Peradaban Sungai Kuning
Peradaban Sungai Kuning adalah pemukiman bangsa Tionghoa yang muncul di lembah Sungai Kuning.[1] Disebut kuning karena membawa lumpur berwarna kuning di sepanjang alirannya.[1] Sungai ini bersumber dari Pegunungan Kwen-Lun di Tibet dan mengalir melalui daerah Pegunungan Tiongkok Utara hingga membentuk dataran rendah dan bermuara di Teluk Tsii-Li, Laut Kuning.[1] Pada daerah lembah sungai yang subur ini lah kebudayaan bangsa Tionghoa dimulai.[1] Dalam sejarahnya, daerah tersebut sulit untuk ditinggali karena sering terjadinya pembekuan es saat musim dingin, dan ketika es mulai mencair akan terjadi banjir serta air bah.[1] Berbagai tantangan tersebut mendorong bangsa Tionghoa untuk berpikir dan mengatasinya dengan membangun tanggul raksasa di sepanjang sungai tersebut.[1]
Pertanian
suntingDi hilir Sungai Kuning, terdapat dataran rendah yang subur dan merupakan pusat kehidupan bangsa Tionghoa.[2] Masyarakat Tiongkok umumnya bercocok tanam gandum, padi, teh, jagung, dan kedelai.[2] Kegiatan pertanian ini sudah dikenal sejak zaman Neolitikum (±5000 SM) dan tanaman pangan utama yang ditanam adalah padi.[2] Pada zaman perunggu, prioritas pokok dalam pertanian rakyat Tiongkok adalah padi, teh, kedelai, dan rami.[2] Kegiatan pertanian mengalami kemajuan pesat dalam pemerintahan dinasti Qin (221-206 SM).[2] Pada masa itu, masyarakat Tiongkok telah menerapkan sistem pertanian yang intensif dengan penggunaan pupuk, irigasi yang baik, dan perluasan lahan gandum.[2]
Filsafat
suntingPada masa pemerintahan Dinasti Chou, filsafat Tiongkok berkembang dengan pesat karena lahirnya tiga ahli filsafat Tiongkok, yaitu Lao Zi, Kong Fu Zi (Kong Hu Cu), dan Mengzi.[3] Lao Zi menuliskan ajarannya dalam buku berjudul Tao Te Ching.[3] Dia menjunjung tinggi semangat keadilan dan kesejahteraan yang kekal dan abadi yang dinamakan Tao.[3] Ajaran Lao Zi disebut Taoisme dan mengajarkan manusia untuk menerima nasib.[3] Ajaran Kong Fu Zi juga berdasarkan pada Taoisme.[3] Menurut Kong Fu Zi, Tao adalah kekuatan yang mengatur alam semesta ini hingga tercapai keselarasan.[3] Penganut ajaran Taoisme meyakini bahwa bencana yang terjadi di muka bumi merupakan akibat dari ketidakpatuhan manusia pada aturan Tao.[3] Ajaran Kong Fu Zi yang mencakup bidang pemerintahan dan keluarga telah memberikan pengaruh yang begitu besar bagi masyarakat Tionghoa karena memengaruhi cara berpikir dan sikap hidup sebagian besar bangsa Tiongkok.[3] Menurut Kong Fu Zi, masyarakat terdiri dari keluarga dan dalam keluarga seorang bapak merupakan pusatnya.[3] Oleh karena itu raja harus memerintah dengan baik dan bijaksana serta rakyat harus hormat dan taat pada raja seperti hubungan bapak dan anak yang seharusnya.[3] Lain halnya dengan Kong Fu Zi, Meng Zi yang merupakan murid Kong Fu Zi mengajarkan pengetahuan kepada rakyat jelata dan menurut ajarannya, rakyatlah yang terpenting dalam suatu negara.[3]
Kebudayaan
suntingMasyarakat Tiongkok kuno telah mengenal tulisan sejak 1500 SM yang ditulis pada kulit penyu atau bambu.[4] Pada awalnya, huruf Tionghoa yang dibuat sangat sederhana yaitu satu lambang untuk satu pengertian. Pada masa pemerintahan Dinasti Han, seni sastra Tiongkok kuno berkembang pesat seiring dengan ditemukannya kertas.[4] Ajaran Lao Zi, Kong Fu Zi, dan Meng Zi banyak dibukukan baik oleh filsuf itu sendiri maupun para pengikutnya.[3] Pada masa pemerintahan Dinasti Tang, hidup dua orang pujangga terkemuka yang banyak menulis puisi kuno, yaitu Li Tai Po dan Tu Fu.[4] Selain berupa sastra, kebudayaan Tiongkok yang muncul dan berkembang di lembah Sungai Kuning adalah seni lukis, keramik, kuil, dan istana.[4] Perkembangan seni lukis terlihat dari banyaknya lukisan hasil karya tokoh ternama yang menghiasi istana dan kuil.[5] Lukisan yang dipajang umumnya berupa lukisan alam semesta, lukisan dewa-dewa, dan lukisan raja yang pernah memerintah.[5] Keramik Tiongkok merupakan hasil kebudayaan rakyat yang bernilai sangat tinggi dan menjadi salah satu komoditas perdagangan saat itu.[4] Rakyat Tiongkok menganggap bahwa kaisar atau raja merupakan penjelmaan dewa sehingga istana untuk sang raja dibangun dengan indah dan megah.[5] Hasil kebudayaan Tiongkok yang sangat terkenal hingga saat ini adalah Tembok Besar Tiongkok yang dibangun pada masa Dinasti Qin untuk menangkal serangan dari musuh di bagian utara Tiongkok.[6] Kaisar Qin Shi Huang menghubungkan dinding-dinding pertahanan yang telah dibangun tersebut menjadi tembok raksasa dengan sepanjang 7000 km.[6]
Kepercayaan
suntingSebelum ajaran Kong Fu Zi dan Meng Zi, bangsa Tiongkok menganut kepercayaan kepada dewa-dewa yang dianggap memiliki kekuatan alam.[4] Dewa-dewa yang menerima pemujaan tertinggi dari mereka adalah Feng-Pa (dewa angin), Lei-Shih (dewan angin topan yang digambarkan sebagai naga besar), T'sai-Shan (dewa penguasa bukit suci), dan Ho-Po.[4] Menurut kepercayaan Tiongkok kuno, dunia digambarkan sebagai sebuah segi empat yang di bagian atasnya ditutupi oleh 9 lapisan langit.[4] Di tengah-tengah dunia itulah terletak daerah yang didiami bangsa Tiongkok yang disebut T'ien-hsia. Daerah di luar T'ien-hsia dianggap sebagai daerah kosong tempat tinggal para hantu dan Dewi Pa (penguasa musim semi).[4]
Pemerintahan
suntingDalam kehidupan kenegaraan Tiongkok kuno, ada dua macam sistem pemerintahan yang dianut yaitu feodal dan unitaris.[7] Dalam sistem pemerintahan feodal, kaisar tidak menangani langsung urusan kenegaraan karena kedudukan kaisar bersifat sakral.[7] Kaisar dianggap sebagai utusan atau anak dewa langit sehingga tidak pantas mengurusi politik praktis.[7] Sedangkan pada sistem pemerintahan unitaris, kaisar berkuasa mutlak dalam pemerintahan sehingga kaisar berhak campur tangan dalam semua politik praktis.[7] Sejarah mencatat terdapat banyak dinasti yang membangun Tiongkok menjadi bangsa besar, di anataranya adalah Dinasti Shang, Dinasti Chou, Dinasti Qin, Dinasti Han, dan Dinasti Tang.[7] Dinasti Shang (Hsia) merupakan dinasti tertua di Tiongkok walaupun tidak banyak peninggalan tertulis mengenai dinasti ini.[7] Berdasarkan cerita rakyat Tiongkok kuno, pada masa ini telah berkembang sistem kepercayaan terhadap Dewa Shang-Ti.[7] Dinasti Chou adalah dinasti ketiga di Tiongkok dan pada masa ini diterapkan prinsip feodalisme dengan pembagian kekuasaan pemerintahan[8] Pemerintah pusat yang dipimpin kaisar dibagi menjadi daerah-daerah pemerintahan yang dipimpin oleh raja bawahan[8] Pada masa pemerintahan Dinasti Qin, sistem tersebut berubah karena Raja Cheng yang bergelar Qin Shi Huang membentuk Tiongkok menjadi negara kesatuan yang hanya diperintah oleh satu orang pemimpin.[8] Dalam pemerintahan Qin Shi Huang, dunia pendidikan dan ilmu pengetahuan Tiongkok berkembang.[8] Sayangnya saat dia meninggal terjadi kekacauan karena perebutan kekuasan yang pada akhirnya berhasil diatasi oleh Liu-Pa.[5] Liu-Pa mendirikan Dinasti Han yang mencapai kejayaannya pada masa pemerintahan Han Wudi.[5] Salah satu dinasti yang terpenting dalam sejarah Tiongkok adalah Dinasti Tang karena Tiongkok berhasil memperluas wilayah kekuasaannya, mencapai kejayaan dengan kehidupan masyarakat yang makmur dan sejahterah, serta berkembangan kesenian dan kebudayaan Tiongkok kuno.[5]
Ilmu pengetahuan dan teknologi
suntingMasyarakat Tiongkok Kuno memiliki banyak astronom yang dapat membantu masyarakat dalam pembuatan sistem penanggalan.[4] Berkembangan ilmu astronomi merupakan dasar dari berbagai aktivitas kehidupan bangsa Tiongkok karena sistem pertanian, pelayaran, dan usaha lainnya memerlukan informasi tentang pergantian dan perputaran musim.[4] Perkembangan teknologi masyarakat Tiongkok kuno terlihat dari pembuatan barang-barang perdagangan seperti barang tambang dan hasil olahannya berupa perabot rumah tangga, senjata, perhiasan, dan alat pertanian.[4] Tiongkok kaya akan barang tambang seperti batu bara, besi, timah, emas, wolfram, dan tembaga.[4]
Referensi
sunting- ^ a b c d e f Albert Hyma, Mary Stanton, Michael McHugh (1992). Streams of Civilization: Earliest Times to the Discovery of the New World. Christian Liberty Press. ISBN 978-1-930367-43-2.
- ^ a b c d e f Tuan, Yi-Fu (2008). A Historical Geography of China. Aldine Transaction. ISBN 978-0-202-36200-7.
- ^ a b c d e f g h i j k l (Inggris) Peter J. King (2004). One hundred philosophers: the life and work of the world's greatest thinkers. Quarto Publishing. ISBN 1-77022-001-1.
- ^ a b c d e f g h i j k l m I wayan Badrika (2004). Sejarah Nasional Indonesia dan Umum. Erlangga. ISBN 979-741-085-4.
- ^ a b c d e f (Inggris) Michael Sullivan (2000). The arts of China. University of California Press. ISBN 978-0-520-21876-5.
- ^ a b (Inggris) Julia Lovell (2007). The Great Wall: China Against the World, 1000 BC - AD 2000. Grove Press. ISBN 978-0-8021-4297-9.
- ^ a b c d e f g (Inggris) Wolfram Eberhard (2008). History of China. Routledge. ISBN 978-0-415-36148-4.
- ^ a b c d (Inggris) Qian Sima, Raymond Stanley Dawson, K. E. Brashier (2007). The first emperor: selections from the Historical records. Oxford University Press. ISBN 978-0-19-922634-4.