Arsitektur masjid di Indonesia

Masjid modern di Universitas Indonesia dengan atap bertingkat ini mengikuti arsitektur tradisional masjid yang ditemukan di kepulauan Indonesia.

Sejarah

sunting

Arsitektur Islam awal

sunting

Meskipun banyak bangunan Islam tertua di Jawa dan hampir semuanya di Sumatera tidak bertahan,[1] terutama karena pengaruh iklim terhadap bahan bangunan yang mudah lapuk, bangunan permanen tidak dianggap sebagai prioritas untuk ibadah umat Islam, karena ruang terbuka dan bersih mana pun dapat menampung ibadah berjamaah.[2]

 
Paviliun bertingkat di Bali ( wantilan ) ini bentuknya mirip dengan beberapa masjid tertua di Indonesia.

Sebagian besar masjid Islam awal masih dapat ditemukan di Jawa, dan gaya arsitekturnya mengikuti tradisi bangunan yang ada di Jawa. Ciri khas arsitektur Islam Jawa meliputi atap bertingkat, gerbang upacara, empat tiang utama yang menyokong atap piramida yang menjulang tinggi, dan beragam elemen dekoratif seperti finial tanah liat yang rumit untuk puncak atap. Atap bertingkat ini berasal dari atap meru bertingkat yang ditemukan di pura Bali. Beberapa arsitektur Islam Jawa awal menyerupai candi atau gerbang era Majapahit.[3]

Masjid tertua di Indonesia yang masih ada hingga kini berukuran cukup besar dan sebagian besarnya berhubungan erat dengan istana.[4] Masjid tertua yang masih ada di Indonesia adalah Masjid Agung Demak yang merupakan masjid kerajaan Kesultanan Demak, meskipun ini bukan bangunan Islam tertua. Bangunan Islam tertua di Indonesia adalah bagian dari istana kerajaan di Kesultanan Cirebon, Cirebon. Kompleks istana berisi kronogram yang dapat dibaca sebagai padanan Saka tahun 1454 M. Istana-istana Islam awal mempertahankan banyak ciri arsitektur pra-Islam yang tampak pada gerbang-gerbang atau menara genderang. Istana Kasepuhan kemungkinan dibangun pada akhir masa pra-Islam dan terus berkembang pada masa peralihan agama Hindu ke Islam. Kompleks ini berisi petunjuk mengenai tahapan proses perubahan bertahap saat Islam masuk ke dalam arsitektur Indonesia. Dua ciri khas Hindu yang diadopsi ke dalam Islam di Istana adalah dua jenis pintu gerbang, yakni portal terbelah ( candi bentar ) yang menuju ke pendopo tempat berlangsungnya audiensi publik dan gerbang ambang ( paduraksa ) yang menuju ke pelataran depan.[ kutipan diperlukan ]

Menara masjid pada awalnya bukan merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari masjid di Indonesia.[5] Menara Masjid Menara Kudus dibangun dengan gaya candi bata Hindu Jawa,[6] Menara ini tidak digunakan sebagai menara, tetapi sebagai tempat bedug, sebuah genderang besar yang dipukul untuk memanggil orang untuk sholat di Indonesia. Menara ini mirip dengan menara genderang kuil Hindu Bali yang disebut kul-kul. Hal ini menunjukkan adanya kelanjutan dari periode Hindu-Budha sebelumnya ke era Islam di Indonesia.[5]

Periode kolonial

sunting

Kubah dan lengkungan runcing, fitur terkenal di Asia tengah, selatan dan barat daya, tidak muncul di Indonesia sampai abad ke-19 ketika diperkenalkan oleh pengaruh Belanda terhadap penguasa lokal. Para sarjana Indonesia mulai mengenal pengaruh Timur Dekat ketika mereka mulai mengunjungi pusat-pusat Islam di Mesir dan India.[7]

Kubah di Indonesia mengikuti bentuk kubah bawang India dan Persia. Kubah ini pertama kali muncul di Sumatera. Masjid Agung Kesultanan Riau di Pulau Penyengat merupakan masjid tertua di Indonesia yang masih memiliki kubah. Terdapat indikasi bahwa Masjid Rao Rao di Sumatera Barat menggunakan kubah pada desain awalnya.[8] Penerapan kubah pada masjid di Jawa lebih lambat dibandingkan di Sumatera.[8] Masjid berkubah tertua di Jawa kemungkinan besar adalah Masjid Jami Tuban (1928), diikuti oleh Masjid Agung Kediri dan Masjid Al Makmur Tanah Abang di Jakarta.[8]

Pasca kemerdekaan

sunting

Setelah berdirinya Republik Indonesia, banyak masjid tua yang dibangun dengan gaya tradisional direnovasi dan kubah kecil ditambahkan ke atap berbentuk persegi. Mungkin dibangun dengan meniru modifikasi serupa yang dilakukan terhadap masjid utama di ibu kota daerah di dekatnya.[9]

Sejak tahun 1970-an, kesesuaian bangunan tradisional telah diakui secara politis, dan beberapa bentuk berpinggul berlapis telah dipulihkan. Presiden Suharto berkontribusi terhadap tren ini selama tahun 1980-an dengan mendirikan Yayasan Amal Bakti Muslim Pancasila yang mensubsidi pendirian masjid-masjid kecil di masyarakat kurang sejahtera. Desain standar masjid ini mencakup tiga atap berpinggul di atas aula sholat berbentuk persegi, mengingatkan kita pada Masjid Agung Demak.[10]

Berdasarkan wilayah

sunting
 
Masjid Agung Demak, salah satu masjid tertua yang masih ada di Indonesia, menunjukkan arsitektur khas Jawa untuk masjid tersebut dengan atapnya yang bertingkat-tingkat, sebuah gaya yang akan ditiru di seluruh kepulauan Indonesia.

Kebanyakan masjid tertua di Jawa biasanya memiliki atap bertingkat. Serambi (teras beratap) yang menempel di bagian depan masjid. Jumlah tingkatan minimalnya dua sedangkan maksimalnya lima. Bagian atas atap dihiasi dengan hiasan tanah liat yang disebut mustoko atau memolo. Kadang-kadang tingkatan atap melambangkan pembagian ke dalam beberapa lantai terpisah yang masing-masing digunakan untuk fungsi berbeda: lantai bawah untuk salat, lantai tengah untuk belajar, dan lantai atas untuk mengumandangkan adzan. [12]

Di dalam masjid terdapat mihrab di dinding kiblat dan mimbar kayu. Relung mihrab terbuat dari batu bata dan dihiasi dengan ukiran kayu yang berasal dari seni pra-Islam di daerah tersebut.[13] Dinding penutupnya cukup rendah dan dihiasi dengan mangkuk dan piring yang berasal dari Cina, Vietnam, dan tempat lain. Di tengah sisi timur terdapat sebuah gerbang monumental. Beberapa masjid, seperti masjid di Yogyakarta, juga dikelilingi oleh parit.[13]

Ciri-ciri lain dari masjid-masjid awal ini adalah halaman, dan gerbang.[14]

Sumatra

sunting
 
Masjid Jami Indrapuri abad ke-17 di Aceh.

Mirip dengan masjid-masjid di Jawa, masjid-masjid di Sumatera memiliki atribut-atribut masjid di Jawa. Beberapa antropolog berpendapat bahwa tidak ada satupun bangunan Islam tertua di Sumatera yang masih bertahan.[15]

Di Sumatera Barat, masjid yang dikenal sebagai surau, mengikuti gaya lokal dengan atap tiga atau lima tingkat yang mirip dengan masjid Jawa, tetapi dengan profil atap 'tanduk' khas Minangkabau. Atapnya ditopang oleh deretan kolom konsentris, yang sering kali berfokus pada penopang sentral yang menjulang tinggi yang mencapai puncak bangunan. Beberapa masjid dibangun di dekat kolam buatan (tabek). Ukiran kayu tradisional Minangkabau biasanya diterapkan pada fasad.[16]

Kalimantan

sunting
 
Masjid khas Banjar dengan atap puncak curam dan panggung.

Kerajaan Banjar di Kalimantan Selatan merupakan kerajaan Hindu pertama di Kalimantan yang memeluk agama Islam setelah mendapat pengaruh dari Kesultanan Demak di Jawa. Gaya arsitektur masjid Banjar mempunyai kemiripan dengan masjid-masjid kesultanan Demak, khususnya Masjid Agung Demak. Dalam perjalanan sejarahnya, Banjar mengembangkan gaya arsitekturnya sendiri. Salah satu ciri utama masjid Banjar adalah atapnya yang bertingkat tiga atau lima dengan puncak yang curam, berbeda dengan atap masjid Jawa yang relatif rendah. Ciri lainnya adalah tidak adanya serambi (teras beratap) di masjid Banjar, yang merupakan ciri tradisional di masjid Jawa. Gaya masjid Banjar mirip dengan masjid-masjid di Sumatera Barat dan mungkin berhubungan dengan contoh-contoh lain dari Semenanjung Malaysia.[17]

Maluku dan Papua

sunting
 
Masjid Tua Wapauwe di Pulau Ambon

Islam datang ke Maluku pada akhir abad ke-15 melalui Jawa, dengan dampak terkuat dirasakan di pulau rempah-rempah Ternate dan Tidore. Fitur-fitur yang ada di masjid tertua di kepulauan ini, seperti Masjid Sultan Ternate, meniru fitur-fitur yang ada di masjid-masjid tertua di Jawa.[18] Namun, masjid-masjid di Maluku tidak memiliki peristyle, teras, halaman, dan gerbang, namun tetap mempertahankan atap bertingkat dan denah lantai terpusat seperti masjid-masjid di Jawa.[19] Wilayah Papua hanya memiliki sedikit masjid penting, karena wilayah tersebut sebagian besar beragama Kristen.

Lihat juga

sunting

Referensi

sunting
  1. ^ Gunawan Tjahjono (1998). Indonesian Heritage-Architecture. Singapore: Archipelago Press. hlm. 88–89. ISBN 981-3018-30-5. 
  2. ^ Bagoes Wiryomartono 2009, hlm. 34.
  3. ^ Gunawan Tjahjono (1998). Indonesian Heritage-Architecture. Singapore: Archipelago Press. hlm. 88–89. ISBN 981-3018-30-5. 
  4. ^ Gunawan Tjahjono (1998). Indonesian Heritage-Architecture. Singapore: Archipelago Press. hlm. 94–95. ISBN 981-3018-30-5. 
  5. ^ a b Gunawan Tjahjono (1998). Indonesian Heritage-Architecture. Singapore: Archipelago Press. hlm. 88–89. ISBN 981-3018-30-5. 
  6. ^ Gunawan Tjahjono (1998). Indonesian Heritage-Architecture. Singapore: Archipelago Press. hlm. 86–87. ISBN 981-3018-30-5. 
  7. ^ Gunawan Tjahjono (1998). Indonesian Heritage-Architecture. Singapore: Archipelago Press. hlm. 96–97. ISBN 981-3018-30-5. 
  8. ^ a b c Mukhlis PaEni (2009). Sejarah Kebudayaan Indonesia: Arsitektur. Jakarta: Raja Grafindo Persada. hlm. 251–255. ISBN 9789797692704. 
  9. ^ Gunawan Tjahjono (1998). Indonesian Heritage-Architecture. Singapore: Archipelago Press. hlm. 96–97. ISBN 981-3018-30-5. 
  10. ^ Gunawan Tjahjono (1998). Indonesian Heritage-Architecture. Singapore: Archipelago Press. hlm. 96–97. ISBN 981-3018-30-5. 
  11. ^ Bagoes Wiryomartono 2009, hlm. 43.
  12. ^ Petersen, Andrew (2002). Dictionary of Islamic Architecture. Routledge. hlm. 131–134. ISBN 9780203203873. Diakses tanggal January 6, 2013. 
  13. ^ a b Petersen, Andrew (2002). Dictionary of Islamic Architecture. Routledge. hlm. 131–134. ISBN 9780203203873. Diakses tanggal January 6, 2013. 
  14. ^ Miksic, John (1996). Ancient History. Singapore: Archipelago Press. hlm. 126–127. ISBN 981-3018-26-7. 
  15. ^ Gunawan Tjahjono (1998). Indonesian Heritage-Architecture. Singapore: Archipelago Press. hlm. 88–89. ISBN 981-3018-30-5. 
  16. ^ Gunawan Tjahjono (1998). Indonesian Heritage-Architecture. Singapore: Archipelago Press. hlm. 96–97. ISBN 981-3018-30-5. 
  17. ^ Gunawan Tjahjono (1998). Indonesian Heritage-Architecture. Singapore: Archipelago Press. hlm. 96–97. ISBN 981-3018-30-5. 
  18. ^ Gunawan Tjahjono (1998). Indonesian Heritage-Architecture. Singapore: Archipelago Press. hlm. 96–97. ISBN 981-3018-30-5. 
  19. ^ Gunawan Tjahjono (1998). Indonesian Heritage-Architecture. Singapore: Archipelago Press. hlm. 88–89. ISBN 981-3018-30-5. 

Bibliografi

sunting
  • Bagoes Wiryomartono (2009). "A Historical View of Mosque Architecture in Indonesia". The Asia Pacific Journal of Anthropology. 10: 33–45.