Salawat dulang atau salawat talam adalah salah satu sastra lisan Minangkabau yang bertema Islam berupa pertunjukkan dua orang membacakan hafalan teks diiringi tabuhan dulang, nampan kuningan berdiameter 65 cm.

Penampilan salawat dulang pada sebuah acara resmi

Penamaan

sunting

Salawat Talam adalah sebutan lain dari Salawat Dulang. Perbedaan penamaan itu hanya disebabkan oleh perbedaan dialek; bahwa dalam dialek Payakumbuh dan Pariaman, kata dulang disebut dengan talam. Di Payakumbuh ini, khususnya di daerah Koto Panjang, ada tukang salawat yang terdiri dari tiga orang tiap satu klub. Di Pariaman, Klub Salawat Talam dapat dijumpai di Toboh dan Kampung Dalam.[1]

Sejarah

sunting

Berdasarkan informasi dari mulut ke mulut, sejarah salawat dulang ini berawal dari banyaknya ahli agama Islam Minang yang belajar agama ke Aceh, di antaranya Syekh Burhanuddin. Ia kemudian kembali ke Minang dan menetap di Pariaman. Dari daerah itu, ajaran Islam menyebar ke seluruh wilayah MInangkabau. Saat berdakwah itu, Syekh Burhanuddin teringat pada kesenian Aceh yang fungsinya menghibur sekaligus menyampaikan dakwah, yaitu rebana. Syekh Burhanuddin pun kemudian mengambil talam atau dulang yang biasa digunakan untuk makan dan menabuhnya sambil mendendangkan syair-syair dakwah.[2]

Informasi lain menyebutkan bahwa salawat dulang ini berasal dari Tanah Datar. Di sini salawat dulang dikembangkan oleh kelompok Tarekat Syatariah sebagai salah satu cara untuk mendiskusikan pelajaran yang mereka terima. Oleh karena itu, pesannya cenderung berisi ajaran tasawuf.

Pertunjukan

sunting
 
Salawat dulang dimainkan oleh mahasiswa ISI Padangpanjang

Dalam pertunjukkan salawat dulang, dua pendendang duduk bersisian dan menabuh dulang bersamaan. Keduanya dapat berdendang bersamaan atau saling menyambung larik dalam syair.[3] Pendendang umumnya laki-laki. Namun, kini terdapat pula pendendang-pendendang perempuan meskipun belum begitu berterima di masyarakat Minangkabau sendiri.[4]

Penampilan salawat dulang berupa tanya jawab, saling serang, dan saling mempertahankan diri sehingga pendendang kadang dijuluki menurut nama-nama senjata, seperti "peluru kendali" dan "gas beracun" dan hanya bisa dilaksanakan bila pendendang berjumlah setidaknya dua orang.[3] Pembacaan hafalan teks berdurasi antara 25 hingga 40 menit, biasanya berisi tafsiran dari ayat Alquran atau hadits yang telah ditulis sebelumnya. Sesi pembacaan satu teks ini disebut salabuahan (disebut juga satanggak atau satunggak).[4]

Pertunjukkan salawat dulang dipertunjukkan pada hari-hari besar umat muslim seperti Maulid Nabi, Idul Fitri, dan Idul Adha atau pada upacara bernuansa agama seperti ketika menaiki rumah baru dan khatam al-Quran. Tempat penyelenggaraan salawat dulang biasanya merupakan tempat yang dipandang terhormat menurut nilai masyarakat Minangkabau, seperti surau atau masjid, atau tempat untuk tamu yang dihormati bila diadakan di rumah penduduk (terletak di bagian kiri dari pintu masuk utama).[4]

Referensi

sunting
  1. ^ Amir, Adriyetti. Dkk (2006). Pemetaan Sastra Lisan Minangkabau. Padang: Andalas University Press. hlm. 77. ISBN 979-1097-08-9. 
  2. ^ Eka,, Meigalia,. Salawat dulang : keberlanjutan dan pewarisannya. Padang. ISBN 9786028580892. OCLC 962337104. 
  3. ^ a b Amir, Zuriati & Anwar 2006, hlm. 53.
  4. ^ a b c Amir, Zuriati & Anwar 2006, hlm. 54.