Selametan
Selamatan atau slametan dalam bahasa Jawa adalah sebuah tradisi ritual yang dilakukan oleh masyarakat Jawa. Selamatan juga dilakukan oleh masyarakat Sunda dan Madura. Selamatan adalah suatu bentuk acara syukuran dengan mengundang beberapa kerabat atau tetangga. Secara tradisional, acara syukuran dimulai dengan doa bersama dengan duduk bersila di atas tikar melingkari nasi tumpeng dengan lauk pauk.[1]
Praktik upacara selamatan sebagaimana yang diungkapkan oleh Hildred Geertz tersebut pada umumnya dianut oleh kaum Islam Abangan, sedangkan bagi kaum Islam Putihan (santri) praktik selametan tersebut tidak sepenuhnya dapat diterima, kecuali dengan membuang unsur-unsur syirik yang menyolok seperti sebutan dewa-dewa dan roh-roh. Oleh karena itu, bagi kaum santri, selamatan adalah upacara doa bersama dengan seorang pemimpin atau modin yang kemudian diteruskan dengan makan-makan bersama sekadarnya dengan tujuan untuk mendapatkan keselamatan dan perlindungan dari Allah Yang Maha Kuasa.[2]
Selamatan dilakukan untuk merayakan hampir semua kejadian, termasuk kelahiran, kematian, pernikahan, pindah rumah, dan sebagainya. Geertz mengkategorikan mereka ke dalam empat jenis utama:
- Yang berkaitan dengan kehidupan: kelahiran, khitanan, pernikahan, dan kematian
- Yang terkait dengan peristiwa perayaan Islam
- Bersih desa ("pembersihan desa"), berkaitan dengan integrasi sosial desa.
- Kejadian yang tidak biasa misalnya berangkat untuk perjalanan panjang, pindah rumah, mengubah nama, kesembuhan penyakit, kesembuhan akan pengaruh sihir, dan sebagainya.
Asal kata
suntingSlametan berasal dari kata slamet (Arab: salamah) yang berarti 'selamat, bahagia, sentausa'. Selamat dapat dimaknai sebagai keadaan lepas dari insiden-insiden yang tidak dikehendaki. Sementara itu, Clifford Geertz slamet berarti ora ana apa-apa (tidak ada apa-apa)
Upacara slametan merupakan salah satu tradisi yang dianggap dapat menjauhkan diri dari mala petaka. Slametan adalah konsep universal yang di setiap tempat pasti ada dengan nama yang berbeda. Hal ini karena kesadaran akan diri yang lemah di hadapan kekuatan-kekuatan di luar diri manusia.
Esensi
suntingMenurut Endraswara dalam buku berjudul Agama Jawa: Ajaran, Amalan, dan Asal-Usul Kejawen, slametan di Jawa merupakan wujud bakti masyarakat yang disebut dengan pangastuti atau abon-aboning panembah. Pangastuti merupakan bagian dari wujud ketaatan terhadap Tuhan, sedangkan abon-aboning panembah jati merupakan tradisi kelahiran, hidup, dan kematian masyarakat. Kelahiran, perkawinan, dan kematian adalah masa transisi perputaran hidup masyarakat Jawa. Slametan dalam konteks ini berfungsi untuk menemukan keharmonisan dan ketenteraman dunia yang dalam keyakinan masyarakat Jawa merupakan cermin realitas supranatural.
Rujukan
sunting- ^ "Upacara selamatan". 8 August 2012.
- ^ "Unsur dalam Upacara selamatan". 8 August 2012.
Referensi
sunting- H.Th. Fischer, Pengantar Anthropologi Kebudayaan Indonesia, terj. Anas Makruf (Jakarta: Pustaka Sardjana, 1953)
- Koentjaraningrat, Kebudayaan Jawa (Jakarta: Balai Pustaka, 1984)
- Geertz, Clifford. The Religion of Java . Glencoe, IL: The Free Press, 1960.