Trafel
Trafel adalah bagian yang membesar dari jamur Ascomycetes, yang merupakan salah satu spesies jamur dari genus Tuber. Trafel adalah jamur ectomycorrhizal, dan dengan demikian biasanya ditemukan menempel ke akar pohon. Penyebaran sporanya didapat melalui fungivora, hewan yang memakan jamur-jamuran.[1]
Trafel terkenal dan berharga tinggi dalam budaya kuliner Eropa dengan perannya sebagai penyedap makanan. Ahli tata boga Jean Anthelme Brillat-Savarin menyebut trafel sebagai "intannya dapur". Trafel sangat dihargai dalam masakan Prancis,[2] Kroasia, Georgia, Bulgaria, Yunani, Italia, Timur Tengah, dan Spanyol, sebagaimana juga sangat dihargai dalam kuliner tingkat tinggi dunia.
Sejarah
suntingPenyebutan trafel pertama kali muncul dalam naskah neo-Sumeria terkait kebiasan makan lawan mereka, suku Amorite (Dinasty Ketiga Ur, Abad 20 SM), dan kemudian muncul juga dalam tulisan mengenai Theophrastus dari abad 4 SM. Di masa lalu, sumber trafel adalah misteri bagi banyak orang. Plutarch dan yang lainnya mengira trafel adalah hasil dari paduan cahaya, kehangatan, dan air di dalam tanah, sementara Juvenal mengira petir dan hujan adalah sumbernya. Cicero menganggap mereka adalah anak dari tanah, sementara Dioscorides mengira trafel adalah sejenis umbi-umbian.
Roma dan Thracia pada masa klasik memproduksi tiga jenis trafel, umbi melanosporum, umbi magnificanus, dan umbi magnatum. Orang Roma sendiri tidak mengonsumsi trafel ini, dan lebih memilih jamur jenis Terfez, atau lebih dikenal sebagai "trafel padang pasir". Kebiasaan penggunaan terfez di Roma masuk dari Lesbos, Carthage, dan Libya, yang pada saat itu iklimnya tidak terlalu kering seperti sekarang. Trefez lebih pucat, mengarah ke warna mawar. Tidak seperti trafel, terfez tidak terlalu kaya rasa. Bangsa Roma menggunakannya sebagai perantara rasa, karena terfez cenderung menyerap rasa bahan lainnya. Ini cocok dengan kebiasaan orang Roma zaman dulu yang senang memakai banyak rempah dan perasa.
Abad pertengahan
suntingTrafel jarang dipakai pada abad pertengahan Eropa. Meskipun demikian, perburuan trafel dicatat oleh Bartolomeo Platina pada tahun 1481. Dari wilayah Timur Tengah, Nabi Muhammad sendiri mengakui keberadaan trafel, dalam hadis riwayat Said bin Zaid, bahwa trafel layaknya manna, air perasannya bisa dipakai untuk mengobati mata.[3]
Abad Renaisans
suntingTrafel kembali menjadi populer dan sangat dihargai keluarga Raja Francis I. Hanya saja, hingga abad 18 barulah rempah-rempah dari dunia timur mulai ditinggalkan dan penggunaan penyedap rasa asli dari Eropa digunakan kembali. Trafel menjadi sangat populer di pasar Paris pada tahun 1780. Trafel ini didatangkan dari daerah sumbernya, yang selama ini menjadi rahasia warga biasa. Brillat-Savarin (1825) mencatat bahwa bahan ini sangat mahal sehingga hanya muncul di meja makan bangsawan dan wanita terpandang.
Budi daya
suntingTrafel sebenarnya tumbuh liar, dan penanaman dengan sengaja sulit dilakukan. Namun memang ada upaya untuk membudidayakannya. Sejak 1808, telah ada beberapa upaya yang berhasil dalam menanam trafel, yang dalam Bahasa Prancis dikenal sebagai trufficulture. Manusia telah menyadari bahwa trafel cenderung tumbuh di akar pohon tertentu. Pada 1808, Joseph Talon dari daerah Apt, Caucluse di selatan Prancis, mempunyai ide untuk menanam beberapa tunas kecil yang dia kumpulkan di akar pohon pasang, yang sering menjadi inang trafel.
Asal kata
suntingTrafel berasal dari kata truffle yang berasal dari tūber , bahasa Latin untuk menyebut umbi, yang berarti "membengkak" atau "benjolan", yang kemudian menjadi tufer dan menjadi berbagai variasi pengejaan di berbagai negara Eropa. Orang Kroasia menyebutnya tartuf / тартуф, Denmark trøffel, Belanda truffel, Inggris truffle, Prancis truffe, Jerman Trüffel, Italia tartufo, Polandia trufla, Romania trufă, Spanyol trufa, dan Swedia tryffel. Jerman memiliki kata Kartoffel ("kentang"), yang berasal dari kata Italia untuk truffel, karena kemiripannya. Untuk Portugis, trufa dan túbera adalah sinonom.
Perburuan
suntingTrafel biasanya dicari dengan bantuan babi betina atau anjing. Babi betina banyak dipakai karena memang punya naluri untuk mencari dan memakan trafel, karena adanya kandungan mirip androstenol, feromon seks dari ludah babi jantan, yang membuatnya tertarik untuk memakan. Di Italia, penggunaan babi untuk berburu trafel sudah dilarang karena kerusakan yang ditimbulkannya terhadap trafel miselia saat menggali, yang menyebabkan turunnya produksi trafel.
Berikut perbandingan anjing dan babi saat berburu truffle:
Anjing | Babi |
---|---|
Penciuman tajam | Penciuman tajam |
Harus dilatih | Sudah naluri |
Mudah dikontrol | Cenderung langsung memakan truffle saat menemukan |
Dunia kuliner
suntingKarena harganya yang mahal dan baunya yang kuat, trafel hanya digunakan dalam jumlah kecil. Trafel bisa ditemukan dijual secara komersial dalam bentuk segar atau diawetkan, biasanya dalam larutan garam encer.
Trafel putih biasanya disajikan mentah, dan biasanya ditaburkan diatas pasta, salad, atau telur goreng. Trafel hitam atau putih yang diiris tipis juga bisa diselipkan di antara potongan daging, di bawah kulit dari ayam atau burung yang dipanggang, saat pengolahan foie gras, untuk pate, atau lainnya. Beberapa keju juga mengandung trafel.
Trafel hitam biasanya berbau lebih lemah dan pekat rasanya dari truffle putih. Rasanya digambarkan manis layaknya sirup. Trafel hitam juga digunakan dalam pembuatan garam trafel dan madu trafel.
Dulu biasanya trafel dikupas, namun kini kulitnya pun digunakan karena dianggap berharga. Beberapa restoran di Swiss masih memisahkan kulit trafel untuk dicampurkan ke saus.
Referensi
sunting- ^ "Spore release and dispersal". Australian National Botanic Gardens. Diakses tanggal 5 December 2016.
- ^ "Truffles". Diakses tanggal 2017-01-06.
- ^ Sahih al-Bukhari, volume 7, number 609.