Hari Patriotik 23 Januari 1942
Hari Patriotik 23 Januari 1942 yang disebut juga sebagai Hari Proklamasi Gorontalo merupakan momen bersejarah rakyat Gorontalo dalam memproklamasikan kemerdekaan Indonesia. Proklamasi ini dilaksanakan tepatnya 3 tahun lebih awal dari Proklamasi Kemerdekaan Indonesia di Jakarta tahun 1945 oleh Soekarno dan Moh. Hatta.
Proklamasi Kemerdekaan Indonesia di Gorontalo dilaksanakan pada hari Jumat, 23 Januari 1942 tahun Masehi, atau tanggal 6 Muharram 1361 menurut tahun Hijriyah yang dibacakan oleh Nani Wartabone dengan didampingi oleh Kusno Danupoyo. Keduanya dikenal oleh rakyat Gorontalo sebagai "Dwi Tunggal" dari tanah Sulawesi. Proklamasi kemerdekaan mengambil tempat di halaman Kantor Pos Gorontalo, diikuti oleh pembacaan teks proklamasi dan pengibaran bendera merah putih sekitar pukul 10 pagi waktu setempat.
Proklamasi Gorontalo merupakan momentum bagi para pejuang kemerdekaan yang saat itu tengah mempersiapkan perlawanan diplomatik hingga kekuatan perang dalam merebut kemerdekaan dari tangan penjajah Belanda. Pada peristiwa bersejarah ini pula dibacakan Naskah Proklamasi Kemerdekaan Indonesia di Gorontalo oleh Nani Wartabone. Nani Wartabone tidak lain merupakan sahabat seperjuangan Soekarno dalam perjuangan memerdekakan Indonesia dari tangan penjajah.
Pemerintah daerah pun menetapkan tanggal 23 Januari 1942 sebagai hari patriotik kemerdekaan yang wajib diperingati oleh seluruh masyarakat Gorontalo di setiap tahunnya. Pada hari patriotik, rakyat Gorontalo akan menggelar upacara bendera sebagai bagian dari peringatan pembacaan teks proklamasi dan berbagai aktifitas napak tilas perjuangan tahun 1942. Peringatan ini pun menjadi simbol penghargaan rakyat Gorontalo yang begitu tinggi terhadap para pendahulu mereka yang rela berkorban demi kemerdekaan tanah air.
Latar Belakang
Peristiwa patriotik 23 Januari 1942 merupakan proses panjang dari perlawanan bangsa Indonesia, khususnya rakyat Gorontalo, Sulawesi. Berawal ketika Pemerintah Belanda merencanakan pembumi hangusan segala aset di daerah jajahan, termasuk aset-aset yang berada di Gorontalo. Propaganda Belanda ini untuk mengantisipasi adanya serbuan tentara Jepang yang akan masuk ke Indonesia saat itu. Hingga akhirnya propaganda Belanda ini pun kemudian diketahui oleh Saripa Rahman Hala, yang sehari-hari bertugas selaku penyelidik pada pemerintahan Belanda. Dilandasi oleh semangat nasionalisme, Saripa kemudian membocorkan informasi ini kepada Kaharu dan Ahmad Hippy, yang akhirnya sampai kepada Kusno Danupoyo yang kemudian sampai pula ke Nani Wartabone.
Nani wartabone sendiri sering menjadi saksi mata bagaimana cengkeraman Belanda begitu merajalela di berbagai wilayah Gorontalo, khususnya di kampung halamannya di Suwawa. Sebagai seorang Petani di desanya, Nani Wartabone sering menyaksikan kekejaman para penjajah Belanda dalam memperlakukan masyarakat kecil di desanya. Karena penderitaan rakyat yang sudah tidak dapat dibendung lagi, Nani Wartabone kemudian tergerak hati nuraninya untuk berjuang melawan para penjajah dan kemudian menyiapkan strategi untuk merebut kekuasaan Belanda di Gorontalo.
Pembentukan Komite 12
Dalam menghadapi rencana Belanda tersebut kemudian dilangsungkan rapat rahasia di kediaman Kusno Danupoyo. Hasilnya adalah pembentukan Komite Dua Belas sebagai wadah perjuangan rakyat Gorontalo untuk lepas dari penjajahan. Komite 12 ini terdiri atas beberapa orang, yaitu:
- Nani Wartabone sebagai Ketua
- Kusno Danupoyo sebagai Wakil Ketua
- Oe. H. Buluati sebagai Sekretaris
- A.R.Ointoe sebagai Wakil Sekretaris
- Usman Monoarfa sebagai Anggota
- Usman Hadju sebagai Anggota
- Usman Tumu sebagai Anggota
- A. G. Usu sebagai Anggota
- M.Sugondo sebagai Anggota
- R.M.Danuwatio sebagai Anggota
- Sagaf Alhasni sebagai Anggota
- Hasan Badjeber sebagai Anggota
Proklamasi Kemerdekaan
Peristiwa Patriotik 23 Januari 1942 bermula setelah sholat subuh di hari Jumat, dimana saat itu pasukan Nani Wartabone mulai bergerak masuk ke wilayah pusat pemerintahan Belanda di Gorontalo. Pasukan Wartabone yang dikenal dengan julukan "Pasukan Rimba" akhirnya berhasil menarik simpati masyarakat yang dilaluinya, mulai dari tanah Suwawa, hingga akhirnya berhasil mengajak ribuan orang dari berbagai daerah yang dilaluinya untuk ikut bersama-sama menyerbu pusat kota pemerintahan Belanda. Rakyat Gorontalo kemudian bersatu dan semakin banyak yang ikut dalam rombongan massa pasukan rimba yang dipimpin oleh Nani Wartabone. Pendang Kalengkongan dan Ardani Ali dari unsur Kepolisian lokal pun akhirnya ikut bergabung dengan pasukan rakyat untuk merebut kemerdekaan. Hingga akhirnya mereka tiba di Kota Gorontalo, tepatnya di kompleks pemerintahan kolonial Belanda. Pasukan Rimba bersama rakyat kemudian mulai menguasai markas atau tangsi polisi hingga melakukan penangkapan terhadap para pejabat pemerintah Belanda, orang-orang Belanda, serta aparat Kepolisian Belanda di Gorontalo.
Dalam catatan sejarah, operasi perebutan kekuasaan oleh Pasukan Rimba bersama rakyat Gorontalo setidaknya berhasil menangkap 15 orang anggota pemerintah kolonial Belanda. Setibanya di depan Kantor Pos gorontalo, Bendera Merah Putih pun dikibarkan sebagai pertanda Gorontalo telah dibebaskan dari penjajah belanda, bebas dan merdeka, serta menjadi bagian dari Negara Indonesia. Pada momen ini, lagu kebangsaan Indonesia Raya pun turut dinyanyikan oleh seluruh rakyat Gorontalo yang begitu riuh dan ramai memenuhi halaman Kantor Pos, tempat digelarnya proklamasi kemerdekaan tersebut.
Selanjutnya, naskah proklamasi pun dibacakan oleh Nani Wartabone. Dalam pidatonya tersebut, Nani menegaskan bahwa rakyat Gorontalo sudah merdeka dan lepas dari penjajah Belanda. Pada hari itu juga, Gorontalo telah menyatakan ikut bergabung menjadi bagian Negara Indonesia dengan Merah Putih sebagai bendera Negara dan Indonesia Raya sebagai lagu kebangsaan negara.
Selepas seluruh pejabat pemerintah kolonial Belanda ditangkap, maka dibentuklah Pucuk Pimpinan Pemerintahan Gorontalo (PPPG) yang juga terdiri dari 12 orang anggota Komite Dua Belas, dengan Nani Watabone sebagai Kepala Pemerintahan Gorontalo. PPPG ini bertujuan untuk menjalankan roda pemerintahan di Gorontalo yang telah ditinggalkan oleh penjajah Belanda.
Naskah Proklamasi Gorontalo
Pada tanggal 23 Januari 1942, Nani Wartabone membacakan naskah Proklamasi Kemerdekaan Indonesia di Gorontalo atau yang dikenal pula dengan Proklamasi Gorontalo. Nani Wartabone didampingi oleh Kusno Danupoyo, membacakan Proklamasi Kemerdekaan, 3 tahun lebih awal sebelum Proklamasi Kemerdekaan Indonesia di Jakarta. Adapun naskah proklamasi kemerdekaan yang dibacakan di hari tersebut adalah sebagai berikut:
“Pada hari ini tanggal 23 Januari 1942,
kita bangsa Indonesia yang berada di sini sudah merdeka
bebas lepas dari penjajahan bangsa manapun juga.
Bendera kita yaitu Merah-Putih,
lagu kebangsaan adalah Indonesia Raya.
Pemerintahan Belanda sudah diambil alih oleh Pemerintah Nasional.
Mari kita menjaga keamanan dan ketertiban”.
Pasca Proklamasi Kemerdekaan
Pada sore hari, di tanggal 23 Januari 1942 dilaksanakan konsolidasi untuk membentuk Pasukan Pengawal Kota yang dipimpin oleh Ibrahim Mohammad. Adapun Kepala Stafnya yang ditunjuk saat itu adalah Ali Baladraf yang anggotanya berasal dari seluruh unsur kepanduan (Pramuka). Selanjutnya, Pendang Kalengkongan bertugas untuk memimpin Bagian Keamanan Rakyat dengan anggota yang berasal dari para polisi (Veld Politie dan Stad Politie) yang telah bergabung bersama rakyat Gorontalo dan Pasukan Rimba saat itu juga.
Sebagai wujud konsolidasi kekuatan, dilaksanakanlah apel besar dan unjuk kekuatan oleh segenap pasukan pengawal kota pada tanggal 27 Januari 1942. Dalam apel tersebut, Nani Wartabone menjadi Inspektur Upacara yang kemudian didampingi Kusno Danupoyo, serta Pendang Kalengkongan selaku Komandan Upacara.
Penyebarluasan Informasi Proklamasi
Berita tentang peristiwa 23 Januari 1942 dan berdirinya PPPG di Gorontalo, disebarkan ke berbagai daerah di sekitar Gorontalo. Hal ini dimaksudkan agar dapat membangkitkan semangat perjuangan rakyat di berbagai daerah untuk meraih kemerdekaan. Diutuslah Muhammad Tahir ke Banggai, Ismail Komda ke Ampana, Dai Wartabone ke Una-una dan Ibrahim Usman ke Toli-Toli untuk menyebarluaskan berita tentang proklamasi kemerdekaan Indonesia di Gorontalo ini. Dalam penyebarluasan informasi ini, turut disampaikan pula bahwa Pemerintahan Nasional telah berdiri setelah Proklamasi Kemerdekaan Indonesia di Gorontalo, dimana Nani Wartabone menjadi Kepala Pemerintahan di Gorontalo sekaligus Panglima Angkatan Perang Indonesia di Gorontalo.
Testimoni Tokoh Nasional
Jenderal Abdul Haris Nasution pun pada bulan Maret tahun 1986 sempat memberikan testimoni khusus ketika Nani Wartabone wafat, diantaranya sebagai berikut:
- “Dengan pimpinan Nani Wartabone dan kawan-kawan menggeser kekuasaan Belanda dengan gilang gemilang, adalah hari yang pantas dicatat di dalam rangkaian ukiran sejarah perjuangan fisik, dan perlu kiranya diketahui oleh seluruh warga negara Indonesia, agar sesuatu yang berharga di tubuh Ibu Pertiwi ini tidak hilang ditelan waktu begitu saja.
- "Perlu disadari bahwa di masa lampau dalam situasi dan kondisi waktu itu adalah langka untuk mencari seorang pimpinan yang berani, jujur dan cerdas seperti yang dilahirkan oleh bumi Gorontalo. Semangat 23 Januari 1942 adalah pencerminan watak manusia merdeka yang ikhlas mengorbankan segala-galanya demi untuk kemerdekaan”.
Dalam halaman selanjutnya, Jenderal A. H. Nasution pun kembali menuliskan kesannya terhadap Pahlawan Nasional Nani Wartabone, yaitu:
- "Nani Wartabone adalah teladan pejuang yang konsisten. Tak banyak pejuang kita yang demikian, karena itu perjuangannya haruslah disejarahkan kepada generasi-generasi mendatang, karena konsistensi adalah prinsip ke 1 dalam ilmu strategi pejuang”.
- “Saya tak menduga bahwa saya akan jadi teman seperjuangan dekat dengan tokoh historis ini, yakni di masa terjadinya pemberontakan PRRI/Permesta yang dibarengi intervensi tertutup Amerika Serikat tahun 1958-1961. ……… Maka kesekian kalinya tampillah pejuang patriot perwira Nani Wartabone dengan prakarsa yang amat saya hargai selaku KASAD/Penguasa Perang yang dewasa itu dapat tugas memulihkan keutuhan dan keamanan seluruh RI”.
Referensi
- Marunduh, S.U., 1988. Peristiwa Merah Putih 23 Januari 1942 di Daerah Gorontalo. Fakultas Sastra, Universitas Sam Ratulangi.
- Marali, A., 2009. Peranan pasukan rimba di Gorontalo dalam upaya mempertahankan negara kesatuan Republik Indonesia (Studi kasus peristiwa Permesta 1958) (Doctoral dissertation, Universitas Negeri Malang).
- Hercahyani, D., 2008. Sejarah pembentukan Gorontalo dari Kabupaten menjadi propinsi 1953-2000 (Doctoral dissertation, Universitas Indonesia. Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya).
- Kulap, M., 2017. Developing The Cultural Literacy of Local History of Gorontalo Students Through The Learning Materials “Nani Wartabone And January 23, 1942 Events in Gorontalo”.
- Kulap, M., Warto, M. and Joebagio, H., 2017. Nationalism of Nani Wartabone: Nation Character Building Foundation of Indonesia. International Journal of Multicultural and Multireligious Understanding, 4(3), pp.12-21.
- Kimura, E., 2007. Marginality and opportunity in the periphery: The emergence of Gorontalo province in North Sulawesi. Indonesia, (84), pp.71-95.
- Isla, M., 2019. Kajian Patung Monumen Perjuangan Nani Wartabone Melalui Latar Belakang Dan Visualisasinya (Doctoral dissertation, Universitas Komputer Indonesia).
- Al-Rasyid, H.H. and Saprillah, S., 2018. THE NATIONALITY MOVEMENT IN GORONTALO. Analisa: Journal of Social Science and Religion, 3(02), pp.279-295.
- Damis, M., 2019. DAERAH GORONTALO DALAM PERUBAHAN POLITIK NASIONAL. HOLISTIK, Journal Of Social and Culture.
- Nuralia, L. and Imadudin, I., 2010. Kisah Perjuangan Pahlawan Indonesia. Ruang Kata.
- Junaedi, D., 2014. Pahlawan-pahlawan Indonesia Sepanjang Masa. IndonesiaTera.