Bima (Mahabharata)
भीम | |
---|---|
Tokoh Mahabharata | |
Nama | Bima |
Ejaan Dewanagari | भीम |
Ejaan IAST | Bhīma |
Nama lain |
|
Kitab referensi | Mahabharata, Bhagawadgita, Purana |
Asal | Kerajaan Kuru |
Kediaman | Hastinapura, lalu pindah ke Indraprastha |
Kasta | kesatria |
Profesi | Juru masak (saat masa penyamaran), pegulat (saat masa penyamaran) |
Dinasti | Kuru |
Senjata | gada
Versi pewayangan Jawa: Kuku Pancanaka, Gada Rujakpala |
Ayah | Bayu (de facto), Pandu (sah) |
Ibu | Kunti |
Istri |
Versi pewayangan:
|
Anak | Versi wayang: |
Bima (Dewanagari: भीम; IAST: Bhīma ) atau Werkodara (Dewanagari: वृकोदर; IAST: Vṛkodhara ) adalah seorang tokoh protagonis dalam wiracarita Mahabharata. Ia merupakan putra Kunti, dan dikenal sebagai tokoh Pandawa yang kuat, selalu bersifat kasar dan menakutkan bagi musuh,[1] walaupun sebenarnya berhati lembut. Di antara Pandawa, dia berada di urutan kedua dari lima bersaudara. Saudara seayahnya ialah Hanoman, wanara terkenal dalam epos Ramayana.
Mahabharata menceritakan bahwa Bima gugur di pegunungan bersama keempat saudaranya setelah Bharatayuddha berakhir. Cerita tersebut dikisahkan dalam jilid ke-18 Mahabharata yang berjudul Mahaprasthanikaparwa. Bima setia pada satu sikap, yaitu tidak suka berbasa-basi, tak pernah bersikap mendua, serta tidak pernah menjilat ludahnya sendiri.
Etimologi
[sunting | sunting sumber]Kata bhīma dalam bahasa Sanskerta artinya kurang lebih adalah 'hebat', 'dahsyat', 'mengerikan'.[2] Nama lain Bima yaitu Wrekodara, dalam alih aksara bahasa Sanskerta dieja vṛkodhara, artinya ialah "perut serigala", dan merujuk ke kegemarannya makan.[3] Nama julukan yang lain adalah Bhīmasena yang berarti panglima perang.
Kelahiran
[sunting | sunting sumber]Dalam wiracarita Mahabharata, bagian Adiparwa dikisahkan bahwa Pandu, raja Hastinapura, dikutuk oleh Resi Kindama agar mati saat melakukan hubungan seksual. Sang raja merasa bahwa ia tidak akan bisa memperoleh keturunan untuk mewarisi takhtanya. Ia pun menyerahkan jabatan raja kepada Dretarastra, kakaknya yang buta, sedangkan ia sendiri makzul dan berkhalwat ke hutan bersama dua istrinya, Kunti dan Madri.
Di hutan, Kunti mengaku bahwa saat masih gadis, ia diajari suatu mantra oleh Resi Durwasa yang berfungsi untuk memanggil dewa-dewi tertentu dan memperoleh anak dari dewa-dewi yang dipanggil. Pandu pun memohon kepada Kunti untuk mempraktikkan mantra tersebut. Pada awalnya, Kunti menujukan mantranya kepada Dewa Yama, dan memperoleh putra yang diberi nama Yudistira. Beberapa tahun kemudian, melalui mantranya ia berseru kepada Dewa Bayu, dan memperoleh putra yang diberi nama Bima. Atas anugerah dari Bayu, Bima menjadi orang yang paling kuat dan penuh dengan kasih sayang.
Menurut sastra Hindu, Bima dan Hanoman adalah saudara seayah secara rohani, sebab mereka berdua merupakan anak yang terlahir melalui anugerah Dewa Bayu. Ia memuja Bayu dan mengagumi saudaranya, Hanoman.[4]
Masa muda
[sunting | sunting sumber]Bersama para pangeran Dinasti Kuru lainnya, Bima belajar ilmu agama, sains, tata negara, dan bela diri di bawah bimbingan para sesepuh dan guru keraton, Krepa dan Drona. Ia dan Duryodana (Korawa sulung) menguasai ilmu menggunakan senjata gada, dan berlatih di bawah bimbingan Baladewa. Keunggulan Bima sebagaimana yang diceritakan dalam wiracarita Mahabharata ialah kekuatannya yang hebat. Saat murka, ia menjadi terlampau kuat bahkan sulit bagi Indra (Dewa Perang) untuk menaklukkannya.[5]
Pada masa kanak-kanak, kekuatan Bima tidak ada tandingannya di antara anak-anak sebayanya.[6] Kekuatan tersebut sering dipakai untuk menjahili para sepupunya, yaitu Korawa. Duryodana sangat benci dengan sikap Bima yang selalu jahil. Kebencian tersebut berkembang menjadi niat untuk membunuh Bima. Pada suatu hari ketika para Korawa serta Pandawa pergi bertamasya di daerah sungai Gangga, Duryodana menyuguhkan makanan dan minuman kepada Bima, yang sebelumnya telah dicampur dengan racun. Karena Bima tidak curiga, ia menyantap makanan tersebut. Makanan tersebut membuat Bima jatuh pingsan, lalu tubuhnya diikat kuat-kuat oleh Duryodana dengan menggunakan tanaman menjalar, setelah itu dihanyutkan ke sungai Gangga dengan rakit. Saat rakit yang membawa Bima sampai di tengah sungai, ular-ular yang hidup di sekitar sungai tersebut mematuk badan Bima. Secara ajaib, bisa ular tersebut berubah menjadi penangkal bagi racun yang dimakan Bima. Ketika sadar, Bima langsung melepaskan ikatan tanaman menjalar yang melilit tubuhnya, lalu ia membunuh ular-ular yang menggigit badannya. Beberapa ular menyelamatkan diri untuk menemui rajanya, yaitu Wasuki.
Saat Wasuki mendengar kabar bahwa putra Pandu yang bernama Bima telah membunuh anak buahnya, ia segera menyambut Bima dan memberinya minuman, yang semangkuknya memiliki kekuatan setara dengan sepuluh gajah.[7] Bima meminumnya tujuh mangkuk, sehingga tubuhnya menjadi sangat kuat, setara dengan tujuh puluh gajah. Bima tinggal di istana Naga Basuki selama delapan hari, dan setelah itu ia pulang.
Pembakaran Laksagreha
[sunting | sunting sumber]Duryodana — atas saran Sangkuni, pamannya dari pihak ibu — berencana melenyapkan para Pandawa dalam suatu konspirasi agar upaya pembunuhan terlihat seperti suatu kecelakaan. Ia memberi penawaran kepada para Pandawa dan Kunti untuk berlibur di Waranawata, tempat diselenggarakannya festival Pasupati, pemujaan kepada Siwa.[8] Di sana, Bima dan Yudistira sadar bahwa rumah penginapan yang disediakan untuk mereka telah dirancang untuk membunuh mereka serta ibu mereka. Pesuruh Duryodana, yaitu Purocana telah membangun rumah tersebut sedemikian rupa dengan bahan seperti lilin sehingga cepat terbakar, yang disebut "Laksagreha". Bima hendak segera pergi, tetapi atas saran Yudistira mereka tinggal di sana selama beberapa bulan. Sementara itu, Widura, paman Yudistira yang telah mengetahui konspirasi Duryodana dan Sangkuni mengirim penambang untuk menggali terowongan penyelamatan apabila Laksagreha dibakar.
Pada suatu malam setelah pesta, Purocana tertidur lelap karena makanan yang disuguhkan oleh Kunti. Tanpa diketahui, seorang wanita Nishada dan kelima anaknya — yang turut menghadiri pesta — tertidur di pelataran istana. Sementara itu Bima segera menyuruh ibu dan saudara-saudaranya untuk melarikan diri dengan melewati terowongan yang telah dibuat oleh kuli tambang yang diutus Widura. Kemudian, Bima mulai membakar Laksagreha beserta Purocana agar Purocana tewas dalam perangkap yang dibuatnya sendiri.[9] Wanita Nishada dan kelima anaknya yang tidur di pelataran juga ikut terbakar dalam peristiwa tersebut.
Dalam perjalanan menyelamatkan diri dari kebakaran Laksagreha, Bima memegang peran penting karena badan dan kekuatannya yang besar sangat berguna. Ia menggotong ibu dan saudara-saudaranya yang merasa mengantuk dan lelah. Kunti digendong di punggungnya, Nakula dan Sadewa berada di pahanya, sedangkan Yudistira dan Arjuna berada di lengannya.[10] Ketika keluar dari ujung terowongan, Bima dan saudaranya tiba di sungai Gangga. Di sana mereka diantar menyeberangi sungai oleh pesuruh Widura.
Pengembaraan pascakebakaran Laksagreha
[sunting | sunting sumber]Setelah para Pandawa berhasil menyelamatkan diri dari kebakaran Laksagreha, Kunti menyarankan agar mereka tidak kembali ke Hastinapura, melainkan hidup dalam penyamaran untuk menghindari konflik dengan para Korawa. Namun pada akhirnya, Pandawa dan Kunti akhirnya kembali ke Hastinapura, setelah mereka melewati petualangan dan Bima membantai sejumlah raksasa dalam pengembaraan tersebut.
Hidimbawana
[sunting | sunting sumber]Setelah menyeberangi sungai Gangga, mereka melewati Sidawata sampai Hidimbawana ("Hutan Hidimba"). Di Hidimbawana, Bima bertemu dengan raksasa wanita bernama Hidimbi. Hidimbi menyamar menjadi wanita normal dan jatuh cinta kepada Bima. Hidimba (kakak Hidimbi) marah karena Hidimbi telah jatuh cinta dengan seseorang yang seharusnya menjadi santapan mereka. Perkara itu berujung pada perkelahian antara Bima dengan Hidimba. Bima memenangkan pertarungan dan berhasil membunuh Hidimba. Kemudian Bima menikah dengan Hidimbi. Seorang putra yang diberi nama Gatotkaca lahir dari perkawinan mereka. Bima dan keluarganya tinggal selama beberapa bulan bersama dengan Hidimbi dan Gatotkaca, setelah itu mereka melanjutkan perjalanan.
Ekacakra
[sunting | sunting sumber]Setelah melewati Hidimbawana, para Pandawa beserta ibunya tiba disebuah kota yang bernama Ekacakra.[11] Di sana mereka menumpang di rumah keluarga brahmana. Pemilik rumah memberitahu mereka bahwa seorang raksasa yang bernama Bakasura meneror kota Ekacakra. Atas permohonan penduduk desa, raksasa tersebut berhenti mengganggu kota, tetapi sebaliknya seluruh penduduk kota diharuskan untuk mempersembahkan makanan yang enak serta seorang manusia setiap minggunya. Kini, keluarga brahmana yang menyediakan tempat tinggal bagi mereka yang mendapat giliran untuk mempersembahkan salah seorang keluarganya. Merasa berhutang budi dengan kebaikan hati keluarga brahmana tersebut, Kunti berkata bahwa ia akan megutus Bima untuk membunuh raksasa Baka. Pada hari yang telah ditentukan, Bima pergi menuju gua Bakasura dan menantang raksasa tersebut untuk bertarung. Setelah pertarungan berlangsung lama, Bima meremukkan tubuh Bakasura. Lalu ia menyeret tubuh Bakasura sampai di pintu gerbang Ekacakra. Atas usaha Bima, kota Ekacakra menjadi tenang kembali.[12][13]
Kampilya
[sunting | sunting sumber]Bima, Kunti, dan empat Pandawa lainnya tinggal di Ekacakra selama beberapa lama, sampai akhirnya Pandawa memutuskan untuk melanjutkan pengembaraan mereka. Sebagai tujuan berikutnya, mereka pergi ke Kampilya, ibu kota Kerajaan Panchala, setelah mendengar cerita dari seorang brahmana mengenai sayembara memperebutkan Putri Dropadi, anak Raja Drupada. Dengan menyamar sebagai brahmana, para Pandawa mendatangi lokasi sayembara sementara Kunti menunggu di gubuk. Sayembara tersebut dimenangkan oleh Arjuna, yang menimbulkan ketidakpuasan bagi peserta lainnya karena merasa kaum brahmana tidak layak mengikuti sayembara. Kericuhan pun terjadi, yang segera diatasi oleh Bima. Berkat kekuatan Bima, para Pandawa berhasil pergi dari lokasi sayembara, dan menuju gubuk tempat ibu mereka menunggu. Atas suatu kesalahpahaman, kelima Pandawa menikahi Dropadi. Beberapa tahun setelah pernikahan, Bima mempunyai anak dari Dropadi yang bernama Sutasoma.
Kembali ke Hastinapura
[sunting | sunting sumber]Setelah menikah dengan Dropadi, persekutuan antara Pandawa dan Drupada terjalin. Kabar pernikahan Pandawa dengan Dropadi tersiar hingga ke keraton Hastinapura. Para tetua dan pemimpin Dinasti Kuru akhirnya mengadakan rekonsiliasi dan mengajak para Pandawa dan ibu mereka kembali ke Hastinapura. Pada waktu itu, Duryodana telah diangkat sebagai putra mahkota karena Yudistira dan saudara-saudaranya diduga tewas dalam kebakaran Laksagreha di Waranawata. Untuk mencegah konflik lebih lanjut lagi, atas saran Bisma maka Kerajaan Kuru pun dibagi menjadi dua: Korawa di Hastinapura, dan Pandawa di Indraprastha.[14]
Rajasuya di Indraprastha
[sunting | sunting sumber]Beberapa tahun setelah Indraprastha berdiri, Yudistira menyelenggarakan Upacara Rajasuya untuk mengumumkan kekuasaannya atas Indraprastha kepada para raja di penjuru Bharatawarsha.[15] Ia memerintahkan empat saudaranya untuk berkelana ke empat penjuru India untuk mengundang raja-raja dan mengambil persembahan dari mereka. Bima mendapat tugas untuk menaklukkan daerah India Timur, meliputi kerajaan Magadha dan Chedi. Dalam perjalanannya, ia menaklukkan para penguasa, terutama Jarasanda, penguasa Magadha.
Jarasanda adalah kesatria perkasa yang menjadi penghalang Yudistira dalam melakukan Rajasuya. Para Pandawa merasa perlu untuk melenyapkannya agar Rajasuya dapat diadakan. Maka mereka mengatur suatu strategi yang dibantu oleh Kresna. Bersama dengan Kresna, Arjuna dan Bima pergi ke Magadha dengan menyamar sebagai kaum brahmana. Jarasanda menjamu mereka secara takzim. Dalam pertemuan tersebut, Kresna menyatakan bahwa maksud kedatangan mereka, dan Jarasanda diperbolehkan untuk memilih lawan tanding di antara mereka bertiga. Jarasanda pun memilih Bima sebagai lawannya. Pertempuran berlangsung selama berhari-hari dan tidak ada satu pun yang mengaku kalah. Atas petunjuk dari Kresna, Bima membelah tubuh Jarasanda menjadi dua bagian, dan melempar kedua bagian tubuh tersebut ke arah yang berlawanan. Setelah kematian Jarasanda, seratus raja yang ditawan olehnya akhirnya dibebaskan. Seratus raja tersebut akhirnya mengakui Yudistira sebagai Cakrawarti (Adiraja).[16]
Selain Magadha, kerajaan yang ditaklukkan oleh Bima antara lain: Kerajaan Chedi, Kerajaan Dasarna, Kerajaan Matsya, Kerajaan Nishada. Kemudian suku bangsa yang ditaklukkannya meliputi: suku Sarmaka, suku Warmaka, suku Somadheya, suku Bharga, bangsa Malada dan negeri yang bernama Madahara, negeri Mahidara, Watsabhumi. Wilayah yang ditaklukkannya meliputi: Malla Selatan, dan pegunungan Bhagawanta. Saat tiba di kerajaan Angga, Raja Karna sempat melakukan perlawanan tetapi Bima mampu menaklukkannya.[17]
Setelah Upacara Rajasuya dilangsungkan, Duryodana merasa semakin iri terhadap para Pandawa. Ia pun ingin merebut istana beserta wilayah yang dikuasai oleh Yudistira dalam suatu permainan dadu, yang diatur secara gaib oleh Sangkuni agar kemenangan selalu berada di pihak Korawa.
Dalam masa pengasingan
[sunting | sunting sumber]Kitab Mahabharata bagian Wanaparwa dan Wirataparwa menceritakan kisah pengasingan para Pandawa dan istri mereka setelah kalah dalam permainan dadu melawan Korawa. Sesuai dengan perjanjian pascapermainan, mereka harus mengasingkan diri ke suatu hutan dan menetap di sana selama 12 tahun, kemudian hidup dalam penyamaran di suatu kerajaan selama setahun, dan setelah itu boleh kembali ke kerajaan mereka sebagai bangsawan. Apabila penyamaran mereka terbongkar, maka mereka harus mengulang lagi masa pengasingan diri di hutan selama 12 tahun. Selama masa pengasingan dan penyamaran tersebut, Bima bertemu dengan beberapa raksasa dan orang kuat; semuanya dapat dikalahkan olehnya.
Melawan Kirmira
[sunting | sunting sumber]Pada masa awal pengasingan (di hutan Kamyaka), para Pandawa bertemu dengan raksasa Kirmira, saudara Bakasura, dan teman bagi raksasa Hidimba. Pertarungan sengit terjadi antara Bima melawan raksasa tersebut. Keduanya merupakan petarung yang sebanding dan kerap saling melemparkan batu atau kayu satu sama lain. Pada akhirnya. Bima memenangkan pertarungan.[18]
Di negeri Matsya
[sunting | sunting sumber]Setelah para Pandawa menghabiskan masa pengasingan selama 12 tahun di hutan, mereka menghabiskan tahun ke-13 dengan hidup dalam penyamaran di kerajaan Matsya yang dipimpin Raja Wirata. Di sana, Bima menyamar sebagai juru masak yang bernama Balawa, sementara para Pandawa memanggilnya dengan nama Jayanta.[19]
Pada suatu perayaan di Matsya, orang-orang dari sejumlah negari tetangga berkunjung ke kerajaan Matsya. Dalam kesempatan itu ada suatu pertandingan gulat yang mempertemukan para pegulat dari berbagai negeri. Pegulat Jimuta tidak terkalahkan dalam pertandingan tersebut. Bima menantang Jimuta, lalu mengalahkannya dalam waktu singkat, membuat takjub Raja Wirata dan rakyat Matsya. Kejadian itu meningkatkan reputasi para Pandawa di wilayah yang asing.[20]
Kicaka, panglima tinggi kerajaan Matsya, melakukan pelecehan seksual terhadap Dropadi, yang sedang menyamar sebagai pelayan bernama Malini. Dropadi melaporkan kejadian tersebut kepada Bima. Akhirnya mereka merencanakan suatu pembalasan kepada Kicaka. Pada hari yang ditentukan, Dropadi berpura-pura mengajak Kicaka untuk bertemu di suatu tempat. Di tempat yang dijanjikan, Bima membungkus diri dengan pakaian wanita untuk menyaru sebagai Dropadi. Saat Kicaka datang, Bima segera membuka penyamarannya lalu bergulat dengan Kicaka. Ia membunuh Kicaka dan menghacurkan jenazahnya hingga sulit untuk dikenali. Kemudian kerabat Kicaka mencoba untuk memubunuh Dropadi—yang dituduh sebagai penyebab musibah pada Kicaka—tetapi Bima menghancurkan mereka semua.[21]
Perang Kurukshetra
[sunting | sunting sumber]Dalam perang Kurukshetra, Bima berperan sebagai komandan tentara Pandawa. Sebelum pertempuran dimulai, Bima mengusulkan Satyaki sebagai panglima pasukan Pandawa, tetapi Yudistira dan Arjuna memilih Drestadyumna. Sebagai salah satu komandan, Bima bertarung dengan mengendarai kereta perang, dikemudikan oleh kusir bernama Wisoka. Pada keretanya terdapat panji berwarna putih dengan gambar singa keperakan, matanya berupa permata lapis lazuli. Keretanya ditarik oleh kuda hitam, sehitam beruang atau antelop hitam.[22][23] Sebagai kelengkapan perang, Bima memiliki sebuah busur sakti bernama Wayabya (artinya "pemberian Dewa Bayu"), trompet kerang bernama Paundra, dan sebuah gada pemberian Hanoman yang kekuatannya setara dengan ratusan ribu gada.
Duel melawan Duryodana
[sunting | sunting sumber]Pada hari terakhir perang Kurukshetra, hanya Duryodana yang sintas di antara Korawa. Ia pergi dari medan laga dan bersembunyi di dasar sebuah danau. Para Pandawa dan Kresna menantangnya untuk perang tanding untuk menentukan hasil akhir perang. Pandawa menyatakan bahwa Duryodana bebas memilih salah satu Pandawa sebagai lawannya; apabila Duryodana menang, maka perang tidak perlu berlanjut lagi dan para Pandawa akan mengakui kekalahan mereka. Pada kesempatan itu, Duryodana memilih Bima sebagai lawannya. Bima berkelahi melawan Duryodana dengan menggunakan senjata gada. Pertarungan berlangsung dengan sengit dan lama, sampai akhirnya Kresna mengingatkan Bima bahwa ia telah bersumpah akan mematahkan paha Duryodana. Seketika Bima mengayunkan gadanya ke arah paha Duryodana saat Duryodana sedang melompat ke arah Bima.[24] Setelah pahanya diremukkan, Duryodana jatuh ke tanah dan tidak mampu lagi melanjutkan pertarungan. Menyaksikan kejadian tersebut, Baladewa marah karena Bima telah mengincar bagian tubuh yang seharusnya tidak diserang dalam pertarungan dengan gada. Ia pun ingin menghukum Bima, tetapi ditenangkan Kresna karena Bima hanya ingin menjalankan sumpahnya.[25]
Pewayangan Jawa
[sunting | sunting sumber]Pada masa penyebaran agama Hindu-Buddha di Nusantara, kitab Mahabharata yang berbahasa Sanskerta—beserta sejumlah besar kitab-kitab Hindu lainnya—diterjemahkan ke dalam bahasa Jawa Kuno dan disertai adaptasi seperlunya, sehingga kejadian yang berlatar belakang di Tanah India dibuat seolah-olah terjadi di pulau Jawa. Kisah Mahabharata juga diadaptasi menjadi lakon pertunjukan wayang. Tokoh Bima dalam pewayangan pun mengalami adaptasi, tetapi dengan garis besar cerita yang sama dengan kitab aslinya.
Karakter
[sunting | sunting sumber]Dalam pewayangan Jawa, Bima digambarkan memiliki sifat gagah berani, teguh, kuat, tabah, patuh, jujur dan bijaksana serta menganggap semua orang sama derajatnya, sehingga dia digambarkan tidak pernah menggunakan bahasa halus (krama inggil) ataupun duduk di depan lawan bicaranya. Bima melakukan kedua hal ini (bicara dengan bahasa krama inggil dan duduk) hanya ketika menjadi seorang resi dalam lakon Bima Suci, dan ketika dia bertemu dengan Dewaruci. Ia mahir bermain gada, serta memiliki berbagai macam senjata, antara lain: Kuku Pancanaka, Gada Rujakpala, Alugara, Bargawa (kapak besar), dan Bargawasta. Sedangkan jenis ajian yang dimilikinya antara lain: Aji Bandungbandawasa, Aji Ketuglindhu, Aji Bayubraja dan Aji Blabak Pangantol-antol.
Bima juga memiliki pakaian yang melambangkan kebesaran, yaitu: Gelung Pudaksategal, Pupuk Jarot Asem, Sumping Surengpati, Kelatbahu Candrakirana, ikat pinggang Nagabanda dan Celana Cinde Udaraga. Sedangkan beberapa anugerah dewata yang diterimanya antara lain: Kampuh atau Kain Poleng Bintuluaji, Gelang Candrakirana, Kalung Nagasasra, Sumping Surengpati dan Pupuk Pudak Jarot Asem.
Dalam pencarian jati dirinya, Bima sering diberi tugas oleh gurunya—yang sesungguhnya dihasut oleh para Korawa untuk membunuh Bima—yang terasa mustahil untuk dikerjakan, seperti mencari kayu gung susuhing angin dan air banyu perwitasari, yang akhirnya membawa Bima bertemu dengan Dewaruci.
Istri dan keturunan
[sunting | sunting sumber]Bima tinggal di kadipaten Jodipati, wilayah Indraprastha. Ia mempunyai tiga orang istri dan tiga orang anak, yaitu:
- Dewi Nagagini, berputra (mempunyai putra bernama) Arya Anantareja,
- Dewi Arimbi, berputra Raden Gatotkaca dan
- Dewi Urangayu, berputra Arya Anantasena.
Menurut versi Banyumas, Bima mempunyai satu istri lagi, yaitu Dewi Rekatawati, berputra Srenggini.
Lihat pula
[sunting | sunting sumber]Referensi
[sunting | sunting sumber]- ^ Smith, with a preface by Christopher Key Chapple (2009). The Bhagavad Gita (edisi ke-Peringatan 25 tahun). Albany: State University of New York Press. hlm. 24. ISBN 9781438428420.
- ^ Monier-Williams, Arti kata bhīma, Sanskritdictionary.com
- ^ Monier-Williams, Arti kata vṛkodhara, Sanskritdictionary.com
- ^ Rao, Shanta Rameshwar (1985). The Mahabharata (Illustrated). Orient Blackswan. hlm. 25–26. ISBN 9788125022800.
- ^ "Mahabharata Text".
- ^ Menon, translated by] Ramesh (2006). The Mahabharata : a modern rendering. New York: iUniverse, Inc. hlm. 93. ISBN 9780595401871.
- ^ "Mahabharata Text".
- ^ Kisari Mohan Ganguli (1883–1896), "Jatugriha Parva: Section CXLV", Sacred-Text.com https://sacred-texts.com/hin/m01/m01146.htm Tidak memiliki atau tanpa
|title=
(bantuan) - ^ "Mahabharata Text".
- ^ "Mahabharata Text".
- ^ "Kaivara | Chikkaballapur District, Government of Karnataka | India" (dalam bahasa Inggris). Diakses tanggal 2023-06-04.
- ^ "Mahabharata Text".
- ^ "Seven little known facts from the Mahabharata (4)". 10 August 2012.
- ^ "The Mahabharata, Book 2: Sabha Parva: Section I".
- ^ "Rajasuya, Rajasūya, Rājasūya, Rajan-suya: 17 definitions". wisdomlib.org (dalam bahasa Inggris). 2012-06-27. Diakses tanggal 2022-11-27.
- ^ "Mahabharata Text".
- ^ "The Mahabharata, Book 2: Sabha Parva: Jarasandhta-badha Parva: Section XXIX". www.sacred-texts.com. Diakses tanggal 2020-09-22.
- ^ "Mahabharata Text".
- ^ Kapoor, Subodh, ed. (2002). The Indian encyclopaedia : biographical, historical, religious, administrative, ethnological, commercial and scientific (edisi ke-1st). New Delhi: Cosmo Publications. hlm. 4462. ISBN 9788177552577.
- ^ "Mahabharata Text".
- ^ Menon, [translated by] Ramesh (2006). The Mahabharata : a modern rendering. New York: iUniverse, Inc. hlm. 645. ISBN 9780595401871.
- ^ "Mahabharata Text".
- ^ Kapoor, Subodh, ed. (2002). The Indian encyclopaedia : biographical, historical, religious, administrative, ethnological, commercial and scientific (edisi ke-1st). New Delhi: Cosmo Publications. hlm. 4462. ISBN 9788177552713.
- ^ "The Mahabharata, Book 9: Shalya Parva: Section 58".
- ^ "The Mahabharata, Book 9: Shalya Parva: Section 59".