1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya
KeragamanIndonesia

Agama sebagai Identitas Indonesia, Bagaimana Nasib Ateis?

7 Februari 2025

Di Indonesia, setiap warga negara wajib mencantumkan agama di dokumen resmi. Hal ini membuat non-pemeluk agama merasa didiskriminasi.

https://p.dw.com/p/4q9Nh
Suasana Masjid Istiqlal
Indonesia adalah negara dengan populasi Muslim terbesar di duniaFoto: Levie Wardana/DW

Upaya hukum yang langka untuk mengamankan hak ateis dan non-pemeluk agama digagalkan bulan lalu oleh Mahkamah Konstitusi Indonesia. Pengadilan memutuskan bahwa warga negara tetap harus mencantumkan agama di dokumen resmi, meskipun mereka minoritas, serta bahwa pernikahan harus sesuai dengan aturan agama.

World Population Review 2024 menyebut Indonesia sebagai negara dengan populasi muslim terbesar kedua di dunia, di bawah Pakistan. Indonesia secara resmi mengakui enam agama, yakni Islam, Protestan, Katolik, Buddha, Hindu, dan Konghucu. Meski pemeluk agama minoritas menghadapi diskriminasi, ateis dan non-pemeluk agama bahkan tidak diakui dalam hukum.

Pada 2012, seorang pegawai negeri sipil bernama Alexander Aan dijatuhi hukuman 30 bulan penjara atas tuduhan penistaan agama setelah membagikan konten ateis di Facebook.

KUHP Indonesia menghukum penistaan agama dan penyebaran ateisme, meskipun secara teknis tidak mengkriminalisasi ketiadaan kepercayaan. Namun, para non-pemeluk agama berpendapat bahwa hukum yang ada diterapkan secara selektif untuk menghalangi mereka mendapatkan perlindungan hukum yang setara.

Pada Januari 2024, Mahkamah Konstitusi mengizinkan individu dari kelompok agama minoritas yang tidak termasuk dalam enam agama resmi, untuk mendaftar sebagai "penganut kepercayaan" yang tidak ditentukan pada kartu identitas mereka.

Para aktivis berharap ini menjadi langkah awal untuk dimasukkannya opsi "tanpa agama".

Namun, harapan itu pupus setelah dua aktivis agnostik, Raymond Kamil dan Teguh Sugiharto, gagal mengajukan petisi di Mahkamah Konstitusi, pada Oktober, agar non-pemeluk agama diberikan hak untuk membiarkan kolom agama kosong di dokumen resmi.

Mahkamah Konstitusi menolak petisi non-pemeluk agama

Hakim Konstitusi Arief Hidayat menolak petisi tersebut bulan lalu, dengan menyatakan bahwa keyakinan agama adalah "sebuah keharusan" berdasarkan "Pancasila" dan diamanatkan oleh konstitusi. Pancasila adalah ideologi dasar Indonesia yang menegaskan kepercayaan pada satu Tuhan yang Maha Esa.

Hidayat yang kini sudah menjadi mantan Ketua Mahkamah Konstitusi, berpendapat bahwa kewajiban mencantumkan agama merupakan "pembatasan yang proporsional" dan bukan tindakan sewenang-wenang atau menindas.

Mahkamah Konstitusi juga menolak petisi lain yang diajukan oleh Kamil dan Sugiharto, yang berpendapat bahwa ketentuan dalam Undang-Undang Perkawinan yang mengharuskan pernikahan sah hanya jika dilakukan menurut hukum agama dan kepercayaan yang dianut, adalah diskriminatif.

Menurut laporan media lokal, dalam putusannya, Hidayat menyatakan bahwa "tidak adanya ketentuan bagi warga negara Indonesia untuk memilih tidak menganut agama atau kepercayaan," serta keabsahan pernikahan berdasarkan agama masing-masing, "bukanlah bentuk perlakuan diskriminatif."

"Pada dasarnya, pengadilan memutuskan bahwa tidak ada ruang bagi kebebasan untuk tidak beragama," kata Ignatius Yordan Nugraha, seorang akademisi di Hertie School, Berlin, dalam Verfassungsblog, sebuah media berbasis di Jerman yang membahas isu-isu konstitusi internasional.

Apakah ateisme lazim di Indonesia?

Meskipun ateisme sangat distigmatisasi, penelitian menunjukkan bahwa ketidakpercayaan terhadap agama tidak jarang terjadi di Indonesia.

Sebuah studi oleh akademisi Hanung Sito Rohmawati memperkirakan sekitar 3,5 juta orang Indonesia adalah ateis, dari total populasi lebih dari 270 juta. Jumlah pastinya belum diketahui karena banyak non-pemeluk agama yang menyembunyikan keyakinan mereka untuk menghindari diskriminasi, pelecehan, atau bahkan tuntutan hukum, menurut para aktivis.

Peneliti Human Rights Watch (HRW), Andreas Harsono, mengatakan kepada DW bahwa ia tidak terkejut dengan putusan Mahkamah Konstitusi tersebut.

Sejak jatuhnya Presiden otoriter Suharto pada 1998, Indonesia mengalami peningkatan fundamentalisme Islam, dan "sembilan hakim di pengadilan tidak kebal terhadap pengaruh fundamentalisme Islam," kata Harsono.

Dalam putusan tahun 2010 yang mempertahankan undang-undang yang mengkriminalisasi penistaan agama, Mahkamah Konstitusi menekankan "prinsip ketuhanan yang maha esa sebagai prinsip utama" dalam hukum, yang berarti religiositas menjadi "tolok ukur untuk menentukan konstitusionalitas atau inkonstitusionalitas hukum."

Hak non-pemeluk agama hampir tak tersentuh

Putusan Mahkamah Konstitusi terhadap non-pemeluk agama hampir tidak menarik perhatian internasional.

Dalam beberapa tahun terakhir, hak-hak pemeluk agama minoritas di Asia Tenggara menjadi isu yang semakin diperdebatkan, terutama sejak militer Myanmar melakukan upaya genosida terhadap minoritas Muslim Rohingya pada 2016.

Pemerintah AS dan Parlemen Jerman secara vokal mengkritik pemerintah komunis Vietnam dan Laos atas penindasan terhadap kelompok agama minoritas.

Namun, para agnostik dan ateis mengatakan bahwa mereka jarang mendapat advokasi internasional.

Laporan dari LSM Humanists International, "Humanists At Risk: Action Report 2020," mendokumentasikan "tidak adanya pemisahan antara negara dan agama, serta berbagai taktik yang digunakan terhadap humanis, ateis, dan orang-orang yang tidak beragama" di beberapa negara Asia Tenggara, termasuk Indonesia, Malaysia, dan Filipina.

Saat berkunjung ke Indonesia September lalu, Paus Fransiskus tidak menyinggung hak-hak non-pemeluk agama dalam kunjungannya.

Seorang juru bicara Uni Eropa (UE) yang berbicara kepada DW menolak memberikan komentar khusus tentang putusan pengadilan.

"UE mendorong dan mendukung hak semua individu untuk memiliki agama, meyakini suatu kepercayaan, atau tidak percaya, serta hak untuk mengekspresikan, mengubah, atau meninggalkan agama atau kepercayaannya tanpa takut kekerasan, penganiayaan, atau diskriminasi," kata juru bicara tersebut.

"Kami secara rutin membahas pentingnya menjamin kebebasan beragama atau berkeyakinan, termasuk hak untuk tidak beragama, dalam forum yang sesuai seperti Dialog Hak Asasi Manusia UE-Indonesia," tambahnya, merujuk pada edisi terbaru pertemuan tersebut yang diadakan pada Juli lalu.

Meskipun mengalami kemunduran hukum, Harsono dari HRW tetap optimistis bahwa kemajuan masih dapat dicapai.

"Masih mungkin untuk menantang putusan tersebut," katanya, merujuk pada keputusan terbaru Mahkamah Konstitusi, meskipun ia mengakui bahwa hal itu akan memakan waktu.

"Kita perlu mengedukasi masyarakat agar memahami prinsip kebebasan beragama dan berkeyakinan di Indonesia," ujarnya.

Namun, akademisi Nugraha berpendapat bahwa putusan Hidayat bulan lalu "membuka peluang bagi lebih banyak gugatan konstitusional terhadap hukum yang tidak selaras dengan nilai-nilai lintas agama."

Artikel ini diadaptasi dari DW berbahasa Inggris