkan dengan kurikulum tersebut? 6. Apa yang seharusnya diharapkan dari lulusan? 7 Nilai-nilai apa yang amat penting yang bisa dipengaruhi oleh program tersebut? kita cukup up to date dengan ekspektasi terhadap kurikulum ini atau program pembelajaran yang akan dikembangkan berdasar pada kurikulum tersebut? Walaupun perbedaan antara satu pertanyaan dengan lainnya itu terlihat amat tipis seperti perbedaan antara nomor 5 dan 6, keduanva menanyakan tentang outcome atau lulusan, yakni tipe outcome seperti apa yang dapat diharapkan dengan kurikulum yang ada, dan outcome seperti apa yang sebenarnya diharapkan dapat diluluskan, sehingga akan ditemukan gap antara keduanya, dan pembaharuan kurikulum justru mengisi gap tersebut sehingga semakin menyempit dan semakin tertutupi. Namun pertanyaan-pertanyaan yang dikembangkan Hill sangat rasional, sehingga pernbaharuan kurikulum itu didasarkan pada hasil survey client dengan mencoba meng-asses apa harapan mereka, dan apakah kurikulum yang ada belum mampu memberikan jaminan pencapaian terhadap harapan tersebut. Demikian pula dengan tujuan yang hendak dicapai, yang perumusannya juga sangat dipengaruhi dengan permintaan client yang dipadukan dengan visi sekolah tersebut. Tampaknya empat pertanyaan pokok yang dikembangkan Tyler tercakup dalam pertanyaan-pertanyaan Hill, dan pertanyaan-pertanyaan Hill juga bisa direduksi menjadi: 8. Apakah kita cukup up to date dengan perumusan tujuan dalam kurikulum berjalan? Dan apakah
1. Apa tujuan yang hendak dicapai, sebagai artikulasi harapan client sekolah, yang telah dikombinasikan dengan tujuan sekolah, sehingga mampu menggambarkan sosok citra lulusan yang diharapkan untuk dihasilkan? 2. Apakah tujuan-tujuan yang dirumuskan untuk kurikulum tersebut cukup up to date atau tidak? 3. Pengetahuan-pengetahuan apa yang seharusnya diberikan untuk mencapai tujuan tersebut, termasuk di dalamnya knowledge, skill dan values! 4 Sampai di mana kemampuan kurikulum yang ada untuk menjangkau tujuan tersebut? sudah cukup up to date atau tidak? Lima pertanyaan pokok ini tampaknya sudah merepresentasi berbagai kepentingan dalam konteks pernbaharuan kurikulum sekolah. Dan dalam konteks kurikulum berbasis kompetensi, pertanyaan-pertanyaan tersebut menjadi, kompetensi-kompetensi apa yang hendak diberikan sekolah pada siswa-siswanya.? Dan apakah kompetensi tersebut cukup up to date atau tidak, bila dikaitkan dengan kebutuhan outcome sekolah yang harus bersaing dalam pasar global atau berbagai kepentingan fragmatis lainnya? Lalu pengalaman-pengalaman belajar apa saja yang harus diberikan untuk mencapai kompetensi tersebut, termasuk di dalamnya pengetahuan, keterampilan dan nilai-nilai dan bagaimana caranya. agar semua kompetensi tersebut yakin bisa terjangkau? Inilah berbagai pertanyaan mendasar yang harus dikedepankan dalam konteks pengembangan kurikulum, dan apakah berbagai rencana pembelajaran dan strategi yang seharusnya dikembangkan darl kurikulum tersebut sudah merupakan rencana yang up to date atau belum. Pertanyaan pertama dan utama adalah kompetensi apa yang hendak diberikan pada siswa. Persoalan pokok untuk menjawab ini adalah siapa yang paling berhak untuk menjawab pertanyaan pokok tersebut. John I. Goodlad sebagaimana dikutip oleh Walker mengemukakan, ada tiga level penentu kurikulum, yakni instruksional, institutional, dan societal. Pada level instruksional, kurikulum ditentukan bersama-sama antara guru, siswa, dan orang-orang yang dapat membantu guru dari mereka yang memiliki pengalaman cukup baik dalam pembelajaran untuk mata pelajaran danjenjang yang sama. Sedangkan pada level institusional, kurikulum disusun atas dasar hasil curah pandangan dan pendapat antara sekolah dengan komite sekolah, stakeholder dan user sekolah. Mereka tidak harus memiliki kemahiran tentang struktur kurikulum, peta kompetensi serta berbagai strategi yang seharusnya digunakan,. namun gagasan besarnya perlu disajikan untuk diterjemahkan secara operasional oleh guru untuk dibawa ke dalam proses pembelajaran dalam kelas. Pada level societal. kurikulum ditinjau dan dikritisi oleh unsur-unsur pemerintah yang mendanai pendidikan, atau oleh institusi yang mengeluarkan akreditasi dan yang sebangsanya (Walker, 1997: 64). Dengan 5. Apakah program pernbelajaran yang seharusnya dikembangkan berbasis pada kurikulum tersebut
demikian, semua unit terlibat namun dalam kapasitas yang berbeda -beda. Bahkan LSM pendidikan baleh melakukan kontrol terhadap kurikulum sebuah sekolah yang berada di wilayah kerjanya, namun mereka tidak memasuki wilayah teknis strukturisasi kurikulum yang menjadi otoritas guru dan sangat berorientasi kelas. Demikian pula parlemen daerah dapat melakukan kontrol terhadap kurikulum sekolah di daerahnya, agar bisa meyakinkan masyarakatnya bahwa pendidikan di daerahnya menggapai berbagai kemajuan. Rumusan-rumusan kompetensi yang komprehensif, bijak, jelas dan terukur, akan dapat menginspirasi penyusunan bahan ajar yang sekwentif dan terorganisasi dengan baik untuk menjamin pemberian pengalaman-pengalaman bagi siswa dalam mencapai kompetensi idealnya. Perumusan bahan ajar, dan pengorganisasian bahan ajar secara holistik integratif, serta penyusunan berbagai strategi agar pengalaman-pengalaman tersebut dapat tercapai untuk menjangkau kompetensi ideal. Itulah inti kurikulum sekolah yang harus senantiasa dievaluasi dan dikembangkan secara reguler dan periodik. Terkait dengan itulah, Paul Westmeyer menekankan teorinya, bahwa pengembangan kurikulum harus selalu dilandaskan pada tinjauan psikologis aan analisis kebutuhan client (Westmeyer,.1981: 13). Tinjauan psikologis sangat terkait dengan teori Gestalt bahwa sebuah persepsi itu akan terbentuk secara efettif ketika unit pembahasan disajikan secara utuh dan terorganisir, bahkan dari pengalaman-pengalaman sebelunmya pada stimulus berikutnya, karena. pengalaman sekarang sangat terkait dengan pengalaman kemarin. Dan perubahan-perubahan terus terjadi berdasarkan pengalaman-pengalaman, yang akan terus, yang memperkuat satu sarna lain (Westmeyer, 1981:33). inilah teori Gestalt yang mendasari konsep bahwa bahan-bahan ajar yang akan membentuk pengalaman siswa untuk mencapai kompetensi idealnya, harus diorganisasikan secara utuk agar mudah dipahami. Kemudian, Westmeyer juga menekankan bahwa pengembangan kurikulum itu harus didasaran pada hasil analisis terhadap berbagai permintaan client. Siapakah sebenarnya client dari sebuah sekolah? Ini adalah sebuah pertanyaan yang amat penting. Client utama sekolah adalah siswa, merekalah yang paling harus dipertimbangkan dalam pengembangan kurikulum, dengan menganalisis tingkat usia, kemampuan intelegensia, latar belakang yang terkait dengan ,pengembangan kurikulum pada mata pelajaran tertentu, arah kompetensi yang akan diberikan, cita-cita ke depan, apakah akan meneruskan ke perguruan tinggi atau memasuki lapangan pekerjaan, motivasi mempelajari mata palajaran tersebut, serta berbagai permasalahan yang dihadapi siswa (Westmeyer, 1981: 39).
Berikutnya adalah masyarakat, yang secara umum ada tiga kategori, yakni masyarakat yang lekat dengan sekolah yaitu orang tua siswa, kemudian masyarakat luas, yakni dunia profesi, unsur pendidikan lanjut, kalangan ilmuwan dan pemerhati pendidikan, serta pemerintah dan legislatif. Dan ketiga adalah kultur. Orang tua siswa termasuk masyarakat sekolah yang paling pertama harus ditanya tentang ekspektasi mereka pada sekolah untuk menginspirasi sekolah dalam menyusun kurikulumnya, demikian pula dengan kalangan profesi, pemerintah pendidikan lanjut, bahkan seting budaya masyarakat, baik untuk konservasi maupun perubahan dengan arah kemajuan. Kendatipun demikian, aspek konsep keilmuan jangan dikorbankan, pengembangan kurikulum harus tetap memperhatikan struktur keilmuan, karena para siswa harus diberi pelajaran yang benar dalam setiap bidang ilmu, sehingga mereka memiliki peluang untuk mengembangkan ilmu tersebut, setelah mempelajarinya lebih mendalam pada jenjang perguruan tinggi, dan mereka bisa menjadi bagian yang akan mengembangkan ilmu tersebut, melalui riset dan penulisan buku dalam.bidang ilmu yang ditekuninya. Oleh sebab itu, unsur sekwensi dan scope keilmuan harus menjadi perhatian penting dalam pengembangan kurikulum tersebut (Westmeyer, 1981: 39-41). Komposisi dari masing-masing aspek tersebut dapat dililiat dalam gambar berikut ini. . GAMBAR 8 ASPEK-ASPEK YANG HARUS DIANALISIS DALAM PENGEMBANGAN KURIKULLUUM ADAPTASI DARI WESTMEYER (WESTMEYER, 1981: 41).
MASYARAKAT LUAS MASYARAKAT LOKAL BUDAYA
SISWA
DISIPLIN
HARAPAN
KURILULUM
Pengembangan kurikulum merupakan tugas rutin dari sekolah, karena harus dilakukan secara reguler, berkala dan konsisten. Oleh sebab itu, sekolah harus mempunyai tim yang bertanggung jawab dalam pengembangan kurikulum. Mereka harus menyerap banyak informasi dari siswa, orang tua serta berbagai kalangan terkait dengan kurikulum sehingga mampu merekonstruksi kurikulum sekolah yang memiliki validitas dengan dukungan masyarakat yang sangat kuat. Hasil kajian tim inilah yang akan diimplementasikan oleh guru dalam kelas, setelah diadaptasikan sedemikian rupa dengin mempertimbangkan berbagai perkembangan dan permintaan siswa, serta berbagai aspek yang perlu memperoleh perhatian signifikan. Tampaknya Westmeyer ini meneruskan teorinya Ronald; C. Doll yang menekankan tiga aspek yang harus diperhatikan dalam pembaharuan kurikulum, yaitu perkembangan psikologi siswa, perkembangan masyarakat dan perkembangan ilmu pengetahuan (Doll, 1964:18). Kemampuan siswa itu berkembang sesuai perkembangan usianya, dan masing-masing fase perkembangan usia kronologis mereka merefleksikan kemampuan dan kebutuhan yang berbeda. Oleh sebab itu, penyajian materi dan sekwensi kurikulum harus disesuaikan dengan tingkat kemampuan. serta kebutuhan. psikologis mereka. Demikian pula dengan kultur dalam masyarakat yang terus berkembang, dan siswa dipersiapkan untuk bisa menyesuaikan diri dalam kehidupan sosial. Oleh sebab itu, kurikulum harus disajikan sesuai dengan perkembangan sosial tersebut. Kalau kini identik dengan fase informasi maka kurikulum sekolah harus mempersiapkan siswa-siswanya hidup dalam dunia informasi tersebut. Kalau tidak, mereka akan gagal dalam. penyesuaian diri, dan tidak mampu bersaing dalam pasar tenaga kerja. Kemudian Doll juga memperhatikan bahwa sains berkembang sangat cepat, dan bahkan terjadi ledakan dalam. ilmu pengetahuan, dan. dalam. rentang 8,5-12 tahun terjadi pelipatan. cabang-cabang keilmuan (Doll, 1964: 74). Jika kurikulum yang disajikan itu masih merujuk pada perkembangan sains 10 sampai 20 tahun yang lalu, maka siswa yang akan diluluskan akan shock ketika memasuki sekolah lanjut atau perguruan tinggi, karena tertinggal oleh berbagai kemajuan terkini.
Lebih lanjut, dengan mengadaptasi rumusan-rumusan Ronald C. Doll, ada beberapa langkah penting yang harus dilakukan dalam rangka pelaksanaan evaluasi dan pembaharuan kurikuluin (Doll, 1964:322), yaitu: 1. Tetapkan berapa program yang akan dievaluasi! 2. Rumuskan tujuan dari evaluasi dan pembaharuan kurikulum dengan menyesuaikan pada program-program yang akan dievaluasi tersebut! 3. Pertegas tujuan (kompetensi) dengan merumuskan berbagai indikator kompetensi yang akan diperoleh saat tujuan tersebut tercapai. Sebaiknya dinunuskan berbagai indikator kompetensi untuk setiap kompetensi (tujuan)! 4. Rumuskan pula kriteria pencapaian dan kemajuan kegiatan evaluasi sebagai standar kerja agar tidak menyimpang dari tujuan dan signifikansi evaluasi dan pembaharuan kuriklum! 5. Sebaiknya disiapkkan proses pengerjaan perumusan tujuan dan kriteria-kriteria ketercapaiannya, serta siapkan pula instrumen untuk kepentingan keduanya! 6. Pilih dan terapkan proses serta instrumen yang dapat menghasilkan data lengkap sesuai kebutuhan serta dapat menggali berbagai informasi secara mendalam! 7. General lisasikan berbagai data dan temuan agar bisa menghasilkan berbagai poin penting untuk perbaikan kurikulum berikutnya, sebagai upaya penting untuk mencapai tujuan Inilah beberapa langkah penting dalam, upaya mewujudkan kurikulum. yang baik, karena sebagaimana telah disinggung di muka, bahwa kurikulum. adalah jantungnya pendidikan. Jika kurikulumnya baik, setidaknya sekolah telah memiliki konsep penyelenggaraan yang baik dalam konteks perencanaan akademiknya. Namun kurikulum. bukan segalanya, kurikulum hanya satu dari sekian komponen sekolah yang juga harus diperbaiki untuk menjadi sekolah efektif. Sekolah harus melakukan perbaikan SDM-nya, proses pembelajarannya, berbagai fasilitas belajar, serta manajemennya, yang semuanya itu bisa dikembangkan dengan meningkatkan pelibatan masyarakat sebagai proses pewujudan semangat undang-undang Sisdiknas, yakni sekolah diselenggarakan secara demokratis. SOAL JAWAB 1. Sebutkan dan jelaskan tiga variabel yang penting dalam pengelolaan dan pengembangan sekolah Jawab: Variabel organisasi; yakni kebijakan penugasan guru dan pengelompokan siswa untuk proses pembelajaran, yang dalam konteks ini ada empat isu yang pantas menjadi perhatian, yakni team
teaching, kebijakan promosi (kenaikan kelas), pengelompokan siswa berdasarkan kemampuan, dan pemfokusan kurikulum. Variabel sistem sosial; yakni suasana sekolah yang tergambar dari pola-pola hubungan semua komponen sekolah. Banyak faktor sistem sosial di sekolah yang dapat membentuk sikap dan perilaku siswa, yakni pola hubungan guru dengan tenaga administrasi, keterlibatan kepala sekolah dalam pembelajaran, keterlibatan guru dalam proses pengambilan keputusan, hubungan yang baik antar sesama guru, hubungan guru dengan siswa, interaksi guru dengan siswa, keterlibatan siswa dalam proses pengambilan keputusan, dan keterbukaan kesempatan bagi siswa untuk melakukan berbagai aktivitas, yang semuanya ini sangat dipengaruhi oleh efektivitas kepemimpinan sekolah. Variabel budaya; yakni dimensi sosial yang terkait dengan sistem kepercayaan, nilai-nilai dan struktur kognitif. 2. Sebutkan aliran yang mempengaruhi penyusunan dan penetapan kurikulum Jawab: Perenialisme. Perenialisme memiliki ciri rasionalistik dan akademis, essensialisme, essensialisme memiliki ciri pengembangan proses kognitif. progresifisme, progresifisme menekankan pada pengembangan teknologi.dan rekonstruksionisme. rekonstruksionisme menekankan rekonstruksi sosial dan aktualisasi diri . 3. Sebutkan perbedaan kurikulum 1994 dan kurikulum berbasis kompetensi Jawab: Kurikulum 94 disusun oleh pemerintah pusat melalui departemen pendidikan nasional, dan daerahnya hanya diberi kewenangan menyusun kurikulum muatan lokan maksiamal 20 %. Kurikulum 94 pendekatan pembelajaran dan pengembangan berbasis tujuan dan content. Sedangkan pada KBK pemerintah hanya menyusun kompetensi standar, semntara elaborasi silabusnya diserahkan pada daerah dan selanjutnya diserahkan pada sekolah dengan para gurunya. dan pada KBK sekolah dengan para gurunya juga memiliki otoritas untuk memberikan penguatan-penguatan contec of learning baika atas dasar penguasaan siswa maupun dalam upaya mengejar benchmark sekolah. Juga pada KBK pengembangan berbasis pada pengembangan kompetensi. 4. sebutkan dan jelaskan beberapa pendekatan yang harus diperhatikan dalam pengembangan kurikulum Sistematis dan sistemik;yakni kurikulum itu harus dikembangkan secara sistematis, berkaitan antara satu topik dengan lainnya, dan kemunculan setiap topik memiliki logika dialektika yang kuat sehingga dapat diterima secara rasional,baik oleh stakeholder, user maupun shareholder dari pendidikan tersebut.
Kemitraan; yakni bahwa penyusunan kurikulum itu harus semaksimal mungkin melibatkan berbagai unsur yang terkait dengan sekolah, stakeholder, user, shareholder, para pakar setempat, kalangan profesi dan lainnya. Pengembangan; yakni bahwa kurikulum merupakan instrumen bagi, perubahan mendasar dalam mewujudkan tujuan pembangunan nasional. Oleh karena itu, pengembangan kurikulum dilakukan secara dinamis dan berorientasi pada produk yang mampu meningkatkan keunggulan. Relevansi; yakni bahwa kurikulum itu harus relevan dengan kebutuhan pembangunan dan potensi daerah serta kebutuhan siswa yang dituangkan dalam tujuan jenjang dan satuan pendidikan. Oleh karena itu, kurikulum harus; memberikan substansi belajar dan mengajar yang menyempurnakan visi dan misi sekolah dan atau madrasah. Validasi; yakni bahwa kurikulum itu harus tervalidasi secara menyeluruh dan meluas dengan mengakomodasikan berbagai harapan dari siswa, orang tua, masyarakat, kalangan bisnis, wakil rakyat dan pemerintah. Oleh karena itu, dalam proses penyusunan kurikulum dilakukan melalui pemasaran gagasan sosialisasi konsep dan penyebaran informasi secara. terarah.
MANAJEMEN BERBASIS SEKOLAH SEBAGAI SEBUAH AGENDA PERUBAHAN A. POSISI MANAJEMEN DALAM PENGEMBANGAN SEKOLAH PENGEMBANGAN, peningkatan dan perbaikan pendidikan harus dilakukan secara holistic dan silmutan, boleh persial walaupun mungkin dilakukan bertahap. Perbaikan sektor kurikulum, tenaga guru dan fasilitas serta sarana pembelajaran, tidak akan terlalu membawa perubahan signifikan jika tidak disertai dengan perbaikan pola dan kultur manajamen yang mendukung perubahanperubahan tersebut. Dinamika guru dalam pengembangan program pembelajaran tidak akan bermakna bagi perbaikan proses dan ahsil belajar siswa, jika manajamen sekolahnya tidak memberi peluang tubuh dan berken\mbangnya kreativitas guru tersebut. Demikian pula penambahan dan penguatan sumber belajar berupa perpustakaan dan laboratorium tidak akan terlalu bermakna jika manajemen sekolahnya tidak memberi perhatian serius dalam optimalisasi pemanfaatan sumber belajar tersebut dal;am proses belaajar siswa. Manajemen, memang merupakan sesuatu yang amat bermakna dalam perubahan menuju sebuah perbaikan.
Sekolah merupakan sebuah organisasi, yakni unit sosial yang sengaja dibentuk oleh beberapa orang yang satu sama lain berkoordinasi dalam melaksanakan pekerjaannya untuk mencapai tujuan bersama (adaptasi dari Carlisle,1987:3). Sekolah merupakan sebuah unit sosial, karena didalannya terdiri dari beberapa orang yang menyatu bukan oleh faktor kebetulan tapi dengan sebuah kesengajaan, yakni mereka sengaja untuk menyatu walaupun melakukan tugas yang berbeda satu sama lain dalam rangka mencapai sebuah tujuan utama, yakni mendidik anak-anak dalam mengantar mereka menuju ke fase kedewasaan, agar mereka mandiri baik secara psikologis, biologis, maupun sosial. Oleh sebab itulah mereka harus senantiasa berkoordinasi antar satu dengan lainnya dalam pelaksanaan tugas dan pekerjaan masing-masing agar terkonstrol dalam upaya menuju tujuannya itu. Itulah karakteristik dari sebuah organisasi. Sebagai sebuah organisasi sekolah akan memiliki ciri keorganisasian adaptasi dari Carlisle, 1987 : 4), yaitu : 1. 2. 3. 4. 5. Memiliki ciri-ciri distingtif d alam proses dan prosedur kerja yang didasarkan pada tugas dan kewenangan masing-masing dan unit kerjanya. Organisasi sekolah juga akan memiliki hierarki kewenangan, antar kepala sekolah dengan wakil kepala sekolah, dengan guru, tata usaha dan lainnya. Sekolah juga akan memiliki sistem organisasi dan kontrol serta pengawasan yang berbeda dengan organisasi jasa lainnya. kemudian, sebagai sebuah organisasi, sekolah juga akan memiliki identitas kolegtif yang menjadi ciri dan membedakannya dari komunitas dari organisasi lainnya. Dan terakhir sekolah memiliki tujuan bersama antar kepala sekolah, guru, tata usaha, dan unsur-unsur sekolah lainnya. Pendidikan Indonesia kini telah memasuki era perubahan yang ketiga, setelah sebelumnya pendidikan itu milik masyarakat yang menyatu dalam lembaga-lembaga keagamaan, surau, masjid, dan pesantren-pesantren sebagai pengembangan fungsi dari masjid menjadi lembaga pendidikan. Kemudian pendidikan menjadi program pemerintah, dan dikelola secara sentralistik baik perencana, pendanaan maupun berbagai kebijakan kurikulum dan pembinaan sumber daya manusia serta berbagai sumber daya pendidikan lainnya. Lahirnya UUSPN No. 2 tahun 1989 telah memperkuat sentralisasi tersebut, tidak hany standar kualitas tapi juga kurikulum, metode dan evaluasi hasil belajar kini dengan diundangkannya UU Sisdiknas No. 20 tahun 2003, rakyat memperoleh kembali hak partisipatifnya dalam mengembangkan kualitas pendidikan., sebagaimana dikemukakan pada pasal IV ayat I yang berbunyi Pendidikan di selenggarakan secara demokratif dan keadilan serta
tidak diskriminatif dengan menjunjung tinggi hak asasi manusia, nilai keagamaan, nilai kutural dan kemajemukan. Gagasan dasar tersebut diperjelas dengan ayat ke VI pasal yang sama, yang berbunyi pendidikan diselenggarakan dengan pemberdayakan semua komponen masyarakat melalui peran sertda dalam penyelenggaraan dan pengendalian mutu pelayanan pendidikan. Reformasi radikal tersebut dikembangkan dengan dilandasi dengan sebuah keperhatikan dengan lemahnya sektor pendidikan di Indonesia dan rendahnya rata-rata prestasi lulusan sekolah pada jenjang , sehingga peringkat SDM Indonesia terpuruk tidak saja ditingkat dunia tapi bahkan di tingkat asia tenggara kini pendidikan didorong kebawah, sebagai otoritas antar pemerintah pusat, pemerintah daerah serta stakeholder-nya infrastruktur berbagai aturan hukum telah disiapkan dengan diundangkannya undang-undang sikdiknas No 20 tahun 2003 yang berbasis pola pendidikan demokratif serta didukung pula oleh undang-undang No. 22 tahun 1999, tantang Pemerintahan daerah yang meletakan sektor pendidika sebagai salah satu sektor yang diotonomisasikan, yang implementasinya akan lebih banyak didorong kesekolah bersama stakeholder nya. Salah satu harapan demokratiasasi sektor pendidikan dalah agar seluruh komponen dan kekuatan masyarakat terlihat dalam melakukan berbagai perubahan dan perbaikan sektor pendidikan menuju hasil pendidikan yang berkualitas. Demokratisasi pengelolaan pendidikan berarti mendorongt tanggung jawab peningkatan dan perbaikan kualtas pada tenaga guru dan kepala sekolahnya untuk mengorganisir berbagai program peningkatabn kualitas hasil belajar melalui perbaikan proses pembelajaran, dengan didukung para stakeholder serta pemerintah daerah yang bertugas melakukan fasilitasi terhadap berbagai upaya pengembangan sekolah sehingga SDM lulusan sekolah kompetitif dipasar tenaga kerja, lokasl, nasional, regional dan bahkan global, yang terus kian terbuka bagi masyarakat dunia. Akan tetapi jika SDM hasil pendidikannya itu tidak kompetitif, bukan saja tidak bisa meraih peluang dan kesempatan dalam kompetisi regional, dan global, bahkan kesempatan lokal pun akan diambil orang lain. demokratisasi sekolah tidak cukup hanya dengan pelibatan stakeholder dalam perumusan berbagai kebijakan kurikulum,perlibatan siswa dalam kebijakan pengembangan proses pembelajaran,serta tidak pernah membiarkan ada siswa tertinggal, tapi juga harus didukung dengan iklim demokratis dalam organisasi sekolah sendiri, agar semua untuk ekolah mempunyai rasa memiliki terhadap berbagai program perbaikan tersebut , serta meningkatkan tanggung jawab dan partisipasinya untuk perbaikan perbaikan tersebut. Ciri-ciri organisasi sekolah demokratis, sebagaimana dipaparkan Tony Bush adalah sebagai berikut (Bush, 1986: 48-50). 1. Sangat berorientasi normatif, yakni bahwa manajemen harus selalu didasarkan pada kesepakatan , apa pun program yang hendak dikembangkan dan diimplementasikan harus
didasarkan pada kesepakatan, dan tidak hanya menjadi values tapi juga sebagai sebuah keyekinan, bahwa model inilah yang terbaik. 2. Pendekatan demokratis sangat layak untuk organisasi dengan para anggota dari kalangan profesional, yakni mereka yang memiliki kemampuan teknis dan ketrampilan, mereka memiliki otoritas dalam keahliannya.Organisasi sekolah harus dikelola oleh kalangan kalangan profesional, karena siswa memerlukan pembinaan dan pelayanan dari mereka yang memiliki otoritas dalam bidangnya. 3. Penanaman nilai, kultur dan kebiasaan-kebiasaan dalam organisasi dilakukan oleh anggota organisasi itu sendiri,yang sudah dimulai sejak dalam fase pendidikan dan tahun- tahun pertama mereka bekerja. 4. Pengambilan putusan tentang berbagai kebijakan penting dilakukan oleh sebuah komite dan tidak dilakukan yang harus secara individual oleh seseorang kepala dengan menggunakan keterlibatannya dalam komite terhadap otoritas kepemimpinannya. Dan semua unsur memiliki wakil dalam komite tersebut, mempertanggungjawabkan konstituennya. 5. Senua putusan ditetapkan dengan cara konsensus dan atau kompromi dan sedapat mungkin dihindari polarisasi organisasi karena perbedaan pendapat dan atau pandangan.Perbedaan dalam proses harus diakhiri dengan konsensus dan kompromi, walaupun terkadang harus menghargai kecenderungan mayoritas. Untuk mewujudkan ciri- ciri tersebut, seorang kepala sekolah yang meiliki peran sentral dalam kepemimpinan sekolah, harus memiliki kualifikasi- kualifikasi sebagai berikut (Bush,1986: 60) : 1. Memiliki sikap yang responsive terhadap kebutuhan dan harapan dari para anggotanya, menghargai keahlian dan ketrampilan dari para guru dan selalu berusaha untuk mengoptimalkan pemanfaatan keahlian koleganya itu untuk siswa siswanya.Untuk itu, sebaiknya mereka itu diangkat dalam posisi kepala sekolah setelah sukses menjadi profesional sebagai guru dalam waktu yang cukup lama,sehingga mereka cukup sensitive terhadap profesi keguruan dan cukup memiliki pengalaman untuk melakukan optimalisasi pemanfaatan keahlian dan skill guru tersebut untuk para siswanya. 2. Seorang kepala sekolah demokratis juga harus selalu mencari dan menciptakan forumforum formal maupun informal untuk menguji dan mengelaborasi inisiatif kebijakan.Semua ini dilakukan untuk mendorong inovasi dan untuk memaksimalkan akseptabilitas dari putusan- putusan sekolah.
3.
Seorang kepala sekolah demokratis harus lebih menonjolkan keahlian daripada otoritas official, yakni pengambilan putusan tentang sesuatu harus dipertimbangkan berdasarkan pandangan dan pendapat mereka yang memiliki pengetahuan dan keahlian tentang hal tersebut daripada menggunakan otoritas kepemimpinannya. Sesuai karateristik tersebut,maka kepala sekolah atau pimpinan sebuah lembaga
pendidikan hanyalah sebagai fasilitator terhadap proses partisipasi internal.Mereka bertugas memfasilitasi berbagai gagasan, pandangan untuk kemudian diputuskan secara konsensus atau kompromi, lalu diimplementasikan bersama sama.Namun bersamaan dengan itu, mereka juga harus mampu menginterpretasi berbagai harapan dan permintaan external client, lalu mengkomunikasikannya pada staf internal, dan melakukan pengambilan berbagai putusan kebijakan untuk dilaksanakan sebagai wujud pelayanan terhadap permintaan client tersebut. Model kepemimpinan demokratis ini bukan sebuah dokrin mutlak benar. Tetapi sebuah konsep dan gagasan alternatif yang memiliki berbagai kekuatan dan kelemahan. Secara objektif Tony Bush memaparkan berbagai kekuatan dan kelemahan model kepemimpinan organisasi sekolah yang demokratis (Bush, 1986 : 61-62), yakni : 1. 2. 3. Kekuatan model kepemimpinan disekolah yang demokratis adalah sangat normatif dan idealistic. Guru dapat mengartikulasikan keahlian dan otoritas mereka yang memperkuat legitimasinya untuk keterlibatan mereka dalam proses pengambilan putusan. Dalam suasana demokratis, guru dapat mengembangkan berbagai kebijakan melakukan ujicoba, baik dalam pengembangan implementasi kurikulum, strategi, assignment serta evaluasi, sehingga inovasi dan kreativitas mereka selalu memperoleh tempat pengarahan dari kepala sekolah, karena kepala sekolah bukan seorang superman, dia hanyalah fasilitator yang dapat memberi peluang untuk semuanya berkembang. 4. Kemudian para teoritisi juga berargumentasi bahwa model kepemimpinan sekolah demokratis sangat prospektif untuk berbagai perubahan ke depan, karena guru dapat memberikan konstribusi pemikiran-pemikirannya untuk fomulasi berbagai kebijakan. Kepemimpinan demokratis itu sangat normatif, yakni bahwa pola kepemimpinan demokratis tersebut memiliki berbagai aturan dan sistem yang kuat, baik dalam proses pemilihan kepala sekolah, tugas dan kewenangan struktur dalam sekolah tersebut, serta prosedur pengambilan berbagai keputusan tentang kebijakan sekolah, semuanya diatur oleh sebuah sistem, bukan oleh common sense kepala sekolah belaka. Berbeda dengan kepemimpinan tradisional yang berbasis kekuasaan, tidak ada sistem pengambilan keputusan semua berbasis otoritas dan kekuasaan. Karena berbasis sistem yang
kuat dari kepemimpinan demokratis, maka putusan-putusan yang akan dihasilkan bisa kuat dan memperoleh jaminan untuk bisa diimplementasikan. Berbeda dengan pengambilan putusan berbasis otoritas yang bisa menimbulkan resistansi serta akan memperluas penolakan dan sikap reluctant terhadap putusan tersebu. Kemudian kepemimpinan demokratis juga sangat idelistik, yakni sangat sesuai dengan cita dan harapan publik karena pelibatan mereka secara penuh, baik dalam proses pengambilan keputusan maupun impelementasinya. Kendati demikian, sebagaimana dikatakan diatas, bahwa demokrasi itu bukan doktrin yang tidak bisa dikritik. Berbagai kelemahan yang meliputi model kepemimpinan demokratis di sekolah (Bush, 1986 : 61 62), yaitu : 1. Kepemimpinan sekolah yang demokratis itu terlalu normatif, padahal belum tentu aspirasi semua anggota tersebut mampu menggambarkan realita, dan pada akhirnya gagasan untuk lebih banyak menyerap aspirasi publik justru bercampur dengan sikap dan pandangan personal dari anggota perwakilan dan komite. 2. Model pengambilan keputusan yang demokratis itu justru lamban dan tidak praktis, karena semua usulan kebijakan harus menunggu persetujuan bersama dari komite, yang semua itu akan memakan waktu dan biaya. 3. 4. pengambilan keputusan secara demokrasi akan efektif jika semua peserta komite memiliki pendidikan yang sama atau mendekati sama. Kemudian kritik tehadap kepemimpinan demokratis juga cenderung elitis, dan bahwa pengambilan putusan yang harus selalu consensus merupakan sesuatu yang tidak biasa digaransi karena semua orang akan memiliki pandangan dan pendapat yang berbeda. 5. Pada akhir, kepemimpinan demokratis, sangat tergantung pada kepala sekolah. Apakah kepala sekolah akan mendorong persoalan-persoalannya menjadi otoritas publik atau tidak, dan apakah kepala sekolah akan memperhatikan pendangan-pendanganpara stafnya, karena pada akhirnya implementasi berbagai kebijakan tersebut menjadi tanggung jawabnya. Memang secara ideal, kepemimpinan demokratis belum terkritik, walaupun secara teknis membawa berbagai implikasi yang diprediksi akan menimbulkan berbagai kesulitan dan efisiensi, walaupun diakui efektif untuk mengembangkan partisipasi para guru serta unsur-unsur lain dari sekolah, termasuk staf administrasi, dalam upaya menuju cita sekolah efektif , yakni sekolah yang dapat mencapai cita output sesuai level yang diharapkan serta dengan biaya yang sangat murah (Scheerens, 1997 : 4). Namun bersamaan dengan itu, menurut Scheerens bahwa untuk mencapai efektivitas tersebut, tidak cukup dengan model kepemimpinan yang demokratis sebagai mana
terpapar diatas, tapi juga harus memiliki rumusan tujuan yang jelas, struktur organisasi serta pembagian tugas yang jelas serta memiliki clearcut antara satu unit dengan lainnya, serta didukung oleh prosedur kerja dari mulai perencanaan, koordinasi, kontrol dan evaluasi hasil, kemudian didukung pula oleh kultur serta lingkungan (Scheerens,1997:21). Model kepemimpinan demokratis lebih memfokuskan perhatiannya pada struktur organisasi yang memberi garansi untuk lebih aspiratif serta prosedur dalam pengambilan putusan dan distribusi penugasan serta kewenangan yang lebih fair. Tujuan akhir dari semuanya sebenarnya adalah pencapaian tujuan agar sekolah menjadi efektif mencapai tujuannya, yang untuk sekolah harus mencapai performa terbaiknya. Setidaknya ada dua element yang hasrus di perbaiki untuk mengembangkan sekolah agar memiliki performa terbaik (Mohrman,1994: 5), yaitu : 1. Keberlanjutan organisasi yang terkait erat dengan kualitas outcome harus di tetapkan oleh stakeholder yang menyediakan seluruh sumber daya serta mendukung organisasi, bukan oleh anggota organisasi sekolah itu sendiri. 2. Pengembangan sekolah agar mencapai performa terbaik bukan sebuah pernyataan lip service belaka, tapi justru kemajuan yang terus bergerak menuju standar performa yang di harapkan. Sekolah sebagai sebuah organisasi tidak boleh mengevaluasi dirinya oleh dirinya sendiri, tidak boleh menggagas pengembangan dirinya hanya oleh anggota internal organisasinya sendiri,tanpa melibatkan stakeholder, karena justru merekalah yang mempunyai obsesi tentang sekolah tersebut, dan mereka tidak akan terkontaminasi oleh berbagai pertimbangan teknis yang akan mengganggu imajinasi gagasan gagasan. Oleh sebab itu, perumusan berbagai gagasan ke depan harus di serahkan pada stakeholder sekolah, yakni, kalau sekolah negeri adalah pemerintah daerah, siswa dan orangtua siswa,serta para guru dan tat usaha di sekolah yang bersangkutan. Kesepakatankesepakatan dan ri forum inilah yang harus menjadi acuan pengembangan kedepan, yang dapat mencerminkan gagasan-gagasan ideal serta petimbangan-pertimbangan aturan, norma dan pernyataan prkatis dilapangan. Gagasan-gagasan besar untuk mengembangkan sekolah dengan performa terbaik, agar menghasilkan lulusan yang cerdas, kompetitif dan memiliki berbagai keunggulan komparatif , setidaknya harus didukung oleh lima karakteristik (Wohlstetter, 1994 : 81), yakni : 1. 2. 3. 4. 5. Kepemimpinan yang kuat Memiliki ekspektasi yang tinggi pada siswa Memberi penguatan pada basic skills Suasana yang terkontrol dan bisa diatur tering melakukan tes terhadap performa siswa
Sekolah akan mencapai performa terbaik jika di pimpin oleh seorang kepala sekolah yang kuat, visioner, konsiten, demokratis dan berani mengambil putusan-putusan strategis. Kemudian ia mampu menyampaikan gagasan-gagasan besar sekolah nya serta prestasi siswasiswanya pada semua anggota organisasi, dan mampu mendorong motivasi guru, staf dan siswasiswanya untuk terus berprestasi dan menunjukan prestasi terbainya. Selain itu, sekolah juga harus mencurahkan perhatian kepada pembelajaran siswa, dan siswa-siswanya menyadari bahwa mereka diharapkan untuk berprestasi. Semua unsur dalam sekolah itu pimpinan, guru, tata usaha, bekerja secara serius dan profesional, demikian pula dengan siswa-siswanya belajar serius, dan guru bersama siswa mengembangkan kerjasama proses pembelajaran secara efektif dalam prinsip collaborative learning, guru mengajar dengan konsisten, tidak meninggalkan tugas mengembangkan strategi yang membelajarkan siswa serta mampu mendorong siswa-siswanya untuk mencapai hasil belajar yang optimal. Kemudian kehadiran stafnya juga baik, tidak sering bolos dan mampu memberikan pelayanan yang tegas namun beradab, hingga tercipta suasana kerja yang dinamis dan profesional penuh keharmonisan. Disamping itu, sekolah juga harus memberikan perhatian yang tinggi terhadap penguatan basic skill para siswanya, serta mengembangkan suasana yang mendukung pengembangan basic skill tersebut, dan disertai dengan tes yang teratur, untuk mengevaluasi pencapaian siswa, sehingga bisa di kembangkan program-program penguatan bagi mereka yang belum mencapai penguasaan minimal dari terget kurikulum serta program pengayaan bagi mereka yang memiliki kemampuan belajar cepat (accelerated learning). Gambara diatas menunjukan betapa posisi pemimpin itu amat penting, hampir-hampir kemajuan dan kemunduran sekolah sangat tergantung pada pimpinan, karena peran dan fungsinya untuk mengkoordinasikan kerja semua unsur dalam organisasinya,. Dengan demikian kepala sekolah harus memiliki bekal agar dapat mengelola semua sumber daya yang ada sehingga menjadi kekuatankekuatan kontributif untuk sebuah kemajuan. Kepala sekolah harus dipercaya oleh semua angota timnya, dan dia pun harus memberi kepercayaan kepada timnya untuk mengerjakan tugas sesuai kewenangannya. Kepala sekolah juga harus memiliki pengalaman kepemimpinan, serta memiliki pengetahuan dasar tentang manajemen, karena bidang tugas dia adalah mengelola semua sumber daya yang ada, baik sumber daya manusia, fisik dan sarana, maupun sumber daya keuangan. Manajemen sebagaimana dibahas dalam kajian-kajian teoritis adalah, proses mengarahkan, mengkoordinasikan, dan mempengaruhi operasional organisasi untuk memperoleh hasil keseluruhan (Carlisle, 1987 : 10). Pengertian tersebut menekankan bahwa lingkup tugas manajemen adalah mengarahkan dan mengkoordinasikan seluruh anggota organisasi untuk melakukan sesuatu sesuai
kapasitasnya masing-masing untuk mencapai tujuan dari organisasi tersebut. Jika proses ini berjalan dan memperlihatkan hasil yang berarti, maka performa organisasi juga akan meningkat sebagai organisasi yang baik, kuat dan solid, serta akan menghasilkan output atau outcome sesuai harapan. Dalam konteks pendidikan, manajemen sekolah adalah proses koordinasi yang terus menerus dilakukan oleh seluruh anggota organisasi untuk menggunakan seluruh sumber daya dalam upaya memenuhi berbagai tugas organisasi yang dilakukan dengan efisien (Bush, 1986 : 1). Koordinasi dimaksud adalah koordinasi antara guru dengan kepala sekolah, dan dengan tata usaha, serta antara tata usaha dengan kepala sekolahnya. Inti kedua pengertian tersebut sama, yaitu koordinasi yang dilakukan untuk mencapai tujuan. Jika tujuannya adalah peningkatan performa sekolah, maka koordinasi tersebut dilakukan untuk mencapai tujuan. Jika tujuannya adalah peningkatan performa sekolah, maka koordinasi tersebut dilakukan untuk mencapai performa terbaik dari sekolah. Dengan demikian, inti manajemen dalam bidang apapun sama, hanya saja variabel yang dihadapinya bisa berbeda, tergantung pada bidang apa manajemen tersebut digunakan dan dikembangkan. Manajemen pendidikan memiliki karakteristik yang membedakannya dengan manajemen dalam bidang layanan jasa lainnya. Menurut Tony Bush, perbedaan-perbedaan tersebut meliputi (Bush, 1986 : 5-6). 1. Tujuan dari lembaga pendidikan berbeda dengan layanan jasa lainnya, dan tidak mudah untuk didefinisikan disbanding dengan manajemen perdagangan umpamanya, karena pendidikan bertugas mendidik anak-anak agar memiliki berbagai nilai, bahkan kepercayaan yang semuanya sukar untuk diukur. Beda dengan perdagangan, berapa barang terjual dan berapa keuntungan, sangat mudah untuk dihitung. Kendati banyak pula yang sukar untuk mengukurnya. 2. Kemudian dalam pendidikan aspek tujuan termasuk yang sukar pula diukur tingkat ketercapaiannya, apakah tujuan pendidikan itu telah tercapai atau belum saat seorang siswa telah menyelesaikan pendidikannya pada jenjang dan jenis tertentu. 3. Anak-anak atau siswa-siswa sebagai vocal point dari pendidikan justru anjadi ambiguistik, karena itu di satu sisi mereka adalah client atau pelanggan yang harus memperoleh pelayanan terbaik, namun di sisi lain mereka diharapkan dikembangkan dan diubah karakteristiknya dengan penanaman nilai-nilai baru. Oleh sebab itu, mereka harus diberi berbagai penghalaman baru. Kemudian bersamaan dengan itu pula, siswa-siswa adalah manusia, yang pembentukannya tidak sama dengan benda atau barang, yang midah untuk di redisn, sementara anak-anak adalah manusia yang tidak mudah untuk dibentuk baru atau dimanipulasi. 4. Kepala sekolah dan guru berasal dari kalangan profesi yang sama, yaitu sama-sama profesional dan sama-sama guru dari latar belakang pendidikan keguruan yang sama. Oleh sebab
itu, sebagai profesional guru biasa menuntut otonomi dalam pelaksanaan proses pembelajaran bagi siswa-siswanya. Dengan demikian, sistem koordinasi antara guru dengan kepala sekolah berbeda dengan koordinasi antara atasan dan bawahan dalam sebuah instansi pemerintah umpamanya, atau perusahaan yang bergerak dalam industri barang atau jasa lainnya. 5. Manajemen sekolah juga menghadapi persoalan fragmentatif, karena suasana pengambilan putusan sekolah senantiasa dipengaruhi oleh unsur-unsur agensi luar, seperti perwakilan orang tua siswa, perwakilan pemerintah, politisi dan unsur lainnya. Keragaman unsur-unsur yang terlibat ini, akan menyulitkan kepala sekolah dalam mendistribusikan tanggung jawab terhadap putusanputusan yang dihasilkan rapat sekolah, karena unsur-unsur yang mempengaruhi pengambilan putusan tersebut justru tidak berada dalam jajaran jajaran manajemen, padahal mereka sangat vokal dalam penyampaian berbagai saran dan pendapat untuk diputuskan kepala sekolah. 6. Problem manajemen sekolah yang juga spesifik adalah kesibukan kepala sekolah dalam mengajar. Banyak senior manajer hanya memiliki waktu yang sangat sedikit untuk menajerial karena sibuk dengan tugas mangajar. Bahkan untuk tingkat primary school (sekolah dasar) sering kali semua tim manajemen adalah pengajar, dan memiliki tugas mengajar dikelas, sehingga sangat sedikit waktu untuk manajemen sekolah. Oleh sebab itulah, ada problematika implementasi teori-teori manajemen secara umum pada manajemen sekolah. Argumen-argumen diatas memperlihatkan bahwa manajemen pendidikan tidak bisa mengadopsi secara utuh teori manajemen industri barang atau jasa lainnya, tapi memiliki ciri dan karakteristik sendiri. Unsur yang dihasilkan adalah sumber daya manusia dalam kualitas tertentu. teamwork-nya adalah guru yang agaliter, cenderung idependen, walaupun harus tetap akuntabel, mitra kerjanya adalah orang tua, pemerintah, atau tokoh masyarakat, yang hanya sharing pandangan, pendapat dan gagasan, lalu bersama-sama dengan kepala sekolah mengambil berbagai putusan strategi, tapi setelah itu mereka pergi meninggalkan sekolah, dan membiarkan kepala sekolah, dengan timnya mengatur pelaksanaan putusan mereka. Itulah karakteristik manajemen sekolah yang harus dibahas khusus sebagai manajemen pendidikan. Kendatipun demikian, sekolah harus dikelola secara profesional, yakni kepala sekolah dan unsur pimpinan lainnya harus memiliki kemampuan teknis dalam pendidikan dan memiliki keterampilan manajerial, sehingga bisa memberikan layanan terbaik bagi lient-nya. Apalagi dalam konteks peningkatan performa sekolah yang tidak cukup dengan mempermegah sarana fisik, serta konsep kurikulum yang baik, tapi juga harus diimbangi dengan manajemen yang visioner, inovatif , dan terus menerus dalam perbaikan secara bertahap menuju kualitas ideal.
Tanggung jawab manajemen adalah pada manajer, yakni koordinator atau direktur dari sebuah organisasi, atau dalam konteks sekolah adalah kepala sekolah, yang memperoleh tanggung jawab individual untuk melakukan monitoring aliran kerja, mengintegrasikan berbagai usaha dan upaya, mencapai tujuan dan memimpin sekolah secara efektif dan efisien, yakni mempu melakukan pengambilan pilihan yang tepat, dan mendorong berbagai aktivitas agar organisasinya bisa mencapai tujuan, serta mapu menggunakan semua sumber daya untuk mencapai semua tujuan organisasi itu (Carlisle, 1987 : 6). Sesuai bidang tanggung jawabnya itu, maka seorang kepala sekolah, sebagai manajer harus memiliki dua kriteria utama, yakni pengetahuan teknis adalah kemampuan atau pengetahuan yang dapat meningkatkan kualitas pelaksanaan tugas serta pelayanan, seperti pengetahuan tantang sarana dan prasarana pendukung pendidikan yang ideal, proses pembelajaran yang baik, model evaluasi pembelajaran, pengembangan alat belajar, pengetahuan tentang keuangan, quality control, pengetahuan tentang inventarisasi dan administrasi pengetahuan. Sedangkan keterampilan manajerial, adalah keterampilan mengarahkan semua anggota organisasinya untuk mengerjakan tugas sesuai bidang dan kewenangannya, kemudian mengoordinasikan unit-unit kerja agar melakukan upaya-upaya untuk mencapai tujuan yang sama, serta melakukan kontrol terhadap semua anggota organisasinya itu melalui supervisi, baik terhadap tenaga guru maupun tanaga administrative. Demikian Howard M. Carlisle dalam bukunya Management Essentials. Sementara Lesly Kydd dalam bukunya. Profesional Develoment for educational Management menegaskan (Kydd , 1996 : 15 17), bahwa seorang manajer seklah yang akan mengelola pendidikan itu harus memiliki tiga kecerdasan, yaitu kecerdasan, yaitu kecerdasan profesional , kecerdasan personal, dan kecerdasan manajerial. Kecerdasan profesional adalah kecerdasan yang diperoleh melalui pendidikan, yang akan menghasilkan pengetahuan dan keahlian atau keterampilan teknis yang spesifik untuk melakukan pekerjaan profesional yang berbeda dengan dokter, pengacara, perawat, atau lainnya. Kecerdasan ini menjadi kunci pelaksanaan tugas dalam organisasi. Sesuai dengan kriteria tersebut, maka seorang kepala sekolah harus memiliki pengetahuan tentang pendidikan, dari mulai kurikulum, pengembangan kurikulum, perencanaan pembelajaran strategi pembelajaran, evaluasi proses dan hasil belajar, serta berbagai sarana pendukung pembelajaran. Sedengkan kecerdasan personal adalah kemampuan, skil dan pengetahuan untuk melakukan hubungan sosial yang amat diperlukan agar tetap dapat menjalin hubungan sosial yang amat diperlukan agar tetap menjalin hubungan yang baik dengan orang lain, baik dalam konteks tata hubungan profesional maupun sosial, kecerdasan personal ini diakui amat penting bagi siapapu , apalagi bagi konfesional dalam memajukan pengorganisasinya namun sampai saat ini hampir tidak
ada mata pelajaran atau mata kuliah yang mengajarkan secara khusus pengembangan tat hubungan sosial tersebut bahkan juga dalam latihan-latihan sehingga tidak sedikit orang mengalami kegagalan karir profesionalismenya, hanya karena kelemahan dalam kecerdasan personal tersebut kesuksesan seseorang dalam mengelola sebuah organisasi tidak saja di tentukan oleh kesadaran tentang pentingnya peningkatan kecerdasan personal ini tapi justru peningkatan pengetahuan dan keterampilan dalam pengembangan tata hubungan sosial ini yang akan sangat kontributif terhadap kesuksesan profesionalnya. Demikian pula dengan kecerdsasan manajerial yang sangat diperlukan bagi seorang kepala sekolah untuk di bisa bekerja sama dengan dan mengerjakan sesuatu melalui orang lain. berikut adalah berbagai klasifikasi kemampuan manajerial yang amat berguna untuk dipertimbangkan sebagai langkah awal mengerjakan berbagai tugas manajerial, yaitu : 1. a. b. c. d. Kemampuan mencipta , yang meliputi : selalu mempunyai indeks-indeks bagus. Selalu memperoleh solusi solusi untuk berbagai problem yang biasa dihadapi. Mampu mengantisipasi berbagai kunsekuensi dari pelaksanaan berbagai keputusan Mampu mempergunakan kemampuan berpikir imajinatif (lateral thinking) untuk menghubungkan sesuatu dengan yang lainnya, yang tidak bisa muncul dari analisis dan pemikiran-pemikiran empirik. e. 2. a. b. c. d. 3. a. b. c. d. e. 4. a. b. Menggunakan imajinasi ynag intuisi. Kemampuan membuat perencanaan yang meliputi : Mampu menghubungkan kenyataan sekarang dengan kebutuhan esok. Mampu mengenali apa-apa yang penting saat itu dan apa apa yang benar mendesak. Mampu mengantisipasi kebutuhan-kebutuhan mendatangkan. Mampu mengantisipasi Kemampuan-kemampuan mengorganisasi yang meliputi Mampu mendistribusikan tugas-tugas dan tanggung jawab yang fair (adil) Mampu membuat keputusan secara tepat Selalu berada dimuka saat pertanggung jawaban Selalu bersikap tenang dalam menghadapi kesulitan Mampu mengenali pekerjaan itu sudah selesai dan sempurna di kerjakan Kemampuan-kemampuan berkomunikasi yang meliputi Mampu memahami orang lain Mampu dan mau mendengarkan orang lain
c. d. e. f. g. h. i. j. 5. a. b. c. d. 6. a. b. c. d.
Mampu menjelaskan sesuatu kepada orang lain Mampu berkomunikasi melalui tulisan Mampu membuat orang lain berbicara Bijak Toleran terhadap kesalahan orang lain Mampu mengucapkan terima kasih kepada orang lain dan selalu mendorong orang lain untuk maju Selalu memelihara agar setiap orang memperoleh informasi yang diperlukan Selalu mengikuti dan memanfaatkan teknologi informasi Mampu memberi motivasi yang meliputi Mampu memberi inspirasi pada orang lain Menyampaikan tantangan yang realistis Membantu orang lain untuk mencapai tujuan dan target Membantu orang lain untuk menilai konstribusi dan mencapai sendiri Mampu melakukan evaluasi yang meliputi : Mampu membandingkan antara hasil yang dicapai dengan tujuan Mampu melakukan evaluasi diri Mampu melakukan evaluasi terhadap pekerjaan orang lain Mampu melakukan tindakan pembenaran saat diperlukan Tampaknya Kydd memerikan uraian yang lebih detail dari Carlisle, walapun bertolak dari
paradigma yang sama, yaitu setiap menejer harus memiliki pengetahuan teknis dan skil manajerial. Kalau kydd menegaskan bahwa kreteria pertama seorang menejeradalah memiliki kecerdasan profesional tersebut sma dengan kemampua teknis dala rumusan Carlisle, sementara keterampilan manajerial tercakup dalam dua kecerdasan lainnya. Dengan demikian, sesuai analisis dan teori-teori diatas, seorang kepala sekolah harus memiliki tiga kecerdasan pokok, yakni kecerdasan profesinal, kecerdasan prosonal, dan kecerdasan manajerial, dengan indikator sebagai mana telah diuraikan di atas. Kapabilitas ideal tersebut tidak selalu dimiliki secara sempurna oleh setiap guru. Pada umumnya mereka memiliki kemampuan teknis yang memadai karena pendidikan keguruan telah memberikan kompetensi tersebut dengan maksimal. Namun para guru tersebut kurang memiliki keterampilan managerial karena pembinaan kompetensi managerial skill tersebut kurang memperoleh penekanan dan program pendidikan keguruan oleh sebab itulah seorang kepala sekolah, selain harus linier antara tugas dengan basis keahlian, juga harus memiliki berbagai pengalaman manajerial,
dengan menjabat tangan yang lebih rendah serta mengikuti berbagai latihan yang relevan sehingga memahami bidang-bidang tugasnya itu serta proses manajemen secara keseluruhan tidak hanya teoretik tapi juga implementasi lapangannya. Pertanyaan mendasar yang akan disampaikan pada kepala sekolah sebagai seorang manajer adalah fungsi-fungsi apa yang harus dilaksanakan kepada sekolah untuk memulai sebuah kegiatan serta melibatkan semua unsur dalam organisasi sekolah untuk mencapai tujuan yang harapkan,. Pertanyaan tersebut biasa dan wajib dilakukan secara teoretik amat mudah pula menjawabnya, karena secara simple sudah diketahi oleh banyak kalangan bawah fungsi manajemen sekolah itu adalah perencanaan , pengorganisasian, pelaksanaan, program dan kontrol akan tetapi empat fungsi tersebut terus di kembangkan dan menimbulkan diskursus dalam wacana ilmu manajemen, sampai akhirnya Carlisle menyimpulkan menjadi lima (5) fungsi yang harus dilakukan kepala sekolah dalam melaksanakan proses manajemennya, yaitu planning, organizing, staffing, derecting controlling (Adaptasi dari Carlisle, 1987 : 14). Planning atau perencanaan adalah fungsi pertama dan utama yang harus dilakukan kepala sekolah sebelum mengerjakan yang lain. kalau tidak ada perencanaan atau program, maka perjalanan sekolah tidak akan terarah, tidak jelas apa yang akan dituju, dan tidak jelas pula apa yang akan dikerjakan. Oleh sebab itu, kegiatan pertama yang harus dilakukan kepala sekolah adalah menyusun perencanaan, baik rencana-rencana strategis berjangka panjang dan menengah, maupun rencana operasional tahunan. Dalam perencanaan tersebut harus sudah tercakup penjabaran apa-apa yang akan dihasilkan. Kemudian bagaimana mencapai hasil-hasil tersebut, dari mana akan diperoleh dukungan dana, siapa pemakainya, apa sumber daya yang akan diperlukan, kapan sumber daya tersebut bisa diperoleh. Semua itu merupakan perencanaan. Dan semua itu harus dijawab dengan penjabaran program yang komprehensif agar sekolah menjadi efektif. Perencanaan sekolah itu dikembangkan bukan dengan cara melamun atau menghayal, tapi harus didasarkan pada visi apa yang akan diwujudkan dalam beberapa tahun ke depan, lalu misi apa yang akan dikembangkan, value apa yang dimiliki, dan apa tujuan yang akan dicapai dalam waktu tertantu, lalu apa permintaan-permintaan pelanggan. Semuanya itu merupakan variabel-variabel yang perlu dipertimbangkan dalam menyusun sebuah perencanaan, sehingga program-program tersebut benar-benar sesuai dengan permintaan pelanggan dan sesuai pula dengan arah kebijakan pengembangan instuisi dalam beberapa tahun ke depan. Berbagai variabel yang perlu dipertinbangkan tersebut, lebih dapat dilihat dalam gambar berikut ini : Gambar 21
Manajemen
Sumber Daya Manusia
Sekolah Program
dan
Struktur dan Pendekatan Manajemen
Pengembangan
Kesejahteraan Siswa
Pendidikan Efektif
Elemen inti adalah unsur-unsur utama dari kegiatan pendidikan, yakni mensejahterakan siswa dengan indikator mereka bisa belajar dengan baik sehingga menjadi cerdas, pintar, terampil dan memiliki pengetahuan serta keterampilan baru yang tidak akan mereka miliki jika tidak sekolah. Kemudian sumber daya manusia, khususnya guru, yaknibahwa manajemen sekolah itu bertujuan memperbaiki sumber daya manusia, baik pada aspek kualitas keilmuan, pengalaman, maupun loyalitas profesionalisme mereka. Bersamaan dengan itu, manajemen sekolah juga bertujuan meningkatkan memperbaiki kurikulum agar efektif membuat siswa-siswa menjadi cerdas. Semua tujuan tersebut harus diupayakan untuk diwujudkan, dikembangkan diringkatkan diperbaiki untuk mencapai visi dan misi sekolah, dan akan diimplementasikan dengan dukungan sumber daya fisik dan sarana, besaran siswa mendaftar serta jangkauan pemasaran sekolah pada masyarakat, struktur dan pendekatan dalam manajemen sekolah, dan kekuatan sumber daya keuangan. Betapa pentingnya perumusan tujuan dalam pengembangan perencanaan sekolah, baik jangka panjang, menengah atau jangka pendek. Namun semua termin tujuan tersebut tidak akan terarah pada satu tujuan utama tanpa didahului dengan perumusan sebuah visi, yakni sebuah gagasan besar tantang
harapan-harapan masa depan yang telah dirumuskan secara komprehensif, berbasis pada data dan bisa dicapai. Bagaimana visi itu bisa dicapai, diterjemahkan secara operasional dalam perumusan visi, yang kemudian diturunkan kembali dalam perumusan tujuan. Berbasis visi, misi, dan tujuan itulah, kemudian dikembangkan berbagai perencanaan. Akan tetapi, jika perencanaan tersebut dikaitkan dengan kenyataan-kenyataan sekolah, tentang kemampuan daya dukung masyarakatnya, kekuatan sumber daya manusianya, serta dukungan sarana yang ada, dan rencana tersebut disusun sesuai hasil survei terhadap berbagai permintaan client, maka perencanaan model itu, kini lazim disebut sebagai rencana-rencana strategis, karena akan memosisikan organisasinya itu dalam posisi yang baik dan kuat. Brent Davies dan Linda Ellison mendefinisikan, bahwa rencana strategis adalah sebuah analisis yang sistematis dari sekolah untuk mencapai visinya dengan perumusan berbagai kunci strategis yang didukung oleh lingkungan serta nilai dan kekuatan sumber daya yang dimiliki (Davies, 1999 : 48). Dalam konteks yang berbeda, Davies menegaskan bahwa rencana strategis adalah proses penyesuaian aktivitas sekolah dengan lingkungan yang ada dan terakhir dalam pikiran tentang apaapa yang mungkin dicapai dengan sumber daya yang ada dan atau yang dapat dibangkitkan (Davies, 1999 : 12). Kedua rumusan pengertian tersebut menegaskan bahwa rencana strategis itu tiada lain adalah sebuah rencana yang disusun untuk mencapai visi dengan berbasis pada kekuatan yang ada dan atau yang dapat dikembangkan serta dibangkitkan dengan dukungan lingkungan yang kuat, yakni pemerintah pusat, daerah, dan komunitas sekolah, serta sarana fisik, sumber daya keuangan, sumber manusia, nilai maupun berbagai dukungan lainnya. Disebut rencana strategis karena manajemen organisasi sudah mampu merumuskan secara detail apa yang akan dicapai, dan bagaimana cara mencapai harapan tersebut, serta memperoleh dukungan sumber daya yang akan diperlukan untuk mewujudkan rencana tersebut. Dengan demikian, rencana strategis itu bisa berjangka menengah maupun panjang, bahkan Carlisle menyatakannya bahwa rencana strategis itu adalah nama lain dari long range planning atau perencanaan berjangka panjang (Carlisle, 1987 : 178), karena rencana strategis tidak berbicara terin waktu, tapi bicara soal metode dan cara-cara mencapai tujuan. Sejauh teridentifikasi bahwa tujuan itu bisa tercapai dengan rencana yang tersusun, serta dukungan lingkungan dan berbaghai sumber daya yang sudah dimiliki atau yang bisa dibangkitkan, maka rencana tersebut biasa disebut dengan rencana strategis. Akan tetapi untul rentang waktu 6 15 tahun Davies ragu bahwa berbagai strategi yang dipakai dalam lima tahun kedepan, dengan dukungan semua kekuatan yang ada, akan efektif untuk 5 tahun kedua dan ketiga, sehingga untuk rentang waktu 6 15 tahun, dia menyebutkan future thinking, dan jik asudah disertai dengan berbagai metode yang akan digunakan serta pemanfaatan berbagai
sumber daya yang ada atau yang akan dibangkitkan maka Davies menyebutnya dengan maksud strategis (strategic intent) bukan rencana strategis, karena masih ada kemungkinan berubah yang disebabkan berbagai faktor eksternal. Sedangkan untuk rencana satu (1) tahun, dia menyebutnya sebagai rencana operasional. Dengan demikian, rencana strategis hanya terbatas pada jarak waktu menengah sampai maksimal 5 tahun (Davies, 1999 : 10) keraguan tersebut cukup rasional, karena perubahan yang sangat cepat baik ilmu, teknologi, maupun perkembangan ekonomi dunia yang sering mempengaruhi perkembangan ekonomi lokal. Akan tetapi, sejauh dapat dianalisis bebragai kekuatan yang ada, serta dukungan kemampuan tersebut untuk mencapai visi, maka perencanaan jangka panjang juga bisa disebut dan dinamai dengan rencana strategis, dan ini lazim di Indonesia. Iraian diatas memperlihatkan bahwa sebuah rencana strategis memerlukan analisis terhadap data-data pendukung untuk membuat rencana itu rasional dan dapat tercapai. Dalam konteks ini W.S. Berry menyatakan bahwa struktur dasar sebuah perencanaan itu harus meliputi evaluasi dimana posisi sekolah sekarang kemudian mengenali perubahan yang diinginkan, susunan perencanaan sebagai jalan menuju perubahan beserta perkirakan hasil yang akan dicapai, dan terakhir cara melakukan evaluasi untuk yang akan dicapai, dan terakhir cara melakukan evaluasi untuk mengukur perubahan-perubahan yang dihasilkan (Berry, 1992 : 43). Oleh sebab itu, sebelum rencana itu disusun dan dikembangkan diperlukan kajian dan analisis terhadap, kenyataan sekolah sekarang , harapanharapan pemakai, serta peluang untuk mengembangkan berbagai perencanaan strategis. Setidaknya ada empat variabel yang harus dianalisis dalam rangka menyusun sebuah rencana, yaitu sebagaimana terlihat dalam tabel berikut ini : Tabel 8
No 01.
Pendekatan Politik, ekonomi, sosiokultur, teknologi, hukum dan pendidikan Segmen pasar dan data demografi serta hasil survei lainnya Survey tentang pilihan harapan dan permintaan analisis SWOT Evaluasi internal inspeksi eksternal, dan survey sikap Analisis SWOT dan survei data pelanggan Analisis pesaing dan laporan survei
02.
Clients yang ada saat ini dan potensi ke depan. Harapan dan permintaan mereka kekuatan, kelemahan
03
Hasil
Perkembangan , dan penyusutan persepsi dari sekolah Produk dan pelayanan yang ditawarkan kekuatan dan kelemahan mereka
04.. Pesaing
Taksonomi Data Rancana Strategis (Davies, 1999 : 61) Variabel-variabel tersebut merupakan unsur-unsur penting yang dapat dijadikan titik tolak dalam penyusunan rencana strategis. Hasil-hasil analisis tentang kecendrungan politik ekonomi, sosial dan hukum, serta identifikasi segmen pengguna dan potensi pengembangan pengguna, hasil analisis SWOT, serta evaluasi internal dan eksternal merupakan unsur-unsur yang harus dipertimbangkan dalam penyusunan rencana strategis menuju cita dari visi besar sekolah. Kemudian, hasil-hasil analisis berupa kesimpulan-kesimpulan abstrak itu harus dikongkretkan ketika enjadi sebuah rencana, tantang apa yang akan dikerjakan siapa yang akan mengerjakan, kapan dikerjakan, alat apa yang dibutuhkan, serta berapa dana yang dibutuhkan, sumber dana serta sistem administrasi, harus terurai secara detail agar penundaan pelaksanaan program dapat diminimalisir (Haddad, 1995 : 35). Susunan rencana strategis sekolah tersebut harus disiapkan bukan didasarkan oleh ambisi personal dari pimpinan sekolah untuk menaikan citra diri atau kepentingan lainnya, tapi harus benarbenar didasarkan pada kebutuhan dan harapan para stakeholder sekolah itu sendiri, serta dengan mengembangkan berbagai gagasan proaktif bukan reaktif, baik untuk jangka panjang menengah maupun jangka pendek sebagai rencana operasional. Sekwensi penyusunan rencana strategis dimaksud adalah sebagaimana terlihat dalam gambar berikut :
Gambar 22 Sekwensi Prosedur Penyusunan Program Strategi (Sallis, 1993 : 109) Apa yang hendak di capai sekolah beberapa tahun ke depan, apa yang akan dikerjakan, apa tujuan dan apa yang dimiliki
Apa yang diminta orang tua siswa, pemerintah, dunia usaha, studi lanjut, perguruan tinggi, dan masyarakat.
ANALISIS SWOT DAN FAKTOR UNTUK MENCAPAI SUKESE BERBAGAI RENCANA STRATEGIS
Analisis kekuatan, kelemahan, peluang dan tantangan, serta faktor-faktor kritis untuk mencapai tujuan. Bagaimana bisa mencapai sukses. Bagaimana bisa mengetaui bahwa sekolah telah mencapai sukses.
Untuk penyusunan perencanaan progran serta detail, Berry menawarkan 10 langkah operasional (Berry, 1992 : 43-44), kendati ini bukan sebuah rumusan definitive dan bisa di keritik, baik subtansi maupun sekwensinya, yaitu : 1. 2. Planning the schedule; yakni membuat perencanaan waktu untruk, menyusun serta melaksanakan pelaksaaan program. outline of content; yakni menyiapka outline perencanaan program secara keseluruhan, yang tidak semata hanya pada aspek implementasi kurikulum, tapi termasuk assessment, pengembangan kurikulum, pengembangan sarana, membangkitkan sumber dana serta evaluasi pelaksanaan 3. Fleshing the Bones; yakni membuat uraian detail tentang masing-masing kegiatan yang sudah dicantumkan dalam outline kegiatan sehingga bisa dipahami oleh semua unsur intim dalam organisasi sekolah. Tahap ini disebut oleh Berry sebagai tahap organisasi sekolah. Tahap ini disebut oleh Berry sebagai tahap fleshing the Bones, yakni mendagingi tulangtulang dan masih merupakan tugas dari anggota senior dalam organisasi sekolah. 4. First Introduction; yakni pemaparan draft pada semua anggota organisasi, dengan seluruh guru, dan staf agar memperoleh berbagai masukan untuk penguatan pada tujuantujuan yang akan digapai. 5. Close Consideration; petimbangan secara mendalam berbagai masukan dari seluruh anggota organisasi sekolah, tambahkan usulan-usulan rasional, dan hilangkan bagianbagian yang mereka kritik, serta untuk dihilangkan.
6.
Draft Audit; yakni mengaudit draft yang usdah diperkaya dan dikritisi oleh seluruh unsur organisasi sekolah, sehingga memperoleh susunan perencanaan yang realistic, dapat dikelola dan diselesaikan dalam rentang waktu yang tersedia.
7.
Action Plan; yakni menyusun rencana tindakan yang sudah lebih detail untuk masing-masing kegiatan, siapa penanggung jawabnya, berapa laa harus diselesaikan, kapan harus dimulai dan kapan harus selesai, perlu tim kepanitiaan atau tidak, bahkan sebainya ada guideline sebagai rujukan implementasi dan evaluasinya.
8.
Publication ; yakni mempublikasikan perencanaan yang sudah diaudit dan dibuat dalam bentuk rencana tindakan itu dikomunikasikan pada unsur-unsur stakeholder, dengan pemerintah daerah, orang tua siswa, serta unsur-unsur komite sekolah lainya
Evaluation; yakni penyampaian bebagai pandangan dari stakeholder terhadap rencana-rencana tindakan yang sudah disiapkan oleh menajemen sekolah bersama para guru dan Audit again ? ; yakni melakukan audit kembali setelah dikritisi oleh stakeholder, walaupun secara praktis tampaknya tidak perlu, karena evaluasi tersebut sudah merupakan putusan terakhir untuk memulai kegiatan, namun secara teoretik kegiatan itu harus kegiatan itu harus ada, kendati dilakukan secara simultan saat evaluasi. Inilah sepuluh langkah penyiapan sebuah perencanaan, baik untuk konteks perencanaan
strategis berjangka panjang, menengah ataupun berjangka pendek sebagai sebuah rencana operasional. Akan tetapi, langkah-langkah tersebut dilakukan setelah sebelumnya pembahasan tentang visi dan misi, serta analisis values, dan kebutuhan serta permintaan pelanggan yang dengan itu semua kepala sekolah bisa merumuskan tujuan, dan diikuti dengan analisis SWOT untuk memperoleh rumusan-rumusan tentang faktor-faktor kritis untuk mencapai sukses, serta cara-cara mencapai sukses tersebut yang disesuaikan dengan kemampuansumber daya internal. Itulah rumusan program-program strategis yang harus dirumuskan dengan mempertimbangkan langkah-langkah di atas. Ketika rencana program itu telah tersusun maka proses manajemen selanjutnya adalah mengorganisir seluruh kekuatan untuk mengimplemantasikan rencana-rencana tersebut. Tugas manajer adalah mendeskripsikan tugas pada seluruh anggota organisasi serta mengkoordinir seluruh usaha dan upaya yang dilakukan staf untuk bisa menjamin bahwa seluruh tujuan yang telah ditemukan itu dapat dicapai secara efisien (Hodgetts, 1986 : 138). Dan manajer yang baik adalah yang bisa membagi habis seua program-program pada tim manajemennya demikian pula dengan
manajemen sekolah yskni bahwa seorang kepala sekolah harus mendinstribusikan implementasi kegiatan itu pada guru dan staf administrafnya. Dia harus memberi kepercayaan penuh kepada timnya bahwa mereka bisa melakukan program-program yang menjadi tanggung jawabnya kemudian kepala sekolah juga harus mampu memberi motivasi kepada semua anggota timnya agar berbuat yang terbaik untuk institusinya mencurahkan semua kemampuan dan perhatiannya serta meningkatkan etos kerjanya sehingga performas sekolah meningkat dan image dimasyarakatnya juga baik. Jika imagenya baik, maka kepercayaan masyarakatnya menguat, dan sekolah menjadi harapan mereka. Lebih lanjut Hodgetts menegaskan, bahwa sebuah perencanaan strategis tidak akan bermakna bagi peningkatan produktivitas organisasi jika tidak diimbangi dengan pengorganisasian yag rapi (Hotgetts, 1996 : 139). Demikian pula dengan sekolah yang tuntutan profesionalismenya kini kian meningkat. Sekolah dituntut untuk mengembangkan kualitas dirinya dengan mengurangi ketergantungan mereka pada pemerintah, bukan soal pendanaan, tapi pengembangan kurikulum, serta berbagai program pengembangan lainnya. Akan tetapi, bagaimana bentuk organisasinya bisa disesuaikan dengan kebutuhan dan kesiapan komposisi SDM yang dimiliki sekolah tersebut. Berbagai bentuk organisasi ditawarkan, ada yang berbentuk departemental, dan biasanya dipakai untuk mendukung pelayanan jasa yang variatif atau pelaksanaan program yang beragam, dan ada juga model komite yang tidak hirarkis namun sangat temporer dan dibubarkan saat selesai melaksanakan tugas (Hodgetts, 1986 : 146). Dalam upaya meningkatkan prosuktivitas tim manajemennya, kepala sekolah dan bahkan harus mendelegasikan tanggung jawab dan otoritas pada para stafnya, inilah inti dari pola manajemen partisipatif, yakni pendelegasian otoritas tersebut pada anggota tim manajemennya. Untuk peningkatan model manajemen partisipatif tersebut, Hotgetts menyampaikan beberapa prinsip (Hotgetts, 1986 : 168), yaitu : 1. Biarkan staf anda mengetahui apa yang sedang terjadi seorang manajer tidak boleh selalu bicara problem, bicaralah target dan tujuan, dan biarkan para staf mengarahkan perhatian pada target tersebut. 2. kembankan hubungan yang saling mempengaruhi di antara para staf. Agar semua program itu di kerjakan dengan baik, seorang menejer harus mengembangken sikap keterbukaan, memberi kepercayaan dan dia sendiri memiliki rasa percaya diri yang baik. 3. 4. gunakan pendekatan tim yang saling berbagi tangung jawab,seorang yang baik adalah yang bisah berbagi otoritas dan tanggung jawab bersama dengan stafnya . kebangkan skill, keterampilan dan pengtehuan staf dengan pelatihan pelatihan, baik dalam konteks pengembengan skill manajerial, personal maupun pengetahuan teknis.
5.
pertahanan komitmen staf terhadap organisasi, karene antusiasme yang tinggi dan moralitas staf amat menentukan untuk mencapai kesuksesan Lima prinsip yang ditawarkan Hotggets tersebut terkait dengan upaya mengekfektifkan
pengorganisasian staf elalui pola manajemen pertisipatif, yangmemberikan penekanan pada trust, yakni berikan kepercayaan pada staf untuk engebangkan kreatifitas mereka dalam menjalankan program dalam upay mencapai tujuan. Terkait dengan itu pula, maka seorang menejer haruus melakukan penataan staf yakni memilih staf yang memiliki pendidikian relevan dengan melaksanakan tugas sesuai bdang keahlian (Carlise, 1986 : 15). Untuk menetapkan bahwa keahlian seseorang itu sesuai dengan kebutuhan tugas dan pekerjaan, seorang menejer harus melakukan analisis pekerjan dan penugasan, untuk memutuskan kualifikasi staf seperti apa yang dibutuhkan, dan staf dalam kualifikasi apa yang dimilikinya sekarang. Signifikasi analisis tersebut adalah untuk memutuskan staf kualifikasi apa yang akan direkrut, apa dalam kompetensi apa mereka akan dikembangkan melalui pendidikan dan pelatihan. Semua itu perlu dilakukan kerena pengangkatan staf berarti infestasi sumber daya manusia dalam sebuah organisasi, dan investasi sumber daya manusia tersebut merupakan salah satu yag penting dalam organisasi tersebut, karena beberapa alasan (Cunningham, 2003: 259), yaitu: 1. 2. 3. Kualitas program pendidikan dalam beberapa bagian sangat sipengaruhi oleh kualitaas sumberdaya manusia yang dimiliki sekolah tersbut. Kemudian kualitas pendidikan juga dipengaruhi seberapa besar sekolah itu mampu mengembangkan jaringan kerja yang produktif. Kemudian kualitas pendidikan juga sangat dipengaruhi oleh pengembangan, motivasi dan optimalisasi pemberdayaan sumber manusia yang ada. Sehubungan denga posisinya yang penting ini, maka pengangkatan dan atau pemberdayaan serta pengembangan staf itu harus dilakukan dengan cara yang bijak, yakni melalui analisis pekerjaan, klasifikasi pekerjaan dan perencanaan rekruitmen seta pengembangan staf. Analisis pekerjaan (job anlysis) adalah sebuah proses dari pengumpulan dan analisis berbagai informasi tentang pekerjaan-pekerjaan serta tugas-tugas pokok yang akan dan harus diselesaikan, serta berbagi posisi dan kualifikasi yang dibutuhkan untuk melaksanakan tugas dan pekerjaan-pekerjaan tersebut (Cunningham, 2003 : 261). Dalam proses ini sudah dianalisis kualifikasi keilmuan dan ketrampilan apa yang diperlukan, serta berbagai kemampuan dan atribut-atribut lain yang secara objektif dibutuhkan untuk menyelesaikan tugas dan pekerjaan tersebut. Orang yang diangkat, apakah pengangkatan baru atau mutasi yang akan diangkat, apakah pengangkatan baru atau mutasi dari staf
yang ada harus tahu apa pekerjaan yang akan dan harus diselesaikannya, kualifikasi apa yang harus diacapai, dan apa yang akan dia dapatkan dengan mengerjakan tugas dan pekerjaannya itu. Analisis tugas dan pekerjaan ini bisa dilakukan dengan berbagai macam cara, yaitu observasi dokumen-dokumen, yakni berbagai dokumen tentang pekerjaan yang sama dalam waktu-waktu sebelumnya, kemudian juga dengan interview, atau bahkan mungkin dengan questionnaire. Analisis tugas dan pekerjaan, pada akhirnya akan menghasilkan uraian pekerjaan yang harus diselesaikan oleh staf, yang nantinya staf itu akan dipilih dari yang telah ada, disesuaikan dengan kualifikasi yang dibutuhkan. Kemudian, analisis tugas dan pekerjaan tersebut diteruskan dengan melakukan pengelompokan tugas-tugas yang mirip dan pendekatan menjadi satu kelompok, dan pekerjaan berkarakter berbeda berada pada kelompok lain. tahap inilah yang dalam proses analisis pekerjaan disebut dengan klasifikasi tugas dan pekerjaan. Hasil analisis tugas dan pekerjaan serta klasifikasi antara satu dengan lainnya itulah yang menginspirasi staffing, yakni pengaturan dan atau pengangkatan staf. Dalam konteks sekolah, pertimbangan pengaturan dan atau pengangkatan staf adalah program-program pengembangan pendidikan apa yang akan diberikan pada siswa-siswanya, dan untuk pelaksanaan program tersebut, sekolah memerlukan staf guru dan tata usaha dalam kualifikasi seperti apa. Berbagai kemungkinan pertanyaan yang relevan terkait dengan analisis tugas dan pekerjaan, serta klasifikasi satu dengan lainnya, yang terkait dengan efisiensi penempatan dan atau pengembangan tenaga guru dan tata usaha, adalah sebagai berikut (Cunningham, 2003 : 264). 1. 2. 3. 4. 5. 6. Berapa banyak, dan kategori seperti apa siswa-siswa yang akan dilayani. Program pendidikan seperti apa yang diperlukan untuk siswa-siswa tersebut. Dimana siswa-siswa tersebut akan ditempatkan, dan apakah staf yang ada akan mampu melayani mereka Dukungan layanan seperti apa yang dibutuhkan untuk melayani siswa dan program-program yang akan dilaksanakan. Berapa banyak biaya yang akan digunakan Kategori orang seperti apa dan berapa banyak yang akan diangkat. Beberapa pertanyaan yang menjadi Guideline job analysis dan job classification ini bukan sesuatu yang mutlak dan rigid karena masing-masing sekolah mempunyai permasalahannya sendiri, serta program-program pengembangan yang berbeda antara satu dengan lainnya. Pertanyaanpertanyaan stimulatif diatas, hanyalah sebuah ilustrasi untuk menggambarkan tentang penugasan gurudan tata usaha, pengangkatan atau pengembangan yang ada. Pengembangan staf (staff
defelopment) baik bagi guru maupun tenagaadministrasi merupakan sesuatu yang mutlak selalu dikerjakan oleh sekolah, karena kemajuan sebuah sekolah sangat tergantung pada kapabilitas dan loyalitas guru-gurunya. Semakin baik penguasaan bahan ajar dan skil keguruan seorang guru, maka akan semakin baik proses pembelajaran, dan akan semakin baik pula hasil belajar siswa=siswanya. Dengan kompetensi guru harus terus ditingkatkan sehingga semakin luas pula pengetahuan tentang skil keguruan mereka. Pengembangan staf sebenarnya adalah sebuah proses yang dimaksudkan untuk meningkatkan keterampilan, sikap dan pengetahuan guru atau pegawai administrasi, dalam rangka peningkatan performa mereka baik dalam pelaksanaan tugas-tugasnya saat ini, maupun dalam pengabilan peran dimasa yang akan datang (Cunningham, 2003:273). Pelatihan bagi para guru merupakan sesuatu yang penting, tidak sekedar pengenalan berbagai materi baru, tapi juga penguaatan terhadap penguasaan materi-materi yang sedang berjalan, agar menjadi lebih baik dan mencapai kesempurnaan. Penguasaan materi tidak sekedar pemahaman bahan-bahan ajaran secara parsial, tapi juga menguasai bangunan keilmuannya, sehingga mampu menyampaikan dengan baik pada siswa. Kemudian dilengkapi pula dengan skill keguruan dan bahkan keterampila manajerial, sehingga sekolah kian kuat dengan memiliki sumber daya manusia yang bagus. Kita tidak bisa bicara pengembangan sekolah tanpa pengembangan sumber daya manusianya. Berbicara pengembangan sekolah, berarti berbicara pengembangan sumber daya manusia. Sekolah adalah orang. Ketika kita membahas kemajuan sekolah,sebenarnya kita harus membahas kemajuan sekolah, sebenarnya kita harus membahas pembinaan sumber daya manusianya yang akan mampu memajukan sekolah tersebut. Hanya satu jalan ketika kita hendak menuju sebuah perbaikan sekolah, yaitu pengembangan kulitas guru dan tenaga administrasi, baik ilmu, keterampilan maupun sikap dan loyalitasnya. Kemudian setelah melakukan pembenahan,pengengkatan dan pembinaan staf sesuai yang direncanakan, proses manajemen selanjutnya dalah mengerahkan (directing) agar masing-masing individu atau divisi bergerak dalam jalur tugas dan kewenangannya. Tugas directing tersebut meliputi pengarahan, pengawasan serta bimbingan kepala sekolah terhadap para guru dan staf administrasi dalam pelaksanaan tugas dan pekerjaan sehari-hari, membuat putusan-puyusan untuk dilaksanakan para stafnya itu, serta memimpin mereka agar sekolah terus bergerak menuju tujuan yang telah dirumuskan bersama,dalam bentuk program stategis atau perencanaan operasional. Pengarahan tersabut tidak sebatas hanya memberi arahan-arahan serta bimbingan, tapi juga pengawasan dan bahkan membangkitkan motivasi guru dan karyawan agar terus meningkatkan dedikasinya untuk sekolah yang dia pimpin, dan merupakan tempat mereka bekerja serta mengembengkan karir.
Hanya ada dua kunci peningkatan produktivitas staf, baik guru maupun pegawai administrasi, yaitu kapabilitas dan loyalitas. Kapabilitas atau kecakapan didukung oleh ilmu dan keterampilan, sedangkan loyalitas atau ketaatan didukung oleh motivasidan integritas mereka pada institusi. Motivasi dipengaruhi oleh berbagai variabel, salah satunya adalah iklim kerja, seperti pelibatan guru dan staf dalam penyusunan perencanaan dan proses pengambilan keputusan, terbukanya kesempatan yang sama bagi guru dan staf untuk mengikuti pelatihan dalam upaya peningkatan kualitas dan skill mereka, serta faktor-faktor lain yang juga turut mempengaruhi motivasi mereka untuk meningkatkan kontribusinya pada institusi (Nicholls, 1993:113). Iklim manajerial yang terbuka, fair berpijak pada prinsip keadilan, merupakan sebuah kondisi yang akan mampu membangkitkan motivasi guru dan karyawan untuk memdedikasikan kemampuannya pada sekolah tersebut, karena mereka merasa dilibatkan dan mereka juga terlindungi oleh sisten manajerial yang profesional tersebut. Sebaliknya jika manajemen tersebut berpijak pada pola-pola nepotis, maka guru dan karyawan yang bukan dan tidak dalam lingkaran teman atau kerabat kepala sekolah,akan teraniyaya karena tidak akan memperoleh kesempatan yang sama dengan pimpinan tersebut, sehingga mereka merasa tidak aman dan tidak nyaman, dan kemudian motivasi mereka akan merosot. Inilah teori yang diangkat Nicholls, yakni motivasi kerja guru dan karyawan sekolah itu sangat berkorelasi dengan iklim kerja sekolah itu sendiri, yakni semakin baik iklim kerjanya, maka akan semakin tinggi pula motivasi mereka.bersamaan dengan itu, ada pula teori lain yang lebih melihat korelasi antara motivasi dengan terpenuhinya kebutuhan hidup, yakni emakin terpenuhinya kebutuhan-kebutuhan hidup seseorang, maka akan semakin baik motivasi kerjanya.dalam ungkapan yang lebih spesifik, bahwa sekolah yang dapat memberikan berbagai kepuasan bagi guru dan karyawannya dalam memenuhi kebutuhan hidip mereka ,maka motivasi guru dan karyawannya untuk mendedikasikan seluruh kemampean mereka pada sekolah itu akan semakin tinggi. Teori tersebut diangkat oleh banyak ahli, antara lain Howard M.Carlisle (1986) dalam bukunya Management Essential, Wayne K.Hoy (1996)dalam bukunya Educational Administration, serta Ricard Hodgetts (1986) dalam bukunya berjudul Management.kemudian kebutuhan tersebut, sebagaimana dikemukakan Carlisle ada dua, yaitu kebutuhan primer dan kebutuhan sekunder. Kebutuhan primer meliputi kebutuhan-kebutuhan biologis yang tidak dielajari, bersifat natural,dan stabil mempengaruhi mempengaruhi prilaku setiap orang, seperti kebutuhan makan, minum,seks, dan istirahat atau tidur. Sadangkan kebutuhan sakunder adalah kebutuhan psikologis yang sangat dipengaruhi oleh pengalaman, kultur dan bisa dipelajari,seperti rasa cinta, pengakuan, rasa sukses, kemerdekaan dan keinginan untu berkuasa (Carlisle,1986:292).
Maslow, sebagaimana dikutip Carlisle menyusun kebutuhan kebutuhan manusia tersebut secara hirakris, dan membaginya menjadi lima (5) tingkatan (Carlisle.1986:294) yaitu: 1. Kebutuhan fisiologis, yakni kebutuhan-kebutuhan biologis, seperti makan, minum, seks, air, udara, dan kebutuhan untuk istirahat. 2. Kebutuhan rasa aman, seperti terlepas dari ancaman, terlepas dari bahaya, hidup stabil, penuh rasa aman, dan terhindar dari penderitaan. 3. Kebutuhan sosial, seperti kebutuhan kasih sayang, cinta, afiliasi, penerimaan, dan rasa saling memiliki dan dimiliki. 4. Kebutuhan harga diri, perti kebutuhan akan pengakuan, kedudukan, kebutuhan untuk dihormati, kebutuhan untu diakui kemapuannya, dan kebutuhan untuk diakui kesuksessannya. 5. Kebutuhan akan aktualisasi diri, seperti kebutuhan realisasi diri, kebutuhan akan kemajuan, realisasi potensi, perkembangan dan kebutuhan untuk mandiri dalam memenuhi kebutuhan sendiri. Melalui teorinya ini, Moslow menegaskan, bahwa sebelum mencari rasa aman, setiap orang akan mencari dan memenuhi kebutuhan biologisnya terlebih dahulu, yakni memenuhi kebutuhannya untuk bisa makan, minum, bisa istirahat dengan tenang dan bisa memperoleh kebutuhan seksnya. Setelah semuanya terpenuhi baru mereka berpikir untuk memenuhi kebutuhan rasa aman, yakni kebutuhan rasa aman, terhindar dari ancaman, stabil dan terhindar dari penderitaan. Dan setelah rasa amannya terpenuhi baru berusaha untuk memenuhi kebutuhan sosial, harga diri dan aktualisasi diri. Dengan demikian, jika seorang kepala sekolah mengkhehandaki agar semua guru dan staf administrasinya itu dapat bekerja maksimal untuk institusinya, maka dia harus berusaha untuk memprioritaskan pemenuhan seluruh kebutuhan pokok yang yang dibutuhkan oleh para guru dan stafnya itu, yakni memenuhi kebutuhan makan, minum, mampu berkeluarga dan bisa mempunyai tempat tinggal yang layak sehingga bisa tidur dengan tenang dan nyaman.kemudian, jika motivasinya itu ingin ditingkatkan lagi, penuhi kebutuhan pada thap kedua, yakni rasa aman, yakinkan semua guru dan karyawan bahwa mereka aman bekerja ditempat tersebut, tidak ada pemberhentian tanpa alasan pelanggaran etika dan profesi, berikan jaminan hari tua, jaminan kesehatan, cuti melahirkan dan sebangsanya, serta perhatikan berbagai kebutuhan primernya sehingga terhindar dari penderitaan.jika motivasi kerjanya ingin ditingkatkan lagi, penuhi kebutuhan sosialnya, begitulah seterusnya sampai kebutuhan tertinggi yaitu aktualisasi diri. Jika semua kebutuhan tersebut terpenuhi oleh sekolah yempat para guru dan karyawan tersebut bekerja, maka mereka akan memiliki motivasi yang kuat untuk bekerja dan berdedikasi untuk pendidikan disekolah tempat mereka mengabdi.Tapi, sebaliknya,
jika pemenuhan kebutuhan itu hanya pada tingkat paling rendah, maka seperti itu pulalah, motivasi kerjanya, tidak ada rasa memiliki dan tidak ada kebanggaan terhadap institusi tempat ia bekerja. Pendekatan Nicholls yang lebih menekankan pada iklim kerja, secara implicit terakomodasi dalam teori psikologi Maslow dalam upaya meningkatkan motivasi kerja staf, namun tidak spesifik. Oleh sebab itu, dalam konteks iklim kerja ini, Carlisle menegaskan (Adaptasi terhadap Carlisle, 1986 : 299), bahwa seorang manajer harus mampu menyesuaikan pola-pola manajernya pada keragaman SDM yang dikelolanya, karena setiap orang masuk membawa latar belakang ilmu dan keterampilan, sikap dan nilai, kebiasaan kerja, kondisi fisik dan kekuatan tubuh, keragaman dan intensitas kebutuhan, aspirasi personal dan citra diri. Semua aspek tersebut, selain pengetahuan dan ketrampilan sukar untuk diubah. Dan jika manajemen hendak mengubah secara totalitas untuk mendapatkan hasil maksimal, maka itu langkah keliru, karena justru hasilnya akan sangat minimal, karena perubahan itu sendiri akan memakan waktu yang sangat panjang. Oleh sebab itu, tugaskan mereka sesuai keahlian, biarkan mereka menyelesaikan tugas pokok dalam batas kewenangan yang diberikan kepadanya sesuai dengan pengalaman dan kebiasaan yang mereka miliki, dengan terus disupervisi agar tidak keluar dari arah pencapaian tujuan. Bersamaan dengan itu, iklim kerja lainnya juga amat berpengaruh terhadap motivasi pegawai, yakni penugasan, pola pembagian dan pembayaran uang tambahan, kesempatan peningkatan karir, paraturan dan kebijakan, hubungan sesama guru dan pegawai, lingkungan fisik dan psikologis serta reward lain dari organisasi. Pola penugasan harus sesuai dengan bidang keahlian ( right man on the right place), serta seimbang antara satu dengan lainnya, dilakukan secara transparan, dan terhindar dari indikasi-indikasi nepotis. Demikian pula dengan kebijakan pemberian uang tambahan serta pola pembagiannya, serta aspek-aspek diatas, merupakan unsur-unsur yang dapat mempengaruhi motivasi. Dengan demikian, kedua teori ini bermakna dalam upaya meningkatkan motivasi kerja guru dan karyawan sekolah, baik negeri maupun swasta, yakni bahwa motivasi mereka itu sangat dipengaruhi oleh iklim kerja dan kemampuan sekolah memenuhi kebutuhan-kebutuhan guru dan karyawannya. Semakin baik iklim kerjanya, dan semakin besar kebutuhan mereka yang dapat dipenuhi sekolah, maka akan semakin besar kebutuhan mereka yang dapat dipenuhi sekolah, maka akan semakin tinggi motivasi mereka untk mendedikasikan kemampuannya untuk sekolah tersebut, karena mereka nyaman, tenang dan tidak merasa perlu untuk mencari tugas tambahan diluar tugas pokok di sekolah tempat mereka mengabdi. Oleh sebab itu, tugas kepala sekolah dalam konteks directing ini, tidak cukup hanya memberi arahan, bimbingan dan pembinaan pada guru dan karyawan sekolahnya, tapi juga membina dan mengembangkan motivasi mereka untuk mendedikasikan kemampuan dan energinya untuk sekolah tempat mereka bekerja.
Proses manajemen selanjutnya setelah planning, organizing, staffing dan directing adalah controlling, yakni memeriksa apakah semua program telah dilaksanakan sesuai dengan rencana awal yang sudah disepakati, sesuai dengan perintah yang telah disampaikan, dan sesuai dengan prinsipprinsip yang telah dipaparkan, dengan tujuan untuk melihat berbagai kesalahan dan kekeliruan agar segera diperbaiki dan tidak terulangi lagi (Hodgetts, 1986 : 234). Dengan kata lain, controlling adalah sebuah proses manajemen yang dilakukan untuk melihat apakah program-program yang telah disepakati dan didistribusikan pada staf telah dilaksanakan sesuai rencana semula atau tidak, dan apakah sesuai dengan standar kualitas yang diharapkan atau tidak. Pemeriksaan yang dilakukan oleh manajer tersebut bukan untuk mencari-cari kesalahan staf, tapi untuk memperbaiki proses dalam upaya perbaikan hasil, dan agar kesalahan tersebut tidak terjadi lagi. William G. Cuningham menegaskan, bahwa pegawai merasa perlu untuk menegaskan, bahwa pegawai merasa perlu untuk memperoleh kebenaran terhadap apa yang telah mereka lakukan, agar mereka tahu apa yang harus diperbaik. Jika tidak, mereka akan terus terjebak dalam kesalahan yang pertumpuk dalam pekerjaan mereka (Cunningham, 2003 : 270). Proses controlling tersebut ada tiga, yaitu penetapan standar, membandingkan performa pelaksanaan program dengan standar tersebut, dan perbaikan terhadap kesalahan-kesalahan yang terjadi. Standar sebagaimana ditegaskan Hodgetts adalah basis ukuran yang dapat digunakan untuk menilai performa hasil implementasi sebuah perencanaan. Ukuran tersebut merupakan hasil rumusan dari tujuan yang dikembangkan organisasi pada fase perencanaan. Ukuran-ukuran tersebut bisa sangat spesifik dan bersifat kuantitatif, seperti biaya yang digunakan, hasil margin yang diperoleh, jumlah jam akan digunakan, dan terkadang juga bersifat kualitatif seperti harapan untuk memelihara moralitas pegawai agar tetap memperoleh resepsi terbaik dari masyarakat (Hotgetts, 1986 : 234). Dengan demikian, standar itu adalah rumusan ukuran-ukuran pencapaian implememtasi program, apakah berupa jumlah unit pekerjaan yang terselesaikan, dana yang terserap untuk kegiatan, Margin yang di peroleh dari hasil kegiatan, itu yang digunakan, atau kualitas yang diukur dengan kepuasan pelanggan dalam konteks pendidikan adalah kenaikan prestasi hasil belajar siswa, sehingga ada tanggapan posiotif dari orang tua. Semua itu merupakan standar pelaksanaan program. Demikian pula dengan moralitas guru dan karyawan yang dapat menjaga hubungan baik antara sekolah dan masyarakat,. Semua standar tersebut harus disusun berdasarkan pada rumusan tujuan-tujuan yang hendak dicapai organisasi dan dirumuskan pertama kali saat fase perencanaan. Membandingkan performa pelaksanaan program dengan standart adalah tahap lanjutansetelah perumusan standart dengan membandingkan pencapaian pelaksanaan program terhadap standar yang telah dirumuskan berdasarkan pada tujuan-tujuan yang hendak dicapai dengan
program-program tersebut. Tahap ini akan menghasilkan kesimpulan-kesimpulan, bahwa pekerjaan yang dilaksanakan staf itu telah mencapai tujuan dengan hasil sesuai harapan, atau belum mencapai tujuan karena ada beberapa kelemahan dalam proses pelaksanaan program. Untuk tahap, sebagaimana Hodgetts katakana terdapat problem yang cukup berarti bagi manajer, karena ada bagian-bagian yang mudh untuk diukur dengan hanya membandingkan performa pada ukuran standart yang telah dirumuskan diawal fase perencanaan, sementara sebagian lagi justru memerlukan penilaian dengan menggunakan instrumen-instrumen yang harus disusun khusus seperti motivasi, moralitas dan sebangsanya yang menjadi variabel intervening dalam menghasilkan sesuatu untuk mencapai tujuan (Hodgetts, 1986 : 235). Untuk menghindari berbagai kendala yang akan dihadapi, sebaiknya seorang manajer atau kepala sekolah sudah memprediksikan berbagai persoalan yang akan muncul dalam pelaksanaan program-program tersebut. Biasanya tahap ini di inspirasikan oleh berbagai pengalaman setelah melaluinya, atau berdasarkan hasil curah pendapat diantara semua staf. Seorang manajer, kompeten biasanya menggunakan opsi pengecualian dalam menghadapi situasi-situasi yang diprediksikan akan mengganggu pelaksanaan program. Dia akan menghindari resiko bahaya menghadapi situasi yang tidak diinginkannya itu. Perbaikan terhadap kesalahan-kesalahan yang terjadi, adalah proses manajemen dalam konteks controlling dengan melakukan berbagai perbaikan terhadap kesalahan yang mengakibatkan terjadinya penyimpangan dari arah yang dikehendaki oleh tujuan, dan akan menyebabkan tidak tercapainya hasil yang diharapkan. Perbaikan harus dimulai bukan dengan hanya merumuskannya kesalahan-kesalahan, tetapi juga hasil investigasi, mengapa kesalahan itu terjadi, apa faktor-faktor yang menjadi penyebab utama terjadinya kesalahan tersebut. Dengan teridentifikasinya berbagagsi faktor tersebut, manajer bisa melakukan perbaikan dari hulu sampain ke hilir. Dengan demikian, controlling itu harus dilakukan bukan diakhir dari pelaksanaan program, tapi haru dimulai saat staf akan memulai dengan melakukan kontrol terhadap persiapan-persiapan yang akan mereka kerjakan, kemudian evaluasi pertengahan untuk melihat prestasi yang telah dicapai, berbagai penyimpangan dari arah yang diharapkan untuk kemudian diperbaiki. Hasil-hasil evaluasi tersebut kemudian menjadi feetback (umpan balik) untuk perbaikan pada pelaksanaan berikutnya, serta menjadi masukan untuk mengantisipasi jangan sampai terjadi defiasi kembali pada implementasi berbagai program yang akan dilaksanakan pada fase berikutnya. Berbagai implikasi kebijakan manajerial biasa dikembangkan, apakah rotasi penugasan, atau penambahan dan pengurangan tugas, atau kebijakan-kebijakan strategis lainnya. Namun semua itu bisa dilakukan oleh manajer setelah mempelajari secara saksama, apa penyebab dari terjadinya deviasi tersebut, dan apa
akibat-akibat yang akan ditimbulkannya. Prosedur controlling tersebut bisa dilihat dalam gambar berikut ini.
Rumusan Perencanaan
Pelaksanaan Rencana
Sesuai gambar diatas, proses cotrolling yang dilakukan manajer, dalam konteks sekolah adalah kepala sekolah sendiri diharapkan akan mampu memberikan rumusan feeback yang dapat memberikan inspirasi perbaikan, bahkan tidak cukup hanya dengan rumusan tentang poin-poin yang diperbaiki, tapi juga harus dilengkapi dengan tahap-tahap perbaikan yang harus dilakukan silmutan dengan implemantasi program lanjutan B. MANAJEMEN BERBASIS SEKOLAH (MBS) MANAJEMEN Berbasis Sekolah (MBS) merupakan salah satu isu yang kuat didorong ke permukaan dalam konteks implementasi gagasan reformasi pendidikan yang direfleksikan dalam UU No. 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, sebagai kebijakan terhadap UU No. 22 Tahun 1999 yang mengotomisasikan sektor pendidikan pada daerah. Akan tetapi, setelah sampai pada daerah tingkat II, kewenangan tersebut menjadi wacana, apakah akan memberi kewenangan terbesar pada sekolah, atau daerah akan menjadi subsitusi pemerintah pusat, dan menjadi penguasa sektor pendidikan secara sentralistik di daerah. Tampaknya, pemerintah mendorong otonomi itu untuk diimplementasikan pada tingkat sekolah, dan pemerintah daerah memiliki kewajiban untuk memfasilitasi berbegai program perbaikan dan peningkatan kualitas pendidikan di sekolah-sekolah yang ada di daerahnya itu. Untuk itulah,berbagai wacana kini terus dikembangkan dari mulai community based edication, sampai school based management. Uji coba manajemen berbasis sekolah di Amerika pada tahun 1987, memperlihatkan bahwa rata-rata hasil belajar sekolah ujicoba lebih baik daripada sekokah non ujicoba. Demikian pula dengan rata-rata kehadiran siswanya lebih baik daripada sekolah non-ujicoba, serta berbagai variabel pengamatan lainnya (Ogawa, 1994 : 54). Oleh sebab itu, kemudian kebijakan school based management (SDM) berpenetrasi ke hampir seluruh negara bagian di Amerika Serikat. Pada saat yang sama beberapa negara lain juga mengembangka
kebijakan yang sama, seperti Canada , Australia, new Zealand, dan bahkan Hongkong yang memulai SDM pada awal decade 1990 an (Duhou, 1999 : 37).] Keberhasilan SBM di beberapa negara tersebut kini didorong pulan untuk negara-negara berkebang, bahkan Indonesia yang kini sedang melakukan reformasi pendidikan, mengangkat konsep SBM sebagai salah satu dari peket reformasi pendidikan, walaupun belum ada ujicoba, dan bahkan belum ada hasil ujicoba lokal yang memperkuat serta mendukung implementasi SBM tersebut sebagai sebuah kebijakan. Akan tetapi ini su dah menjadi wacana publik, dan sudah dilakukan diseminasi nasional melalui bebagai pelatihan. Oleh sebab itu, arah kajian manajemen pendidikan sekarang ini, lebih banyak difokuskan pada manajeen berbasis sekolah tersebut, walaupun msih ban yak pro dan kontra di kalangan akademisi dan pemerhati pendidikan sendiri. School based management atau manajemen berbasis sekolah, sebagaimana dikemukakan Joseph Murphy (Murphy, 1995:13) secara konsepsional masih belum jelas. Kendati demikian, para ahli pendidikan telah menyampaikan berbagai pengertian, seperti Etheridge menyatakan bahwa SBM adalah sebuah proses formal yang melibatkan kepala sekolah, guru, orang tua siswa, siswa dan masyarakat yang berada dekat dengan sekolah, dalam proses pengambilan berbagai keputusan. Sementara Short and Greer mendefinisikan, bahwa SBM adalah sebuah startegi yang mengangkat konsep ten tang pemberdayaan dan memberdayakan semua individu di sekolah. Inilah dua dari sekian definisi yang dikutip Murphy dan tampaknya keduanya berbasis paradigma yang sama, bahwa SBM (School Based Management) yang terkadang juga dipanjangkan menjadi Site-Based Management, pada intinya menberi otonoi yang sangat luas pada sekolah untuk membuat perencanaan, budgeting, dan impelementasi berbagai programnya, dengan memberdayakan unsurunsusr yang terlibat disekolah tersebut, guru, karyawan, orang tua siswa, siswa dan bahkan masyarakat yang mendukung pengembangan sekolah tersebut. Dengan demikian, dlam konteks perencanaan serta pengembangan sekolah, titk sen tarl berada disekolah itu sendiri dan semaksimal mungkin mengembangkan networking horizontal dengan staeholder dan school community yang peduli terhadap pengembangan sekolahnya. SDM ini diadopsi dan diangkat serta didorong ke permukaan sebagai sebuah substitusi terhadap pola pengambilan berbagai kebijakan pengembangan sekolah, dari mulai kurikulum, strategi, evaluasi serta berbagai sarana pembelajaran lainnya, yang semula lebih banyak ditentukan oleh pemerintah pusat atau daerah, dalam SBM, semua itu lebih banyak digagasoleh sekolah bersama dengan stakeholder dan bahkan user-nya relevan dengan kesimpulan-kesimpulan tersebut, Murphy menyampaikan beberapa kutipan, tentang unsur esensial dalam otonomi sekolah dengan pola SDM sebagai berikut (Murphy, 1995 : 13).
1. 2.
Menurut Lindquist dan Maurel dalam tulisannya berjudul School Based Management, ciri fundamental dari SBM adalah delegasi. Menurut Garms dalam tulisannya berjudul School Finance; The Economic and Politics of public education, esensi SBM adalah pemindahan tanggung jawab pengambilan putusan sekolah dari pemerintah pusat dan daerah pada sekolah itu sendiri.
3. 4. 5.
Menurut Crosby dalam tulisannya berjudul Teachers Opinions of school Based Management, fondasi SBM adalah distribusi kewenangan dalam pengambilan putusan. Menurut David J. L. dalam tulisannya berjudul Educational Leadership, tulang punggung dari SBM adalah pendelegasian otoritas manajemen dari pemerintah pusat dan daerah pada sekolah. Menurut Mojkowski dan fleming dalam tulisannya berjudul School Site Management, inti dari SBM adalah pengembangan tanggung jawab pengambilan putusan terhadap Stakeholder sekolah dan dilakukan disekolah. Kelima kutipan Murphy diatas menyampaikan sebuah gagasan yang sama, bahwa SBM itu
adalah pendelegasian kewenangan pengambilan keputusan sekolah, dari pemerintah pada sekolah. Hanya saja, aspek-aspek apa yang didelegasikan tersebut. Dalam konteks ini, ibtisam Abu Duhou, dengan mengutip tulisan Caldwell Bj, and Spink (1992) dalam tulisannya berjudul Leading the self Managing School, menyatakan, bahwa dalam SBM, kewenangan sekolah tidak sebatas pengaturan alokasi waktu, serta implementasi kurikulum dan strategi, tapi diperluas meliputi (Duhou, 1999 30 31) : 1. Pengetahuan; yakni pendelegasian kewenangan pada sekolah untuk memutuskan susunan kurikulum, termasuk rumusan kompetensi siswa dari setiap mata pelajaran, serta kompetensi mereka setelah lulus dari sekolah tersebut. 2. 3. 4. 5. Teknologi; yakni pendelegasian kewenangan pada sekolah untuk memutuskan alat-alat yang diperlukan untuk memutuskan alat-alat yang diperlukan untuk proses pembelajaran siswa. kekuasaan; yakni pendelegasian kewenangan pada sekolah untuk menetapkan berbagai keputusan. material ; yakni pendelegasian kewenangan pada sekolah untuk memutuskan penggunaan berbagai fasilitas, serta alat-alat pembelajaran. Orang; yakni pendelegasian kewenangan pada sekolah untuk memutuskan tentang komposisi SDM, serta proses peningkatan komposisi mereka baik dalam penguasaan bahan ajar, strategi pembelajaran, teknik evaluasi maupun berbagai keterampilan keguruan lainnya.
6.
Waktu; pendelegasian kewenangan pada sekolah untuk memutuskan untuk mengatur alokasi penggunaan waktu. Kemudian Ibtisam Abu Duhou juga mengutip pernyataan Bullok dan Thomas (1997 yang
menyatakan bahwa dalam SBM kewenangan sekolah sangat luas meliputi : 1. 2. Penerimaan siswa; yakni pendelegasian kewenangan pada sekolah untuk memutuskan siswasiswa yang dapat diterima disekolah tersebut. Assessment; yakni pendelegasian kewenangan pada sekolah untuk memutuskan begaimana teknik pengukuran yang akan mereka kembangkan dalam mengevaluasi proses dan hasil belajar siswa. 3. 4. Informasi; yakni pendelegasian kewenangan pada sekolah untuk memutuskan data-data yang bisa dipublikasikan tentang performa sekolah. Funding; yakni pendelegasian kewenangan pada sekolah untuk memutuskan biaya retributive dari pendaftaran siswa baru. Sementara itu Murphy menegaskan, bahwa kewenangan sekolah untuk secara otonom memutusakan sendiri bersama mitra horizontalnya, ada lima (5), yaitu, perumusan tujuan perencanaan pembiayaan, personalia, kurikulum dan struktur organisasi (Murphy, 1995 : 48). Tujuan dimaksud adalah tujuan sekolah sebagai sebuah institusi, yang dikembangkan dari visi, misi dan kemudian dapat dituangkan dalam bentuk program-program strategis sekolah itu sendiri. Implikasi dari perumusan tujuan dan program adalah pembiayaan. Oleh sebab itu, jika perumusan visi, misi dan tujuan serta program strategis sekolah diserahkan pada sekolah sendiri, maka demikian pula dengan perencanaan pembiayaan. Otonomi sekolah adalah merancang pembiayaan mengontrol pemakaian dan pertanggungjawabkan penggunaannya itu pada stakeholder yang terlibat dalam penyusunan dan pemenuhan seluruh kebutuhan pembiayaan sekolah. Otonomisasi budgeting sekolah menurut adanya kekuatan SDM untuk tugas-tugas fundrizing, sehingga sekolah juga harus diberi otonomisasi dalam penyusunan struktur organisasi serta memilih dan mengangkat SDM sesuai keperluan program. Semua perencanaan serta dukungan fasilitas, alat dan sumber daya manusia serta keuangan semata dikembangkan untuk memberikan quality assurance terhadap proses pembelajaran agar dapat menghasilkan lulusan yang kompetitif. Oleh sebab itu, sekolah juga harus diberi otonomisasi dalam penyusunan kurikulum, pengembangan strategi pembelajaran, alat yang digunakan untuk belajar serta berbagai fasilitas pembelajaran lainnya, bahkan juga penetapan standar kelulusan, instrumen yang akan digunakan untuk meng-asses keberhasilan siswa, serta keleluasaan pengalokasian waktu.
Enam aspek yang diotonomisasikan menurut versi Duhou meliputi pengetahuan, teknologi, kekuasaan, material, orang dan waktu, ditambah empat lainnya yaitu penerimaan siswa baru, assessment, informasi dan funding, sebenarnya tercakup dalam lima (5) aspek yang disimpulkan Murphy, yaitu, tujuan, budgeting, kurikulum, personalia, dan struktur organisasi. Dengan demikian, kelima aspek yang ditawarkan Murphy ini merupakan aspek-aspek yang acceptable untuk dikembangkan menjadi unsur-unsur kegiatan sekolah yang dapat diotonomisasikan. Perumusan berbagai tujuan merupakan otoritas yang seharusnya diotonomisasikan pada sekolah, karena sekolah beserta para stakeholder-nya sangat mengetahui apa yang harus diperbaiki, ditingkatkan dan atau diadakan serta dikembangkan. Perumusan tujuan tersebut, sebagaimana Murphy tegaskan (Murphy, 1995 : 49), harus bertolak dari visi dan misi sekolah serta values yang dimilikinya. Memang untuk sekolah yang sama didistrik yang sama, visi dan misi sekolah bisa sama, namun values yang mereka miliki bisa berbeda, sehingga mereka bisa merumuskan tujuan yang berbeda-beda untuk mencapai visi dan misi yang sama. Kemudian bersamaan dengan itu pula, program-program yang dapat dikembangkan antar satu sekolah dengan lainnya bisa berbeda. Dan justru SBM itu dikembangkan untuk memberi kewenangan pada sekolah untuk merumuskan program-program strategis untuk mencapai visi dan misi dari sekolah, dan juga visi sekolah di tingkat daerah. Dalam pola SBM, penyusunan program-program strategis yang harus berbasis pada kenyataan objektif sekolah dan harapan-harapan para client, analisis kebutuhan dan permintaan client harus dilakukan dengan menganalisis kebutuhan dan permintaan stakeholder sekolahnya sendiri. Analisis kondisi objektif sekolah juga adalah posisi sekolah saat itu. Dengan demikian, program strategis tersebut secara rasional bisa dijangkau, karena berbasis pada kekuatan sekolah sendiri. Budgeting merupakan jantungnya manajemen berbasis sekolah. Kontrol terhadap kurikulum dan personalia sangat tergantung pada keuangan (Murphy, 1995 : 49), yakni bahwa kurikulum itu bisa dikembangkan dan diimplementasikan secara sempurna pada siswa, bahkan dilaksanakan dalam prinsip mastery learning, jika didukung oleh sumber daya keuangan. Demikian pula dengan pengaturan dan penugasan personalia untuk melaksanakan reinforcement, penguatan dan pengayaan, semua sangat terkait dengan dukungan sumber daya keuangan. Struktur keuangan sekolah belum tentu sekuat program-program yang hendak dikembangkannya. Oleh sebab itulah, sekolah diberi kewenangan untuk berkomunikasi dengan stakeholdernya bukan untuk menarik berbagai retribusi tambahan dari mereka, tapi untuk membahas program-program yang rasional untuk dikembangkan serta strategi fundrising yang dapat dikembangkan untuk mendukung struktur keuangan sekolah.
Aspek ketiga yang juga disarankan untuk diotonomisasi pada tingkat sekolah adalah personalia, yakni kewenangan sekolah untuk menentukan rencana pengadaan, serta pembinaan tenaga yang ada, karena sekolahlah yang peling tahu kebutuhan tenaga pengajarnya. Jika soal guru ini diserahkan sepenuhnya pada pemerintah, termasuk proses seleksinya, maka bisa terjadi terangkat orang dengan keahlian yang tidak diperlukan, dan justru yang diperlukan tidak diangkat, atau diberi tugas yang tidak sesuai dengan bidang keahliannya. Paradigma sekolah dari dulu tidak pernah berubah, baik tingkat dasar menengah maupun perguruan tinggi, bahwa yang dikejar oleh orang tua siswa adalah guru atau dosen. Jika sebuah sekolah memiliki image dengan komposisi guru yang kuat, maka akan dicari oleh orang tua siswa, sebagaimana juga perguruan tinggi, jika mampu menyediakan tenaga pengajar yang berkualitas, maka dia akan dicari oleh para mahasiswa. Sejalan dengan prinsip tersebut, Murphy menegaskan, jika kepala sekolah hendak merajut program sekolah sesuai harapan masyarakat, maka dia harus mampu mengelola dan mengontrol guru-gurunya (Murphy, 1995 : 51). Aspek keempat yang juga patut untuk diotonomisasikan adalah kurikulum. Biasanya, pembiayaan disusun untuk mendukung pelaksanaan kurikulum yang disusun oleh pemerintah pusat. Dalam paket SBM otonomi secara totalitas termasuk kurikulum. Namun tampaknya Indonesia belum berani melepas penuh penyusunan kurikulum pada sekolah bersama dengan stakeholder dan usernya, sehingga kini, Depdiknas telah menyajikan outline tentang kompetensi yang harus dijangkau beserta berbagai indikator kompertensinya dengan tetap memberi ruang pada sekolah untuk mengembangkan keunggulan-keunggulannya. Bersamaan dengan itu, sesuai prinsip pembelajaran demokratis, maka rancangan kurikulum operasional yang telah disiapkan guru harus dikomunikasikan pada siswa, dan siswa-siswa yang sudah mempu ekspresif dan mampu menentukan pilihan, bisa diberi beberapa opsi strategi dan kagiatan pembelajaran, sehingga belajar bagi mereka tetap menyenangkan, produktif dan tidak membosankan. Termasuk dalam kategori kurikulum adalah penggunaan alat dan sumber belahar, serta pengalokasian waktu. Aspek kelima adalah struktur organisasi yang mendukung terhadap proses pendelegasian kewenangan tersebut, agar ada divisi yang dapat melakukan pengelolaan sarana dan prasarana, pengembangan teknologi dalam pelayanan administrasi maupun sumber belajar, sehingga sekolah mampu berkembang serta maju seiring kemajuan teknologi, dan siswa-siswa tidak tertinggal oleh berbagai kemajuan dunia. Inilah aspek-aspek yang sebaiknya sekolah diberi otonomi penuh untuk mengambil putusan-putusan strategisnya. Akan tetapi kemudian munsul sebuah pertanyaan, untuk apa SBM tersebut serius didorong untuk diimplementasikan di sekolah, mengapa dan untuk apa SBM ini dikembangkan untuk sekolah.
Dalam konteks terakhir ini, duhou menyampaikan beberapa argumentasi, pertama, bahwa sekolah itu dikembangka untuk memenuhi permintaan berbagai pihak kontituen, yakni pemerintah, para ahli pendidikan, orang tua siswa, siswa itu sendiri, serta berbagai anggota masyarakat yang menaruh harapan-harapan terhadap pada pendidikan. Dengan demikian, sangat fair jika mereka yang memiliki harapan-harapan terhadap sekolah tersebut ikut serta dalam merumuskan ide-ide dan pemikiran-pemikiran dalam proses penetapan keputusan tentang berbagai kebijakan sekolah untuk meningkatkan kualitas hasil pendidikan siswa-siswa disekolah tersebut, kedua, bahwa reformasi pendidikan diarahkan agar penyelengaraan pendidikan itu semakin demokratis, yakni memperluas pelibatan masyarakat dalam proses pengambilan keputusan-keputusan penting untuk diimplementasikan dalam pengembangan program, sehingga sekolah semakin aspiratif terhadap ide dan gagasan publiknya, kemudian dukungan masyara kat meningkat, dan tanggung jawab mereka terhadap pendidikan juga tinggi, karena mereka dilibatkan secara aktif. Ketiga, semakin pendidikan itu didorong ke bawah dan semakin masyarakat dilibatkan untuk berpartisipasi dalam pendidikan, maka aliran dana masyarakat untuk sekolah akan semakin lebar, dan akan semakin menguntungkan bagi siswa, karena banyak proses pembelajaran yang dapat dibiayai. Bersamaan dengan itu manajemen sekolah juga akan terkontrol oleh banyak pihak, karena setiap donasi menuntut pertanggungjawaban manajemen, sehingga administrasi keungannya akan semakin akuntabel dan efisien (Duhou,1999:32-33). Argumen-argumen ditas merupakan alasan rasional mengapa SBM didorong untuk dijadikan sebagai sebuah pilihan dalam reformasi pendidikan, yakni pengelolaan pendidikan yang lebih demokratis, melibatkan masyarakat pemakai sekolah, para ahli pendidikan, serta masyarakat yang peduli pada pendidikan. Pelibatan tersebut tidak sebatas dalam penyusunan program, kebijakan kurikulum, dan proses pembelajaran lainnya, tapi juga dalam budgeting serta berbagai upaya yang dapat memenuhi kebutuhan anggaran untuk peningkatan kualitas pelayanan pembelajaran bagi siswa. Pelibatan masyarakat dalam budgeting tersebut bukan dalam konteks pengelolaan serta pengadministrasian, tapi lebih pada upaya-upaya fundrising serta berbagai kebijakan untuk mendorong partisipasi masyarakat pada sekolah dalam upaya memperbesar saluran uang masuk ke sekolah, dan sebagai implikasinya, mereka punya hak untuk memperoleh pelaporan dari manajemen sekolah tersebut, setidaknya annual report sebagai bukti pertanggungjawaban serta akses kontrol masyarakat terhadap akuntabilitas manajerial-nya. Semakin akuntabel manajemen sekolah, maka akan semakin tinggi kepercayaan masyarakat. Dan semakin tinggi kapercayaan masyarakat maka akan semakin tinggi pula partisipasi mareka.
Pendelegasian kewenagan tersebut, memang kini sudah menjadi trend didunia pendidikan di beberapa ngara yang mengembangkan kultur demokrasi dalam kehidupan sosial politik mereka. Dengan otonomisasi tersebut, kini tanggung jawab pengembangan sekolah berada pada senior official dari sekolah, yakni kepala sekolah bersama para gurunya, yang harus mengembangkan komunikasi dengan orang tua siswa. Posisi pemerintah lebih banyak pada penyiapan SDM yang akan dikirim ke sekolah, mengembangkan kualitas SDM melalui in-service training, bahkan sekolah harus melakukan reorientasi agar tetap sustainabel manakalah suatu saat semua pelayanan tersebut tidak siapkan lagi oleh pemerintah pusat (Hokins, 1994 : 15). Padangan Hopkins ini memang terlalu maju tentang desentralisasi, karena untuk kasus Indonesia, kini baru pada tahap pelibatan masyarakat sekolah dalam program-program internal sekolahnya. Siapakah sebenarnnya masyarakat sekolah sebenarnya? Ada dua kategori masyarakat sekolah, yaitu pertama, Unsur-unsur sekolah, yang jika salah satu unsur tersebut tidak ada, maka proses persekolahan tersebut menjadi terganggu, inilah yang biasa disebut sebagai stakeholder. Oleh sebab itu, dalam konotasi ini, guru, kepala sekolah, siswa, orang tua siswa dan pemerintah termasuk didalamnya. Namun bersamaan dengan itu, siswa, orang tua siswa dan pemerintah, dalam salah satu konteks biasa disebut sebagai client sekolah, yakni pelanggan sekolah, karena merekalah yang dilayani oleh sekolah. Siswa membawa harapan-harapan pengalaman, sebagaimana harapan yang disampaikan orang tuanya. Demikian pula dengan pemerintah, Khususnya pemerintah daerah yang memiliki kewengana dalam penembangan seolah tersebut. Kedua, unsur-unsur yang diharapkan dapat memberikan masukan pengembangan kurikulum, dalam pengembangan program sekolah, peningkatan fundrising, dan bahkan memberikan pertimbangan pertimbangan dalam
pengembangan serta pembinaan personalia.Kelompok ini, biasa disebut dengan komite sekolah. Keanggotaan komite sekolah bervariasi, ada yang hanya memperluas stakeholder denga unsur-unsur pakar dan toko masyarakat setempat, dan ada lagi yang lebih proporsional, sehingga tidak semua unsur stakeholder otomatis memiliki perwakilan dalam komite sekolah, karena seperti siswa,apa relevansinya, bahkan orangf tua siswa belum tentu memiliki pandangan-pandangan yang progresif tentang sekolah. Mereka tidak berpatokan pada keterwakilan unsur, tapi keterwakilan gagasan sehingga tidak terlalu menganggap penting unsur (Hatry, 1994 : 44 : 46). Bagi aliran ini, unsur-unsur penting dalam komite sekolah justru adalah mereka yang benar-benar memahami pengembangan sekolah, apakah para pakar, unsur perguruan tinggi atau yang sejenisnya. Di Indonesia sendiri, wacana yang muncul dan berkembang tentang komite sekolah sebagai substitusi BP3 meliputi unsur-unsur stakeholder dan masyarakat pedidikan, yang tersiri dari unsur pakar pendidikan, pengusaha, LSM dan toko masyarakat disekitar sekolah. Kebijakan tersebut
dikembangkan dalam upaya memperluas kontribusi dan pelibatan masyarakat dalm pendidikan, baik dalam konteks manampung ide dan gagasan untuk pengembangan program sekolah, maupun dalam membantu sekolah memperlebar akses dana untuk membiayai proses pembelajaran siswa, sehingga mencapai kualitas ideal. Apakah sebenarnya tugas-tugas komite sekolah tersebut? Dalam konteks ini Hatry menjelaskan bahwa tugas-tugas dari komite sekolah antara lain adalah sebagai berikut ( Harty, 1994: 42 ): 1. Mengembangkan akses sekolah pada dana, sehjingga sekolah mampu membangkitkan berbagai sumber dana potensial untuk mendukung proses pembelajaran siswa. 2. Mengembangkan budgeting sekolah dalam konteks pngembangan kemampuan pembiayaan untuk mkendanai berbagai program sekolah. 3. memutuskan struktur anggaran sekolah. 4. Berpartisipasi dalam pemilihan kepala sekolah, dan wakil kepala sekolah. 5. Ikut serta dalam curah pendapat tentang kurikulum dalm konteks peningkatan kualitas hasil pembelajaran, dan memberi masukan-masukan pada sekolah tentang kualifikasi kompetensi siswa yang akan dihasilkan sekolah. Relevan dengan fokus tugas komite sekolah, Duhou ketika menjelaskan salah satu pengalaman tentang sekolah yang telah menjalankan SBM disalah satu sekolah di Australia, Yakni Victorias School, dan dinamai dengan SOF atau School of Future, memaparkan bahwa tugas-tugas yang dikembangkan untuk komite sekolahnya adalah sebagai berikut ( Duhou, 1999:66): 1. Komite4 sekolah terlibat dalam membuat dan menyusun berbagai kebijakan pendidikan dari sekolahnya. 2. Mendirikan komite pendidikan tingkat regional, dan mendorong keterwakilan tiap sekolah pada komite regional tersebut. 3. Pada komite regional diperkuat de4ngan expert dalam bidang-bidang yang diperlukan, dan komite tersebut independent tidak terikat dengan birokrasi pendidikan, namun bertanggung jawab denga materi. Dalam konteks tugas operasionalnya, komite sekolah terlibat tidak hanya dalam soal
budgeting dalam konteks fundrising sebagaimana sebagaimana digambarkan oleh Hatry, tapi justru dalam penetapan berbagai kebijakan sekolah, khususnya tentang perencanaan strategis sekolah, yang harus dimulai dari hulu sejak dari visi,misi, tujuan dan berbagai program strategis, baik jangka panjang, menengah, maupun program operasional sebagai program jangka pendek, mereka harus
terlibat sehingga memahami pentingnya membantu berkontribusi dalan fundrising untuk sekolah. Lalu mereka juga berhak untuk memperoleh pelaporan, walaupun tidak berada dalam struktur birokrasi sekolah, namun mereka harus diberi pelaporan agar akuntabilitas manajemen sekolah dapat diketahui oleh publik. C. Total Quality Management Dala Pendidikan Total Quality Management (TGM) sempat menjadi isu yang hangat dalam reformasi pendidikan di Indonesia, kendati menudian agak mereda kembali dan tidak sebagaimana isu-isu lainnya seperti School-Based Management, Student-Based Education, Competence-Based Curriculum dan Community-Based Education yang terus mendorong dalam konteks reformasi oendidikan di Indonesia. TQM sempat mengisi wacana reformasi pendidikan melalui perbaikan terus menerus dalam seluruh bagian dari rangkaian aktivitas layanan pendidikan. Walaupun dikembangkan secara serius sejak awal decade 1990-an oleh para peneliti pendidikan di USA dan UK sebagai upaya emncari jawaban untuk pengembangan dan peningkatan kualitas pendidikan (Sallis, 1993:18), namun TQM selalu dikaitkan dengan teori William Edward Deming kelahiran tahun 1900, dan merupakan salah seorang yang telah berhasil membuat revolusi dalam pengembangan berbagai industri di Jepang. Sebenarnya dia adalah seorang sarjana ilmu fisika bergelar Ph.D., yang lulus tahun 1927 dari Yale University, lalu bekerja di perusahaan listrik Western Electrics Hawthorne yang saat itu sedang diteliti oleh seorang penelitia dari Harvard untuk melihat hubungan antara motivasi dalam lingkungan kerja dengan produktivitas pegawai. Dan Deming pun tertarik untuk melanjutkan observasi tersebut diperusahaannya itu, lalu diteruskan di laboratorium perusahaan Tilpon (Bell Laboratory) New Jersy, dan berjumpa dengan Walter A. Shewhart yang memiliki teori lingkaran spesifikasi, produksi dan inspeksi, yang kemudian dikembangkan oleh Deming dengan lingkaran PDSA. Deming mengangkat teori tersebut sebagaio subtitusi terhadap teori Frederick Winslow Taylor, dan menekankan work harder do their best (Bonstingl, 2001:7). Kritik Deming terhadap teori Taylor adalah bahwa teorinya itu menurunkan semangat dan kontra produktif terhadap interest pegawai, manajemen dan prusahaan. Dalam lingkar PDSA, seluruh pekerjaan dimulai dengtan plan atau perencanaan, kemudia diikuti dengan do, yakni mengerjakan perencanaan tersebut dalam skala kecil kemudian diikuti dengan study untuk mengonfirmasi perencanaan dengan hasil uji lapangan, kemudian dimodifikasi sesuai hasil studi untuk digunakan dalam skala yang lebih besar, itulah yang dalam teorinya disebut act (Bonstingl, 2001:9-10).
Melalui teorinya ini Deming menekankan perbaikan-perbaikan yang tidak pernah henti, dan setiap apa yang dikerjakan selalu diawali dengan perencanaan, dan perencanaan tersebut diilhami dengan hasil yang telah tercapai sebelumnya, sehingga ada perbaikan-perbaikan untuk implementasi rencana berikutnya. Apa sebenarnya yang mendasari kemunculan lingkaran perbaikan terus-menerus ini. Menurut Sallis, Deming melihat kelemaham manajerial zamannya dengan menginventarisir beebrapa penyakit manajemen (Sallis, 1993:46-47), antara lain yaitu : 1. Kurang konsisten dalam perumusan tujan, yakni perumusan tujuan institusi sering berganti. 2. Sering berpikir jangka pendek, dan ini berkait dengan penyakit pertama, bahwa sering kali perumusan tujuan selalu berorientasi jangka pendek, sehingga mudah berubah-ubah. 3. Evaluasi personal yang selalu didasarkan pada hasil rating evaluasi tahunan. Pendekatan ini akan megakibatkan guru dan pegawai mengejar target indikator penilaian dari pada kualitas outcome. Mereka akan berkompetisi untuk menjadi yang terbaik dalam indikator-indikator tersebut, dari pada meningkatkan kebanggan dengan tugas dan institusi sekolahnya. 4. Lompatan tugas, ini yang juga dikritik oleh Deming, bahwa manajemen Eropa sering menekankan talenta, dengan mengabaikan pengalaman, sehingga seorang manajemen bisa diangkat dari pegawai junior tapi memiliki talenta yang baik untuk tugasnya itu. Sementara manajemen Jepang lebih menekankan stabilitas, sehingga unsur pengalaman menjadi sangat penting. Menurut Deming, anajer itu harus diangkat dengan mempertimbangkan kemapuannya menjaga konsistensi tujuan. 5. Penggunaan gambaran visual untuk mengukur sebuah keberhasilan. Ini juga merupakan penyakit dalam manajeen, dabn masih banyak sekolah-sekolah yang menganggap keberhasilan manajemennya itu dengan memiliki gambaran hasil ujian akhir yang baik. Menurut Sallis dengan mengadaptasi teori deming pola ini salah, dan tidak menjamin perbaikan kualitas. Indikator keberhasilan justru adalah ktika sekolah mampu pelanggannya. Untuk menjamin perbaikan total pada semua orang, di semua unit dan dilakukan terus menerus, Sallis dengan mengadaptasi doktrin Deming menawarkan langkah-langkah penting dalam pengembangan TQM di sekolah (Sallis, 1993:48-49), yaitu : 1. Rumuskan tujuan yang konstan untuk perbaikan dalam produk layanan, dengan tujuan agar menjadi kompetitif, tetap bisa menjalankan usaha (sekolah), dan bisa menyediakan lapangan pekerjaan! Banyak organsasi yang hanya memiliki tujuan jangka pendek, dan tidak merumuskan memberi kepuasan dan kebahagiaan pada
apa yang hendak dicapai dalam 20 sampai 30 tahun ke depan, dengan berdasarkan pada visi dari institusinya. 2. Gunakan filosofil baru! Sebuah sekolah tidak akan mampu berkompetsni jika harus menerima dan memaafkan keterlambatan, kesalahan, atau melahirkan hasil yang tidak tepat. Mereka harus melakukan perubahan dan menggunakan cara barud alam melakukan pekerjaan, sehingga tidak mengulangi kesalahan. 3. Berhentilah menggunakan pengawasan publik untuk mencapai kualitas! Pengawasan publik yang dilakukan oleh unit inspeksi tidak menjamin kualitas. Manajemen harus memepersiapkan staf mereka dengan training teknik analisis statistik untuk memonitor da mengembangkan kualitas mereka secara mandiri dan dilakukan oleh mereka masing-masing. 4. Tingkatkan terus kualitas pelayanan dan produk layanan! Tugas manajemen adalah meningkatkan kualitas layanan, dan menjamin bahwa proses perbaikan akan terus dilakukan. 5. lakukan on the job training! Pelatihan merupakan salah satu yang paling penting untuk peningkatan kualitas. Memang, sekolah harus mengeluarkan dana untuk kepentingan pelatihan tersebut, tapi sama pentingnya untuk selalu melawan standar kualitas yang permanen. Oleh sebab itu, pegawai dan guru harus diberi training untuk supaya bisa melakukan perubahan-perubahan untuk kemajuan. 6. Tugas manajemen adalah memimpin bukan mengawasi, pemimpin harus mampu berperan untuk emdnorong kemajuan dalam proses pelaksanaan pekerjaan agar menghasilkan layanan dan produk terbaik. 7. Hindari rasa takut, yakni bahwa produktivitas pegawai juga diperngaruhi oleh perasaan bekerja di tempat dia bekerja. Oleh sebab itu, diciptakan susan tentram, dan nyaman, sehingga guru dan pegawai merasa dirinya aman untuk bekerja di tempatnya itu. 8. Atasi berbagai kendala hubungan antara unit atau departemen, karena mereka yang berada dalam unit yang berbeda tersebut memerlukan kerjasama sebagai sebuah tim. Organisasi tidak boleh membiarkan ada departemen atau unit yang terdorong dalam arahan yang berbeda. 9. Kurangi slogan, nasihat, target dan permintaan untuk peningkatan produktivitas baru tanpa ada pengarahan pada para pegawai tentang metode-metode baru untuk menghasilkan pekerjaan yang lebih baik. Kebanyakan kelemahan proses pekerjaan itu sistematik dan itu tugasnya menajer untuk mencarikan jalan keluarnya. 10. Kurangi standarisasi pekerjaan dengan indikator angka numeric, karena standarisasi numeric atau kuantitas sering kali akan mengurangi kualitas.
11. Hilangkan berbagai kendala yang akan mengurangi kebanggaan pegawai terhadap pekerjaannya, yakni instuisi harus menghilangkan kebiasaan melakukan penilaian terhadap perstasi pegawai, karena justru akan menimbulkan persaingan diantara pegawai satu dengan lainnya, dan kontraproduktif terhadap pengembangan team-work ! 12. Lembagakan pendidikan dan pelatihan pegawai yang dapat meningkatkan semangat kerja pegawai dan meningkatkan semangat kerja pegawai dan peningkatan kualitas dengan dirinya sendiri. Staf yang terdidik dengan baik, akan mampu melakukan peningkatan kualitas pekerjaannya! 13. Posisikan setiap orang dalam instuisi untuk bekerja dan melaksanakan transformasi ! kultur berkualitas merupakan tugas setiap orang, dan juga tugas personal dari manajer sendiri. Teori deming kemudian diteruskan Joseph M. Juram mendefinisikan bahwa kualitas itu adalah kesesuaian untuk pemakaian, kualitas adalah terbatas dari kesalahan. Dan sebagaimana Deming, Juran juga menekankan pentingnya memperhatikan permintaan dan kebutuhan pelanggan dalam konteks ukuran-ukuran kualitas. Juran mengembangkan lingkaran kualitas yang dinamainya dengan spiral of progress in quality yang meliputi, customer, product development, operation,marketing,customer, further development,dan lain-lain. Proses kualitas itu dimulai dari dan berakhir pada pelanggan (Bonstingl,2001:14).Dengan teori lingkaran spiral tersebut, Juran sebagaimana Deming menekankan perbaikan terusmenerus dalam kualitas, dengan merujuk pada permintaan serta kebutuhan pelanggan.Siklus spiral Juran adalah sebagaimana terlihat pada gambar berikut ini:
Gambar 25
Ada dua inti dari teori Juran sebagaimana dikutip oleh Sallis,yaitu aturan 85/15.Juran, menurutnya adalah guru manajemen pertama yang secara luas menekankan kualitas.Sebagaimana
Deming, berbagai problem kualitas bisa diperbaiki dengan kembali pada perbaikan berbagai putusan manajemen.Induk teori Juran adalah 85% dari problem kulitas organisasi adalah hasil kesalahan dalam rancangan proses. Penetapan sistem secara benar akan memperoleh kualitas secara benar. Selanjutnya Juran berpendapat, bahwa 85% problem terkait dengan manajemen, sebagaimana manajemen itu mengontrol 85%dari sistem dalam organisasi (Sallis,1993:52). Kemudian teori yang lain,sebagaimana dikemukakan Sallis adalah bahwa untuk membantu meningkatkan kualitas perencanaan,atau dalam istilah diatas adalah perancangan proses, Juran menyampaikan teori Strategic Qualiy Management (SQM), bahkan setip bagian dalam organisasi memiliki kontribusi terhadap peningkatan kualitas. Juran membagi pegawai pada tiga level, yaitu manajersenior,manajer kelas menengah dan lapisan pegawai. Manajer senior memiliki kontribusi tentang peningkatan pandangan-pandangan srategis dalam organisasi, manajer menengah memiliki kontribusi dalam operasionalisasi pandangan-pandanga strategi stersebut, sedangkan lapisan pekerja memiliki kontribusi dalam mengontrol kualitas (Sallis,1993:53). Bila diadaptasi pada struktur sekolah di Indonesia menjadi problematik, karena kepala sekolah langsung dengan guru. Namun gagasan dasarnya sangat rasional, bahwa semua unsur dalam lapisan memiliki kontibusi yang sama dalam pengembangan kualitas, dan perbedaannya hanya pada wilayah kewenangan Teori-teori tentang pengembangan kulitas manajenyang kemudian banyak diadaptasi pada manajemen pendidikan sangat kaya, dan tidak hanya Deming serta Juran. Namun keduanya adalah pemula, maka keduanya senantiasa menjadi rujukan utama.setelah Deming dan Juran dalam khazanah manajemen masih terdapat nama-nama seperti Arman Feingenbaum, Phillip Crosby, serta nama-nama besar lainnya.namun yang penting adalah, upaya mengadaptasikan teori-teori tersebut dalam manajemen pendidikan, dalam konteks pengembangan danpeningkatan kualitas pendidikan itu sendiri,yang dilakukan secara holistic, komrehensif, namun bertahap dalam prinsip perbaikan tiada henti sebagai inti dari Total Quality Manajement (TQM), yakni peningkatan kualitas dalam semua sektor dan dilakukan semua orang dalam organisasi serta dilakukan secara terusmenerus.semua orang dalam TQM adalah manajer untuk bidang kewenangannya (Sallis,1993:35). Dalam konteks sekolah, perbaikan tidak hanya dilakukan oleh pemerintah sebagai shareholder,bagi sekolah-sekolah negri, yang menyediakan berbagai sarana fisik dan lingkungn, serta sumber daya manusia dan keuangannya, tapi juga dilakukan oleh jajaran staf administrasi dengan perbaikan sistam dan kultur layanan administrasinya, dan juga oleh guru dengan perbaikan perencanaan serta proses pembelajarannya. Berbagai teori perbaikan kualitas tersebut, kini diangkat dalam wacana akademik dan penelitian, khususnya dalam mencoba mereformulasi manajemen pendidikan, untuk meningkatkan
kualitas, baik dalam proses pelaksanaan pelayanannya maupun outcome hasil pendidikannya , yang keduanya saling berkorelasi. Dalam konteks ini terdapat beberapa nama antara lain John Jay Bostingl, Edward Sallis, Malcolm S. Greenwood, Robert Kapland serta beberapa nama lainnya yang cukup marak baik di Amerika maupun Inggris. Dalam pada itu, kulitas sebagaimana dikemukakan Sallis, ada dua macam, yaitu kualitas absolut dan relatif. Dalam konotasi absolut kualitas adalah pencapaian standar tertinggi dalam sesuatupekerjaan, produk, atau layanan yang tidak mungkin dilampaui, dan sudah mecapai tingkat kesempurnaan sehingga tidak ada peluang untuk paningkatan (Sallis,1993:22). Kualitas dala makna absolut ini sering identik dengan harga tinggi, dan menjadi kebanggaan bagi pemilik atau pemakainya, dan masih identik pula dengan kemewahan. Akan tetapi, jika kualitas tersebut identik dengan harga mahal dan kemewahan, maka tidak ada peluang bagi yang tidak mahal untuk berkualitas. Oleh sebab itu,Sallis membuat definisi kedua , yaitu kualitas dalam pengertian relatif, yakni kualitas yang masih ada peluang untuk peningkatan.kualitas dalam konotasi ini adalah pencapaian sandar kualitas tertentu yang telah ditetapkan sebelumnya, baik dalam sebuah pekerjaan, maupun produk barang atau jasa (Sallis,1993:23). Dengan demikian, menurut definisi ini, kualitas bukanlah sebuah akhir yang tidak ada peluang perbaikan. Kualitas adalah sesuatu yang masih terus ditingkatkan. Akan tetepi, jika dalam tahap peningkatan itu, pelaksanaan sebuah pekerjaan umpamanya, telah mencapai standar tertentu yang telah ditetapkan sebelumna, maka pekerjaan tersebut berkualitas. Kualitas dalam konotasi kedua ini memiliki dua aspek, yaitu pengukuran untuk mencapai spesifikasi tertentu, dan kedua terpenuhinya permintaan dan harapan-harapan pelanggan. Kulifikasikualifikasi yang dijadikan ukuran kualitas biasanyadisusun oleh omployers, kalau dalam sekolah, standar kualitas guru mengajar disusun oleh kepala sekolah bersama tim manajemen lainnya. Demikian pula dengan kualitas layanan administasi pendidikan, disusun oleh kepala sekolah. Semua standar kualitas tersenut menjadi bahan publikasi pada pelanggan,tentang jaminan kualitas layanan, atau bisa disebut dangan quality assurance, dan setiap sekolah harus memiliki sistem layanan yang dapat memberikan jaminan kualitas pada para pelanggannya. Komposisi SDM dan sitem pelayanan itulah yang dapat dijadikan selling pointbagi sekolah, sehingga masyarakat membelinya, sedangkan standar kedua, adalah terpunuhinya harapan dan permintaan pelanggan tersebut bisa berkelindan. Akan tetapi bisa terjadio mereka menghendaki indikator-indikator tambahan sehingga semua harapan dan permintaan mereka itu sebaiknyadi-assess oleh manajemen sekolah. Problematika pencapaian unsur kedua ini justru karena tidak semua pelanggan dikehendakinya, diluar yang telah sekolah tawarkan. penyampaikan harapan-harapan yang
Sejalan dengan pandangan-pandanganSallis tersebut Greenwood menyampaikan bahwa kualitas itu tiada lain adalah terpenuhinya permintaan permintaan pelanggan, tercapainya tujuan serta dapat menyenangkan para pelanggan tersebut (Greenwood, 1994 : 26). Greenwood telah membiat rumusan kualitas dalam konteks TQM dan tidak mengitroduksi kualitas absolut yang sudah tidak perlu diperbaiki lagi, karena disamping keluar dari konteks TQM, ukuran kualitas seperti itu probabailitasnya kecil, kalau tidak mungkin untuk dikatakan utopia sesuai dengan definisi tersebutm, sesuatu itu dikatakan berkualitas jika sesuai dengan rumusan kualifikasi-kualifikasi yang telah ditetapkan sebelumnya dan dapat memenuhi permintaan pelanggan dalam konteks pendidikan, sekolah itu berkualitas jika mampu melaksanakan proses pembelajaran yang sesuai dengan rancangan-rancangan yang ditetapkan bersama antara sekolah dengan komite sekolah, mencapai hasil belajar sesuai dengan target yang direncanakan serta sesuai pula dengan harapan-harapan orang tua siswa pemerintah, para pengguna lulusan baik sekolah atau perguruan tinggi tempat siswa melanjutkan studinya maupun dunia kerja. Bahkan lebih jauh dari itu, siswa senang dan orang tua juga senang karena tidak hanya tercapai apa yang mereka inginkan tapi siswa juga merasa at home disekolahnya itu. Jika indikator-indikator itu terjadi maka sekolah tersebut berkualitas atau mencapai kualitas yang diharapkan pelanggan sesuai dengan devinisi diatas. Kemudian dari itu, TQM merupakan sebuah kelanjutan dalam perjalanan konsep manajemen untuk memiliki kualitas memperbaiki kualitas produk serta memberi kepuasan bagi pelanggan, baik dalam produk barang, jasa maupun pelayanan lainnya, yakni quality control, quality assurance dan total coality management menurut Sallis, (Sallis, 1993 : 26), ketiganya memiliki aksentuasi yang berbeda dan lahir secara dialegtis. Seczara histories, quality control merupakan konsep kualitas yang peling tua. Modal quality control diperkenalkan sebelum yang lainnya secara praktis, quality control dilakukan managemen untuk dapat menghasilkan produk yang berkualitas, baik barang maupun jasa yang dilakukan manajer dalam proses pelaksanaan atau diakhir pekerjaan. Oleh sebab itu, dalam sistem ini selalu ada unit inspeksi dengan para inspektur yakni sebuah unit yang bertugas melakukan kontrol terhadap pelaksanaan pekerjaan atau terhadap barang yang dihasilkan. Demikian pula dengan sekolah yang selalu mengadakan evaluasi akhir nasional akan tetapi, sistem ini dianggap tidak efisien, karena harus ada pengulangan pekerjaan terhadap pekerjaan-pekerjaan yang salah atau terhadap produk yang gagal oleh sebab itu, kemudian para peneliti dan para ahli manajemen mengubah/mengembangkan sisterm kontrol kualitas dengan menyusun sistem kerja dimuka sebelum proses pekerjaan atau proses produksi dimulai, dengan sebuah struktur yang ketat dan memungkinkan tidak ada kesalahan sama sekali yang diikuti dengan mekanisme kontrol dalam prose pelaksanaan
pekerjaan. Mereka menyebutnya dengan sistem nol kerusakan / kesalahan. Itulah kualitas dari generasi kedua yang populer dengan quality assurance. Sebenarnya model quality assurance masih efekti untuk dikembangkan, dengan menggunakan prangkat sistem dan peran manajer yang masih kuat untuk terus mengawasi dan menjaga jangan sampai ada kesalahan dalam proses pekerjaan atau pelayanan, karena dalam sistem quality assurance kualitas itu ditentukan sebelum pekerjaan di mulai dan sampai saat pekerjaan sedang dikerjakan. Akan tetapi daslam quality assurance belum menekankan aspek-aspek pembudayaan kerja dan pelayanan terbaik, dan belum menekankan secara aksentuatif tentang perlindungan dan pembahagiaan pelanggan, melalui perbaikan holistic dan terus menerus. Oleh sebab itu, kemudian dikembangkan model total quality management, sebagai penguatan sebagai konsep quality assurance yakni pengembangan kultur agar semua pegawai itu, pada semua lini dan tingakatan memiliki sebuah moto yang sama, bagaimana mereka mencapai standar kualitas yang telah ditetapkan, dan mampu membuat pelanggan itu senang dan merasa puas dengan layanan yang mereka berikan, melalui perbaikan terus-menerus. Dalam TQM pelanggan itu banar-benar dilindungi agar mereka merasa puas dengan layanan yang diberikan, atau mereka puas dengan barang dan produk yang dihasilkan untuk mereka gunakan. Apa yang mereka butuhkan kapan mereka memerlukannya dan bagaimana menggunakannya semua terlayani secara tepat, cepat dan akurat, sehingga mereka itu benar-benar terlindungi keperluannya. Dalam konteks pengembangan TQM untuk layanan pendidikan, berarti semua prangkat sekolah dari kepala sekolah, guru, karyawan dan tenaga keberhasilan serta keamanan, harus benarbenar memiliki kultur pelayanan terbaik terhadap siswa dan orang tua siswa sehingga mereka puas, tidak saja diakhir setelah putera-puterinya lulus, tetapi sejak awal mereka masuk kehalaman sekolah, merasa nyaman, aman, terlindungi, terhargai, dan terlayani, oleh perangkat sekolah yang berada di front line. Kemudian layanan administrasinya efisien dan efektif, cepat, tepat dan akurat, dan para pegawai yang berada difront linernya bisa menghadapi pelanggan dengan ramah. Kemudian guru mengajar dengan persiapan yang baik, memperhatikan keragaman siswa, bersikap demokratis dalam pengembangan strategi tidak membiarkan ada anak yang tertinggal, sehingga end-product dari mata pelajarannya memiliki kompetensi penguasaan yang baik. Demikian pula dengan kepala sekolahnya selaindimanis progresif dia juga aspiratif, terbuka dengan saran-saran kemajuan, dan mampu menkomunikasikan gagasan serta berbagai persoalan sekolahnya itu pada komite sekolah, untuk disampaikan pada client yang lebih luas serta kelompok peduli sekolah dari masyarakat lingkungannya.
Lalu siapakah pelanggan (client) sekolah itu? Pelanggan sekolah sebagaimana di kemukakan oleh Greenwood adalah sebagai berikut (Greenwood, 1994 : 27). 1. 2. 3. 4. 5. Siswa-siswa yang memperoleh pelajaran Orang tua siswa yang membayar baik langsung maupun tidak langsung untuk biaya pendidikan anaknya pendidikan lanjut atau institusi pendidikan temapt siswa melanjutkan studi. para pemakai tenaga kerja yang perlu untuk merekrut staf trampil, memiliki keahlian dan berpendidikan sesuai dengan kebutuhan. Negara yang memerlukan pegawai terdidik dengan baik. Dari lima kategori school client ini, Greenwood tampaknya tidak memasukkan pemerintah dalam posisi pemesan-pembayar, dan hanya diposisikan sebagai pemakai outcome pendidikan, padahal di Indonesia, bahkan dibanyak negara didunia, sekolah dasar dan menengah itu, sebagiannya dibiayai oleh anggaran pemerintah, khususnya untuk sekolah negeri untuk sekolah swasta. Oleh sebab itu, Sallis memasukkan unsur pemerintah sebagai salah satu dari pelanggan dalam kategori pemesan dengan enyiapkan pembayaran (Sallis, 1993, 31). Bersamaan dengan itu pula, Sallis lebih jauh melihat, bahwa kelima unsur client ini memperoleh layanan yang berbeda, siswa dengan orang tua siswa memiliki indikator kepuasan yang berbeda, demikian pula dengan employer dan pemerintah, serta institusi pendidikan lanjutan. Oleh sebab itu Sallis membagi client ini dalam tiga kategori, yaitu pelanggan premier, pelanggan sekunder, dan pelanggani tertier. Pelanggan primer adalah siswa yang memperoleh layanan langsung yang berupa pembelajaran dari sekolah, pelanggan sekunder adalah orang tua siswa, pemerintah yang menyediakan anggaran untuk sekolah,, serta employer yang membayarkan uang sekolah untuk orang-orng yang diutusnya untuk belajar. Terakhir pelanggan tertier yakni pemerintah sebagai institusi yang embutuhkan tenaga kerja, employer yang akan menampung para lulusan sekolah di perusahaan atau unit-unit layanan jasa, dan masyarakat secara keseluruhan, yang senantiasa membutuhkan pendidikan untuk menyiapkan anak-anak didik agar bisa menjadi anggota masyarakat yang baik (Sallis, 1993 : 31). Harapan masing-masing pelanggan tersebut terhadap sekolah pasti berbeda, dan sangat tidak mungkin bagi sekolah dapat memenuhi seluruh permintaan pelanggannya itu. Kendati demikian, semua harapan dapat direhonsiliasikan, sehingga dapat menampung seluruh aspirasi, walaupun tidak dapat memberi kepuasan secara penuh, dan inilh problem dalam TQM yang mengusung konsep kepuasan. Salah satu problem yang sering kali dihadapi sekolah, khususnya sekolah negri yang dibiayai pemerintah adalah, berbenturan entaraharapan pemerintah sebagai penyedia anggaran kegiatan rutin, dengan harapan siswa untuk meningkatkan itensitas proses pembelajaran mereka.
Pemerintah sering menekankan aspek afasiansi dan pengurangan sektor-sektor tertentu,sementara siswa menghendaki terus berekspansi dalam kegiatan pembelajarannya. Walaupun demikian TQM tetap bisa berjalan, dengan penetapan standar kualitas sesuai kapasitas yang dimiliki oleh institusi masing-masing, karena TQM tidak berbicara kualitas absolut,tapi kualitas relatif yang disesuaikan dengan tingkat kemampuan,dan harus terus ditingkatkan setiap saat. Hanya saja, dalam TQM diperlukan seorang leaderatau pemimpin yang kuat, memiliki visi dan misi yang jelas serta mampu menerjemahkan visi dan misinya itu pada rumusanrumusan kebijakan serta tujuan-tujuan yang terukur. Pimpinan sekolah dalam kultur manajerial Indonesia biasa disebut sebagai kepala sekolah dibantu oleh beberapa wakil kepala sekolah dan seorang kepala tata usaha. Inilah pimpinan sekolah sebagai sebuah tim.akan tetapi, sebagaimana dikemukakan oleh Vilstern, pimpinan sekolah adalah seorang yang berada dalam posisi yang paling atas disekolah itu (Vilstern,1999:173). Dangan demikian pimpinan sekolah adalah kepala sekolah. Dialah yang mempertanggungjawabkan pelaksanaan program-program sekolahnya itu pada masyarakat, pemerintah,dan para pengguna sekolah tersebut. Dalam konteks upaya mencapai berbagai kemajuan dan peningkatan-peningkatan kulits secara berkelanjutan dalam semua sektor aktivitas sekolah, sekolah harus dipimpin oleh seorang kepala sekolah dengan beberapa kriteria sebagai berikut (Vilstern,1999:179) 1. Mereka harus memiliki visi yang kuat sebagai gambaran organisasi di masa yang akan datang, dan mereka juga harus berorientasi pada outcome. 2. Mereka juga harus mampu mengomunikasikan visinya pada anggota tim kerjanya, dan secara kreatif menggunakan cara-cara tidk langsung untuk menyampaikan visinya itu. 3. Mereka adalah orang yang tepat untuk berada dalam posisi sesuai pilihan, tapi juga merupakan orang yang mampu menjadikan kesalahan sebagai pelajaran untuk bisa lebih baik. 4. Selalu memperoleh jalan untuk mampu melakukan perubahan-perubahan dalam organisasi. 5. Mereka mampu menciptakan dan suasana kerja yang memberdayakan pegawai untuk melakukan yang terbaik,karena mereka adalah orang-orang yang dapat dikembangkan untuk menjangkau sukses. Walaupun Vilstern mengangkat pandangan dan gagasan-gagasan dalam konteks performa terbaik, namun sangat relevan dengan konsep pengembangan sekolah menuju
pencapaian kualitas melalui TQM, karena performa terbaik merupakan tujuan atau kualitas idela yang hendak dicapai melalui Total Quality Managemant tersebut. Hanya saja untuk poin kelima perlu memperoleh penguatan, bahwa kepala sekolah tersebut harus memiliki kemampuan untuk menciptakan suasana kerja yang dapat mendorong seluruh anggota organisasinya untuk
menciptakan suasana kerja yang dapat mendorong seluruh anggota organisasinya untuk berprestasi dan memberikan layanan pada client-nya dengan baik, sehingga mencapai standart kualitas yang diharapkan dan mampu membahagiakan pelanggannya itu. Kemudian dalam upaya menuju cita idealnya sebagai sekolah dengan performa terbaik, dengan pendekatan total quality management yang secara konsepsional amat demokratis, karena memberikan pemihakan pada client dan masyarakat penggunanya, maka kepala sekolah harus melakukan beberapa tugas pokok (Vilstern, 1999 : 208), yaitu : 1. Mengelola kurikulum dan kegiatan pembelajaran. 2. Melakukan kerjasama yang baik dengan guru dalam menetapkan kurikulum dan proses pembelajaran. 3. Mendorong semua guru untuk melakukan yang terbaik dalam bidang dan kewenangannya. 4. Melakukan bimbingan pada guru agar terus melakukan perbaikan dalam pelaksanaan tugasnya. 5. melakukan peningkatan skill, keahlian dan profesionalisme guru dengan memberikan berbagai pelatihan dan pendidikan. 6. Menyedikan sumber-sumber belajar, alat serta berbagai fasilitas belajar yang dapat mendukung peningkatan kualitas. 7. Meningkatkan iklim kerja yang stimulatif dan sesuai dengan berbagai kebutuhan kemajuan. 8. Memberikan layanan dengan mudah bagi para guru, mudah diakses dan dapat memberikan berbagai jalan keluar dalam berbagai jalan keluar dalam berbagai persoalan yang dihadapi guru di dalam kelasnya. Dengan demikian, seorang kepala sekolah memang adalah mereka yang harus memiliki pengalaman dalam profesi keguruan, bukan seorang ahli manajemen atau kurikulum belaka. Dalam konteks terakhir ini, Sallis juga menegaskan bahwa kepala sekolah harus mampu memberikan layanan terbaik bagi guru, tidak boleh menyalahkan mereka sebelum dianalisis terlebih dahulu kesalahan-kesalahannya, memberi kepercayaan yang penuh pada guru untuk mengembangkan kualitas dalam batas kewenangannya, dan harus berusaha mengusahakan berbagai fasilitas untuk mendukung kreativitas guru (Sallis, 1993 : 88). Selain itu, kepala sekolah juga harus memberdayakan guru dan staf lainnya, dengan mencoba mengembangkan beberapa perlakuan sebagai berikut (Sallis, 1993 : 89). 1. Libatkan guru dan staf dalam menyelesaikan masalah.
2.
Tanya mereka bagaimana pandangannya tentang sesuatu dan tanya bagaimana pekerjaan itu bisa diselesaikan, dan hindari melakukan instruksi pada mereka untuk melakukan ini dan itu, begini dan begitu.
3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. 10. 11.
Libatkan dalam manajemen semaksimal mungkin untuk mempercepat peningkatan komitmen mereka. Tanya staf sistem dan prosedur yang bagaimana yang dapat menjaga kualitas pelayanan bagi siswa, orang tua, dan bahkan juga diantara mereka sendiri. Pahami bahwa kemajuan berarti yang diharapkan dari guru itu tidak tepat untuk disampaikan degan cara pendekat manajemen top-down. Laksanakan komunikasi sistemik dan berkelanjutan diantara semua yang terlibat dalam sekolah. Tingkatkan kemampuan guru dalam resolusi konflik, mengatasi masalah, dan negosiasi sambil terus mengebangkan toleransi yang tinggi untuk mengatasi konflik. Kembangkan konsep pendidikan berkualitas, seperti pembentukan tim, proses manajeme, pelayanan pelanggan, komunikasi dan kepemimpinan. Belajarlah untuk lebih menyerupai seorang pelatih daripada menjadi seorang boss. Kembangkan otonomi dan biarkan staf atau guru mengambil resiko dengan tetap dalam koridor kejujuran dan memberikan layanan terbaik bagi orang lain. Kembangkan sikap lembut terhadap para pelanggan seperti siswa, orang tua, serta masyarakat lainnya, dengan tetap memberikan perhatian terhadap berbagai kebutuhan pelanggan internal, yakni guru, anggota pimpinan, dan pekerja lainnya.
12.
Dan terakhir, kepala sekolah bersama pimpinan lainnya harus mampu mengembangkan kurikulum, strategi pembelajaran serta teknik evaluasi, dengan mendiskusikannya antara sesama tim dalam bidang ilmu yang sama. Demikian pula, dengan pegawai administrasi secara horizontal tapi juga secara vertical dalam unit yang sama, untuk mengerjakan tugas-tugas layanan terbaik, serta dilakukan dengan kebanggaan untuk memberikan kepuasan bagi pelanggannya. Kemudian, bersama seluruh timnya kepala sekolah menyusun dan mengembangkan rencana
strategis, dengan langkah-langkah sebagaimana telah dikemukakan diawal, diawali dengan penegasan, analisis values,permintaan pelanggan, analisis SWOT untuk menggambarkan kenyataan itu, baik kekuatan maupun kelemahannya, tantangan dan peluang eksternal, sehingga akan menghasilkan faktor-faktor kritis untuk mencapai tujuan, lalu dirumuskan progaram strategi jangka
panjang yan sebisa munkin secara konsisten dapat terus dilaksanakan , dan dari sitilah dapat dikembangkan berbagai rencana operasioanl tahunan. Dalam konteks pendidikan, ada dua wilayah kerja yang harus terus diperbaiki dalam kerangka TQM, yakni layanan administrasi dan layanan akademik. Peningkatan kualitas layanan administrasi tidak cukup dengan hanya senyum dan sikap ramah dihadapan orang tua siswa, siswa sendiri, pemerintah atau lainnya, tapi dialog, apa yang kurang , dan apa yang perlu diperbaiki dan apa yang perlu ditingkatkan. Selain diinspirasi denganberbagai literatur, hasil penelitian atau lainnya, juga harus diperkuat dengan assessment terhadap mereka langsung, sehingga memperoleh masukan yang sesuai dengan kebutuhan riil pelanggan primer, sekunder dan tertiernya. Implementasi TQM dalam layanan administrasi disekolah harus delakukan secara sistematis untuk mencapai perubahan pada level kualitas tertentu yang dapat ditunjukkan secara konsisten, sehingga dapat memenuhi harapan dan permintaan pelanggan. TQM adalah perubahan yang tak pernah berakhir yang hanya dapat dicapai oleh dan melalui orang. Dengan demikian, TQM menuntut perubahan permanen, selalu ada inovasi, dan selalu ada rencana apa yang akan dikembangkan dan ditingkatkan selanjutnya. Untuk memperoleh hasil optimal, manajer harus mempercayai stafnya, dan mendelegasikan kewenangan pada staf sesuai kapasitasnya untuk bertanggung jawab penuh dan melakukan pengambilan putusan pada level dan area tanggung jawabnya. Staf memerlukan kebebasan untuk bekerja, sehingga inovatif dan kreatif dalam mendukung pencapaian tujuan organisasi (Sallies, 1995: 36). Tampaknya perbaikan layanan administrasi harus dilakukan dalam paradigma step by step improvement dan allembracing at small-scale implementation, yang keduanya menjadi teori utama dalam TQM, yakni perubahan itu dilakukan bertahap tapi konsisten, namunsemua pekerjaan dicakup dalam manajemen dengan penugasan yang spesifik. Dengan demikian, pola-pola penugasan harus spesifik dan jelas perbedaan antarasatu dengan yang lainnya, karena tidak hanya menyangkut pelaksanaan tugas, tapi juga kewenangan untuk pengambilan keputusan. Berbagai strategi yang dapatdikembangkan untuk dapat memenuhi harapan pelanggan dan dapat memberikan layanan terbaik pada mereka adalah, dekat dengan pelanggan, kolega adalah pelanggan, internal marketing, dan fokus pada pelanggan dengan sikap yang profesional (Sallis, 1995: 39-41). Pegawai dan staf sekolah hares berusaha dekat dengan pelanggan, siswa, orang tua siswa, pemerintah maupun unsur-unsur employer yang biasa datang kesekolah. Semua itu harus dilakukan agar dapat memahami benar apa permintaan mereka dan apa harapan mereka, apa yang belum dan sudah tercapai, dan yang paling penting mereka merasa terbantu, terlindungi dan terpuaskan.
Sikap yang sama juga harus diberikan diantara sesama staf, karena mereka memerlukan suasana bekerja yang nyaman sehingga bisa produktif, dan dapat memberikan layanan terbaiknya pada pelanggan sekolah. Keudian, semua staf harus memperoleh infaormasi tentang institusi sekolah, karena mereka akan menjadi juru bicara sekolah pada masyarakat. Jika mereka tidak menguasai seluruh informasi, maka akan terjadi distorsi informasi tentang sekolah pada masyarakat, baik masyarakatpelanggan maupun potensial untuk menjadi pelanggan. Dan terakhir, seluruh staf harus memiliki sikap profesional. Memang sering kali profesionalisme seseorang dihubungkan dengan jenjang pendidikan yang mereka miliki, namun itu tidak mutlak, karena profesionalisme itu adalah mengetahui bidang tugasnya, dan dapat mengerjakan bidang tugasnya itu dengan baik. Oleh sebab itu, pelatihan staf merupakan sesuatu yang vital dalam TQM, baik dalam keterampilan manajerial maupun teknis ssuai bidang tugasnya. Kemudian, mereka juga harus mau mendengar apa yang diinginkan, dikeluhkan atau diusulkan pelanggan, sehingga pelayanan yang diberikannya benar-benar sesuai dengan harapan mereka. Dalam konteks layanan akademik, guru selain harus profesional yang ditandai dengan penguasaan berbagai strategi pembelajaran dan teknik-teknik evaluasi, juga harus mampu pmengembangkan strategi pembelajaran yang membelajarkan siswa, dan tidak membiarkan siswa tertinggal, sehingga tidak ada siswa yang kompetensi ideal, bahkan bagi siswa-siswa yang memiliki kemampuan belajar akselaratif, guru harus memberi mereka peluang untuk memperkaya pengalaman keilmuannya dengan mempelajari berbagai bahan ajar lain, saat teman lainnya melakukan reinforcement atau penguatan bersama gurunya.
EPILOG DEMOKRATISASI penyelenggaraan sekolah kini bukan lagi sekedar gagasan akademik, tapi sudah menjadi sebuah keputusan politik yang memperoleh landasan legal dan dukungan konsepsional, bahkan telah memiliki teori-teori yangholistik serta sudah terintrumentasi untuk diimplemantasikan dalam praktik penyelenggaraan pendidikan di Indonesia. Secara akademik, demokratisasi penyelenggaraan sekolah memiliki argumentasi yang rasionaldan sistematis, karena inti dalam demokratisasi adalah pelibatan semua unsur dalam penyelenggaraan pendidikan, baik dalam konteks mendorong aspirasi publik dalam evaluasi dan pengembangan kurikulum yang sesuai dengan permintaan client dan perkembangan ilmu serta teknologi, maupun dalam pendelegasian kewenangan dan pemberian kepercayaan pada staf pengajar dan layanan administrasi untuk
melakukan sesuatu dalam wilayah kewenangannya itu. Gagasan tersebut perlu dikembangkan, karena pendidikan itu adalah hak semua warga negara, dan mereka memiliki harapan dengan menyekolahkan putra dan putrinya. Harapan-harapan dan keinginan itulah yang perlu ditampung dan dianalisis oleh sekolah sehingga mampu terakomodasi dalamstrukutu kurikulum, serta terimplementasi dalam proses pembelajaran. Sungguh sebuah kekeliruan jika birokrasi pemerintahan secara arogan mengaku sebagai representasi rakyat dan menetapkan struktur kurikulum untuk semu jenis dan jenjang pendidikan, bahkan mengatur prosedur pembelajaran dalam kelas, karena mereka hanay fasilisator yang diberi tugas oleh rakyat untuk menfasilitasi proses pendidikan dalam memenuhi harapan dan permintaan client sekolah. Demokratisasi harus dimulai dari proses evaluasi dan pengembangan kurikulum, dan tidak hanya dalam konteks penyusunan kurikulum sekolah secara keseluruhan, tapi juga dalam proses implementasinya pada setiap mata pelajaran disetiap level tertentu. sebaiknya guru melakukan tes kompetensi siswanya diawal pembelajaran untuk menetapkan batas-batas awal kurikulum yang harus dibelajarkan, serta mengukur waktu yang diperlukan untuk mencapai batas kompetensi tertentu dengan kualitas input yang mereka terima. Semua itu sebaiknya disampaikan pada orang tua siswa oleh kepala sekolah, sehingga resiko biaya bisa dibicarakan bersama. Itulah salah satu bentuk demokratisasi pendidikan dalam konteks penetapan kebijakan silabus yang akan diajarkan guru pada siswanya. Kemudian, demokraatisasi juga harus dikembangkan pada proses pembelajaran. Guru tidak boleh membiarkan ada siswa yang tertinggal dalam kelasnya, dan guru juga tidak boleh mengurangi pelayanan terhadap siswa-siswanya yang memiliku kemampuan daya serap lebih baik dan lebih cepat dari lainnya. Proses pembelajaran harus demokratis, yakni semua siswa dalam semua kategori memperoleh layanan yang wajar dari guru, bahkan guru sebaiknya bertanya pada siswanya tentang pokok bahasan yang mereka ingin pelajari, berikut bentuk-bentuk penugasannya, lalu dibahas bersama sehingga sampai pada kesepakatan dengan tidak mengabaikan tujuan pembelajaran, dan target-target kurikuler yang harus dicapai. Pendekatan collaborative tersebut semata dikembangkan untuk menumbuhkan rasa memiliki siswa terhadap program pembelajaran itu, serta memberikan penghargaan yang wajar pada siswa, sehingga gairah mereka untuk belajar bisa terus ditingkatkan. Perbaikan dalam restrukturisasi kurikulum yang berbasis pada permintaan stakeholder serta user dari sekolah, tidak akan berjalan dengan baik tanpa disertai dengan perubahan dalam model dan pola pengelolaan sekolah. Oleh sebab itu bersamaan dengan perubahan pola evaluasi dan pengembangan kurikulum tersebut, juga perlu dilakukan perubahan pada pola pengelolaan sekolah, yang semula berpola sentralistik, yakni kebijakan-kebijakan senantiasa dikembangkan oleh
pemerintah pusat, kini otoritas itu didorong ke daerah dan didelegasikan pada sekolah dengan harapan mereka melakukan pembahasan kebijakan sekolah bersama mitra horizontalnya, yaitu unsurunsur stakeholder dan user yang diwakili oleh komite sekolah. Legalisasi gagasan akademik untuk mendorong penyelenggaraan sekolah yang demokratis, dengan lahirnya Undang-undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang sistem pendidikan Nasional, yang mendorong masyarakat untuk berpartisipasi dalam pendidikan, tidak saja dalam konteks bayaran uang sekolah, tapi mereka juga diharapkan untuk bersama-sama memberi masukan bagar outcome sekolah tersebut menjadi kelompok well educated society yang kompetitif dengan masyarakat lainnya didunia, serta memiliki berbagai keunggulan komperatif dengan masyarakat lainnya didunia, serta memiliki berbagai keunggulan komperatif. Mereka diharapkan produktif dalam mendorong ide-ide untuk pengembangan sekolah, dan mereka juga diharapkan kritis terhadap sekolahnya itu sehingga bias-bias dalam realisasi program bisa semaksimal mungkin dieliminasi. Akan tetapi, semua prakarsa harus dimulai dari dalam sekolah sendiri, karena otoritas manajemen sekolah berada pada kepala sekolah dengan timnya. Oleh sebab itu, kepala sekolah sebagai otoritas yang memiliki kewenangan di sekolah, harus membuka peluang tersebut pada masyarakat, setidaknya dalam konteks evaluasi dan pengembangan kurikulum yang harus dikembangkan dalam paradigma Pendidikan Berbasis Masyarakat, yakni bahwa pendidikan itu harus dikembangkan dengan mempertimbangkan kebutuhan-kebutuhan nyata dalam kehidupan masyarakat. Kemudian, pelibatan masyarakat juga harus dikembangkan dalam kerangka pengembangan programprogram sekolah dalam upaya peningkatan kualitas proses untuk memperoleh hasil pendidikan yang bermutu. Berbagai sarana pembelajaran yang dibutuhkan sekolah, perbaikan lingkungan dan suasana sekolah, serta berbagai aspek yang berkorelasi dengan proses pendidikan, sebaiknya dibahas dan dibicarakan bersama komite sekolah. Dengan demikian seluruh gagasan pengembangan sekolah dikembangkan dan dimunculkan dari sekolah sendiri. Itulah inti dari paradigma Manajemen Berbasis Sekolah sendiri. Itulah inti daripardigma Manajemen Berbasis Sekolah, yang kini terus dikembangkan dan terus didorong pada sekolah dikembangkan oleh sekolah sendiri bersama mitra horisontalnya kemudian mereka juga memiliki hak untuk melakukan evaluasi terhadap efektivitas dan akuntabilitas manajerialnya itu. Semakin baik manajemen sebuah sekolah, maka akan semakin besar kepercayaan masyarakat kepadanya. Sebaliknya semakin buruk manajemen sebuah sekolah, maka akan semakin kecil kepercayaan masyarakat kepadanya Konsep, teori dan implementasi sekolah demokratis inilah yang dicoba dielaborasi secara detail dalam buku ini, dengan penekanan dalam tiga aspek, kurikulum, proses pembelajaran, dan
manajemen sekolah, sebagai aspek-aspek pokok dalam penyelenggaraan sekolah. Konsep dan teori tersebut bisa diterima sebagai sebuah kebenaran ilmiah karena telah menampilkan dimensi-dimensi praktiknya, kendati masih perlu diuji kebenaran dan efektivitasnya dalam mengangkat kualitas proses dan hasil pendidikan di Indonesia.
GLOSSARY Active Learning : Belajar aktif, yakni sebuah model pembelajaran yang memberi peluang sangat luas bagi siswa untuk belajar dengan mengurangi porsi guru untuk ceramah, dan memperbanyak penugasan pada siswa, baik untuk diskusi, penyelesaian tugas, menyelesaikan masalah atau lainnya. Annual report : Laporan tahunan yang harus disampaikan manajemen sekolah pada seluruh stakeholder dan shareholder-nya sehingga akuntabilitas manajerialnya dapat dikembangkan, dan kepercayaan client pada sekolahnya juga akan meningkat. Assessment : Penilaian dan penaksiran, yakni sebuah proses yang biasa dilakukan dalam pendidikan untuk menaksir kebutuhan siswa dalam belajar, tingkat pemahaman dan daya serap siswa terhadap hasil belajar mereka. Assignment :
Penugasan yang diberikan guru pada siswanya, khususnya penugasan yang diberikan untuk pelaksanaan proses pembelajaran dalam kelas, namun assigment juga lazim untuk tugas yang dibawah pulang. Benchmark : Keunggulan menonjol dari sebuah institusi pendidikan dan menjadi dan menjadi ciri yang membedakannya dengan sekolah lainnya seperti kekuatan pada pengajaran sains, bahasa atau lainnya. Keunggulan tersebutlah yang kemudian dijual sekolah pada masyarakat. Boarding school : Sekolah yang mengasramakan seluruh siswanya, sehingga mempermudah untuk mengontrol aktivitas mereka. Center for learning : Pusat untuk kegiatan belajar, yakni sekolah adalah pusat kegiatan belajar bukan pusat kegiatan mengajar. Oleh sebab itu, siswa harus memiliki kesempatan dan peluang untuk belajar seluas-luasnya. Center for teaching : Pusat pengajaran. Jika sekolah masih menggunakan paradigma active teaching, yakni pengajaran guru aktif, maka sekolah tersebut menjadi pusat pengajaran, bukan pusat pembelajaran, dan guru lebih banyak berperan menyampaikan bahan ajarnya pada siswa. Model ini memang pernah populer di awal paroan ke-2 abad ke-20 seiring kuatnya aliran behaviorisme mempengaruhi pola pengajaran, tapi kini sudah banyak dikritik seiring dengan dikembangkannya model pembelajaran demokratis. Client : Pelanggan, yakni orang-orang yang memerlukan pelayanan dari sekolah yaitu, siswa, orang tua siswa, dan pemerontah. Collaborative Learning Kerjasama yang dikembangkan guru dengan siswanya yang tidak sebatas dalam menyelesaikan berbagai persoalan d alam bahan ajar yang mereka hadapi, tapi juga dalam menentukan pokok bahasan yang akan dipelajarinya, strategi yang akan digunakan, dan alat
yang dibutuhkan. Istilah collaborative learning juga terkadang digunakan untuk pengertian cooperative learning. Command style : Model pengajaran yang lebih didominasi dengan ceramah dan disadari oleh sebuah paradigma, bahwa pengajaran adalah transformasi nilai dari orang dewasa pada anak-anak menuju kedewasaannya. Cooperative learning : Belajar bersama dan saling membantu anatara satu siswa dengan lainnya. Dalam sraregi active learning guru dapat memeberiokan tugas pada siswa-siswanya untuk diselesaikan secara bersama-sama dalam kelompok-kelompok kecil. Dan adakalanya pula, sekelompok siswa belum mencapai kemampuan sesuai batas minimal penguasaan, sementara kelompok lainnya sudah mencapai penguasaan ideal, dalam keadaan seperti ini, guru dapat menugaskan mereka yang telah memiliki penguasaan yang baik, mengajari temannya yang rendah melalui tutorial sebaya. Gguru berperan melakukan supervising dalam proses pembelajaran dan membantu berbagai kesulitan yang dihadapi para siswanya. Course out line: Rangkaian topik-topik yang akan disampaikan guru pada siswa. Dalam bahasa lain adalah syllabus Critical thinking: Kemampuan berpikir kritis, yakni kemampuan siswa menggunakan potensi-potensi intelektualnya dalam menyelesaikan permasalahan secara sistenatis, rational dan empiris, yakni dapat menghubungkan permasalahan dengan penyebabnya, mampu enampilkan logika yang rasional dan dapat diterima oleh pikiran orang lain, dan semua berbasis pada data. Creative thinking: Adalah berpikir kreatif yang merupakan kelanjutan dari berpikir kritis, dengan kemampuan menciptakan suatu yang abru sbagai hasil analisisnya.
Curriculum as transaction : Transaksi kurikulum, yakni setelah melakukan assessment terhadap para siswanya, guru menawarkan berbagai perlakuan untuk mencapai batas-batas kompotensi harapan. Model ini lazim dilakukan dalam kerangka sekolah demokratis dengan kurikulum berbasis kompotensi. Crriculum as inqury: Kurikulum sebagai hasil penelitian, yakni bahwa kurikulu itu disusun bukan semata hasil imajinasi para pengolah pendidikan serta para tenaga ahli yang berpengalam, tapi harus dikembangkan sebagai hasil penelitian terhadap kebutuhan-kebutuhan client serta kemajuan sains dan teknolgi. Signity: Martabat bangsa, yakni martabat dan harga diri bangsa yang bisa dibangun dengan kekuatan sumber daya menusianya. Discovery style: Belajar dengan model penemuan, yakni siswa diberi tugas oleh gurunya untuk melakukan penelitian baik diperpustakaan, dilaboratorium atau dalam kehidupan nyata ditengah-tengah masyarakat, lalu melaporkannya pada guru. Education for all: Pendidikan untuk semua, yakni sebuah prinsip yang biasa dikembangkan sekolah-sekolah tertentu dalam menyerap para pelamarnya. Bahwa semua pelamar diterima tanpa diseleksi bardasarkan skor nilai yang dibawanya. Entry level assessment: Menaksir atau mengukur tingkat kemampuan siswa diawal periode pengajaran untuk menentukan awal silabus yang akan dibelajarkan pada siswa, serta menentukan berapa pekan waktu dibutuhkan untuk mencapai kompotensi yang diharapkan. Fundrising:
Upaya pencarian dana yang harus dilakukan sekolah untuk membiayai seluruh proses pembelajaran, yang tidak saja untuk mendanai biaya aktivitas rutin tapi juga pengembangan sarana dan alat-alat yanh dibutuhkan siswa dalam proses pembelajaran. Gender : Jenis kelamin: isu ini menguat dalam pendidikan karena sering kali penyerapan outcome pendidikan dalam pasar tenaga kerja dibedakan antara laki-laki dan perempuan. Dan perlakuan terhadap perempuan dalam pendidikan juga sering kali dibedakan.kebiasaan tersebut dikritik karena telah mengabaikan potensi anak bangsa, dan merugikan bangsa itu sendiri.
Global worldview: Cara pendang dalam hidup yang melihat bahwa semua negara didunia merupakan wilayah yang mungkin mereka tuju, dan tidak berprinsip hanya negaranya saja wilayah kehidupan mereka. Hidden assurance: Kurikulum tersembunyi, yakni kurikulum pendidikan yang tidak tertulis, dan menyebar pada berbagai aktivitas serta lingkungan pendidikan, seperti lingkungan sekolah, kedisiplinan guru dalam pelaksanaan proses pembelajaran, serta konsistensi kepala sekolah dalam melaksanakan tata tertib sekolah. Interactive learning: Pembelajaran interakif, yakni aktivitas belajar yang dilakukan siswa bersama-sama dengan gurunya, dan saling membanut antara siswa dengan siswa lainnya,serta antara siswa dengan gurunya. Guru adalah pembelajar senior yang membantu siswa sebagai pembalajar juniornya. Komite sekolah:
Organisasi mitra sekolah dalam pengembangan program-program sekolah yang terdiri dari unsur-unsur orang tua siswa, unsur pemerintah daerah, tokoh masyarakat setempat, tenaga ahli pendidikan, serta representasi dari pemakai lulusan sekolah. Mastery learning: Belajar tuntas, yakni prosese pembelajaran yang menekan .pada penguasaan siswa terhadap seluruh bahan ajar. Sebelum mereka menguasai penuh terhadap satu pokok bahasan yang dipelajarinya, tidak akan berpindah pada pokok bahasan berikutnya. Metakognisi: Level kompetensi hasil bhasil belajar siswa diatas kemampuan yang terukur melalui pola pengukuran taksonomi bloom. Kompetensi metakkognisi adalah kemampuan sisiwa untuk berpikir kritis dan kemampuan mereka berpikir kreatif.
Multikulturalisme: Adalah pandangan dalam pendidikan yang memberikan penghargaan terhadap perbedaanperbedaan latar kultur dengan tetap menjunjung tinggi persatuan dan kesatuan dalam upaya mencapai tujuan bersama. Multipe intelegence: Kecerdasan ganda, yakni kecerdasan siswa yang tidak hanya diukur dengan kemampuan logika tapi juga bahasa, musik, ruang, kinestetik, interpersonal dan interpersonalnya intelegensinya. Natural resource: Suber daya alam yang dapat dijadikan suber kehidupan bagi manusia, seperti air, tanah serta berbagai kekayaan yang dikandung alam semesta ini, dan berguna untuk kehidupan manusia. Outcome pendidikan: Hasil proses pendidikan yang dapat didayagunakan dalam lapangan kerja sesuai keterampian mereka.
Peer teaching: Pengajaran dala kelompok-kelompok kecil yang dilakukan oleh tutor sebaya, yakni pengajaran dengan guru dari teman sekelas mereka yang telah memiliki penguasaan cukup baik terhadap bahan ajar yang mereka pelajari.peer teaching biasanya dilakukan dalam program reteaching. Portofolio: Kumpulan karya siswa yang dapat dijadikan sumber penilaian dalam mata pelajaran tertentu.adakalanya portofolio dilakukan secara terstruktur oleh dalam bentuk lembar kerja siswa, studi kasus, atau aktivitas sosial. Quality assurance: Jaminan kualitas , yakni jaminan yang diberikan manjemen bahwa produk yang akan dihasilkannya itu berkualitas, karena manjemen telah menciptakan sistim yang dapat memberikan jaminan kualitas tersebut. Quality control: Proses manajemen yang memberikan penekanan pada kontrol kualitas produk diakhir kegiatan sebelum didistribusikan ke pasar. Model quality control ini dikritik tidak efisien dan menberi peluang kebohongan. Olah sebab itu, dikembngkan sistem kontrol dengan model qulity assurance yang memberi kepercayaan pada sistem yang memberikan jaminan kualitas. Reciprocal style: Model pembelajaran yang memberikan keseimbangna antara ceramah dan penugasan, dengan harapan para siswa bisa memperoleh informasi yang cukup dari gurunya dan juga dapat meningkatkan kompetensinya melalui pelaksanaan tugas-tugas yang diberikan gurunya itu. Recovery: Pemulihan. Istilah ini populer digunakan dalam kajian ilmu ekomomi, khususnya ketika Indonesia dalam keterpurukan eknomi. Program-program pemulihan tersebut dinamai dengan recovery.
Reinforcement: Penguatan, yakni program pembelajaran yang dilakukan guru untuk memulihkan kelemahan-kelemahan dalam pemahamannya melalui proses pembelajaran baru dengan strategi dan penugasan yang baru. Reflective teaching: Proses pembejaran yang tidak semata terpaku pada rancangan yang disusun sebelum proses pembelajaran dimulai, tapi juga dikembangkan ketika proses pembalajaran tersebut. Reformasi: Pembaharuan, yakni melakukan perubahan-perubahan berbagai kebijakan pendidikan untuk mencapai hasil yang lebih baik dari sebelumnya. Remedial: Perbaikan, yakni perbaikan penguasaan bahan ajar melalui proses pembelajaran baru dengan strategi dan penguasaan baru. Reteaching: Pengajaran kembali, yakni program pemulihan yang diberikan pada siswa yang belum mencapai kopentensi minimal dari target kurikuler yang direncanakan. Senofobia: Rasa takut dan benci pada orang-orang asing karena perbedaan budaya, gaya dan pola hidup mereka. Socratic teaching : Model pengajan dengan strategi ceramah namun dimulai dengan pertanyaan,lalu ada jawaban,dan dari jawabn itu dimunculkan kembali pertanyaan, sampai pada akhir pemahaman yang diharapkan. Social equity:
Keadilan sosial yang implementasinya adalah perhatian yang seimbang, wajar dan memenuhi rasa keadilan terhadap semua kelampok sosial. Stakeholder : adalah unsur-unsur pokok dalam setiap proses kegiatan, seperti stakeholder pendidikan adalah guru, siswa, orang tua siswa, serta unsur-unsur pokok lainnya yang menunjang keberlangsungan proses pendidikan. Task style: Model pembelajaran yang menekankan pada pemberian tugas bagi para siswa agar penguasan bahan ajar dapat ditingkatkan. Team teaching: Proses pengajaran yang dilakukan oleh sekelompok guru dalam pelajaran yang sama. Praktik team Tearching diperguruan tinggi adalah distribusi tugas pada beberapa orang dosen untuk satu mata kuliah ,sesuai keahliannya . disekolah dasar dikenal tea tearching untuk kelas kelas rendah untuk penguasa kelas .untuk sekolah menengah , team tearching bisa dikembangkan untuk mata pelajaran yang relatif kompleks dengan keragaman pencapaian hasil belajar siswa serta guru membuat kelas multidimensional ,untuk peningkatan pelayanan pada siswa . Updating skills : Pembaharuan dan penyesuaian keterampilan terhadap berbagai perkembangan dan kemajuan aktual. Work harder to do their best : Kerja keras ,lakukan yang terbaik . ini moto dalam scientific management yang dipelopori oleh Frenderick Winslow Taylor , dan dikritik oleh Deming yang kemudian melahirkan Total Quality Management , yang menekankan pada perbaikan semua ini , sehingga dapat memberikan kepuasan bagi pelanggan .