Suku Muna
Orang Muna adalah masyarakat Suku Bangsa Muna, yang mendiami seluruh Pulau Muna, dan pulau-pulau kecil disekitarnya, serta sebagian besar Pulau Buton khususnya bagian Utara, Utara Timur Laut, selatan dan Barat Daya Pulau Buton, Pulau Siompu, Pulau Kadatua dan Kepulauan Talaga ( wilayah administrasi Kabupaten Buton Selatan dan Buton Tengah) Sulawesi Tenggara. Menurut Sarasin bersaudara dan Bernhard Hagen , Orang Muna yang mereka sebut sebagai Tomuna merupakan penghuni pertama Kepulauan Muna bahkan termasuk penghuni pertama Kepulauan Nusantara. Baik Sarasin maupun Bernhard berpendapat bahwa Tomuna di Pulau Muna dan Tokea di Sulawesi Bagian Tenggara ( Konawe Utara saat ini ) bersama Toala di Sulawesi Selatan dan Orang Kubu di Sumatra, adalah migrant dari benua Afrika melalui Saylon yang masuk di Nusantara sekitar 60.000 – 50.000 SM.
Orang Muna mulai mendiami Pulau Muna sejak zaman purba tepatnya sekitar era mesolitikum ( 50.000 SM ). Namun Orang Muna saat ini bukanlah asli dari keturunan migrant yang pertama kali ( 60.000 – 50.000 SM ), tetapi telah terjadi percampuran dengan ras Austronesia –yang datang pada era berikutnya ( 7.000- 5.000 SM ) dan ras Melanosoid ( Doutro Melayu & Protto Melayu) serta Mongoloid yang datang sekira 4000 – 2000 tahun SM. . Asumsi penulis ini didasarkan pada fakta dimana Bahasa Muna merupakan lingua franca Orang Muna masih satu rumpun Bahasa Austronesia ( Rene Van Deberg , 2006 ; 115 ).
Herawati,seorang peneliti dari lembaga penelitian Eijkman berhipotesa bahwa penyebaran penutur Austronesia di Nusantara terjadi sekitar 5.000 hingga 7.000 SM ke arah selatan. Berdasarkan hipotesa Herawati tersebut maka dapat dipastikan Orang Indonesia yang bahasanya masih satu rumpun dengan bahasa Austronesia dalam hal ini termasuk Orang Muna saat ini yang menggunakan Bahasa Muna yang masih serumpun dengn bahasa Austronesia adalah percampuran ras Weddoid ( migran pertama 60 – 50 ribu SM ) dan ras austronesia yang mulai menghuni Kepuluan Nusantara sekitar 7.000 – 5.000 SM.
Arkeolog dari Pusat Penelitian Arkeologi Nasional, Harry Truman Simanjuntak, mengatakan, keberagaman manusia Indonesia dipengaruhi gelombang kedatangan dan jalur perjalanan yang berbeda walaupun asal- usulnya tetap satu, yaitu dari Afrika (out of Africa). Pendapat Harry Truman tersebut dikuatkan oleh hasil penelitian yang dilakukan oleh Herawati Sudoyo. Dalam studi genetika terbaru menunjukkan bahwa, genetika manusia Indonesia saat ini kebanyakan adalah campuran, berasal dari dua atau lebih populasi moyang. Secara gradual, presentasi genetikan Austronesia lebih dominan di bagian timur Indonesi
H. Anwar Hafid mengutip Razake mengungkapkan bahwa orang muna banyak memiliki persamaan dengan ras Austro-Melanesoid (Razake, 1989 dalam H. Anwar Hafid, 2013). Di Nusantara, Orang Muna memiliki kesamaan dengan penduduk di Kepulauan Banggai (Sulteng) dan suku-suku di Nusa Tenggara Timur ( NTT ) dan Kepulauan Maluku. Kesamaan itu dapat di identifikasi dari bentuk tubuh, tengkorak, warna kulit (coklat tua/hitam), dan rambut (keriting/ikal).
Hal ini semakin diperkuat dengan kedekatan tipikal manusianya dan kebudayaan dari suku-suku di Nusa Tenggara Timur dan di Kepulauan Banggai serta Maluku.. Masih menurut Hafid, ras Austro-Melanosoid ini merupakan kelompok migrant terakhir yang datang di Kepulauan Sulawesi Tenggara dan merupakan nenek moyang masyarakat di kepulauan tersebut.
Motif sarung tenunan di NTT, Kepulaun Banggai dan Muna memiliki kemiripan yaitu garis-garis horisontal dengan warna-warna dasar seperti kuning, hijau, merah, dan hitam dan bentuk ikat kepala juga memiliki kemiripan satu sama lain serta memiliki nama yang sama yakni ‘ Kampurui ‘. Demikian juga dengan bahasa, antara bahasa di daerah NTT, Maluku dan Muna banyak memiliki kesamaan. Dalam hal makanan pokok serta kebiasaan dalam bercocok tanam dan lain-lain, antara Orang Muna dengan masyarakat di NTT serta Maluku juga memiliki banyak kesamaan. Banyaknya kesamaan tersebut semakin memperkuat keyakinan penulis, bahwa penduduk di daerah-daerah tersebut benar memiliki kesamaan ras dengan Orang Muna.
Orang Muna juga memiliki kemiripan fisik dengan suku Aborigin di Australia. Sejak dahulu hingga sekarang nelayan-nelayan muna, khususnya di Pulau Siompu, Kadatua dan Kepulauan Talaga sering mencari ikan atau teripang hingga ke perairan Darwin. Hal ini membuktikan adanya hubungan antara Orang Muna dengan Orang Aborigin di Australian. Telah beberapa kali Nelayan Muna ditangkap di perairan ini oleh pemerintah Australia. Kebiasaan ini boleh jadi menunjukkan adanya hubungan tradisional antara Orang Muna dengan suku asli Australia Aborigin.
La Kimi Batoa dalam bukunya ‘Sejarah Kerajaan Muna’ terbitan Jaya Press Raha ( 1993 ) mengatakan bahwa penduduk asli Pulau Muna adalah O Tomuna dan Batuawu. O Tomuna memiliki ciri-ciri berkulit hitam, rambut ikal tinggi badan antara 160- 165 Cm. Ciri-ciri ini merupakan ciri-ciri umum suku-suku malanesia dan Aborigin di Australia .Suku-suku di Indonesia yang memiliki ciri-ciri seperti ini mendiami wilayah Irian,.
Sedadangkan Batuawu berkulit Coklat berambut ikal dan tinggi tubuh berkisar 150-160 Cm. Postur tubuh seperti ini merupakan ciri-ciri yang dimiliki suku-suku Polynesia yang mendiami Pulau Flores dan Maluku. Sisa-sisa Orang Batuawu di Pulau Muna saat ini sebgian telah di mukimkan di Desa Nihi Kecamatan Sawerigading wilayah administrasi Kabupaten Muna Barat. Sedangkan sebagian lainnya masih hidup di dalam gua-gua di dalam hutan di wilayah Punto, Desa Lagadi Kecamatan Lawa Muna Barat.
Idris Bolopari seorang tokoh masyarakat Muna ( Wawacara, 2015 ), mengatakan penghuni Pulau Muna pertama kali adalah ras Negroit yang datang dari Daratan Tinggi Golan Afrik. Sayagnya Indris Bolopari tidak menjelaskan secara pasti kapan ras Negroit itu datang ke Pulau Muna. Masih menurut Idris Bolopari, mereka itulah penghuni gua-gua di Pulau Muna. Manusia dengan ras negroit yang digambarkan Idris Bolopari ini besar kemungkinan merupakan penduduk asli Pulau Muna seperti yang digambarkan oleh Sarasin bersaudara, Hargen dan La Kimi Batoa yang dikenal dengan O Tomuna. Siasa – sisa sejarah peradaban ras Negroid tersebut dapat di lihat pada lukisan dinding- dinding gua yang tersebar di daerah Kawuna-wuna ( Kopleks Liangkobori ). Lukisan-lukisan pra sejarah yang ada di Kompleks Gua Liangkobhori tersebut menurut Koasi telah berusia diatas 25.000 tahun.
Upacara Karia
Pada Masyarakat Muna terdapat upacara lingkaran hidup dalam kehidupan individunya, yang dimulai dari upacara kelahiran sampai sampai pada upacara kematian. Untuk melaksanaka upacara tersebut seorang individu harus melalui tahap-tahap. Salah satu tahap tersebut adalah tahap peralihan masa kanak-kanak kemasa dewasa khususnya wanita ada upacara yang mereka sebut upacara Karia.
Upacara karia merupakan upacara yang sangat penting dalam rangka upacara-upacara adat disepanjang hidup individu pada masyarakat Muna. Upacara karia merupakan upacara inisiasi yang dilakukan kepada setiap wanita yang memasuki usia dewasa. Menurut pemahaman Masyarakat Muna, bahwa seorang wanita tidak boleh menikah jika belum melalui proses upacara Karia. Jika dilanggar, akan merasa tersisih dan akan dikucilkan dalam masyarakatnya.
Tradisi Kasambu
Tradisi Kasambu merupakan tradisi turun temurun yang diadakan oleh masyarakat suku Muna, Sulawesi Tenggara. Tradisi ini merupakan bentuk syukuran terhadap kesalamatan seorang Istri yang akan melahirakan anaknya. Tradisi ini biasa diadakan menjelang kelahiran, biasanya pada bulan ke-7 atau bulan ke-8. Prosesi kasambu dimulai dengan kedua pasangan suami -istri saling menyuapi. Sekali menyuap harus dimakan satu kali atau dihabisi, bila tidak maka sisanya diberikan kepada anak disekitarnya yang telah dipersiapkan. Anak yang dipersiapkan ini diambil dari keluarga dekat. Pekerjaan menyuapi kemudian dilanjutkan oleh anggota keluarga lain kepada pasangan tersebut. Makna lahiryah prosesi ini, yaitu menyatukan kedua keluarga pihak suami dan istri, sedangkan makna batinyah merupakan wahana perkenalan bagi si janin terhadap lingkungan keluarga kelak ia akan dilahirkan. Tradisi ini ditutup dengan pembacaan doa selamat yang dipimpin oleh seorang pejabat agama setempat/pemuka agama/imam.
Rujukan
- Paul & Frizt Sarasin ( 1905 ),
- Bernhard Hagen (1908 ) Die Orang Kubu auf Sumatra
- Ligtvoet ( 1877 ) beschrijving en geschiedenis van boeton
- Herawati ( 2017) Lembaga Penelitian Eikjman: Tempo.com
- Rene Van Deberg ( 2001 ) Sejarah Dan Kebudyaan Kerajaan Muna : Arta Wacana Press, Kupang
- Tony Herdijansah dkk ( 2011 ) Kesepakatan Tanah Wolio
- https://www.sil.org/resources/archives/37679
- Susanto Zuhdi ( 1987 ) Kerajaan Tradisional Sulawesi Tenggara : Kesultanan Buton, Departemen Pendidikan Dan Kebudayaan Repoblik Indonesia
- Susnto Zuhi ( 1978 ) Sejarah Pergerakan Nasional Daerh Sulawesi Tenggara : Departemen Pendidikan Nasional RI
- La Kimi Batoa ( 1993 ) Sejarah Kerajaan Muna
- Yabu M.- eksistensi lukisan prasejarah pada situs liang kabori kabupaten muna sulawesi tenggara : Fakultas Seni dan Desain Universitas Negeri Makassar
- L.M Tanzilu ( 1998 ) Sejarah Terbentuknya Negeri Muna dan Negeri Buton
- (Indonesia) "Mengenal Suku Muna (Sulawesi Tenggara)". Diarsipkan dari versi asli (HTML) tanggal 2012-05-10. Diakses tanggal 2012-06-18.