“Perempuan Gila” dalam Narasi Hegemonik Orde Baru
6 Oktober 2025
Seorang peneliti perempuan Indonesia di Leiden Belanda menelusuri bagaimana Orde Baru membungkam sejarah perempuan lewat stigma dan narasi tunggal. Bagaimana temuannya?
Hanfa Azzahra adalah peneliti gerakan perempuan masa Orde Baru, yang melakukan risetnya di Universitas Leiden, Belanda. Lewat pendekatan feminis, ia menggali suara-suara perempuan yang dibungkam dan dihapus dari narasi resmi negara.
Gerakan Wanita Indonesia (Gerwani), di antaranya sebagai salah satu gerakan perempuan terbesar, dilenyapkan lewat stigma politik dan kekerasan simbolik.
Riset ini bukan hanya soal masa lalu—tapi tentang bagaimana sejarah dikendalikan, dan dampaknya masih dirasakan hari ini.
Kepada Deutsche Welle ia memaparkan temuan-temuan dalam risetnya.
Deutsche Welle: Apa fokus riset kamu?
Hanfa Azzahra: Saya mengeksplorasi tentang gerakan perempuan di masa Orde Baru. Saya pakai pendekatan feminisme yang dihadirkan narasinya hanya satu atau kadang narasinya hegemonik. Sejarah yang mungkin kadang terbungkam atau tertutup. Sehingga selain riset dokumen, saya mendengarkan sendiri kisah-kisah yang disampaikan para eksil.
Kenapa tertarik dengan topik itu?
Dari dulu karena saya tertarik antropologi dan konstruksi di Indonesia di masa pascakolonial. Tapi saya sadar juga bahwa kalau di Indonesia a ada periode di mana itu kadang tidak dipikirkan kembali bagaimana Orde Baru juga memengaruhi konstruksi Indonesia. Para eksil menawarkan sejarah alternatif dari sejarah yang selama ini dihadirkan di Indonesia.
Apa temuan risetmu?
Saya menemukan bahwa sejarah tentang perempuan di Indonesia di masa Orde Baru itu diregulasi atau dikontrol dari institusi negara. Produksi sejarah atau produksi pengetahuan tentang gender itu kadang hanya dihadirkan negara dalam satu narasi, sementara yang aku temukan-- kalau kita cari dari sejarah atau arsip-arsip alternatif-alternatif, -- ada konstruksi yang berbeda, konstruksi yang bertentangan dengan hegemoni Orde Baru.
Saya melihat dari kekerasan epistemik atau kekerasan dari produksi pengetahuan yang ada di masa Orde Baru, di mana kita ditawarkan pengetahuan tentang sejarah Indonesia tapi yang kadang-kadang tertutup, kadang dihapuskan jadi. Sejarah Gerakan Wanita Indonesia (Gerwani) contohnya, dalam arsip sejarah yang aku temukan dalam penulisan sejarah perempuan dalam diskursus budaya itu, Gerwani itu dihapus dari tulisan-tulisan di misalnya di museum, dan lain-laim.
Saya menulis tentang para tenaga penggerak di masa kemerdekaan Indonesia, banyak gerakan yang hadir dalam kemerdekaan Indonesia, tapi nama Gerjawi yang ikut jadi penggerak, tidak dihadirkan dalam tulisa-tulisan itu, seolah-olah tidak ada dalam sejarah Indonesia di masa itu?
Seberapa besar perannya?
Perannya besar, apalagi kalau sekarang kita mengingat tentang Hari Ibu di indonesia.
Hari Ibu yang tiap tahun dirayakan itu berasal dari hari perempuan dari Kongres Perempuan Indonesia (1928), di mana Gerakan Wanita Indonesia Sedar (Gerwis) yang merupakan cikal bakal Gerwani itu hadir di Kongres Perempuan Indonesia, jadi peran mereka yang cukup besar, namun seolah-olah dilenyapkan dalam sejarah utama negara Indonesia dalam Kongres Perempuan Indonesia tersebut. Padahal mereka salah satu gerakan perempuan terbesar di Indonesia, di mana mereka mendukung penuh kemerdekaan Indonesia dan mendukung penuh kebebasan untuk perempuan untuk bisa mendapat hak yang sama seperti laki-laki.
Mengapa dihapuskan perannya atau dibungkam?
Banyak aspek yang menyebabkan pembungkaman atas Gerwani di masa Orde Baru. Salah satunya diteliti oleh akademisi yang cukup terkenal Saskia Wieringa, yang menulis tentang tatanan hirarkis yang masih patriarkal di masa Orde Baru. Namun membuat konteksnya lebih spesifik karena di masa itu ada juga gerakan antikomunisme. Dan Gerwani dikatakan berorientasi politik yang dekat dengan Partai Komunis Indonesia (PKI) makanya perannya dilenyapkan.
Dalam narasi di masa Orde Baru disebutkan, mereka melakukan kekerasan terhadap para jenderal dalam gerakan G/30/S? Dituding menari-nari setengah telanjang saat para jenderal dibunuh?
Itu disebut Saskia Wieringa sebagai bentuk regulasi atas tubuh perempuan, kekerasan atas pengetahuan-pengetahuan, dibuat untuk meneror rakyat. Karena banyak arsip-arsip mungkin yang sebelum Orde Baru yang dilenyapkan atau tidak bisa ditemukan di Indonesia, banyak narasi-narasi yang tidak lengkap, maka narasi-narasi yang malah dihadirkan untuk dijadikan sebagai narasi utama itu malah narasi-narasi yang membuat orang takut pada gerakan-gerakan sebelumnya.
Fokus riset saya pada bagaimana gerakan perempuan difokuskan dalam diskursus budaya atau bagaimana perempuan itu dituliskan atau dikonstruksikan dalam diskursus budaya. Perempuan yang tidak dianggap ideal di masa Indonesia di Orde Baru itu langsung dicap komunis, padahal belum tentu belum tentu mereka komunis. Misalnya ada para penari yang dikirim ke negara-negara lain oleh Lembaga Kebudayaan Rakyat (Lekra). Mereka tidak bisa kembali, karena dicap perempuan komunis. Lalu perempuan komunis itu dicap sebagai perempuan yang gila, dibuat sebagai alat untuk meregulasi para perempuan di masa Orde Baru.
Kemudian narasi perempuan di tahun 1980-1990 -an yang dianggap gila itu dilanggengkan. Perempuan yang dianggap maniak atau perempuan yang dianggap tidak bersih itu masih digaungkan di masa Orde Baru, dengan mencampuradukkan seolah-olah mereka itu ada kaitannya dengan Gerwani, perempuan-perempuan komunis, padahal belum tentu. Mereka menggunakan bentuk politik seksual ini untuk mendelegitimasi perempuan yang tidak dianggap perempuan ideal di masa Orde Baru.
Apakah pengaruh pelabelan itu masih terasa hingga kini?
Ya, dan itu menimpa perempuan-perempuan yang melawan, perempuan yang membantah hegemoni Orde Baru, perempuan yang mengkritik, perempuan-perempuan yang membuat gerakan-gerakan di masa Orde Baru. Jadi mereka itu seolah-olah dicap sebagai perempuan gila. Padahal mereka hanya mencoba melawan hegemoni dan kekuasaan Orde Baru itu sendiri.
Kalau kamu lihat di hari ini, apakah sistem patriarki di Indonesia masih kuat sebagaimana sebelumnya?
Masih kuat. Seperti kita lihat yang sedang terjadi di Indonesia kemarin dalam berbagai bentuk protes dan demonstrasi Indonesia, ada yang ditahan dan beberapa di antaranya itu perempuan. Bahkan ada seorang ibu yang sedang menyusui dan ditangkap oleh polisi.
Perempuan-perempuan minoritas di Indonesia juga hidup di kondisi yang sangat rentan, karena ditambah sistem Indonesia yang makin menuju otoritarianisme, ditambah masih ada tatanan patriarkal di Indonesia.
Editor: Yuniman Farid