Georg Eberhard Rumpf
Georg Eberhard (juga disebut Everhard(us)) Rumpf (juga Rumphius; Wölfersheim, Grafschaft Solms (Lahir di Wetteraukreis, Hessen) 1627 - Ambon, 15 Juni 1702) adalah seorang ahli botani asal Jerman yang bekerja di Vereenigde Oostindische Compagnie di Hindia Belanda (sekarang Indonesia), dan terkenal akan karyanya Herbarium Amboinense. Julukan untuk ilmuwan ini adalah "ilmuwan buta dari Ambon".
Georg Eberhard Rumpf | |
---|---|
Lahir | 1627 Wölfersheim, Grafschaft Solms |
Meninggal | 15 Juni 1702 Ambon, Hindia Belanda |
Pekerjaan | Ahli botani |
Kehidupan awal
suntingKarena terpesona dengan cerita tentang Maluku sebagai penghasil rempah-rempah, Rumpf mendaftarkan diri sebagai tentara VOC dan khayalannya tentang Maluku terwujud pada tahun 1653 saat armada VOC merapat di Ambon (armada ini juga yang berperang melawan Sultan Hasanuddin dari Gowa akibat persaingan perdagangan rempah-rempah dari Maluku).
Karier ilmiah
suntingRumpf tidak lama jadi tentara sebab panggilan jiwanya bukan sebagai militer. Ia meminta dipindahkan ke bagian sipil dan disetujui. Pada tahun 1656, Rumpf diangkat sebagai saudagar VOC di Larike, sebuah dusun terpencil di Semenanjung Hitu, pantai utara Ambon. Pada tahun 1660, ia menjadi saudagar di Hila. Daripada memperkaya diri dan memperkaya VOC, Rumpf mulai terbuka matanya kepada dunia alam Pulau Ambon. Ia menikahi gadis Ambon dan mulailah mempelajari semua tanaman yang ditemuinya. Rumpf mempunyai ambisi ingin membukukan semua flora yang ada di Pulau Ambon.
Sejak saat itu Rumpf mempelajari, memaparkan, memberi nama dalam bahasa Ambon, Melayu, dan Latin semua tumbuhan yang dipelajarinya. Ia menggambar dengan teliti rupa tanaman yang dipelajarinya, menceritakan faedah khususnya untuk menyembuhkan penyakit (untuk ini ia banyak mendengarkan cerita penduduk setempat). Anak-isterinya membantunya dengan setia. Rumpf melakukan beberapa eksperimen dengan tanaman untuk benar-benar mengetahui khasiatnya.
Sampai tahun 1670, atau sekitar sepuluh tahun setelah Rumpf mempelajari tanaman-tanaman Ambon, ia mulai banyak mengadakan kontak dengan sejumlah sarjana dari Eropa. Sejak itu namanya lebih terkenal sebagai "Rumphius" sesuai selera ilmu pengetahuan pada zaman itu (Renaisans) yang sedang gandrung akan nama-nama Latin atau Yunani.
Kebutaan
suntingTetapi pada tahun itu juga, penglihatan Rumphius mulai kabur akibat glaukoma yang tak bisa disembuhkan. Akhirnya ia mengalami kebutaan total. Ia dan keluarganya pindah dari Hitu ke Ambon. Dan karier Rumphius tetap dapat dukungan penuh dari Batavia, ia tetap digaji, bahkan diberi sekretaris dan juru gambar. Sementara itu, istri dan anaknya tetap membantu Rumphius sepenuh waktu untuk meneruskan karyanya yang telah berlangsung lebih dari sepuluh tahun itu.
Setelah buta bahkan Rumphius menambah pengamatannya akan semua jenis kerang yang ada di perairan Ambon. Ia tetap mendengarkan cerita-cerita penduduk tentang kerang-kerang itu lalu mendiktekan kepada anaknya atau juru tulisnya untuk menuliskannya. Ia meraba, mencium, dan mendengar - itulah senjata-sejata untuk deskripsinya. Rumphius makin mencintai alam Ambon sungguhpun ia buta.
Gempa Ambon 1674
suntingGempa dahsyat melanda Ambon disusul tsunami dari Laut Banda pada tanggal 17 Februari 1674. Gempa dan tsunami tertua di Indonesia yang tercatat dengan detail. Gempa ini menewaskan orang-orang yang dicintainya: isterinya dan anaknya - dua orang yang setara dengan dia sendiri, penunjuk jalan yang setia akan keajaiban Ambon. Gempa ini juga menewaskan sebanyak 2.322 penduduk Ambon. Meskipun demikian, dalam tahun itu juga, Rumphius berhasil menerbitkan buku pertama tentang sejarah alam Ambon, berjudul Sejarah dan Geografi Pulau Ambon. Sayang, buku ini tetap terkunci rapat di kantor VOC di Ambon sebab VOC takut bila buku ini tersebar akan menguntungkan pesaing-pesaing VOC. Di kemudian hari, setelah Rumphius tiada, buku ini ditemukan seorang pendeta bernama François Valentijn dan menerbitkannya atas namanya sendiri.
"Tanggal 17 Februari 1674, Sabtu malam, sekitar 07:30, di bawah bulan yang indah dan cuaca tenang, seluruh provinsi kami –yaitu Leytimor, Hitu, Nusatelo, Seram, Buro, Manipa, Amblau, Kelang, Bonoa, Honimoa, Nusalaut, Oma dan tempat-tempat lain yang berdekatan, meskipun terutama dua yang pertama disebutkan– menjadi sasaran guncangan mengerikan yang diyakini kebanyakan orang bahwa Hari Penghakiman telah datang." tulis Rumphius dalam Herbarium Amboinense[1]
Hari itu, suasananya tengah meriah karena orang mengikuti perayaan Tahun Baru Tionghoa. Gempa mengakibatkan 75 bangunan milik orang Tionghoa, ambruk. Korban jiwa mencapai 79 orang, termasuk istri dan anak perempuan Rumphius, janda sekretaris Johannes Bastinck, serta empat orang Eropa. Sedangkan 35 orang luka serius di lengan, kaki, dan kepala.[1]
Gempa kemudian disusul oleh tsunami dahsyat di Laut Banda. Ini adalah megatsunami yang sampai sekarang belum ada tandingannya di Indonesia karena tinggi gelombang mencapai 80 meter. “Tsunami ini menyapu hampir seluruh pulau dan menyebabkan lebih dari 2.000 orang meninggal,” kata Edward A. Bryant, peneliti dari Universitas Wollongong, Australia, dikutip Gatra, 5 Juli 2006.
Kebakaran Kota Ambon 1687
suntingPada tanggal 11 Januari 1687, bencana ketiga menimpa Rumphius dan kota Ambon. Kota Ambon dilanda kebakaran. Api menghanguskan gambar-gambar untuk bukunya tentang tumbuhan, menghanguskan konsep naskah tentang kerang, dan juga menghanguskan koleksi tumbuhan dan kerang yang lebih dari 15 tahun dikumpulkan Rumphius. Untunglah naskah tentang tumbuhan Ambon bisa diselamatkan. Dan untunglah VOC tetap mendukung Rumphius dengan membantunya menugaskan juru tulis dan juru gambar untuk menulis dan menggambar ulang semua dokumen yang telah hangus terbakar.
Penerbitan karya
suntingPakar botani ini menulis Herbarium Amboinense[2] atau Kitab Jamu-jamuan Ambon (1741) dan D'Amboinsche Rariteitkamer alias Kotak Keajaiban Pulau Ambon (1705), masing-masing tentang spesies tumbuh-tumbuhan dan kerang-kerangan di kepulauan Maluku.
Pada tahun 1690, mahakarya Rumphius pun selesai sebanyak dua belas jilid. Karya besar yang disusun selama lebih dari 20 tahun. Rumphius mengirimkan karyanya kepada Gubernur Jenderal VOC di Batavia. Karyanya baru diteruskan ke Belanda pada tahun 1697 setelah selama 7 tahun disalin di Batavia oleh Gubernur Jenderal Johannes Camphuys, pencinta alam Indonesia. Sayangnya, karya Rumphius ini tersimpan selama 44 tahun di arsip VOC di Belanda dengan alasan keamanan. Maka, tersusullah karya Rumphius ini oleh Systema Naturae karya Carolus Linnaeus, biolog Swedia, yang menerbitkan karyanya pada tahun 1740 dan memperkenalkan tatanama binomial. Padahal, Rumphius dari Ambon telah menemukan sistem penamaan itu 50 tahun lebih awal.
Pada tahun 1699, Rumphius masih mengeluarkan sebuah buku berjudul Kotak Keajaiban Pulau Ambon yang membahas kerang-kerang di perairan Ambon. Bukunya ini bernasib lebih baik daripada buku-buku sebelumnya. Rumphius tak mengirimkan buku ini kepada pejabat-pejabat VOC, tetapi mengirimkannya langsung kepada seorang sahabatnya di Belanda dan menerbitkannya pada tahun 1705. Tetapi, Rumphius tidak melihat satu bukunya pun terbit, sebab ia meninggal di Ambon pada tahun 1702.
Referensi
sunting- ^ a b "Tsunami Dahsyat Menerjang Ambon". Historia - Majalah Sejarah Populer Pertama di Indonesia (dalam bahasa Inggris). Diarsipkan dari versi asli tanggal 2023-03-29. Diakses tanggal 2019-02-14.
- ^ Anugrah, Dea. "Ilmuwan Buta dari Ambon yang Mengalahkan Nasib Buruk". Tirto.id. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2021-01-31. Diakses tanggal 2018-01-04.
Bacaan lanjutan
sunting- Nieuwenhuys R. 1972. Oost-Indische spiegel