Luak (Rejang)
Luak atau Nuak adalah salah satu konsep teritori-geografi yang dikenal oleh masyarakat Rejang di Provinsi Bengkulu.[1] Konsep ini dapat dipahami sebagai istilah mengenai suatu ketampakan alam atau sebagai wilayah kekuasaan.
Luak sebagai ketampakan alam
suntingLuak adalah sebuah lembah atau hamparan yang luas, di tengahnya mengalir sebuah sungai utama berikut anak-anak sungainya, dan dikelilingi oleh perbukitan atau pegunungan di kedua atau hampir semua sisinya. Dengan kata lain, luak adalah lembah yang berada di dataran tinggi. Apabila definisi pertama ini yang dipakai, maka Tanah Rejang terbagi menjadi dua luak, yaitu Luak Lêbong yang merupakan daerah aliran sungai (DAS) Ketahun dan Luak Ulau Musai (Ulu Musi) yang sesuai namanya, merupakan DAS Musi.[2]
Luak Lêbong dan Luak Ulau Musai masing-masing dikenal pula sebagai Lembah Lebong dan Lembah Rejang-Musi.[3] Keduanya memiliki luas wilayah yang hampir sama, yakni ± 2.000 km². Kedua luak dibatasi oleh punggung pegunungan di daerah Rimbo Pengadang yang memisahkan sungai Ketahun yang mengalir ke barat menuju Samudra Hindia dengan sungai Musi yang mengalir ke timur menuju Selat Bangka.[3]
Pada masa lalu, Lembah Rejang-Musi dideskripsikan sebagai daerah yang produktif sektor pertaniannya dengan akses jalan yang cukup memadai. Sebaliknya, Lembah Lebong terisolasi baik secara geografi maupun ekonomi, dengan jalanan yang terputus dan tidak mengarah ke mana pun kecuali ke Curup di Ulu Musi.[3] Kedua lembah sejak lama terkenal sebagai daerah penghasil emas dan perak. Masyarakat Rejang selaku penduduk asli telah terlibat dalam kegiatan mendulang sejak lama. Khususnya di Lebong, pendulangan emas diyakini bermula pada kedatangan para bikau dari Majapahit.[4] Kejatuhan Lembah Rejang-Musi ke tangan Belanda pada 1860, disusul pula dengan kejatuhan Lembah Lebong telah memungkin kedua luak menjadi lumbung emas bagi pemerintah kolonial.[5]
Luak sebagai wilayah kekuasaan
suntingSebagai wilayah kekuasaan, luak dimaknai sebagai daerah yang berada di bawah kepemimpinan langsung para bikau,[1] dan merupakan daerah hunian masyarakat Rejang yang paling luas, yang di dalamnya terdapat kutai-kutai (desa mandiri dan berdiri penuh). Sani (1983:12) menyebutkan bahwa sebagai wilayah kekuasaan, alih-alih geografi atau ketampakan alam, di Tanah Rejang terdapat empat luak yang dipimpin oleh para biku, terdiri dari Luak Lêbong, Luak Ulau Musai, dan Luak Lembak Beliti di daerah pegunungan, serta Luak Pesisir.[1]
Lihat pula
suntingReferensi
sunting- ^ a b c Herlambang, Abdi, Harjanto, & Yamani 2012, hlm. 285.
- ^ Proyek Penelitian dan Pencatatan Kebudayaan Daerah 1979, hlm. 88.
- ^ a b c Psota 2013, hlm. 121.
- ^ Misic 2013, hlm. 315.
- ^ Bonatz, Neidel, & Miksic 2009, hlm. 7.
Daftar pustaka
suntingBuku
sunting- Bonatz, Dominik; Neidel, J. David; Miksic, John, ed. (26 Maret 2009). From Distant Tales: Archaeology and Ethnohistory in the Highlands of Sumatra. Newcastle upon Tyne: Cambridge Scholars Publisher. hlm. 7. ISBN 9781443807845. Diakses tanggal 7 Desember 2021.
- Miksic, John N. (315). Singapore & the Silk Road of the Sea, 1300-1800. Honolulu, Hawaii: University of Hawaii Press. ISBN 9789971695743. Diakses tanggal 7 Desember 2021.
- Proyek Penelitian dan Pencatatan Kebudayaan Daerah (1979). Adat dan Upacara Perkawinan Daerah Bengkulu. Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Pusat Penelitian Sejarah dan Budaya. Diakses tanggal 7 Desember 2021.
- Psota, Thomas (11 Januari 2013). "Change in Land Use and Economy in Upper Lebong". Dalam King, Victor T. Environmental Challenges in South-East Asia. Oxfordshire: Taylor & Francis. hlm. 121–134. ISBN 9781136106187. Diakses tanggal 7 Desember 2021.
Jurnal
sunting- Herlambang, Herlambang; Abdi, M.; Harjanto, Andry; Yamani, M. (2012). "Inventarisasi Institusi Adat Rejang dalam Rangka Penyusunan Kompilasi Hukum Adat Rejang". Jurnal Media Hukum. Yogyakarta: Universitas Muhammadiyah Yogyakarta. 19 (2): 280-292. Diakses tanggal 7 Desember 2021.