Suku Arfak

suku bangsa di Indonesia

Suku Arfak adalah orang-orang yang tinggal di Pegunungan Arfak yang masuk ke dalam wilayah Provinsi Papua Barat. Sementara, Provinsi Papua Barat adalah bagian dari wilayah Bangsa Indonesia yang berada di bagian Kepala Burung Pulau Papua. Kawasan tempat tinggal Suku Arfak masuk ke dalam wilayah Kabupaten Pegunungan Arfak yang berada di Pegunungan Arfak berketinggian 2.950 mdpl. Disebut Suku Arfak karena mereka tinggal di kawasan Pegunungan Arfak tersebut. kawasan ini berbatasan dengan Kabupaten Manokwari di sisi utara, sedangkan di sisi timur berbatasan dengan Kabupaten Manokwari Selatan. Sisi selatan berbatasan dengan Kabupaten Teluk Bintuni, kemudian sisi barat berbatasan dengan Kabupaten Sorong Selatan.

Suku Arfak
Tari Magasa suku Arfak
Jumlah populasi
setidaknya 70.000-100.000 jiwa
Daerah dengan populasi signifikan
 Indonesia (Sensus 2010)100.000[1]
Kabupaten Pegunungan Arfak-+ 40.000
Kabupaten Manokwari-+ 40.000
Kabupaten Manokwari Selatan-+ 20.000
Bahasa
Arfak (Hattam, Meyah, Moile, Sougb), Indonesia
Agama
Mayoritas :Kristen
Kelompok etnik terkait
Hatam • Meyah • Moile • Sougb
Kawasan Pegunungan Arfak di Papua Barat.

Suku Arfak tinggal di sebuah kawasan yang berpotensi sebagai tempat wisata karena Kabupaten Pegunungan Arfak memiliki danau Anggi. Ada wisata kuliner yang berupa makanan khas Suku Arfak, serta potensi kearifan lokal seperti hidup bersama dengan Suku Arfak untuk merasakan potensi lokal seperti cara bertani, cara membuat rumah khas Suku Arfak, sampai dengan cara bertahan hidup di tengah hutan. Kabupaten Pagaf dapat dijangkau melalui dua jalur utama. Jalur pertama menuju Pegunungan Arfak dan Kabupaten Pegaf bisa melewati jalur Kabupaten Manokwari. Jalur kedua adalah melewati Kabupaten Manokwari Selatan (Mansel).[2]

Etimologi

Kata arfak berasal dari arfk dalam bahasa Biak, berarti 'orang yang tidur di atas api', karena suku Arfak meletakkan bara api dibawah Rumah kaki seribu untuk menghangatkan rumah.[3]

Sub suku

Menurut Koentjaraningrat, penduduk yang tinggal di pegunungan Arfak secara umum memang disebut dengan suku Arfak, tetapi secara khusus mereka terdiri atas empat suku bangsa yang hampir sama kebudayaannya. Keempat suku tersebut adalah suku Hattam, suku Meyakh, suku Souk, dan suku Moile. Suku-suku tersebut menggunakan bahasa yang berbeda-beda, sehingga mereka tidak dapat saling berkomunikasi dengan bahasa mereka masing-masing.

Suku-suku itu telah menghuni kawasan pegunungan Arfak dengan pembagian wilayah yang jelas. Suku Hattam yang menjadi penghuni terbesar kawasan pegunungan Arfak bagian selatan mendiami Distrik Oransbari dan Distrik Ransiki, suku Meyakh – sering disebut dengan “orang Arfak asli” – mendiami bagian timur pegunungan Arfak atau Distrik Warmere dan Distrik Prafi, suku Moile mendiami bagian barat pegunungan Arfak atau Distrik Minyambouw, serta suku Sough yang mendiami bagian utara pegunungan Arfak atau Distrik Anggi.

Kebudayaan Suku Arfak

 
Tari Tumbu Tanah yang juga dikenal dengan tarian ular, tarian orang Arfak

Sementara dalam hal gaya hidup, suku Arfak adalah suku yang bangga dengan Identitas Kesukuan. Bila orang Arfak keluar dari daerahnya, mereka tidak segan mengaku sebagai bagian dari suku besar Suku Arfak. Dari segi bahasa, Suku Arfak yang memiliki empat sub anak suku memiliki bahasa yang berbeda, kecuali Suku Hatam dan Moilei masih memiliki kemiripan penggunaan tata bahasa dengan Suku Arfak induknya.. Senjata Suku Arfak dan empat suku anaknya sama yakni panah dan parang. Busur dan panah adalah salah satu paket senjata lengkap bagi Suku Arfak. Busur dan Anak Panah lengkap ini disebut Inyomus oleh Suku Sough. Sedangkan di Kampung Irai disebut dengan Inyomusi. Pemilik ilmu hitam di antara Suku Arfak disebut Suwanggi, ini juga merupakan bagi seseorang yang berprofesi sebagai pembunuh bayaran yang menggunakan ilmu hitam berbau mistIs. Suku Sougb menyebutnya Surer.[4]

Suku Arfak memiliki seni tari khas yakni Tari Tumbuk. Tarian ini juga dikenal dan ditarikan oleh semua suku yang tinggal di kawasan Pegunungan Pegaf. Ada dua jenis penamaan tari ini berdasarkan tempat pertunjukannya, jika tarian ini ditarikan di jalan tarian akan bernama Tari Tambuk Tanah, sedangkan jika ditarikan di sekitar rumah maka disebut dengan Tari Tambuk Rumah. Tarian ini diiringi dengan syair yang bercerita tentang tanaman, cara berkebun, sejarah Suku Arfak mulai dari kepercayaan hingga peperangan yang pernah terjadi. Pertama, Tari Magasa, yang disebut tari magasa yang mana bagi orang luar tarian ini lebih dipahami sebagai tari ular. Julukan tersebut merujuk kepada formasi dan bentuk tarian yang meliuk-liuk seperti ular dengan gerakan mengikuti lagu syair yang nyanyikan. Tari Magasa ditampilkan hanya ketika upacara perkawinan, menjelang masa panen raya, dan menyambut tamu penting. Tarian ini ditarikan secara berpasangan antara pria dan wanita sambil bergandengan tangan, kadang ada gerakan saling menghimpit, ada lompatan, dan hentakan ke tanah seiring dengan lagu yang dinyanyikan. Tari Magasa bercerita tentang hubungan romantis dalam rumah tangga, kepahlawanan, sampai dengan menceritakan keindahan alam. Kedua, Tari Buah Merah yang dipentaskan hanya oleh pemuda Arfak. Tarian ini menggambarkan keindahan Papua yang eksotik, yang harus dijaga, dan dilestarikan.[5]

Marga dan Bahasa Suku Arfak

Dari sisi, marga dan bahasa, Suku Arfak memiliki empat sub suku yang mana masing-masing dipimpin oleh seorang kepala suku. Dari setiap sub suku memiliki marga dan bahasa masing-masing. Suku Moile memiliki beberapa marga yaitu marga Kowi, Saiba, Mandacan, Sayori, Ullo, Ayok, Indow, Wonggor, dan masih ada beberapa sebutan lainnya. Setiap marga menggunakan kode bahasa yang berbeda-beda. Suku Arfak dikenal sebagai pemburu yang lihai di antara suku-suku lainnya. Selain lihai berburu, mereka juga lihai dalam meracik tanaman obat. Dapat dikatakan bahwa mereka lihai dalam pengobatan tradisional di daerah Pegunungan Arfak dan Rumah Adat Suku Arfak disebut dengan rumah adat kaki seribu.[5]

Rumah Kaki Seribu

rumah adat ini memiliki dinding yang terbuat dari kayu dan atapnya terbuat dari daun pandan, serta bambu atau belahan nibung sebagai lantainya. Dalam bahasa Meyah rumah adat ini disebut juga dengan mod aki aksa, igmam dalam bahasa Hattam, tu misen dalam bahasa Sougb.[6] Rumah adat suku Arfak tidak hanya sebagai tempat tinggal melainkan juga tempat di mana pesta adat juga kerap diselenggarakan. Rumah adat Suku Arfak memiliki dua bagian, bagian atas sebagai tempat tinggal dan untuk menyelenggarakan kegiatan rumah tangga lainnya, sedangkan bagian bawah yang cukup luas sebagai tempat beternak dan menyimpan kayu bakar.[5]

Referensi

  1. ^ Kewarganegaraan, Suku Bangsa, Agama dan Bahasa Sehari-hari Penduduk Indonesia Hasil Sensus Penduduk 2010. Badan Pusat Statistik. 2011. ISBN 9789790644175. Diakses tanggal 27 Agustus 2012. 
  2. ^ "Pesona Alam dan Keunikan Masyarakat Pegunungan Arfak Papua Barat". travelnatic.com. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2023-01-23. Diakses tanggal 20 Oktober 2021. 
  3. ^ Hapsari, Windy (2016). "Iwim (Tato) Orang Hatam di Kabupaten Manokwari". Jurnal Penelitian Sejarah Dan Nilai Tradisional. 23 (1). ISSN 2615-3483. [pranala nonaktif permanen]
  4. ^ "Mengenal Suku-Suku Pegunungan Papua Barat". detikcom. Diakses tanggal 20 Oktober 2021. 
  5. ^ a b c "Kebudayaan Suku Arfak". ilmuseni.com. Diakses tanggal 20 Oktober 2021. 
  6. ^ "Mod Aki Aksa/Igkojei/Rumah Kaki Seribu, Warisan Budaya Takbenda Indonesia 2016". Direktorat Warisan dan Diplomasi Budaya. 2016-12-10. Diakses tanggal 2023-04-29. 

Daftar pustaka

Buku

  • Kondologit, Enrico Yory; Sawaki, Andi Thompson (2016). Tarian Tumbu Tanah (Tari Tradisional Masyarakat Arfak di Kabupaten Arfak, Provinsi Papua Barat). Yogyakarta: Balai Pelestarian Nilai Budaya Papua dan Amara Books. ISBN 978-602-6525-10-9. 
  • Frank, Simon Abdi K. (2012). Arsitektur Tradisional Suku Arfak di Manokwari. Jayapura: Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, Balai Pelestarian Nilai Budaya Jayapura, Papua Kerjasama dengan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, Pusat Studi Kawasan Pedesaan, Universitas Cenderawasih, Jayapura, Papua. ISBN 978-602-7980-01-3. 
  • Koentjaraningrat, dkk (1994). Irian Jaya: Membangun Masyarakat Majemuk. Jakarta: Penerbit Djambatan. ISBN 978-979-4281-70-3. 
  • Assa, Veibe Ribka; Hapsari, Windy (2015). Peranan Perempuan Hattam dalam Beberapa Aspek. Yogyakarta: Balai Pelestarian Nilai Budaya Papua dan Kepel Press. ISBN 978-602-3560-62-2. 

Jurnal ilmiah

Pranala luar