Teori feminis
Teori feminis merupakan sebuah pendekatan multidisiplin yang bertujuan untuk memahami, menganalisis, dan mengubah ketidakadilan gender serta ketidaksetaraan yang mempengaruhi perempuan dalam berbagai aspek kehidupan.[1]
Feminisasi, atau pengkajian terhadap isu-isu yang berkaitan dengan perempuan dan gender adalah suatu bidang yang terus berkembang dan memberikan kontribusi signifikan terhadap perubahan sosial, politik, dan budaya.[2]
Sejarah perkembangan teori feminisme
suntingPada umumnya feminis dapat dibedakan menjadi tiga periode. Periode awal, diperkirakan telah menggejala sejak tahun 1800-an, diawali dengan adanya gerakan feminis yang dikaitkan dengan terjadinya revolusi Perancis (1789). Periode awal inilah yang menampilkan tiga aliran, yaitu: a) feminis libral, b) feminis radaikal, dan c) feminis sosialis dan Marxis.
Periode kedua, mulai tahun 1960-an, dengan memunculkan dua aliran, yaitu: a) feminis eksistensial, mempersoalkan sekaligus menolak keberadaan perempuan sebagai semata-mata mengasuh anak, b) feminis gynocentric, dengan konsentrasi perbedaan antara laki-laki dan perempuan.
Periode ketiga, mulai dipengaruhi oleh postmodernisme yang mengabaikan sejarah, menolak humanisme, dan kebenaran tunggal, melihat yang terpinggirkan. Periode ketiga ini melahirkan empat aliran, yaitu: feminis postmodernisme itu sendiri; feminis multikultural, dengan ciri yang hampir sama dengan feminis postmodernisme tetapi dengan memberikan intensitas pada keberagaman sosial; feminis postkolonial, perempuan dianggap sebagai memikul beban ganda, laki-laki penjajah dan pribumi, dan ekofeminisme, yaitu dengan memperhatikan keterjalinan semua bentuk penindasan.[3]
Perspektif dalam teori feminisme
suntingFeminisme liberal berfokus pada pencapaian kesetaraan gender melalui reformasi hukum dan politik. Pendukung feminisme liberal percaya bahwa dengan menghapus diskriminasi hukum dan memberikan kesempatan yang sama, perempuan dapat mencapai kesetaraan dengan laki-laki.
Mary Wollstonecraft dan John Stuart Mill adalah beberapa tokoh awal dari perspektif ini. Mereka berargumen bahwa perempuan harus memiliki hak yang sama dalam pendidikan dan pekerjaan untuk mencapai potensi penuh mereka. Feminisme liberal terus memperjuangkan hak-hak yang sama di berbagai bidang, termasuk hak-hak politik, kesempatan ekonomi, dan akses ke pendidikan.
Feminisme radikal melihat patriarki sebagai sistem kekuasaan utama yang menindas perempuan dan menekankan perlunya perubahan mendasar dalam struktur sosial dan ekonomi. Feminisme radikal mengkritik tidak hanya hukum dan kebijakan, tetapi juga norma-norma budaya dan institusi yang mendukung dominasi laki-laki.
Tokoh-tokoh seperti Andrea Dworkin dan Catharine MacKinnon telah berkontribusi banyak dalam feminisme radikal. Mereka menekankan pentingnya memahami kekerasan seksual, pornografi, dan objektifikasi perempuan sebagai alat-alat kontrol patriarki. Feminisme radikal menyerukan perubahan radikal dalam cara masyarakat memahami dan memperlakukan perempuan.
Feminisme Marxis dan Sosialis menggabungkan analisis gender dengan analisis kelas, menekankan bahwa kapitalisme dan patriarki saling memperkuat dalam menindas perempuan. Feminisme Marxis berpendapat bahwa pembebasan perempuan hanya dapat dicapai melalui penghapusan kapitalisme dan penciptaan masyarakat sosialis.
Feminisme sosialis menekankan pentingnya mengatasi penindasan kelas dan gender secara bersamaan. Tokoh-tokoh seperti Clara Zetkin dan Alexandra Kollontai berargumen bahwa perempuan pekerja menghadapi eksploitasi ganda – sebagai pekerja di pasar tenaga kerja dan sebagai pekerja tanpa bayaran di rumah tangga. Mereka memperjuangkan perubahan sistemik yang akan menghapus ketidaksetaraan ekonomi dan gender.
Feminisme postkolonial menyoroti bagaimana kolonialisme dan imperialisme mempengaruhi perempuan di berbagai belahan dunia, terutama di negara-negara berkembang. Pendukung feminisme postkolonial berargumen bahwa analisis feminis harus mempertimbangkan dampak dari sejarah kolonialisme dan struktur kekuasaan global.
Tokoh-tokoh seperti Chandra Talpade Mohanty dan Gayatri Chakravorty Spivak telah menulis secara ekstensif tentang bagaimana perempuan di negara-negara pascakolonial mengalami penindasan yang berlapis-lapis. Mereka menekankan pentingnya mendengarkan suara-suara perempuan dari Global South dan mengakui keragaman pengalaman dan perjuangan mereka.
Feminisme interseksional adalah pendekatan yang menekankan bahwa penindasan tidak dapat dipahami hanya berdasarkan satu kategori identitas (seperti gender), tetapi harus dilihat sebagai interaksi antara berbagai kategori seperti ras, kelas, orientasi seksual, dan lainnya. Konsep ini pertama kali diperkenalkan oleh Kimberlé Crenshaw pada akhir 1980-an.
Pendekatan interseksional mengakui bahwa pengalaman penindasan berbeda bagi setiap individu tergantung pada kombinasi unik dari identitas mereka. Misalnya, pengalaman seorang perempuan kulit hitam mungkin berbeda secara signifikan dari pengalaman seorang perempuan kulit putih karena interaksi antara rasisme dan seksisme.
Ekofeminisme menghubungkan penindasan perempuan dengan eksploitasi alam, berargumen bahwa sistem patriarki yang sama yang menindas perempuan juga merusak lingkungan. Ekofeminisme menekankan pentingnya hubungan yang harmonis antara manusia dan alam, serta keadilan lingkungan sebagai bagian dari perjuangan feminis.
Referensi
sunting- ^ Hidayati, Nuril (2018). "TEORI FEMINISME: SEJARAH, PERKEMBANGAN DAN RELEVANSINYA DENGAN KAJIAN KEISLAMAN KONTEMPORER". Jurnal Harkat. 14 ((1)): 21–29.
- ^ Thurfa Ilaa, Dhiyaa (2021). "Feminisme dan Kebebasan Perempuan Indonesia dalam Filosofi". Jurnal Filsafat Indonesia. 4 (3).
- ^ Wiyatmi (2012). Kritik Sastra Feminis: Teori dan Aplikasinya dalam karya sastra Indonesia (PDF). Yogyakarta: Penerbit Ombak (Anggota IKAPI). ISBN 978-602-7544-48-2.