Niyāma

Hukum dalam Agama Buddha
(Dialihkan dari Niyama)

Dalam Buddhisme, Niyāma (bahasa Pāli) atau Lima Niyāma (Pāli: pañca-niyāma)—disebut juga Lima Hukum Alam atau Lima Hukum Tertib Kosmis (Pāli: pañca-niyāma-dhamma atau pañcavidha-niyāma)—adalah salah satu konsep aliran Theravāda mengenai hukum keteraturan yang bekerja di seluruh alam semesta.[1][2] Lima Niyāma tersebut adalah:

  1. utu-niyāma: keteraturan musim.
  2. bīja-niyāma: keteraturan benih atau bibit.
  3. kamma-niyāma: keteraturan kamma (perbuatan berkehendak).
  4. citta-niyāma: keteraturan kesadaran/pikiran.
  5. dhamma-niyāma: keteraturan dhamma (fenomena).
Buddha sebagai penemu Dhamma, bukan pencipta Dhamma.

Dalam agama Hindu, Niyāma (Sanskerta)—sangat berbeda dari pemaknaan Buddhisme—merujuk pada tugas religius atau ketaatan yang positif;[3] kegiatan dan kebiasaan yang direkomendasikan untuk hidup sehat, pencerahan spiritual, dan keadaan keberadaan yang terbebaskan.[4] Kata ini juga memiliki banyak arti tergantung pada konteksnya. Lima Niyāma dalam agama Hindu adalah:

  1. Shaucha (शौच): kemurnian eksternal (tubuh) dan internal (pikiran).[5][6]
  2. Santosha (सन्तोष): kepuasan; tidak tertarik pada perolehan lebih dari kebutuhan hidup seseorang.[7][6]
  3. Tapa (तपस्): penghematan, disiplin diri,[8] meditasi terus-menerus dan ketekunan.[9][10]
  4. Svādhyāya (स्वाध्याय): mempelajari kitab suci untuk pembebasan diri.[6]
  5. Īśvarapranidhāna (ईश्वरप्रणिधान): mempersembahkan seluruh aktivitas seseorang kepada Tuhan (Īśvara).[6]

Etimologi

sunting

Niyama (नियम) berasal dari akar bahasa Sanskerta niyam (नियम्) yang berarti "memegang". Dengan demikian, niyāma diterjemahkan menjadi “hukum”, “aturan”, “kepatuhan”, atau “praktik pengendalian diri”.[11][12][13]

Dalam Buddhisme, istilah ini spesifik digunakan untuk menjelaskan hukum-hukum alam yang mengatur alam semesta. Dalam Hinduisme, istilah ini utamanya digunakan untuk menjelaskan tugas-tugas religius.

Buddhisme

sunting

Kitab komentar Buddhisme aliran Theravāda dari abad ke-5 hingga ke-13 M memuat pañcavidha niyāma, lima Niyāma, dalam teks-teks berikut:

  • Dalam kitab Aṭṭhasālinī (272-274), komentar yang dikaitkan dengan Buddhaghosa untuk Dhammasaṅgaṇī, kitab pertama Abhidhamma Piṭaka aliran Theravāda;[14]
  • Dalam Sumaṅgala-Vilāsinī (DA 2.431), komentar Buddhaghosa mengenai Dīgha Nikāya;[15]
  • Dalam Abhidhammāvatāra (PTS hal. 54), ringkasan syair Abhidhamma karya Buddhadatta, bhikkhu sezaman Buddhaghosa.[16]
  • Komentar Internal Abhidhammamātika (hal. 58). Abhidhamma-mātika adalah sebuah matriks abstrak untuk Abhidhamma, dengan daftar pasangan dan rangkap tiga istilah yang darinya keseluruhan teks secara teoritis dapat direkonstruksi. Penggalan tentang Niyāma berasal dari komentar internal pada mātika yang terkait dengan Dhammasaṅgaṇī (niyāma tampaknya tidak disebutkan dalam matriks itu sendiri, tetapi hanya dalam lampiran ini); dan disusun di India Selatan oleh Coḷaraṭṭha Kassapa (abad ke-12-13).
  • Abhidhammāvatāra-purāṇatīkā (hal. 1.68). Disusun di Sri Lanka oleh Vācissara Mahāsāmi sekitar abad ke-13 atau Sāriputta sekitar abad ke-12. Kitab ini berisi komentar kata demi kata yang tidak lengkap atas teks Abhidhammāvatāra Nāmarūpa-parichedo (sebuah kitab ṭīka).

Buddhisme tidak membenarkan bahwa alam semesta diatur oleh sesosok dewa tertinggi atau Tuhan Yang Maha Kuasa. Niyāma merupakan hukum abadi impersonal yang bekerja tanpa pribadi pengatur tertinggi. Hukum ini bekerja sebagai hukum sebab akibat dan membuat segala sesuatu bergerak sebagaimana dinyatakan oleh ilmu pengetahuan modern, seperti ilmu fisika, kimia, biologi, astronomi, psikologi, dan sebagainya. Timbul tenggelamnya bulan, turunnya hujan, tumbuhnya tanaman, hingga berubahnya musim disebabkan oleh hukum ini.[17]

Diperkenalkannya istilah "pañca-niyāma" dalam kitab komentar bukan untuk menggambarkan bahwa alam semesta etis secara intrinsik, namun sebagai daftar yang menunjukkan cakupan universal paticca-samuppāda. Tujuan awalnya, menurut Ledi Sayadaw, bukanlah untuk meninggikan atau merendahkan hukum karma, namun untuk menunjukkan ruang lingkup Hukum Alam sebagai alternatif terhadap klaim teisme.[18]

Lima Niyāma dalam set ini adalah:

  1. utu-niyāma "keteraturan musim", yaitu berbunga dan berbuahnya pohon-pohon sekaligus (ekappahāreneva) di daerah-daerah tertentu di bumi pada periode-periode tertentu, bertiup atau berhentinya angin, derajat panas matahari, banyaknya curah hujan, beberapa bunga seperti bunga teratai mekar pada siang hari dan menutup pada malam hari, dan seterusnya;
  2. bīja-niyāma "keteraturan benih atau bibit", yaitu benih yang menghasilkan jenisnya sendiri seperti benih jelai yang menghasilkan jelai;
  3. kamma-niyāma "keteraturan kamma", yaitu perbuatan yang baik akan menghasilkan akibat yang baik dan perbuatan yang buruk akan menghasilkan akibat yang buruk. Keteraturan ini dicontohkan oleh syair Dhammapada ayat 127 yang menjelaskan bahwa akibat dari suatu perbuatan tidak dapat dihindari;
  4. citta-niyāma "keteraturan kesadaran/pikiran", yaitu urutan proses aktivitas-aktivitas pikiran sebagai momen-pikiran sebelumnya yang menyebabkan dan mengkondisikan momen-pikiran berikutnya dalam suatu hubungan sebab-akibat;
  5. dhamma-niyāma "keteraturan dhamma (fenomena)", yaitu peristiwa-peristiwa seperti guncangan sepuluh ribu sistem dunia pada saat Bodhisatta dikandung dalam rahim ibu-Nya dan pada saat kelahiran-Nya. Di akhir pembahasan syair kitab komentar Sumaṅgalavilāsinī, dijelaskan bahwa dhammaniyāma merupakan definisi untuk istilah dhammatā dalam teks Mahāpadāna Sutta (D ii.12) (Bdk. S 12.20 untuk pembahasan penggunaan kata dhammaniyamatā dalam sutta)

C.A.F. Rhys Davids adalah sarjana barat pertama yang tertarik pada daftar pañcavidha niyāma dalam bukunya tahun 1912, "Buddhism". Alasan Davids menjelaskan istilah "Niyāma" adalah untuk menekankan bahwa menurut ajaran Buddha, kita berada dalam sebuah "alam semesta moral", artinya suatu perbuatan membawa akibat yang adil sesuai dengan tatanan moral alami, sebuah situasi yang ia sebut sebagai "kosmodik" yang berbeda dengan teodisi Kristen.[19][20]

Dalam skema Rhys Davids, Niyāma dijabarkan menjadi:

  • kamma-niyāma: ("perbuatan") konsekuensi atas perbuatan seseorang
  • utu-niyāma: ("waktu, musim") perubahan musim dan iklim, hukum yang berurusan dengan benda mati
  • bīja-niyāma: ("benih") hukum keturunan
  • citta-niyāma: ("pikiran") kehendak pikiran
  • dhamma-niyāma: ("hukum") kecenderungan alam untuk menyempurnakan

Skema ini serupa dengan skema yang diajukan oleh Ledi Sayadaw.[21] Sangharakshita, seorang sarjana Buddhis Barat, menggunakan skema Niyāma dari Rhys David dan menjadikannya sebagai aspek penting dalam pengajarannya.[22]

Ashin Kheminda, seorang bhikkhu misionaris asal Indonesia, menjelaskan Niyāma dengan skema berikut:[23]

  1. utu-niyāma: hukum kepastian atau keteraturan musim yang mengatur kepastian pergantian musim dan perubahan-perubahan temperatur di alam semesta.
  2. bija-niyāma: hukum kepastian atau keteraturan biji yang mengatur kehidupan tumbuh-tumbuhan, yaitu biji-biji tertentu akan menghasilkan tanaman atau buah tertentu; buah-buah tertentu memiliki citarasa tertentu dan lain-lain.
  3. kamma-niyāma: hukum kepastian atau keteraturan perbuatan (kamma) yang memastikan bahwa kamma baik akan menghasilkan kebahagiaan, sedangkan kamma buruk akan menghasilkan penderitaan.
  4. citta-niyāma: hukum kepastian atau keteraturan kesadaran yang mengatur kepastian kemunculan dan kelenyapan kesadaran (citta).
  5. dhamma-niyāma: hukum kepastian atau keteraturan fenomena (dhamma) yang mengatur fenomena-fenomena lain yang tidak termasuk di empat hukum di atas, seperti kejadian bumi bergetar saat Bodhisatta Gotama lahir, pencapaian penerangan sempurna, munculnya gempa bumi saat kejadian parinibbāna Buddha.

Penafsiran lanjutan

sunting

Kamma sebagai asal mula makhluk

sunting

Pada Abhiṇhapaccavekkhitabbaṭhānasutta, Aṅguttara Nikāya 5.57, Buddha menyampaikan bahwa di antara kelima hukum alam tersebut, perbuatan (kamma) sebagaimana diatur oleh hukum kepastian perbuatan (kammaniyāma) bertindak sebagai properti, warisan, asal mula, keluarga, dan perlindungan suatu makhluk.[24]

... Sabbe sattā
kammassakā,
kammadāyādā,
kammayoni,
kammabandhu,
kammapaṭisaraṇā,
yaṁ kammaṁ karissanti—
kalyāṇaṁ vā pāpakaṁ vā—
tassa dāyādā bhavissantī’ti ...

... Semua makhluk
memiliki kamma sebagai properti mereka,
ahli waris dari kammanya sendiri,
memiliki kamma sebagai asal-mulanya,
memiliki kamma sebagai keluarganya,
memiliki kamma sebagai perlindungannya.
Apapun kamma yang mereka lakukan—
baik atau buruk—
mereka akan menjadi ahli waris dari kamma tersebut ...

Keterhubungan hukum-hukum

sunting

Setiap hukum tidak berjalan sendiri, artinya satu hukum dapat bekerja bersamaan dengan hukum-hukum lainnya. Oleh karena kamma didefinisikan sebagai kesadaran baik (kusalacitta) atau kesadaran buruk (akusalacitta) dengan eksistensi faktor-mental (cetasika) kehendak (cetanā), maka kamma-niyāma yang mengatur kepastian perbuatan juga melibatkan citta-niyāma yang mengatur kesadaran terciptanya perbuatan.

Manopubbaṅgamā
dhammā
manoseṭṭhā
manomayā;

Manasā ce paduṭṭhena bhāsati vā karoti vā;
Tato naṃ dukkhamanveti cakkaṃ'va vahato padaṃ.

Tiga agregat nonmateri (cetasika)
memiliki kesadaran (citta) sebagai pelopor,
memiliki kesadaran sebagai yang terkemuka (pemimpin),
dibuat oleh kesadaran.

Apabila dengan kesadaran yang kotor, seseorang berbicara atau berbuat;
Dari sana penderitaan mengikuti dia, seperti roda mengikuti kaki lembu.

Dengan begitu, Buddhisme tidak setuju bahwa suatu kejadian disebabkan hanya karena satu hal. Misalnya, ketika manusia sudah semakin jahat dan tidak menyayangi alam (diatur oleh kamma-niyāma), maka akan terjadi perubahan pada alam seperti perubahan suhu (diatur oleh utu-niyāma), tumbuhan mati (diatur oleh bija-niyāma), dan ketidaktenangan batin (diatur oleh citta-niyāma).

Hinduisme

sunting

Dalam agama Hindu, pemaknaan istilah Niyāma (bahasa Sanskerta: नियम) sangat berbeda dari pemaknaan Buddhisme. Niyāma merujuk pada tugas religius atau ketaatan yang positif.[3] Dalam Dharma yang diyakini Hindu, terutama Yoga, niyāma dan pelengkapnya, yāma, adalah kegiatan dan kebiasaan yang direkomendasikan untuk hidup sehat, pencerahan spiritual, dan keadaan keberadaan yang terbebaskan.[4]

Lima Niyāma

sunting

Dalam Sutra Yoga Patanjali, lima niyāma adalah:[25]

  1. Shaucha (शौच): kemurnian eksternal (tubuh) dan internal (pikiran).[5][6]
  2. Santosha (सन्तोष): kepuasan; tidak tertarik pada perolehan lebih dari kebutuhan hidup seseorang.[7][6]
  3. Tapa (तपस्): penghematan, disiplin diri,[8] meditasi terus-menerus dan ketekunan.[9][10]
  4. Svādhyāya (स्वाध्याय): mempelajari kitab suci untuk pembebasan diri.[6]
  5. Īśvarapranidhāna (ईश्वरप्रणिधान): mempersembahkan seluruh aktivitas seseorang kepada Tuhan (Īśvara).[6]

Sepuluh Niyāma

sunting

Beberapa teks memberikan daftar niyāma yang berbeda dan diperluas. Misalnya, Shandilya dan Upanisad Varaha ,[26] Hatha Yoga Pradipika,[27] ayat 552 sampai 557 di Kitab ke-3 Tirumandhiram karya Tirumular.[28] Hatha Yoga Pradipika mencantumkan sepuluh niyāma berikut dalam syair 1.18:[27][29]

  1. Tapa (तपस्): kegigihan, ketekunan dalam tujuan seseorang, kesederhanaan[9][10]
  2. Santosha (सन्तोष): kepuasan, penerimaan terhadap orang lain dan keadaan diri sendiri sebagaimana adanya, optimisme terhadap diri sendiri[7]
  3. Āstikya (आस्तिक्य): keyakinan pada Diri Sejati (jnana yoga, raja yoga), kepercayaan pada Tuhan (bhakti yoga), keyakinan pada Weda/Upanishad (aliran ortodoks)[30]
  4. Dāna (दान): kedermawanan, amal, berbagi dengan orang lain[31]
  5. Īśvarapūjana (ईश्वरपूजन): pemujaan terhadap Iswara (Tuhan/Sosok Tertinggi, Brahman, Diri Sejati, Realitas yang Tidak Berubah)[32]
  6. Siddhānta vākya śravaṇa (सिद्धान्त वाक्य श्रवण) atau Siddhānta śravaṇa (सिद्धान्त श्रवण): mendengarkan kitab suci kuno[30]
  7. Hrī (ह्री): penyesalan dan penerimaan atas masa lalu seseorang, kesederhanaan, kerendahan hati[27][33]
  8. Mati (मति): berpikir dan merenung untuk memahami, mendamaikan ide-ide yang bertentangan[34]
  9. Japa (जप): pengulangan mantra, membaca doa atau pengetahuan[35]
  10. Huta (हुत) atau Vrata (व्रत):
    1. Huta (हुत): ritual, upacara seperti pengorbanan yajna.
    2. Vrata (व्रत): memenuhi janji, aturan, dan ketaatan agama dengan setia.[36]

Beberapa teks mengganti niyāma terakhir (Huta) dengan Vrata.[30] Vrata berarti membuat dan menjaga sumpah (resolusi) seseorang, yang bisa berupa ketaatan yang saleh.[37] Misalnya, janji untuk berpuasa dan mengunjungi tempat ziarah merupakan salah satu bentuk Vrata. Proses pendidikan di India kuno, suatu tradisi penghafalan dan penurunan Weda dan Upanisad dari generasi ke generasi tanpa pernah dituliskan, memerlukan serangkaian praktik niyāma Vrata selama bertahun-tahun.[38]

Referensi

sunting
  1. ^ Hansen, Upa. Sasanasena Seng (September 2008). Ikhtisar Ajaran Buddha. Yogyakata: Insight Vidyasena Production. 
  2. ^ Nasiman, Nurwito (2017). Pendidikan Agama Buddha dan Budi Pekerti Kelas 10. Jakarta: Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia. hlm. 175. ISBN 978-602-427-074-2. 
  3. ^ a b Moyer, Donald (1989). "Asana". Yoga Journal. 84 (January/February 1989): 36. 
  4. ^ a b N Tummers (2009), Teaching Yoga for Life, ISBN 978-0736070164, page 16-17
  5. ^ a b Sharma and Sharma, Indian Political Thought, Atlantic Publishers, ISBN 978-8171566785, page 19
  6. ^ a b c d e f g h "Yoga Sutras of Patanjali | Internet Encyclopedia of Philosophy" (dalam bahasa Inggris). Diakses tanggal 2024-05-10. 
  7. ^ a b c N Tummers (2009), Teaching Yoga for Life, ISBN 978-0736070164, page 16-17
  8. ^ a b Gregory P. Fields (2014). Religious Therapeutics: Body and Health in Yoga, Ayurveda, and Tantra. State University of New York Press. hlm. 111. ISBN 978-0-7914-9086-0. 
  9. ^ a b c Kaelber, W. O. (1976). "Tapas", Birth, and Spiritual Rebirth in the Veda, History of Religions, 15(4), 343-386
  10. ^ a b c SA Bhagwat (2008), Yoga and Sustainability. Journal of Yoga, Fall/Winter 2008, 7(1): 1-14
  11. ^ Cusack, Carmen (2012). "Alternative dispute resolution and niyama, the second limb of Yoga Sutra". Journal of Peace Education and Social Justice. 6 (2): 107–122. 
  12. ^ Chicago, The University of; Libraries (CRL), Center for Research. "Digital South Asia Library". dsal.uchicago.edu (dalam bahasa Inggris). Diakses tanggal 2024-06-04. 
  13. ^ Sivasubramaniam, Thirunavukkarasu (2019-05-24). "Niyama". Classic Yoga (dalam bahasa Inggris). Diakses tanggal 2024-06-04. 
  14. ^ Aṭṭhasālinī: Buddhaghosa’s Commentary on the Dhammasaṅgani. ed. E. Muller, PTS 1979 (orig. 1897) p.272, para. 562; trans. Pe Maung Tin as The Expositor PTS London 1921 vol.II p.360.
  15. ^ Sumaṅgala-Vilāsinī, Buddhaghosa’s Commentary on the Dīgha Nikāya. ed. W. Stede PTS 1931 p.432.
  16. ^ Abhidhammāvatāra in Buddhadatta’s Manuals. ed. AP Buddhadatta PTS 1980 (orig. 1915) p.54.
  17. ^ Nasiman, Nurwito (2017). Pendidikan Agama Buddha dan Budi Pekerti Kelas 10. Jakarta: Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia. hlm. 176. ISBN 978-602-427-074-2. 
  18. ^ Manuals of Buddhism. Bangkok: Mahamakut Press 1978. Niyama-Dipani was trans. (from Pāli) by Beni M. Barua, rev. and ed. C.A.F. Rhys Davids, n.d.
  19. ^ Buddhism: a study of the Buddhist norm London: Williams and Norgate 1912, pp.118–9.. Reprint by Read Books, 2007, Books.Google.com
  20. ^ Padmasiri De Silva, Environmental philosophy and ethics in Buddhism. Macmillan, 1998, page 41. Books.Google.com
  21. ^ Niyama-Dipani (online see below)
  22. ^ The Three Jewels Windhorse 1977 (originally published 1967) Windhorse pp.69–70; and in the lecture ‘Karma and Rebirth’, in edited form in Who is the Buddha? Windhorse 1994, pp.105–8.
  23. ^ Kheminda, Ashin (2020). Kamma: Pusaran Kelahiran & Kematian Tanpa Awal. Jakarta: Dhammavihari Buddhist Studies. hlm. 46. 
  24. ^ Anggara, Indra. "AN 5.57: Abhiṇhapaccavekkhitabbaṭhānasutta". SuttaCentral. Diakses tanggal 2023-06-26. 
  25. ^ Āgāśe, K. S. (1904). Pātañjalayogasūtrāṇi. Puṇe: Ānandāśrama. hlm. 102. 
  26. ^ SV Bharti (2001), Yoga Sutras of Patanjali: With the Exposition of Vyasa, Motilal Banarsidas, ISBN 978-8120818255, Appendix I, pages 680-691
  27. ^ a b c Mikel Burley (2000), Haṭha-Yoga: Its Context, Theory, and Practice, Motilal Banarsidas, ISBN 978-8120817067, pages 190-191
  28. ^ Fountainhead of Saiva Siddhanta Tirumular, The Himalayan Academy, Hawaii
  29. ^ Original: तपः सन्तोष आस्तिक्यं दानम् ईश्वरपूजनम् । सिद्धान्तवाक्यश्रवणं ह्रीमती च तपो हुतम् । नियमा दश सम्प्रोक्ता योगशास्त्रविशारदैः ॥१८॥ See: Hatha Yoga Pradipika; Note: this free on-line source author lists Tapas twice in the list of niyamas; others list the second last word of second line in the above as जपो, or Japa
  30. ^ a b c "Niyama | 8 Limbs of Yoga". United We Care. June 30, 2021. 
  31. ^ William Owen Cole (1991), Moral Issues in Six Religions, Heinemann, ISBN 978-0435302993, pages 104-105
  32. ^ Īśvara Diarsipkan 3 March 2016 di Wayback Machine. Koeln University, Germany
  33. ^ Hri Monier Williams Sanskrit English Dictionary
  34. ^ Monier Williams, A Sanskrit-English Dictionary: Etymologically and philologically arranged, hlm. 740, pada Google Books, Mati, मति, pages 740-741
  35. ^ HS Nasr, Knowledge and the Sacred, SUNY Press, ISBN 978-0791401774, page 321-322
  36. ^ "Siddha Community: The Saivite Hindu Religion". www.siddha.com.my. Diakses tanggal 2017-01-12. 
  37. ^ व्रत Vrata, Sanskrit-English Dictionary, Koeln University, Germany
  38. ^ Hartmut Scharfe, Handbook of Oriental Studies - Education in Ancient India, Brill, ISBN 978-9004125568, pages 217-222