Gangguan bunyi bahasa
Gangguan bunyi bahasa (bahasa Inggris: speech sound disorder), atau secara umum disebut cadel, pelat, atau telor, adalah gangguan bicara di mana bunyi bahasa (yang disebut fonem) tidak mampu diucapkan, atau tidak diucapkan dengan benar, atau tidak digunakan secara benar oleh penutur ibu bahasa bersangkutan. Gangguan ini dapat terjadi pada anak kecil maupun orang dewasa.
Ciri umum
[sunting | sunting sumber]Kesalahan pengucapan oleh para pengidap gangguan bunyi bahasa biasanya diklasifikasikan ke dalam empat kategori:
- Omisi: bunyi-bunyi tertentu tidak mampu diucapkan. Keseluruhan suku kata atau kelas bunyi tidak terucapkan; misalnya "kecil" disingkat menjadi "'cil", "minta" disingkat menjadi "'ta".
- Adisi (atau Comisi): ada bunyi yang ditambahkan pada kata yang diucapkan.
- Distorsi: pengucapan berubah secara halus sehingga kata yang diucapkan masih dapat dipahami namun pelafalannya tetap salah, atau tidak terdengar seperti kata yang terdapat dalam bahasa bersangkutan. Kasus ini sering disebut dengan istilah sigmatisme, di mana banyak pengidapnya tidak mampu melafalkan konsonan sibilan (contohnya bunyi [s]) dan menggantinya dengan konsonan interdental (desis gigi, contohnya bunyi [θ]); misalnya "sing" (/sɪŋ/) diucapkan seperti "thing" (/θɪŋ/), tetapi "sun" (/sʌn/) diucapkan "thun" (/θʌn/).
- Substitusi: Suatu bunyi digantikan oleh bunyi lain; contohnya "ramal" menjadi "lamal", "rabbit" menjadi "wabbit". Kasus ini sering disebut dengan istilah cadel.
Penyebab
[sunting | sunting sumber]Dalam pengucapan/pelafalan bunyi bahasa, artikulator berperan penting, baik aktif (contohnya lidah dan bibir) dan pasif (contohnya gigi, langit-langit mulut, dsb). Beberapa anak melafalkan bunyi yang dikehendaki dengan posisi artikulator yang tidak tepat, sehingga fonem yang dihasilkan berbeda dengan pelafalan yang lazim. Misalnya pengucapan fonem [r] (konsonan geletar alveolar) dengan posisi lidah lateral, sehingga yang dihasilkan adalah bunyi konsonan lateral alveolar ([l]). Beberapa gangguan dapat disebabkan karena masalah fisik, misalnya:
- Gangguan perkembangan mental (misalnya autisme)
- Sindrom genetik (misalnya Down syndrome)
- Kehilangan pendengaran
- Bibir sumbing atau anomali fisik pada mulut
- Penyakit
- Gangguan saraf (misalnya lumpuh otak)
Lihat pula
[sunting | sunting sumber]Rujukan
[sunting | sunting sumber]- Bauman-Waengler, Jacqueline (2004). Articulatory and Phonological Impairments: A Clinical Focus (2cd ed). Pearson (Boston). ISBN 0-205-40248-8.
- Secord, Wayne A., Boyce, Suzanne E., Donahue, JoAnn S., Fox, Robert A., and Shine, Rchiard E. (2007). Eliciting Sounds: Techniques and Strategies for Clinicians (2cd ed). Thompson Delmar Learning. ISBN 1-4018-9725-8.
- Justice, Laura M. (2006). Communication Science and Disorders: An Introduction. Pearson Merril Printice Hall. ISBN 0-12-113518-X .
- Shriberg, Lawrence D., and Kent, Raymond D. (2003). Clinical Phonetics (3rd ed). Allyn and Bacon (Boston). ISBN 0-205-36883-6 .
Catatan kaki
[sunting | sunting sumber]- Bowen, C. (2009). Children's speech sound disorders. Oxford: Wiley-Blackwell Diarsipkan 2023-05-27 di Wayback Machine.
Pranala luar
[sunting | sunting sumber]- (Inggris) Children's Speech Sound Disorders Diarsipkan 2023-05-27 di Wayback Machine.
- (Inggris) The difference between an articulation disorder and a phonological disorder Diarsipkan 2012-06-02 di Wayback Machine.
- (Inggris) Speech Articulation Disorder Diarsipkan 2022-10-07 di Wayback Machine. (PsychNet-UK)
- (Inggris) Speech Pathology, Pediatric Hearing Disorders: Phonological disorder Diarsipkan 2006-10-21 di Wayback Machine.
- (Indonesia) Cadel Tidak Hilang Sendiri Diarsipkan 2021-05-06 di Wayback Machine.
- (Indonesia) Kalau Kemampuan Bicara Terhambat Diarsipkan 2021-12-05 di Wayback Machine.